dominan dalam penguasaan sumber daya. Padahal sejatinya transfer ke daerah tersebut mempunyai tujuan antara lain untuk: 1 mengurangi kesenjangan fiskal
antara pusat dan daerah vertical fiscal imbalance dan antardaerah horizontal fiscal imbalance
, 2 meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah, 3 meningkatkan
efisiensi pemanfaatan sumberdaya nasional, dan 4 mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro.
Proporsi terbesar didalam dana perimbangan yaitu Dana Alokasi Umum sebesar 64,80 persen. Dana Alokasi Umum tersebut umumnya digunakan untuk
membayar gaji pegawai, sehingga peningkatan DAU seiring dengan peningkatan jumlah pegawai negeri ataupun peningkatan gaji pegawai. Kemudian, proporsi
terbesar kedua yaitu Dana Bagi Hasil sekitar 28.50 persen. Terakhir Dana Alokasi Khusus sekitar 6.7 persen. Dana Alokasi Khusus sendiri memiliki fungsi
yang sangat vital bagi proses pembangunan di daerah, terutama untuk pembangunan infrastuktur. Sehingga sebaiknya proporsi Dana Alokasi Khusus
tersebut terus ditingkatkan agar pembangunan di daerah-daerah kian merata.
5.2.3. Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan
Sejak terjadi perubahan struktur APBN dari T-Account menjadi I-Account, dimana komponen pendapatan negara dan belanja di satukan dalam satu kolom,
dapat langsung diketahui ABPN dalam keadaan surplus ataupun defisit. Dengan format ini juga langsung terlihat sumber pembiayaan defisit anggaran, baik dari
dalam negeri maupun luar negeri. Sejak pasca krisis ekonomi 1997, defisit anggaran pemerintah terus membengkak, dimana pada tahun 2009 dan 2010
defisit anggaran mencapai Rp112 triliun dan Rp133 triliun. Pada periode sebelumnya defisit anggaran paling besar hanya mencapai Rp40 triliun.
Tabel 26. Perkembangan Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan, Periode
Pasca Krisis Ekonomi Rp Miliar
Uraian 1999
2000 2001
2002 2003
2004
SurplusDefisit Anggaran -43 884
-16 132 -40 485
-23 652 -35 109
-23 810 Pembiayaan
43 884 16 232
40 485 23 652
35 109 20 796
1. Pembiayaan Dalam Negeri 14 497
5 937 30 218
17 024 34 562
48 553 a. Perbankan Dalam Negeri
-2 117 -12 964
-1 228 -8 140
10 705 22 713
b. Non Perbankan DN 16 613
18 900 31 445
25 164 23 857
25 841 2. Pembiayaan Luar Negeri
29 388 10 196
10 267 6 628
575 -28 057
a. Penarikan Pinjaman LN 49 584
178 184 26 152
18 887 20 360
18 434 b. Pembayaran Pokok Utang LN
-20 196 -7 623
-15 885 -12 259
-19 812 -46 491
Uraian 2005
2006 2007
2008 2009
2010
SurplusDefisit Anggaran -14 408
-29 142 -49 844
-4 121 -112
583 -133
748 Pembiayaan
11 219 29 416
42 457 84 072
112 583 133 748
1. Pembiayaan Dalam Negeri 21 491
55 982 66 309
102 478 128 133
133 903 a. Perbankan Dalam Negeri
-2 453 18 913
8 420 16 159
41 057 45 477
b. Non Perbankan DN 23 942
37 069 57 889
86 318 87 076
88 426 2. Pembiayaan Luar Negeri
-10 272 -26 566
-23 852 -19 100
-15 550 -156
a. Penarikan Pinjaman LN 26 840
26 115 34 070
44 074 50 219
58 662 b. Pembayaran Pokok Utang LN
-37 112 -52 681
-57 923 -63 175
-63 435 -68 031
Sumber : Nota Keuangan dan LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 1999-2010.
Sementara itu, sejak tahun 2001 sumber pembiayaan defisit anggaran terjadi pergeseran yang signifikan. Gambar 29 menunjukkan sebelum krisis
sumber pembiayaan defisit didominasi oleh utang luar negeri beralih bersumber dari utang dalam negeri. Perubahan kebijakan ini didorong oleh terjadinya
fluktuasi nilai tukar yang cukup tinggi sehingga berdampak pada peningkatan stok utang dan besarnya beban cicilan dan bunga utang. Sumber pembiayaan dalam
negeri dipilih, disamping untuk mengoptimalkan potensi pendanaan dalam negeri, juga untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Permasalahannya, karena besarnya
kebutuhan pendanaan pemerintah untuk menutup defisit anggaran menyebabkan suku bunga obligasi dan Surat Utang Negara menjadi sangat tinggi. Pada
akhirnya perubahan kebijakan sumber pembiayaan defisit ini tidak berpengaruh signifikan terhadap pengurangan beban pembayaran bunga utang.
Sumber : Nota Keuangan dan LKPP Kementerian Keuangan, 1999-2010.
Gambar 29. Net Transfer Utang Luar Negeri Selama Periode Sebelum Krisis Tahun 1997
5.2.4. Kinerja perekonomian
Pasca krisis ekonomi 1997, kinerja perekonomian yang tercermin dari tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan yang sangat signifikan.
Pertumbuhan ekonomi pada masa sebelum krisis mencapai 7-8 persen, pada tahun 1998 pertumbuhan mengalami minus sekiatar 13 persen. Gambar 30
menunjukkan, selama 2000-2003 pertumbuhan hanya mencapai sekitar 4 persen. Pada tahun 2004-2006 pertumbuhan mengalami kenaikkan mencapai sekitar 5
100.000 50.000
- 50.000
100.000 150.000
200.000
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Total Bunga Cicilan Pokok Penarikan Pinjaman LN
Net Transfer
persen. Pada tahun 2007-2008, pertumbuhan ekonomi relatif menuju pemulihan, yaitu mencapai 6 persen. Namun pada tahun 2009, ketika terjadi krisis keuangan
global pertumbuhan ekonomi kembali turun menjadi 4,59 persen. Ironisnya pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berhasil menciptakan lapangan kerja yang
memadai. Terbukti tingkat pengangguran justru mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2005 dan 2006 tingkat pengangguran terbuka justru
meningkat mencapai 11.2 persen dan 10.3 persen. Demikian jumlah penduduk miskin hanya mengalami berkurang rata-rata sebesar 4.1 persen. Artinya
prosentase pengurangan jumlah penduduk miskin ini lebih kecil dari rata-rata tingkat pertumbuhan. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang ada tidak
mampu menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin secara signifikan.
Sumber : Nota Keuangan dan LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 1999-2010.
Gambar 30. Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Selama Periode Pasca Krisis Ekonomi
Persen
-20,00 -15,00
-10,00 -5,00
0,00 5,00
10,00 15,00
20,00 25,00
30,00
1997 1998
1999 2000
2001 2002
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009 2010
Pertumbuhan Ekonomi Pengangguran
Penduduk Miskin
VI. DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN
KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN
6.1. Hasil Spesifikasi Model
Model yang dibangun dalam penelitian Dampak Komposisi Belanja Pemerintah ini diestimasi dengan menggunakan metode two stages squares 2-
SLS. Dari spesifikasi model maka diperoleh hasil pendugaan yang secara ekonomi logis dan mempunyai arti serta dapat dibuktikan secara statistik. Hasil
pendugaan ekonomi model penelitian ini cukup baik juga sebagaimana terlihat dari nilai koefisien determinasi R
2
. Dari 18 persamaan perilaku yang diestimasi, sebagian besar persamaan mempunyai nilai R
2
berkisar antara 0.8040 sampai 0.9999. Hanya terdapat tiga 3 persamaan yang mempunyai R
2
kurang dari 0.8 yaitu persamaan Tingkat Pengangguran 0.7717, Jumlah Penduduk Miskin
0.7255, dan Investasi Pemerintah 0.5590. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum peubah-peubah penjelas exogenous variables yang ada di dalam
persamaan perilaku mampu menjelaskan dengan baik perilaku peubah endogen. Dari indikator statistik diketahui bawah variasi variabel penjelas dalam setiap
persamaan perilaku secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya, disamping itu setiap persamaan struktural mempunyai
besaran parameter dan tandanya sesuai dengan harapan dan cukup logis dari sudut pandang teori ekonomi a priori economic.
Nilai statistik-t, digunakan untuk menguji apakah masing-masing variabel penjelas berpengaruh nyata terhadap variabel endogennya. Dalam studi ini taraf
α yang digunakan α = 0.01, α = 0.05 dan α = 0.10. Berdasarkan hasil uji statistik
durbin-w dw, terdapat beberapa persamaan yang mengalami masalah serial korelasi, terlepas dari ada tidaknya masalah serial korelasi yang serius, Pindyck
dan Rubinfeld 1991 membuktikan bahwa masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan
bias parameter regresi, oleh karena itu, hasil pendugaan model dalam kajian ini dapat dinyatakan cukup representatif dalam menggambarkan fenomena model
dampak komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan.
Secara keseluruhan model dalam penelitian terdapat 26 persamaan, yang terdiri delanpan 8 persamaan identitas dan 16 persamaan perilaku atau
persamaan struktural. Adapun persamaan identititas dalam penelitian ini terdiri : 1. PDBI
t
= CONS
t
+ INVT
t
+ INVG
t
+ CGOV
t
+ EXPO- IMPO
t
3.1
2. YD
t
= Y
t
- RTAX
t
+ SNBM
t
+ SBBM
t
3.3 3. TREVt
= RDOMt + HBHt 3.9
4. RDOMt = RTAXt + PNBPt 3.10
5. BTOTt = BTUSt + BTDRt
3.12 6. BTUSt
= BPGWt + BBRGt + BMDLt + BUTGt + SNBMt + SBBMt + BLAINt
3.13
7. BTDRt = BDAKt + BDAUt + BDBHt + BDOPt
3.20 8. GPDBIt = PDBIt
– PDBIt-1PDBIt-1 100 3.24
Sementara persamaan perilaku dalam penelitian ini terdiri dari 18 persamaan berikut :
1. 1.
CON S
t
= a + a
1
YD
t
+ a
2
LCONS
t-1
+ e
t
3.2
2. CGOV
t
= b + b
1
RDOM
t
+ b
2
DK
t
+ b
3
LCGOV
t-1
+ e
t
3.4 3. INVT
t
= c + c
1
PDBI + c
2
SBINV
t
+ c
3
LINVT
t-1
+ e
t
3.5 4. INVG
t
= d + d
1
SBI3
t
+ d
2
BMDL
t
+ d
3
DK
t
+ d
4
LINVT
t-1
+ e
t
3.6
5. EXPO
t
= e + e
1
EXRR
t
+ e
2
IHE
t
+ e
3
INVT
t
+ e
4
GIWL
t
+ e
5
EXPO
t-1
+ e
t
3.7
6. IMPO
t
= f + f
1
IHMt + f
2
PDBIt + f
3
LIMPO
t-1
+ e
t
3.8 7. RTAX
t
= g + g
1
GDBIt + g
2
BTOT
t
+ g
3
LRTAX
t-1
+ e
t
3.11 8. BPGW
t
= h + h
1
PNS
t
+ h
2
INFL
t
+ h
3
RTAX
t
+ h
4
DO
t
+ h
5
LBPGW
t-1
+ e
t
3.14
9. BBRG
t
= i + i
1
INVG
t
+ i
2
TREV
t
+ i
3
LBBRG
t-1
+ e
t
3.15 10. BMDL
t
= j + j
1
RDOM
t
+ j
2
DSPA
t
+ j
3
LBMDL
t-1
+ e
t
3.16 11. BUTG
t
= k + k
1
DFIS
t
+k
2
LIBOR3
t
+k
3
DEBT
t
+ k
4
LBUTG
t-1
+ e
t
3.17
12. SNBM
t
= l + l
1
PUNEM
t
+ l
2
NPOV
t-1
+ l
3
LSNBM
t-1
+ e
t
3.18 13. SBBMt
= m0 + m1 POILt + m2 IMPMt + j3LSBBMt-1 + et
3.19 14. BDAK
t
= n + l
1
RDOM
t
+ l
2
PNPOV
t
+ l
3
LBDAK
t-1
+ e
t
3.21 15. BDAUt
= o + o
1
RDOMt + o
2
PDBIt + o
3
LGPOPIt + o
4
DAUt-1 + et 3.22
16. BDBHt = p
+ p
1
RMGSt + p
2
RNMGSt + p
3
GPDBIt+ p
4
LBDBHt-1 +et 3.23
17. PUNEMt = q + q
1
WAGEt + q
2
TOTIt + q
3
LPUNEMt-1 + et 3.25
18. NPOVt = r
+ r
1
GPDBI
t
+ r
2
TSUB
t
+ r
3
PUNEM
t
+ r
4
INFL
t
+ r
5
LNPOV
t-1
+ e
t
3.26
dimana : PDBI
t
= Produk Domestik Bruto Rp Miliar CONS
t
= Total konsumsi Rp Miliar CGOV
t
= Konsumsi pemerintah Rp Miliar INVT
t
= Total investasi Rp Miliar INVG
t
= Total Investasi Pemerintah Rp Miliar TOTI
t
= Total Investasi Rp Miliar
EXPOt = Ekspor Rp Miliar
IMPO
t
= Impor Rp Miliar YD
t
= Pendapatan disposabel Rp Miliar DK
t
= Dummy Krisis SBINVt
t
= Tingkat Suku Bunga Investasi Riil persen SBI3
t
= Tingkat suku bunga SBI 3 bulan persen EXRR
t
= Nilai Tukar Riil USRp IHE
t
= Indeks Harga Ekspor GIWL
t
= Pertumbuhan Ekonomi Dunia persen IHM
t
= Indeks Harga Impor TREV
t
= Total penerimaan negara Rp Miliar RDOM
t
= Penerimaan dalam negeri Rp Miliar HBH
t
= Penerimaan dari hibah Rp Miliar RTAX
t
= Penerimaan negara dari pajak Rp Miliar PNBP
t
= Penerimaan negara bukan pajak Rp Miliar BTOT
t
= Total Belanja Pemerintah Rp Miliar BTUS
t
= Belanja pemerintah pusat Rp Miliar BTDR
t
= Belanja transfer daerah Rp Miliar BPGWt
= Belanja Pegawai Rp Miliar BBRG
t
= Belanja Barang Rp Miliar BMDL
t
= Belanja Modal Rp Miliar BUTG
t
= Pembayaran Bunga Utang Rp Miliar SNBM
t
= Subsidi Non BBM Rp Miliar SBBM
t
= Subsidi BBM Rp Miliar BLAIN
t
= Belanja lain-lain Rp Miliar PNS
t
= Jumlah Pegawai Negeri Sipil Ribu orang INFL
t
= Tingkat Inflasi persen GPDBI
t
= Pertumbuhan Ekonomi persen DO
t
= Dummy otonomi daerah DSPA
t
= Dummy perubahan struktur APBN DFIS
t
= Defisit Anggaran Rp Miliar LIBOR3
t
= Suku bunga Dunia Riil persen DEBT
t
= Stok Utang Pemerintah RP Miliar PUNEM
t
= Tingkat Pengangguran juta orang NPOV
t-1
= Penduduk Miskin tahun Sebelumnya Juta orang POIL
t
= Harga Minyak Mentah Dunia Rp IMPM
t
= Impor Migas US RMGS
t
= Penerimaan dari Migas Rp Miliar RNMGS
t
= Penerimaan dari Non Migas Rp Miliar
6.2. Hasil Pendugaan Model
6.2.1. Blok Pendapatan Nasional
Blok pendapatan nasional merupakan blok yang menunjukkan hubungan antar variabel dalam menciptakan pendapatan nasional. Seperti diketahui bahwa
perhitungan pendapatan nasional dari sisi pengeluaran merupakan penjumlahan dari sektor Konsumsi, Investasi, Pemerintah dan Sektor Luar Negeri. Dengan
demikian dalam model persamaan pendapatan nasional merupakan persamaan identitas, bukan persamaan perilaku. Masing-masing variabel yang membentuk
pendapatan nasional mempunyai hubungan yang saling terkait dan saling mempengaruhi.
Untuk mengetahui hubungan dan pengaruh antar variabel pada blok pendapatan nasional maka akan dilakukan pendugaan terhadap perilaku masing-
masing variabel. Dalam blok pendapatan nasional terdapat enam 6 persamaan perilaku yaitu persamaan Konsumsi Rumah Tangga CONS, Konsumsi
Pemerintah CONG, Investasi Swasta INVT, Investasi Pemerintah INVG, Ekspor EXPO, dan Impor IMPO.
Hasil dari pendugaan model diketahui bahwa konsumsi rumah tangga sangat dipengaruhi oleh variabel lag atau konsumsi tahun sebelumnya dan
pendapatan yang siap dibelanjakan disposable income masyarakat. Hasil pendugaan perilaku konsumsi rumah tangga pada Tabel 27 menunjukkan bahwa
respon konsumsi rumah tangga terhadap perubahan pendapatan disposable cukup elastis dalam jangka panjang. Pengaruh variabel lag yang signifikan menunjukkan
pola konsumsi masyarakat tidak mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Hal ini juga mengindikasikan bahwa distribusi pendapatan masyarakat
juga tidak banyak mengalami perubahan. Kondisi ini juga sekaligus menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tidak banyak berpengaruh terhadap pola dan
distribusi pendapatan disposable masyarakat.
Hal ini ditunjukkan besarnya angka Koefisien Gini Gini Coefficient Indonesia yang diterbitkan Badan Pusat Statistik BPS, yang menyatakan bahwa
kesenjangan di Indonesia tak kunjung membaik. Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan distribusi, nilai 0 menyatakan kesetaraan total dan nilai 1
ketidaksetaraan maksimal. Pada tahun 1999, koefisien Gini Indonesia berada di level 0.31 selanjutnya pada tahun 2005 dan 2009 justru meningkat berada pada
level 0.36 dan 0.37. Pada tahun 2010 koefisien gini kembali berada pada level 0.33. Besarnya koefisien gini menunjukkan terjadinya kesenjangan atau
ketimpangan pendapatan antara masyarakat yang kaya dan masyarakat yang miskin. Pola dan distribusi pendapatan masyarakat ini berpengaruh signifikan
terhadap pola konsumsi masyarakat.
Tabel 27. Hasil Estimasi Perilaku Konsumsi Rumah Tangga
Variable Parameter
Estimate Elastisitas
Pr |t| Variable
E
SR
E
LR
Intercept
-21657.4 0.0143 Intercept
Yd
0.174135
0.28492 1.3638
.0001 a Disposable Income
LCONS
0.79108 .0001 a Lag Konsumsi Swasta
Uji F = 7948.43 Prop F = .0001 R2 = 0.99768
DW=1.2884
Keterangan : a nyata pada taraf 0.01
Pendapatan disposable dipengaruhi oleh kebijakan perpajakan dan subsidi. Instrumen perpajakan dan subsidi idealnya adalah sebagai instrumen
untuk pemerataan pendapatan antar golongan penerima pendapatan di masyarakat. Yaitu dengan membebankan pajak yang progresif untuk masyarakat yang
berpenghasilan tinggi dan memberikan subsidi untuk golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Pajak progresif seharusnya tidak hanya dibebankan
melalui Pajak Penghasilan PPh masyarakat yang berpenghasilan tinggi, namun