Kelompok Kerja Pengendalian Perubahan Iklim di Lingkungan Departemen Kehutanan

160 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Pembi- ayaan Anggaran Departe- men Kehutanan Anggaran Departe- men Kehutanan Anggaran Penda- patan dan Belanja Kementerian Kehu- tanan Ke- beradaan pengang- katan sekretariat sub-kelom- pok Diatur dan wajib Diatur dan wajib Diatur tapi optional diserahkan pada ketua Pokja Pertama: Asal usul. Nampak jelas bahwa SK No. 64Menhut-II2010 jauh lebih tegas dalam membuat alasan pembentukan lembaga ini dengan menghubungkannya pada apa yang terjadi setelah COP 13 Bali dan peranan hutan dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Ia secara terbuka menyatakan bahwa pengembangan kebijakan pengelolaan hutan secara lestari memang bisa dijadikan strategi mitigasi perubahan iklim. Titik tekannya ada pada pengembangan pengelolaan hutan secara lestari dan bukan pada perubahan iklimnya. Sementara dalam 2 SK sebelumnya disebutkan pengembangan kebijakan kehutanan disesuaikan dengan pengendalian perubahan iklim. Kedua: Legitimasi staf ahli menteri. Dari segi struktur organisasi, dua SK menteri terakhir 2009 dan 2010 menempatkan lembaga di bawah Menteri Kehutanan Baplan, BPK, PHKA, RLPA, Balitbang, Sekjen dan Irjen berada di posisi sebagai pengarah, sementara dalam SK tahun 2008, posisi Baplan justru sebagai ketua Pokja itu. Posisi ini jelas “menurunkan” posisi Dirjen Baplan di bawah Dirjen-Dirjen lain. Karena itu pula SK tahun 2008 itu hanya berlaku kurang dari satu setengah bulan. Namun menempatkan staf ahli sebagai ketua harian dalam Pokja PI Kementrian Kehutanan juga rawan dalam soal legitimasi. Dalam Struktur Organisasi Departemen Kehutanan, posisi staf ahli memang tinggi karena langsung berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Kehutanan, tapi dia tidak mempunyai relasi kerja dengan organisasi lain di dalam Departemen Kehutanan semisal Irjen, Dirjen 94 . Memang, dalam urusan keadministrasian ia diatur oleh Sekjen c.q. Biro Umum bagian Tata Usaha Pimpinan, namun tidak dalam soal lainnya. Staf ahli bahkan, menurut Permenhut P 13Menhut-II2005, 95 bertugas memberikan telaahan mengenai masalah tertentu sesuai bidang keahliannya, yang tidak menjadi bidang tugas Sekretariat Jenderal, 94 Lihat bagan struktur organisasi Departemen Kehutanan di dalam Permenhut P 13Menhut-II2005. 95 Dirubah dengan Permenhut P 64Menhut-II2008; namun tidak ada perubahan pada soal staf ahli menteri 161 Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions from Deforestaion and Forest Degradaion REDD sebagai kasus Direktorat Jenderal, Badan, dan Inspektorat Jenderal. Tugasnya hanya memberikan telaahan atas suatu perkara yang sesuai dengan bidang keahliannya yang tidak menjadi tugas bagian lain di Departemen Kehutanan. Lalu jika tugasnya hanya menelaah, dari mana datangnya legitimasi untuk mengkoordinasi anggota dalam Pokja itu atau mengangkat anggota sekretariat Pokja PI? Seharusnya ada perubahan pada tugas staf ahli menteri terdahulu sebelum membebankan dia dengan kewenangan yang lebih bersifat “eksekutorial”. Posisi staf ahli menteri sebagai ketua Pokja PI Kementerian Kehutanan dan kemudian dihubungkan dengan tugas “sebenarnya” staf ahli menteri sebenarnya membuka satu pesan penting: Departemen Kehutanan masih belum yakin akan ditempatkan di mana, atau siapa yang harus memegang isu perubahan iklim ketika harus diintegrasikan ke dalam struktur organisasinya. Departemen Kehutanan hampir yakin bahwa isu perubahan iklim dalam sektor kehutanan itu bukan isu sektoral; ia harus bersifat lintas sektoral. Namun siapa yang lebih punya kewenangan untuk memegang isu itu di dalam internal Dephut sendiri? SK tahun 2008 dengan sangat yakin bahwa hal itu bisa dikoordinasikan di bawah Dirjen Baplan, namun kemudian dianggap tidak sesuai dan kemudian diserahkan kepada staf ahli menteri yang bertugas hanya menelaah perkara yang bukan tugas lembaga di bawah Menhut lainnya. Penempatan staf ahli sebagai Ketua Pokja PI Kemenhut barangkali dipergunakan untuk memperlihatkan bahwa isu perubahan iklim tidak bisa berada di bawah kangkangan satu dirjen tertentu. Dalam hal ini, penempatan itu sudah baik. Memberikan kursi ketua Pokja pada “orang dekat menteri” juga bisa berdampak baik dalam meredakan perbedaan persepsi antar dirjen atau badan di bawah Menhut terkait perubahan iklim. Di sisi lain, masalah terbatasnya tugas staf ahli menjadi keterbatasan tersendiri dalam mengerjakan tugas terkait perubahan iklim yang bukan tugas dirjen, sekjen, irjen dan badan, tapi juga tidak otomatis langsung menjadi kewenangan dirinya, tanpa ada perubahan dahulu pada tugas pokoknya. Ketiga: Koordinasi. Dari segi tugas, Kelompok kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan SK tahun 2010 menjadi pihak yang