Fauna and Flora International FFI

250 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? terakhir adalah menyediakan surat dukungan atas usulan pilot project REDD kepada Menteri Kehutanan, serta bantuan yang diperlukan dalam proses penataan ulang wilayah hutan di lokasi proyek yang diusulkan. Pihak kedua Macquarie Capital akan bertanggung jawab dalam pelayanan inansial dan secara ekslusif akan bertindak sebagai penjual hasil proyek termasuk penjualan kredit karbon. Sedangkan pihak ketiga FFI akan bertanggung jawab dalam pengelolaan proyek konservasi, termasuk penilaian dan pemantauan proyek, serta pengembangan kerjasama dengan masyarakat lokal sebagai ujung tombak pemangku- kepentingan serta mitra-mitra lain yang diperlukan. Pasal 4 empat nota kesepahaman ini menjelaskan kewajiban para pihak dan hak-hak khusus yang harus dilaksanakan dalam phase awal proyek ini. Para pihak sepakat untuk bekerjasama untuk mengembangkan sebuah Dokumen Rancangan Proyek Project Design Document PDD yang memberikan penjelasan rinci mengenai usulan proyek yang termaktub dalam MoU ini. para pihak sepakat untuk bekerjasama namun dengan kewajiban khusus yang berkaitan dengan pengembangan PDD. Dengan kata lain, MoU ini hanya memberi kerangka dasar untuk kerjasama yang lebih detil yang tertuang dalam PDD dan akan dikembangkan secara bersama oleh para pihak, tentunya dengan kewajiban-kewajiban khusus. Dalam pasal 5 lima menjelaskan bahwa, perjanjian atau MoU ini berlaku sejak ditanda-tangani 2282008 dan akan berakhir jika digantikan oleh sebuah kontrak kerjasama yang sah secara hukum dan berkaitan dengan PDD yang rinci. Selain itu, MoU ini akan berakhir jika para pihak sepakat untuk mengakhiri MoU ini melalui perundingan atas usulan salah satu pihak. Perundingan setidaknya dilakukan maksimal setelah 30 hari setelah tanggal usulan dari salah satu pihak atau minimal dalam jangka waktu 18 bulan dari penandatanganan MoU ini. Mou yang dibuat dalam dua bahasa ini Inggris dan Indonesia, merupakan langkah kebijakan yang diambil untuk memberi ruang bagi pelaksanaan REDD di Kapuas Hulu. Walaupun secara proses pembuatan MoU ini tidak partisipatif dalam hal pelibatan para pihak, termasuk dalam soal klausul yang ada di dalam MoU dan terkesan kejar setoran, namun MoU ini menjadi penanda bahwa program ujicoba REDD mulai dilakukan di Kapuas Hulu. 163 Tetapi, walaupun sudah menanda-tangani MoU dengan FFI dan Maquarie, daya dukung pemda terhadap proyek ini terbilang rendah. Sejak ditanda-tangani dan bersepakat untuk bekerjasama untuk menghasilkan sebuah dokumen bernama PDD, tidak terlihat dengan 163 Drs.Alexander Rombonang MM staff ahli Bupati Kapuas Hulu bidang Konservasi dan kawasan Perbatasan, wawancara, 17-03-2010. 251 “Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstraion Aciviies REDD di Kalimantan Barat jelas hal apa saja yang dilakukan Pemda selaku pihak pertama dalam menunjang kegiatan ujicoba REDD terutama di tataran teknis. Padahal dalam MoU bahwa Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu memiliki tanggung jawab sebagai berikut: • Menyediakan dukungan dan bantuan teknis kepada Macquarie dan FFI dalam mengembangkan Proyek; • Melaksanakan Perlindungan terhadap hutan di lokasi proyek, dengan dukungan dan bantuan teknis dari FFI, termasuk usulan moratorium konversi hutan dan pencegahan pembalakan liar di wilayah lokasi proyek termaksud; • Menyediakan sebuah surat dukungan atas usulan Pilot Proyek REDD kepada Menteri Kehutanan sebagaimana terlampir dalam dokumen Lampiran 1, serta bantuan yang diperlukan dalam proses penataan- ulang wilayah di lokasi proyek yang diusulkan; Indikasi lain terlihat dari tidak lagi intensnya komunikasi antara FFI dan Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu sehingga posisi mereka merenggang, dan akibatnya kegiatan koordinasi dan penajaman visi bersama soal proyek menjadi tidak terpelihara dengan baik. 164 Beberapa alasan muncul adalah, karena Pemda merasa bahwa belum ada kejelasan mekanisme pelaksanaan proyek dan telah terjadi perpindahan lokasi proyek dari Danau Sentarum sesuai MoU, ke Danau Siawan-Belida oleh FFI, sehingga perlu adanya konsolidasi lanjutan terkait lokasi baru tersebut. Dari situasi yang berkembang terkini, praktis FFI bergerak sendiri untuk mengkonsolidasikan kegiatan di lokasi barunya, yakni Siawan- Belida. Sejak memfokuskan kegiatan pada lokasi Siawan-Belida, FFI memusatkan kegiatannya di Desa Nanga Tuan, Kecamatan Bunut Hilir. Dari pantauan di lokasi ternyata tidak banyak pihak yang paham mengenai apa yang dilakukan oleh FFI di Nanga Tuan. 165 Beberapa kunjungan dan survey yang dilakukan oleh FFI hanya pemberitahuan dan langsung menuju lokasi kegiatan di danau. Terlepas dari kerumitan pola kerjasama dan belum jelasnya proyek ujicoba REDD bertajuk Community Carbon Pool oleh FFI, terlihat ada ketidaksiapan Pemda Kapuas Hulu dalam menjalankan kegiatan kerjasama tersebut. Dua hal bisa dicatat sebagai penyebabnya: pertama, berhubungan dengan riuh rendahnya negosiasi skema penanggulangan dampak perubahan iklim dan masuknya kegiatan ujicoba REDD, muncul ekspektasi yang menggebu-gebu di benak para penyelenggara pemerintahan daerah, bahwa kegiatan konservasi menjaga hutan sekaligus menjual karbon 164 Eko Darmawan Koordinator FFI Kapuas Hulu, wawancara, 18-03-2010. 165 Kepala Desa Nanga Tuan, wawancara, 27-5-2010. 252 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? dapat memberikan limpahan uang, guna mendukung pembangunan di Kalimantan Barat dan khususnya di Kapuas Hulu. Namun, setelah ada sedikit titik terang bagaimana skema REDD calon pengganti Kyoto Protocol yang menitik beratkan pada aspek performance based yang artinya mekanisme pemberian kompensasi kepada pengembang hanya akan diberikan jika yang bersangkutan sanggup membuktikan bahwa mereka telah mampu menurunkan emisi di lokasi proyeknya, hal tersebut membuat Pemda seperti tidak bersemangat. Karena dalam dugaan mereka selama ini, mekanisme pembayaran yang dibayangkan adalah Pemda menyediakan hutan yang memiliki stok karbon banyak lalu diukur, dihitung lalu dijual dan langsung terima uangnya. Akibat hasil perundingan yang menyepakati mekanisme berbasis performance based, artinya harus menunggu sekian lama, memunculkan kekecewaan terhadap mekanisme kompensasi dalam REDD. Kedua, kebijakan beneit sharing yang tidak memadai untuk Pemda. Hal tersebut karena FFI yang hendak melakukan kegiatan ujicoba REDD di Danau Siawan-Belida memakai izin bernama Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Restorasi Ekosistem IUPHHK-RE. Jika mekanisme IUPHHK-RE yang dipakai, maka sesuai dengan Permenhut P362009, bagian Pemerintah hanya 20 dibandingkan dengan Pengembang yang 60, 20 sisanya dibagikan kepada masyarakat. Melihat angka pembagian yang sangat kecil tersebut, ada ide agar 20 milik masyarakat sebaiknya diserahkan ke pemerintah daerah karena nantinya uang itu akan dikembalikan ke masyarakat melalui anggaran pembangunan di APBD. Terlebih lagi bagian 20 milik pemerintah akan dibagi lagi secara proporsional sebagai berikut pusat 40, provinsi 20 dan kabupaten 40. Pembagian itu jelas dipandang tidak adil oleh kalangan Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu. Kabupaten Kapuas Hulu telah ‘mengorbankan’ 56,21 dari total wilayahnya sebagai kawasan konservasi dan penyerap emisi berbahaya, sudah selayaknya usaha ini diberi apresiasi. 166 Bupati Kapuas Hulu bahkan kerap kali mengutarakan mengenai pola bagi hasil ini ketika pertemuan-pertemuan berkaitan dengan kerja-kerja perubahan iklim, namun FFI dan pengembang lain tidak begitu serius menanggapi. Akhirnya, kegerahan itu muncul ketika Bupati Kapuas Hulu menolak membuka sebuah workshop REDD yang digagas oleh salah satu pengembang REDD di Putussibau, karena beranggapan bahwa kegiatan ujicoba REDD belum jelas kompensasi terhadap PAD. 167 Selain itu, kebijakan REDD yang tengah dilaksanakan saat ini belum menemukan keserasian dalam hal mekanisme beneit sharing. Ketika 166 Drs.Alexander Rombonang MM staff ahli Bupati Kapuas Hulu bidang Konservasi dan kawasan Perbatasan, wawancara, 17-03-2010. 167 Harian Berkat, kamis, 29 Oktober 2009.