Tantangan dalam perundingan internasional
56 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
terhadap negara anggota OPEC jika negara-negara lain mengurangi penggunaan bahan bakar minyak fosil. Arab Saudi, Kuwait dan beberapa
negara minyak lainnya berkali-kali menekankan ketidakpastian saintiik sehingga menekankan bahwa langkah maju perundingan konvensi
harus dilakukan hati-hati. Lobi Arab yang kuat, China dan juga Amerika bahkan mempengaruhi laporan akhir IPCC untuk bagian
yang disebut Summary for Policymakers
. Scientiic American mencatat keberatan Arab Saudi dan China berakibat IPCC menghilangkan sebuah
kalimat yang mengatakan bahwa dampak emisi GRK oleh manusia pada penghangatan bumi belakangan ini adalah lima kali lebih besar
daripada yang disebabkan matahari Friedman, 2009:166-167. Kalimat tersebut mengancam keberlanjutan bisnis minyak dan industri negara-
negara tersebut. Membiarkan sains mengambang tanpa kesimpulan yang valid merupakan salah satu target para pelobi agar keputusan
akhir perundingan masih bisa dinegosiasikan secara politik.
vii Kalangan Bisnis Hampir sama dengan kelompok negara anggota OPEC, kalangan
bisnis sangat kuatir dengan dampak negatif perundingan perubahan iklim terhadap operasi bisnis yang dominan menggunakan bahan
bakar fosil. Beberapa kelompok bisnis mulai mengikuti diskusi lebih dekat, antara lain sektor asuransi yang mengkategorikan diri mereka
sebagai kelompok rentan yang terkena dampak perubahan iklim akibat semakin seringnya klaim kerugian yang muncul karena badai
dan beberapa dampak lain perubahan iklim. Sementara kelompok bisnis yang mempromosikan energi bersih atau dikenal dengan sebut
“energi biru” di Amerika melihat perubahan iklim sebagai peluang baru dalam bisnis energi. Meski beberapa laporan ilmiah menunjukan
dampak pada lingkungan akibat pengembangan energi baru, banyak negara, termasuk Indonesia terus mempromosikan energi alternatif,
antara lain proyek kelapa sawit sebagai pilihan menghadapi desakan tersedianya energi alternatif pengganti bahan bakar fosil.
viii Aktivis Lingkungan Aktivis lingkungan telah terlibat dalam isu perubahan iklim
sejak awal. Beberapa di antaranya sangat aktif dalam lobi delegasi dan media dan memproduksi newsletter selama perundingan. Namun,
mayoritas aktivis lingkungan berasal dari negara maju. Beberapa di antara jaringan yang sangat besar dan mempengaruhi proses
perundingan adalah Climate Action Network CAN, Friends of the Earth International FOEI, dan NGO konservasi seperti The Nature
Conservancy, Conservation International dan World Wildlife Fund. The Climate Action Network CAN merupakan jaringan lebih dari
57 Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen
450 NGOs di seluruh dunia yang bekerja untuk mempromosikan tindakan pemerintah dan individu untuk membatasi penyebab
perubahan iklim dari tindakan manusia sampai pada level ekologis yang berkelanjutan. Anggota CAN memberi prioritas terhadap rekomendasi
Komisi Brundtland 1987 mengenai komitmen pada lingkungan yang sehat maupun pembangunan yang mempertemukan kebutuhan
saat ini tanpa mengkompromikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Visi CAN adalah untuk
melindungi atmosfer di samping memberi ruang bagi pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan di seluruh dunia.
50
FOEI merupakan jaringan isu lingkungan akar rumput terbesar di dunia yang mencakup grup dari 77 negara dan kurang lebih 5000
aktivis lokal di setiap kontinen. Menurut FOEI, dunia menghadapi tantangan lingkungan yang berhubungan satu sama lain, yang
mengancam hidup dan kehidupan jutaan orang. Sebab utama tantangan-tantangan ini adalah berasal dari level konsumsi kita
yang tidak berkelanjutan yang menggunakan energi untuk produksi dan transportasi dalam jumlah yang sangat besar. Solusi utamanya
adalah hak komunitas untuk memilih sumber energi mereka yang berkelanjutan dan mengembangkan level
konsumsi yang sehat. Ini juga menjadi kebutuhan untuk pengurangan GRK dan desakan untuk
semua orang agar sama-sama membagi sumber daya dalam batas-batas ekologis. FOEI bekerja untuk keadilan iklim dan akses energi lewat
proyek dan kampanye berbasis komunitas yang proaktif.
51
Sementara grup NGO konservasi cenderung menggunakan jalur kedekatan mereka dengan pemerintah nasional di masing-masing
negara maupun sejumlah perusahaan pencemar untuk melakukan kerja sama. Tak jarang posisi mereka dikritik keras karena memoderasi
gerakan lingkungan yang sangat mengkritik bahkan cenderung menolak lobi dengan perusahaan pencemar. Johann Harry, kolumnis The Nation
mengungkap kedekatan perusahaan pencemar dengan NGOs konservasi sedemikian rupa sehingga posisi NGOs tersebut seperti tangan kanan
yang efektif dari para pencemar untuk mengkampanyekan kesuksesan perusahaan-perusahaan pencemar tersebut dalam menjaga lingkungan,
meskipun dalam kenyataannya, kampanye tersebut lebih sebagai upaya menyembunyikan tindakan pencemaran yang sudah rutin dilakukan
Harry, 2010.
Jaringan NGOs yang banyak melibatkan masyarakat sipil dari negara-negara selatan relatif baru muncul namun mulai menunjukan
pengaruh dalam proses perundingan. Beberapa di antaranya adalah
50
http:www.climatenetwork.orgabout-canindex_html diakses 27-04-2009.
51
http:www.foei.orgenwhat-we-doclimate-and-energy, diakses 27-04-2009.
58 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
TWN Third World Network yang bicara mengenai jaringan kelompok dunia ketiga untuk sama-sama menuntut aksi yang serius dan
signiikan dari negara maju terhadap pengurangan emisi. Kelompok lain adalah Jubilee South yang antara lain mengusung keadilan iklim
dan menolak utang sebagai jalan keluar pendanaan perubahan iklim di negara berkembang.
ix Pemerintah Lokal Banyak kota, negara bagian atau provinsi di seluruh dunia
telah meluncurkan program perubahan iklim, bahkan lebih ambisius dari apa yang dikembangkan oleh pemerintah nasional. Pemerintah
kota memainkan peranan krusial karena kewenangan mereka dalam mengatu pemanfaatan energi, transportasi publik, dan aktivitas sektor
publik lainnya yang memproduksi emisi. Walikota maupun para pemimpin pemerintahan kota lainnya telah bergabung dalam asosiasi
untuk mempresentasikan pandangan mereka dalam pertemuan yang terkait konvensi perubahan iklim.
Salah satu perkembangan pada level pemerintahan lokal adalah Governors’ Climate and Forests Task Force GCF yang diinisiasi oleh
Gubernur California, Arnold Schwarzenegger. Selain California, GFC kemudian menarik minat beberapa negara bagian dan provinsi di negara
lain, yakni Brazil Acre, Amapá, Amazonas dan Pará, Indonesia Aceh, Kalimantan Timur, Papua dan Kalimantan Barat, Meksiko Campeche,
Nigeria Cross River State, Amerika Wisconsin dan Illinois. Para gubernur mengklaim bahwa 50 hutan tropis dunia berada di wilayah
provinsi. Karena itu, para gubernur dalam GCF merumuskan berbagai rekomendasi kebijakan terhadap REDD. Pada November 2008, dalam
pertemuan pertama GFC berjudul Governors’ Global Climate Summit di Los Angeles ditandatangani sebuah Memoranda of Understanding
MOUs yang bertujuan untuk membagikan pengalaman dan praktik terbaik, pengembangan kapasitas dan pengembangan rekomendasi
untuk para pengambil kebijakan dan perumus peraturan mengenai cara-cara untuk mengintegrasikan REDD dan aktivitas lain yang
berhubungan dengan karbon hutan dalam upaya memenuhi target pengurangan GRK.
52