Respon kebijakan Pemerintah Kabupaten Kapuas

230 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? - Renja BLH Kapuas 2010 Sayangnya adalah kegiatan di bawah Program Perlindungan dan Konservasi SDA terkait perubahan iklim tidak berlanjut sampai tahun 2010. Tidak ada kegiatan yang secara spesiik menyebutkan pengendalian dampak perubahan iklim. Ketidakberlanjutan kegiatan ini memang menjadi tanda tanya. Walaupun demikian, perhatian terhadap kegiatan yang tidak menyebut perubahan iklim namun terkait erat dengan itu masih ada berupa program pengendalian kebakaran hutan. Hanya saja, jika dilihat dari pagu indikatifnya ternyata lebih rendah dari Renja di tahun 2009. Selain itu item kegiatannya juga lebih sedikit. ii Pelaksanaan Kebijakan Posisi Pemerintah Kabupaten Kapuas yang menunggu membuat Pemerintah Kabupaten Kapuas lebih menunggu inisiatif dari pemerintah di atasnya dalam soal perubahan iklim atau REDD ini. Tidak ada peraturan khusus yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas yang mengatur soal perubahan iklimREDD atau aturan lainnya yang dapat dikaitkan dengan pengendalian kebakaran hutan, misalnya. Ketiadaan adanya aturan sendiri soal pengendalian kebakaran hutan lahan membuat aturan di tingkat provinsi berlaku di level Kabupaten Kapuas. Sehingga keinginan dari Kepala Bappeda agar pelarangan kebakaran hutan atau lahan dengan pengecualian menjadi tidak mendapatkan dukungan hukum. Dalam soal peraturan yang melindungi kepentingan masyarakat adat lokal, ternyata Kabupaten Kapuas belum juga memilikinya. Penuturan Kepala Bappeda menyatakan bahwa untuk aturan ini masih mengikuti aturan di tingkat provinsi, termasuk Perda No 162008 dan Pergub 132009. Tapi memang diakui, ada hambatan di dalam pelaksanaannya, termasuk alokasi anggaran dari APBD untuk menunjang operasional dan program kerja Dewan Adat Dayak tingkat kabupaten sampai desa kelurahan, serta lembaga adat Kademangan. Sisi lembaga. Dari sisi lembaga, BLH Kapuas dianggap sebagai focal point untuk kegiatan yang ada hubungannya dengan pengendalian perubahan iklim dan memang terbukti dalam Renja tahun 2009, BLH kapuas menganggarkan kurang lebih Rp 40 juta untuk menunjang kegiatan itu. Selain itu, BLH Kapuas rajin dalam melakukan sosialisasi ke masyarakat dan menjalin kerja sama dengan KLH pusat kaitannya dengan perubahan iklimREDD. Tapi keterbatasan struktur lembaganya yang berupa “badan” membuatnya tidak dapat melakukan eksekusi 231 Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim REDD di Kalimantan Tengah langsung di lapangan sehingga keberhasilannya tergantung pada ada tidaknya programkegiatan sejenis di SKPD Teknis. Sementara di Dinas Perkebunan dan Kehutanan, wacana soal perubahan iklim atau REDD malah kurang begitu dikenal. Menurut salah satu staf, dinas ini lebih banyak mengerjakan programkegiatan yang ada hubungannya dengan perkebunan. 143 Masalah perkebunan di Kapuas meninggalkan banyak masalah, terutama pemberian izin yang tumpang tindih dengan sesama pemilik izin atau dengan kawasan kehutanan. Mereka semua sedang berkonsentrasi untuk menyelesaikan persoalan itu di bidang perkebunan itu. Data dalam Renja 2009 dan 2010 mengairmasi kondisi itu: lebih banyak programkegiatan yang ada hubungannya dengan perkebunan ketimbang sektor kehutanan. Hal ini bisa dipahami, seiring dengan makin turunnya pamor sektor kehutanan, maka sektor perkebunan, terutama sawit, menjadi komoditas penting yang sumbangannya pada PAD Kapuas cukup signiikan. Dalam hubungannya dengan keberadaan DDPI dan Komda REDD, belum pernah ada kunjungan atau koordinasi DDPIKomda REDD ke Kapuas atau bahkan sosialisasi keberadaan dua lembaga baru di tingkat provinsi tersebut. 144 Ini menunjukkan bahwa dua lembaga itu harus bekerja keras lagi untuk meningkatkan kerja dan kehadirannya di tingkat kabupatenkota.

4.4 Kesimpulan

Dari apa yang sudah dituturkan di atas, kita bisa melihat bahwa tanggapan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Kapuas terhadap isu perubahan iklimREDD bukan tanggapan yang sudah direncanakan sebelumnya atau dibarengi dengan pembuatan kebijakan yang terlihat dalam peraturan perundang-undangan, kelembagaan dan alokasi anggaran. Empat hal itu merupakan kriteria untuk melihat apakah tanggapan yang selama ini diperlihatkan memiliki dasar pijakannya atau memiliki arahan tertentu atau dengan mempertimbangkan konsekuensinya bagi perlindungan hak kepentingan masyarakat adatlokal. Dalam soal perencanaan kebijakan pembangunan, tampak betapa pemerintah hanya memperlakukan dokumen perencanaan RPJPD, RPJMD, RKPD, RENSTRA SKPD, RENJA SKPD yang dibuat dengan susah payah dengan proses berjenjang untuk menjaring aspirasi masyarakat, ternyata tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Dokumen perencanaan sebenarnya dapat dipergunakan sebagai alat untuk mengendalikan pembangunan, memperkuat koordinasi antar instansi pemerintah atau 143 Staf Dishutbun Kapuas, wawancara, 24-06-2010 144 Staf BLH Kapuas, wawancara, 24-06-2010. 232 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? monitoring pembangunan. Akhirnya, pemerintah seperti berjalan tanpa rencana di dalam permainan yang belum jelas bentuknya itu. Dari penelusuran pada dokumen perencanaan kebijakan, tampak sebenarnya Provinsi Kalimantan Tengah sudah mempersiapkan diri untuk terlibat dalam proses dan aktivitas implementasi di tingkat lokal skema mitigasi perubahan iklim berupa REDD. Namun, tindak lanjut persiapan diri itu kemudian menjadi tidak jelas karena tidak banyak programkegiatan yang dibuat yang menunjukkan adanya tahapan menuju kesiapan diri itu. Biarpun kemudian sektor pertanian diberi kepercayaan untuk terlibat di dalam pengendalian perubahan iklim, pemerintah provinsi luput melibatkan dua dua institusi penting lainnya yang justru secara kewenangan dan kapasitas memiliki keterkaitan dengan pengendalian perubahan iklim. Sementara di tingkat Kabupaten Kapuas, malah belum ada kebijakan yang tegas. Kedua pemerintah daerah sama-sama belum memiliki peraturan yang terkait dengan perubahan iklimREDD, namun Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah memiliki peraturan daerah yang mengatur soal kebakaran hutan. Hanya saja ketika hal itu dilaksanakan tetap tidak menyelesaikan masalah kebakaran hutan dan malah merugikan masyarakat yang memakai cara tradisional dalam membuka lahannya. Hal itu di tengah tidak dilaksanakannya kewajiban pemerintah melakukan inventarisasi jenis kegiatan dan wilayah yang potensial terjadi kebakaran hutan. Bahkan, Pemerintah Kabupaten Kapuas memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat kebakaran hutanlahan itu: ada jenis kebakaran yang dikendalikan dan yang tidak terkendali. Pelarangan tanpa kecuali pembakaran hutan malah akan membuat masyarakat lebih menderita dilihat misalnya dari sisi geograis Kapuas yang berlahan gambut dan sisi ketahanan pangan masyarakat. Ketegangan ini menunjukkan masih adanya kesenjangan dalam penyelesaian masalah lingkungan dengan perlindungan kepentinganhak masyarakat. Padahal penurunan emisi dengan cara pencegahan kebakaran hutan menempati posisi penting dalam skema REDD. Perlindungan lingkungan hidup tanpa memberikan solusi makin sempitnya akses masyarakat pada SDA sebenarnya juga tidak akan berkelanjutan. Di sisi lain, perlindungan terhadap kepentingan masyarakat adat atas tanah adat dan hak-hak adat atas tanahnya ternyata tidak ada gunanya selama pemerintah belum bisa mendeinisikan tujuan pembangunan yang lebih aspiratif, dan belum bisa menerima penolakan masyarakat. Pergub soal Tanah Adat itu memang dapat menerabas kesulitan yang ada dalam soal bukti tertulis bagi kepemilikan komunal, namun tidak memberikan solusi ketika bukti tertulis itu dikonstestasi dengan peraturan pertanahan menurut UU Pokok Agraria yang justru menjadi acuan tertinggi Pergub tersebut. 233 Bersiap tanpa rencana: Tanggapan kebijakan pemerintah terhadap Perubahan Iklim REDD di Kalimantan Tengah Penguatan kepemilitan atas tanah adat juga harus dibarengi dengan pemberdayaan pada kelembagaan adat Kademangan dalam arti Lembaga Kademangan yang lebih independen dan benar-benar memperhatikan kepentingan masyarakatnya. Namun, posisi Damang yang mulai dari pemilihan diangkat dan dipilih oleh bupati sampai anggaran program dan operasionalnya tidak lepas dari tangan pemerintah, maka cukup jadi alasan untuk bertanya: apa sebenarnya tujuan sebenarnya “pemberdayaan” kelembagaan adat di Kalimantan Tengah? Kondisi ini dihubungkan dengan betapa lebih mudah secara teoritis proses lepasnya tanah adathak-hak adat atas tanah demi alasan pembangunan dibandingkan jika itu kehendak pemilik. Sebuah lembaga kademangan yang lebih kredibel dapat mencegah proses itu. Di tengah kondisi yang cukup rentan bagi masyarakat tersebut, maksud pemerintah provinsi untuk semakin terlibat di dalam proses implemetasi skema REDD makin nyata dengan dibentuknya dua lembaga: DDPI dan Komda REDD. Terlalu tergesa-gesa untuk menilai kinerja badan tersebut yang juga baru dibentuk pertengahan tahun 2010 ini. Tapi pembentukan lembaga penting yang sama sekali tidak ada rencananya di dalam RKPD 2010 kembali mencelikan mata kita pada kaburnya jalur jalan yang ditempuh pemerintah dalam menjalankan kebijakannya. Terbukti, Komda REDD harus diredeinisikan kembali begitu terbentuk DDPI sebulan kemudian, karena ternyata posisi Komda REDD berada di bawah koordinasi DDPI dan tidak lagi bertanggung jawab langsung kepada gubernur. Pujian memang layak diberikan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah yang berani membuat dua badan pertama di tingkat provinsi di Indonesia. Tapi hadangan masalah akan terus ada, karena pilihan untuk menyelesaikan masalah dengan cara ad-hoc pada dasarnya dilandasi kesadaran bahwa instansi-instansi tradisionallama – entah karena tidak dipercaya atau tidak mampu – tidak lagi dianggap mampu memegang peranan dalam menghadapi tantangan baru. Masalah yang membuat instansi lama tidak mampu itu akan juga dihadapi oleh dua lembaga ad- hoc itu: koordinasi lemah baik internal di satu level pemerintah maupun antar pemerintah, anggaran yang tidak cukup dan tidak efesien sampai sesuatu sederhana, sosialisasi. Tantangan terdekat yang bisa dilakukan oleh kedua lembaga itu adalah memberitahu seorang pejabat di Kapuas akan keberadaannya dan kesiapan untuk bekerja sama dengannya. 235 “Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstraion Aciviies REDD di Kalimantan Barat

5. “Indah kabar dari rupa: Kerangka h u k u m d a n k e l e m b a g a a n

p e l a k s a n a a n D e m o n s t r a t i o n Activities REDD di K alimantan Barat laurensius Gawing

5.1 Provinsi Kalimantan Barat dan REDD

Kalimantan Barat jika ditilik dari luasan kawasan dipastikan menyimpan cadangan carbon yang memadai, apalagi jika dihitung dari tutupan hutannya. Atas pertimbangan tersebutlah maka provinsi ini dijadikan salah satu lokasi percontohan kegiatan REDD. Propinsi ini berbatasan masing-masing di utara dengan Sarawak, selatan dengan Laut Jawa dan Kalimantan Tengah, timur dengan Kalimantan Timur dan bagian barat berbatasan dengan Laut Natuna dan Selat Karimata. Kalimantan Barat merupakan satu di antara beberapa provinsi di Indonesia, yang terpilih menjadi lokasi pelaksanaan uji coba REDD, selain karena stok karbon yang memadai juga dianggap telah mengalami degradasi dan deforestasi tinggi, akibat pembalakan liar dan pembukaan perkebunan skala luas. Perkebunan skala luas tidak hanya mengancam eksistensi hutan primer yang menjadi tujuan pengurangan emisi karbon, juga mengancam ekosistem gambut yang daya serap karbonnya tinggi dan kini menjadi alasan kuat mengapa REDD plus dilakukan. Wilayah bergambut tersebut, mendominasi berbagai kawasan di Kalimantan Barat, sehingga beberapa pemrakarsa uji coba REDD memasukan kawasan bergambut tebal sebagai hal penting untuk diselamatkan. Setelah Ulu Massen di Aceh, Malinau di Kalimantan Timur dan Kabupaten Kapuas di Kalimantan Tengah kini, Kalimantan Barat turut melaksanakan kegiatan serupa dengan memilih lokasi uji coba atau demonstration activities di Kabupaten Ketapang dan Kapuas Hulu. Uji coba REDD yang kini berlangsung tak lepas dari keluarnya 236 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Peraturan Menteri Kehutanan Permenhut nomor 68 Tahun 2008 tentang Demonstration Activities REDD, yang menjadi landasan pijakannya. Salah satu alasan mengapa penting dilakukan DA REDD di Indonesia adalah tentunya merujuk kepada salah satu keputusan 2COP-13 tentang REDD yang menyebutkan pendekatan kebijakan dan insentif positif untuk REDD mencakup tiga hal yakni: 1 Pilot demonstration activities Proyek-proyek Percontohan 2 Capacity building dan technology transfer pengembangan kapasitas dan transfer teknologi 3 Indicative guidance Panduan untuk proyek percontohan 145 Kotak 5.1. Indicative Guidance Demonstration Activities Demonstration activities harus mendapat persetujuan host Party dalam hal ini Pemerintah, Penghitungan pengurangan peningkatan emisi harus sesuai hasil, terukur, transparan, dapat diveriikasi, dan konsisten sepanjang waktu, Pelaporan menggunakan reporting guidelines Good Practice Guidance for Land Use, Land- Use Change and Forestry sebagai dasar penghitungan dan monitoring emisi, Pengurangan emisi dari national demonstration activities dievaluasi berdasar emisi deforestasi dan degradasi nasional. Subnational demonstration activities dievaluasi dalam batas kegiatan tersebut, termasuk evaluasi terhadap pengalihan emisi sebagai dampak dari kegiatan dimaksud leakage. Penguranganpeningkatan emisi dari demonstration activity didasarkan pada emisi di masa lampau, dengan memperhatikan kondisi masing-masing negara, pemakain pendekatan sub-national harus merupakan suatu langkah menuju pendekatan national reference levelsbaseline dan estimasi pengurangan emisi, Demonstration activities harus konsisten dengan provisi di bawah UNFF, CCD, dan CBD, Pengalaman dari implementasi demonstration activities dilaporkan dan tersedia melalui Web platform; termasuk dalam pelaporan demonstration activities deskripsi kegiatan, efektivitas, dan informasi lain yang relevan. Dianjurkan menggunakan independent expert review. Dalam kesepakatan ‘Bali Action Plan’, beberapa kesepakatan yang tertuang memberikan gambaran ke arah mana REDD tertuju. Hal tersebut, memperkuat keinginan negara-negara inisiator sekaligus suporternya yakni, negara maju, selain harus memenuhi kewajiban peningkatan target penurunan emisi dan membantu negara berkembang capacity building, transfer teknologi, bantuan keuangan dalam upaya mengurangi dampak negatif perubahan iklim, negara berkembang juga didorong melakukan aksi nyata dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dalam konteks pembangunan berkelanjutan, a.l. melalui integrasi upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ke dalam perencanaan nasional dan sectoral planning. Beberapa butir penting dari keputusan COP-13 tentang REDD yang memerlukan tindak lanjut segera maupun terjemahan lebih lanjut untuk 145 United Nations Framework Convention on Climate Change UNFCCC, December 2007 Report of the Parties on its Thirteenth session, held in Bali 30 to 15 December 2007. 237 “Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstraion Aciviies REDD di Kalimantan Barat implementasinya di Indonesia antara lain : REDD dilaksanakan atas dasar sukarela voluntary basis dengan prinsip menghormati kedaulatan negara sovereignity, negara maju sepakat memberikan dukungan untuk capacity building, transfer teknologi di bidang metodologi dan institusional, pilot demonstration activities, Untuk pelaksanaan pilotdemonstration activities dan implementasi REDD, diperlukan penguasaan aspek metodologi sesuai standar internasional. Oleh karenanya COP-13 menyepakati indicative guidance untuk pilotdemonstration activities, dimana terdapat tanggung jawab internasional, nasional Pemerintah Pusat dan sub-nasional pelaksana di daerah. a Kerangka Hukum Lalu bagaimanakah kesiapan segenap elemen Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat terhadap kegiatan ujicoba REDD yang berlangsung? Semenjak COP-13, banyak perdebatan yang muncul sebagai reaksi atas hasil-hasil perundingan mengenai perubahan iklim di tingkat internasional. Dinamika ini ternyata juga memengaruhi situasi dan cara pandang umum di Kalimantan Barat. Efek tersebut tergambar jelas, ketika adanya pemikiran bahwa REDD tidaklah seindah yang dibayangkan dan diwacanakan selama ini, yakni Kalimantan Barat hanya perlu menjaga hutan dan pasti akan diberi kompensasi berupa sejumlah nominal tertentu. Namun benang kusut perdebatan dan perundingan kerjasama penanggulangan dampak perubahan iklim, ternyata membutuhkan berbagai persyaratan yang tidak mudah. Banyak prasyarat nan rumit yang mesti dilalui, dan tentu saja harus mengikuti standar internasional yang hingga saat ini terus dinegosiasikan. Selain persoalan negosiasi yang rumit, persoalan teknis terkait pelaksanaan REDD sejauh ini juga memberi hambatan tersendiri bagi para pihak untuk berpartisipasi. Dalam situasi yang demikian, secara umum skema REDD membuat kebingungan termasuk Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat maupun Kabupaten Kapuas Hulu. Dilematis terjadi karena di sisi lain harus bergerak cepat mengantisipasi maupun menangkap peluang, namun sebaliknya Pemda harus menunggu kebijakan atau aturan hukum yang benar-benar jelas dari Jakarta dan tentu saja kepastian skema REDD yang nanti dijalankan. Contohnya adalah keragu-raguan Pemda dalam mengambil kebijakan tentang perubahan iklim REDD karena harus menunggu peraturan nasional, dan tak heran jika berbagai daerah cenderung memilih untuk pasif Akibatnya, pada rentang waktu 2008-2009 mekanisme REDD yang didukung oleh Pemerintahan SBY tidak mendapat apresiasi yang cukup luas dari daerah. Konteks Kalimantan Barat contohnya adalah, ketika Gubernur Cornelis diundang oleh Gubernur California USA Arnold Schwarzenegger ke Los Angeles pada 30 September - 2 Oktober 2009 untuk menghadiri kegiatan “Governors Global Climate Summit”. Cornelis hadir namun