kenaikkan suku bunga dan fluktuasi nilai tukar telah berdampak signifikan terhadap peningkatan beban pembayaran beban bunga pemerintah.
Tabel 28. Hasil Estimasi Perilaku Konsumsi Pemerintah
Variable Parameter
Estimate Elastisitas
Pr |t| Variable
E
SR
E
LR
Intercept
5646.629
0.0263
Intercept
RDOM
0.019354
0.0409 0.7090
0.0031
a
Penerimaan dalam Negeri
dk 17120.53
0.0650 b
Dummy Krisis
LCONG
0.942246
.0001 a Lag Cons Pemerintah
Uji F = 1454.77 Prop F = .0001 R2 = 0.98744
DW=2.037197
Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf 0.01 dan 0.05 Hasil pendugaan dari persamaan Investasi Swasta pada Tabel 29 diperoleh
bahwa pendapatan nasional mempunyai pengaruh positif terhadap Investasi, sementara suku bunga investasi riil berpengaruh negatif terhadap investasi.
Namun peningkatan pendapatan nasional hanya berpengaruh sangat kecil terhadap peningkatan Investasi. Setiap kenaikkan Rp1 miliar pendapatan nasional hanya
berdampak pada peningkatan Investasi sekitar Rp0.07 miliar. Dalam jangka pendek elastisitas pendapatan nasional terhadap investasi swasta adalah inelastis
hanya 0.33, namun dalam jangka panjang cukup elastis yaitu 1.31. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam jangka pendek pertumbuhan ekonomi tidak mampu
mendorong tumbuhnya investasi. Begitu juga sebaliknya, Investasi hanya berkontribusi kecil terhadap pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, peningkatan suku bunga investasi riil sebesar 1 persen akan berdampak pada penurunan Investasi sebesar Rp456 miliar. Artinya suku bunga
investasi riil tidak mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap investasi. Elastisitas jangka pendek maupun jangka panjang suku bunga riil terhadap
investasi hanya sebesar -0.02 dan -0.11. Artinya investasi swasta di Indonesia tidak responsif terhadap perubahan suku bunga riil. Kondisi ini dapat juga
dipengaruhi oleh adanya rigiditas perubahan suku bunga. Tingkat suku bunga investasi di Indonesia relatif sangat rigid atau kaku untuk berubah. Kekakuan ini
antara lain disebabkan pengaruh struktur perbankan di Indonesia yang cenderung oligopoli atau terjadi kartel. Pangsa pasar perbankan hanya didominasi oleh
beberapa bank besar saja. Rendahnya pengaruh perubahan suku bunga riil terhadap investasi juga menunjukkan bahwa masih banyak variabel lain diluar
suku bunga yang berpengaruh signifikan terhadap investasi. Variabel lain yang menentukan minat investasi diluar faktor suku bunga, diantaranya seperti faktor
iklim investasi, cost of doing bussines dan tersedianya infrastruktur yang memadai.
Tabel 29. Hasil Estimasi Perilaku Investasi Swasta
Variable Parameter
Estimate Elastisitas
Pr |t| Variable
E
SR
E
LR
Intercept -2322.85
0.8132
Intercept SBINV
-490.49 -0.02661
-0.104
0.4499
Suku Bunga Investasi PDBI
0.073881 0.33533
1.3087
0.0056 a
Produk Domestik Bruto LINVT
0.743766
.0001 a
Lag Investasi Swasta Uji F =
344.71
Prop F = .0001 R2 =
0.96636
DW=
1.283074
Keterangan : a nyata pada taraf 0.01 Rendahnya minat investasi swasta di Indonesia disebabkan adalah iklim
investasi yang tidak kondusif, seperti berbelitnya proses perijinan dan lamanya birokrasi. Dibandingkan dengan negara-negara lain iklim investasi di Indonesia
masih kurang menarik. Hal ini ditunjukkan oleh peringkat daya tarik investasi Indonesia masih berada para peringkat ke 129. Rendahnya peringkat daya tarik
Indonesia untuk berinvestasi bukan dikarenakan Indonesia tidak memiliki potensi untuk berinvestasi. Potensi sumber daya resource base Indonesia sangat
berlimpah, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Investor kurang tertarik berinvestasi di Indonesia karena lamanya proses perijinan untuk
mulai berinvestasi 45 hari dan banyaknya prosedur yang harus dilalui untuk memulai usaha sebagaimana ditunjukkan Tabel 30.
Tabel 30. Biaya Transaksi Perijinan Mulai Usaha
NEGARA Peringkat
Daya Saing Jumlah Hari
Mulai Bisnis Jumlah
Prosedur Mulai Bisnis
Biaya thd Pendapatan
kapita
Singapura 1
3 3
0,7 Malaysia
18 6
4 16,4
Thailand 17
29 5
6,2 Brunei
83 101
15 11,8
Vietnam 98
44 9
10,6 INDONESIA
129 45
8 17,9
Filipina 136
35 15
19,2 Kamboja
138 856
9 109,7
Laos 165
93 7
7,6 Sumber : World Bank, 2011
Kondisi yang hampir sama juga ditunjukkan oleh perilaku investasi
pemerintah. Tabel 31 menunjukkan hasil pendugaan terhadap Investasi Pemerintah, dimana Investasi pemerintah dipengaruhi oleh tingkat suku bunga
SBI, krisis ekonomi dan belanja modal. Tingkat suku bunga SBI dan krisis ekonomi mempunyai hubungan negatif sementara belanja modal mempunyai
hubungan yang positif terhadap investasi pemerintah. Jika terjadi kenaikkan suku bunga SBI 3 bulan sebesar 1 persen akan berdampak pada penurunan Investasi
Pemerintah sekitar Rp581 miliar. Demikian juga krisis ekonomi telah berdampak pada berkurangnya investasi pemerintah. Dengan adanya krisis pengeluaran
pemerintah yang bersifat rutin meningkat sehingga porsi pengeluaran untuk investasi jadi semakin berkurang.
Faktor lain yang menentukan besarnya Investasi Pemerintah adalah belanja modal, karena belanja modal merupakan komponen pengeluaran
pemerintah yang diperuntukkan untuk investasi. Sayangnya, belanja modal yang menjadi investasi pemerintah relatif sangat kecil. Jika terjadi peningkatan belanja
modal sebesar Rp1 miliar maka investasi pemerintah hanya naik sebesar Rp 0,29 miliar. Artinya dari besarnya belanja modal pemerintah, hanya sekitar 30 persen
yang berbentuk investasi pemerintah. Hal ini sekaligus mengindikasikan terjadinya inefisiensi, kebocoran atau ketidak efektifan dari belanja modal
pemerintah. Ketidakefektifan belanja modal bisa jadi dipengaruhi oleh pola penyerapan
anggaran yang buruk, dimana rata-rata penyerapan anggaran terkonsentrasi pada triwulan III dan bahkan akhir triwulan IV. Dengan singkatnya waktu penyerapan
anggaran, niscaya akan berdampak pada kualitas penyerapan anggaran. Belanja modal yang yang dialokasikan dengan waktu kurang dari 6 bulan, tentu tidak akan
menghasilkan pembangunan infrastruktur yang memadai, yang pada akhirnya akan mengurangi nilai dari investasi pemerintah. Rendahnya porsi belanja modal
dan singkatnya waktu penyerapan anggaran berakibat pada alokasi belanja modal tidak sepenuhnya diperuntukkan pada pembangunan infrastruktur baru.
Pembangunan infrastruktur hanya berupa perbaikan dari infrastruktur yang telah ada dan hanya bersifat tambal sulam. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan,
dimana dengan proporsi belanja modal yang sangat kecil masih menghadapi kualitas alokasi anggaran yang tidak tepat.
Permasalahan ini akan berimplikasi pada efektifitas peranan belanja modal yang seharusnya dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi. Hasil pendugaan
persamaan ini hanya memiliki derajat kepercayaan sebesar 57.9 persen, namun mempunyai tingkat kesalahan yang relatif kecil, yaitu kurang dari 1 persen.
Artinya secara statistik pendugaan ini signifikan, namun masih ada variabel lain yang mempengaruhi perilaku investasi pemerintah diluar faktor suku bunga dan
belanja modal.
Tabel 31. Hasil Estimasi Perilaku Investasi Pemerintah
Variable Parameter
Estimate Elastisitas
Pr |t| Variable
E
SR
E
LR
Intercept
16260.38 0.0064 Intercept
SBI3
-462.6
-0.11005 0.0000
0.1723 c SBI3
BMDL
0.292368
0.15927 0.0000
0.0660 b Belanja Modal
dk
-13269.6 0.0503b Dummy Krisis
LINVG
0.61136 0.0013 a Lag Invesasi Pemerintah
Uji F =11.67 Prop F = .0001
R2 = 0.57149 DW=2.240126
Keterangan : a, b, c nyata masing-masing pada taraf 0.01, 0.05 dan 0.10.
Hasil pendugaan pada persamaan ekspor menunjukkan bahwa ekspor Indonesia mempunyai hubungan yang negatif dengan nilai tukar rupiah.
Elastisitas nilai tukar riil terhadap ekspor Indonesia adalah inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya ketika nilai tukar riil mengalami
depresiasi 1 persen, maka dalam jangka pendek ekspor hanya meningkat sebesar 0.01 persen. Tingkat respon yang rendah antara ekspor dengan nilai tukar riil ini
disebabkan karena besarnya bahan baku impor pada struktur produk-produk ekspor Indonesia. Jadi ketika rupiah mengalami depresiasi, tidak secara otomatis
akan meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia dari sisi harga.
Disamping itu, ekspor Indonesia didominasi oleh ekspor komoditas primer yang memiliki permintaan inelastis terhadap perubahan harga.
Tabel 32 menunjukkan disamping dipengaruhi nilai tukar riil, kinerja ekspor juga dipengaruhi secara positif oleh indeks harga ekspor, investasi swasta
dan permintaan dunia. Namun ketiga variabel ini juga mempunyai tingkat respon yang inelastis terhadap perubahan. Indeks harga ekspor hanya mempunyai
elastisitas sebesar 0.19 dan permintaan dunia sebesar 0.05. Sementara investasi swasta relatif cukup mempunyai dampak terhadap kinerja ekspor dengan
elastisitas sebesar 0.58. Variabel lag tidak dimasukkan dalam persamaan ekspor dikarenakan kinerja ekspor sangat dinamis tergantung pada kondisi perekonomian
global. Tabel 32. Hasil Estimasi Perilaku Ekspor
Variable Parameter
Estimate Elastisitas
Pr |t| Variable
E
SR
E
LR
Intercept 88807.66
0.0003 Intercept
EXRR -3.05396
-0.01261 -
0.5186 Nilai Tukar Riil
IHE 34055.77
0.19135 -
.0001 a Indeks Harga Export
INVT 1.128624
0.5784 -
.0001 a Investasi Swasta
GIWL 9067.399
0.0464 -
0.2111 c Pertumb. Ekonomi Dunia
Uji F =
258.38
Prop F = .0001 R2 =
0.96724
DW=
1.233002
Keterangan : a, c nyata masing-masing pada taraf 0.01 dan 0.10. Sementara itu hasil pendugaan dari persamaan impor pada Tabel 33
menunjukkan bahwa pendapatan nasional mempunyai pengaruh positif terhadap impor. Setiap peningkatan pendapatan nasional sebesar Rp1 miliar berpengaruh
pada peningkatan impor sebesar 0.21 miliar. Atau dalam jangka pendek setiap terjadi kenaikkan pendapatan nasional 1 persen maka akan terjadi peningkatan
impor sebesar 0.64 persen. Demikian juga sebaliknya ketika terjadi penurunan
pendapatan nasional, penurunan permintaan impor juga tidak terlalu signifikan. Dalam jangka panjang hubungan pendapatan nasional dengan permintaan impor
cukup elastis, yaitu sebesar 1.64. Demikian juga indeks harga impor mempunyai hubungan yang sangat
tidak elastis terhadap permintaan impor. Setiap terjadi kenaikan indeks harga impor 1 persen hanya berdampak penurunan permintaan impor sebesar 0.08
dalam jangka pendek dan 0.22 dalam jangka panjang. Kondisi ini menunjukkan bahwa adanya ketergantungan Indonesia terhadap produk impor yang sangat
tinggi, sehingga perubahan harga tidak akan berdampak signifikan terhadap perilaku impor. Hal ini disebabkan permintaan impor Indonesia tidak hanya
terbatas pada barang konsumsi, namun juga permintaan terhadap impor bahan baku, bahan penolong dan barang modal.
Tabel 33. Hasil Estimasi Perilaku Impor
Variable Parameter
Estimate Elastisitas
Pr |t| Variable
E
SR
E
LR
Intercept -44520.5
0.0885 Intercept
IHM -14753.1
-0.08863 -0.2265
0.1245 c IHM
PDBI 0.212936
0.64269 1.6426
0.0005 a Produk Domestik Bruto
LIMPO 0.60874
.0001 a Lag Import
Uji F =
247.57
Prop F = .0001 R2 =
0.95377
DW=
1.984543
Keterangan : a, c nyata masing-masing pada taraf 0.01 dan 0.10.
6.2.2. Blok Fiskal
Pada blok fiskal akan dianalisis mengenai perilaku penerimaan pemerintah dan perilaku belanja pemerintah. Sesuai dengan tujuan penelitian,
maka porsi analisis untuk belanja pemerintah akan lebih detail per jenis belanja. Sementara perilaku penerimaan pemerintah hanya akan dianalisis dari perilaku
total penerimaan yang bersumber dari pajak. Seperti diketahui kontributor terbesar
dari penerimaan dalam negeri bersumber dari penerimaan pajak. Oleh karenanya dalam model simultan ini, hanya perilaku penerimaan pajak yang akan diestimasi.
Hasil pendugaan model perilaku Pajak pada Tabel 34 menunjukkan bahwa penerimaan pajak dipengaruhi secara positif oleh pertumbuhan ekonomi.
Namun, kontribusi pertumbuhan ekonomi terhadap peningkatan penerimaan pajak relatif masih sangat kecil, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Jika terjadi
peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen, maka penerimaan pajak hanya meningkat sebesar 0.03 persen dalam jangka pendek dan 0.04 dalam jangka
panjang. Respon ini sekaligus menunjukkan masih rendahnya penerimaan pajak di Indonesia, dimana tax ratio Indonesia baru mencapai 12.5 persen terhadap GDP.
Sementara total belanja pemerintah berpengaruh relatif lebih elastis terhadap peningkatan penerimaan pajak. Setiap kenaikkan 1 persen total belanja
pemerintah, berdampak pada peningkatan penerimaan pajak sebesar 0.94 persen dalam jangka pendek dan 1.07 persen dalam jangka panjang. Artinya total belanja
pemerintah relatif mampu mendorong peningkatan penerimaan pajak. Hal ini dapat dipahami karena kontributor utama penerimaan pajak di Indonesia adalah
pajak penghasilan dan pertambahan nilai. Sementara komponen terbesar total belanja pemerintah adalah untuk belanja pegawai, sehingga ketika terjadi
peningkatan belanja pemerintah akan diikuti dengan penerimaan pajak. Tabel 34. Hasil Estimasi Perilaku Penerimaan Pajak
Variable Parameter
Estimate Elastisitas
Pr |t| Variable
E
SR
E
LR
Intercept -9723.07
0.0232 Intercept
GPDBI 823.3645
0.03574 0.0405
0.1775 c Pertumbuhan Ekonomi
BTOT 0.599909
0.94491 1.0707
.0001 a Total Belanja
LRTAX 0.117506
0.0690 b Lag Perimaan dari Pajak
Uji F =
3283.16
Prop F = .0001 R2 =
0.99636
DW=
1.849262
Keterangan : a, b, c nyata masing-masing pada taraf 0.01, 0.05. dan 0.10
Sisi blok fiskal yang lain ada blok belanja pemerintah yang akan dianalisis secara detail per jenis belanja, baik belanja pemerintah pusat maupun
belanja transfer daerah. Belanja Pemerintah pusat terdiri dari enam 6 persamaan, yaitu Belanja Pegawai BPGW, Belanja Barang BBRG, Belanja Modal
BMDL, Pembayaran Bunga Utang BTUG, dan Belanja Subsidi BBM SBBM, dan Belanja Subsidi Non BBM SNBM. Sementara pendugaan
terhadap belanja transfer daerah terdiri 3 persamaan yaitu belanja Dana Alokasi Umum BDAU, Belanja Dana Alokasi Khusus BDAK, dan Belanja Dana Bagi
Hasil BDBH. 6.2.2.1. Belanja Pegawai
Belanja pegawai merupakan jenis belanja rutin dari pemerintah pusat yang dialokasikan untuk membayar gaji pegawai, baik untuk gaji pegawai negeri
sipil PNS maupun untuk gaji Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia TNIPOLRI. Gambar 32 menunjukkan komposisi dari
alokasi belanja pegawai selama tahun 2006-2010. Komponen terbesar belanja pegawai adalah untuk pembayaran uang pensiun dan uang tunggu. Komposisi
belanja untuk pembayaran gaji dan tunjangan untuk PNS dan TNIPOLRI hampir sama, dimana kebutuhan untuk pembayaran gaji PNS mencapai sekitar Rp31
triliun dan untuk TNIPOLRI sekitar Rp28 triliun. Diluar untuk gaji dan tunjangan, komponen belanja pegawai juga dialokasikan untuk gaji dan tunjangan
pejabat negara sekitar 568 miliar dan untuk honorarium, lembur dan vakasi sekitar Rp5.6 triliun. Alokasi belanja pegawai dalam APBN merupakan belanja rutin dan
mengambil porsi terbesar dalam komposisi belanja pemerintah pusat. Tingginya beban belanja pegwai terkait dengan luasnya wilayah teritorial Indonesia,
sehingga memerlukan jumlah aparatur pemerintahan yang cukup besar.
Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010 Gambar 31. Komposisi Penggunaan Belanja Pegawai Tahun 2006-2010
Hasil pendugaan dari persamaan belanja pegawai pada Tabel 35 menunjukkan bahwa tingkat inflasi, jumlah PNS, penerimaan pajak dan kebijakan
pemekaran wilayah mempunyai pengaruh yang positif terhadap besarnya belanja pegawai. Kebijakan pemekaran wilayah sejak tahun 2001 mempunyai hubungan
dan dampak signifikan terhadap besarnya belanja pegawai. Akibat kebijakan pemekaran wilayah ini, terjadi peningkatan jumlah Pegawai Negeri Sipil PNS
yang signifikan dan berujung pada meningkatnya gaji pegawai. Hasil dari pendugaan model, akibat kebijakan pemekaran wilayah ini berdampak pada
peningkatan belanja pegawai sekitar Rp 9.4 triliun. Peningkatan belanja pegawai disamping disebabkan oleh peningkatan
jumlah PNS, juga disebabkan oleh inflasi dan penerimaan pajak. Untuk mengimbangi laju inflasi, pemerintah telah melakukan kenaikan gaji berkala
10.000 20.000
30.000 40.000
Gaji dan Tunjangan PNS Gaji dan Tunjangan TNIPOLRI
Gaji dan Tunjangan Pejabat Negara Gaji dan Tunjangan Non
… Honorarium, Lembur, Vakasi
Tunjangan Khusus Belanja Pegawai …
Belanja Pensiunan dan Uang Tunggu Belanja Asuransi Kesehatan
Tunjangan Kesehatan Veteran Lainnya
31.390 28.929
567 568
5.206 5.614
36.902 1.068
99 134
untuk PNS. Sumbangan inflasi terhadap peningkatan belanja pegawai sebesar 0.02 persen dalam jangka pendek. Penerimaan pajak mempunyai elastisitas sedikit
lebih besar daripada inflasi yaitu 0.20 persen. Secara umum variabel yang paling signifikan terhadap besarnya belanja pegawai adalah belanja pegawai tahun
sebelumnya. Komposisi belanja pegawai juga hanya mengikuti pola dari tahun- tahun sebelumnya. Artinya struktur besarnya gaji pokok, tunjangan, honorarium
dan sebagainya sudah ditentukan polanya. Terbukti walaupun terjadi kenaikkan gaji berkala dari gaji PNSdan TNIPolri namun jumlah dan besarnya sudah
ditentukan secara fixed dengan formula yang ada. Jadi perubahan besarnya gaji pegawai negeri sipil dan TNIPolri tidak serta merta mengikuti perkembangan
inflasi maupun besarnya penerimaan negara dari pajak. Kenaikkan besarnya gaji pegawai lebih ditentukan keputusan politik dari pemerintah.
Tabel 35. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Pegawai
Variable Parameter
Estimate Elastisitas
Pr |t| Variable
E
SR
E
LR
Intercept -816.713
0.6043 Intercept
PNS 0.000527
0.05996 0.3536
0.3045 c Jumlah PNS
INFL 47.90445
0.02412 0.1423
0.3622 Tingkat Inflasi
RTAX 0.039853
0.1960 1.156
0.0163 b Penerimaan Pajak
DO 9415.279
0.051 b Dummy Otonomi Daerah
LBPGW 0.830453
.0001 a Lag Belanja Pegawai
Uji F =
670.23
Prop F = .0001 R2 =
0.98996
DW=
2.624111
Keterangan : a, b, c nyata masing-masing pada taraf 0.01, 0.05. dan 0.10
6.2.2.2. Belanja Barang
Belanja barang adalah alokasi anggaran untuk membiayai keperluan operasional birokrasi, baik dalam bentuk pembelian barang maupun jasa.
Komponen terbesar belanja barang adalah untuk pembelian barang-barang
operasional, seperti Alat Tulis Kantor ATK, peralatan serta untuk keperluan perjalanan dinas. Dari gambar 30 dapat dilihat, alokasi belanja barang terbesar
adalah untuk belanja barang operasional, yaitu selama 2006-2010 rata-rata sebesar Rp21 triliun dan untuk belanja barang non operasional sekitar Rp14 triliun.
Komposisi antara belanja barang operasional dan non operasional ini hampir setara, sehingga besar kemungkinan terjadinya peluang tumpang tindih atau doble
anggaran. Komponen yang cukup besar berikutnya adalah belanja perjalanan dinas yang mencapai 12.5 triliun, yang meliputi perjalanan dinas di dalam dan ke
luar negeri. Porsi perjalanan dinas menyedot alokasi anggaran cukup besar jika dibandingkan dengan total belanja yang dibutuhkan untuk belanja barang
operasional maupun non operasional. Porsi perjalanan dinas mencapai 12.5 persen, hampir sama dengan porsi belanja non operasional 14.9 persen. Perjalanan
dinas yang berkontribusi besar adalah perjalanan dinas ke luar negeri.
Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010
Gambar 32. Komposisi Penggunaan Belanja Barang, Tahun 2006-2010
5.000 10.000
15.000 20.000
25.000 Barang Operasional
Barang Non Operasional Belanja Jasa
Perjalanan Belanja Barang BLU
20.959 14.914
9.671 12.503
3.471
Hasil estimasi terhadap persamaan belanja barang Tabel 36 menunjukkan bahwa variabel investasi Pemerintah, total penerimaan negara dan variabel lag
belanja barang memiliki hubungan dengan arah positif terhadap belanja barang. Idealnya besarnya belanja barang sejalan dengan besarnya investasi pemerinatah.
Karena belanja barang digunakan untuk menunjang kebutuhan operasional mapun non operasional dari kegiatan yang dilakukan pemerintah. Belanja barang dan
investasi pemerintah mempunyai hubungan yang inelastis. Setiap kenaikan investasi pemerintah sebesar 1 persen hanya berpengaruh pada peningkatan
belanja barang sebesar 0.03 persen. Artinya penentuan besarnya kebutuhan belanja barang tidak ditentukan oleh volume kegiatan pemerintah. Padahal setiap
investasi pemerintah mustinya harus dibarengi dengan biaya operasional seperti biaya pemeliharaan dari aset-aset pemerintah. Namun hubungan belanja barang
dan investasi pemerintah ini secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol. Belanja barang juga tidak dipengaruhi cukup elastis oleh total penerimaan
negara. Elastisitas jangka pendek penerimaan negara terhadap belanja barang hanya sebesar 0.23. Namun dalam jangka panjang total penerimaan negara
mempunyai hubungan yang sangat elastis terhadap belanja barang, yaitu 24.26. Faktor yang paling signifikan mempengaruhi belanja barang adalah variabel lag
belanja barang itu sendiri. Hal ini semakin menegaskan bahwa pola belanja pemerintah hanya mengikuti pola belanja yang terjadi pada tahun-tahun
sebelumnya. Hampir tidak ada perubahan dari komposisi belanja barang dari tahun ke tahun. Faktor fundamental, seperti kegiatan pemerintah yang di proksi
dari Investasi Pemerintah, yang seharusnya berpengaruh paling signifikan
terhadap belanja barang justru tidak mempunyai hubungan yang signifikan secara statistik.
Tabel 36. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Barang
Variable Parameter
Estimate Elastisitas
Pr |t| Variable
E
SR
E
LR
Intercept -703.527
0.6489 Intercept
INVG 0.009238
0.03237 3.3996
0.8102 Investasi Pemerintah
TREV 0.01588
0.23098 24.2573
0.0487 a Total Penerimaan
LBBRG 0.990478
.0001a Lag Belanja Barang
Uji F =
402.45
Prop F = .0001 R2 =
0.97105
DW=
2.398695
Keterangan : a nyata pada taraf 0.01. 6.2.2.3. Belanja Modal
Belanja modal memiliki peranan yang strategis dalam perekonomian. Belanja modal dapat digunakan untuk membiayai berbagai keperluan
pembangunan infrastruktur. Dengan tersedianya infrastruktur yang memadai maka akan mendorong terjadinya peningkatan investasi dan peningkatan kinerja sektor
riil. Peningkatan Investasi juga akan berdampak pada peningkatan kinerja ekspor dan dapat mengurangi permintaan impor. Dengan adanya peningkatan belanja
modal maka peranan stimulus fiskal dalam perekonomian akan lebih optimal. Penggunaan belanja modal terbesar adalah untuk pembangunan jalan,
irigasi dan jaringan. Ketiga infrastruktur ini memang sangat besar peranannya dalam menunjang kinerja sektor riil. Disamping itu pembangunan infrastruktur,
belanja modal juga dipergunakan untuk pembelian peralatan dan mesin untuk kebutuhan jangka panjang atau bersifat investasi. Sementara peralatan untuk
keperluan operasional dialokasikan dari belanja barang. Namun data selama tahun 2006-2010, belanja modal juga dipergunakan untuk pembangunan gedung dengan
porsi yang masih cukup signifikan, yaitu mencapai Rp14 triliun. Sementara untuk
pembangunan infrastruktur jalan hanya sekitar Rp28 triliun, serta peralatan dan mesin sebesar Rp21 triliun.
Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010
Gambar 33. Komposisi Penggunaan Belanja Modal, Tahun 2006-2010
Hasil estimasi pada persamaan belanja modal Tabel 37 menunjukkan penerimaan dalam negeri mempunyai hubungan yang positif namun hanya
mempunyai pengaruh yang kecil terhadap besarnya belanja modal. Setiap peningkatan penerimaan dalam negeri sebesar Rp1 miliar yang dialokasikan untuk
belanja modal hanya sebesar Rp 0.03 miliar. Karenanya, elastisitas penerimaan domestik terhadap belanja modal hanya sebesar 0.22 dalam jangka pendek dan
0.55 dalam jangka panjang. Hal ini juga ditunjukkan oleh rendahnya proporsi belanja modal pada struktur belanja pemerintah. Padahal belanja modal
semestinya merupakan salah satu instrumen untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri. Karena dengan adanya peningkatan belanja modal, maka akan
meningkatkan investasi, ekspor dan juga konsumsi. Peningkatan sektor-sektor
5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000
Tanah Peralatan Mesin
Gedung Jalan, irigasi, Jaringan
Pemeliharaan Fisik Lainnya
BLU, Bergulir lainnya
1.625 21.676
14.060 28.290
212 2.976
794
tersebut yang pada akhirnya menjadi sumber penerimaan negara baik melalui mekanisme pajak maupun non pajak.
Dalam model ini juga ditunjukkan adanya pengaruh perubahan struktur anggaran terhadap belanja modal. Sebelum tahun 2001, komponen belanja modal
merupakan belanja pembangunan. Dalam komponen belanja pembangunan juga termasuk dalam belanja pembangunan yang diperuntukkan untuk daerah.
Sementara setelah tahun 2001, komponen belanja modal hanya merupakan komponen belanja pemerintah pusat.
Tabel 37. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Modal
Variable Parameter
Estimate Elastisitas
Pr |t| Variable
E
SR
E
LR
Intercept 4628.47
0.0259 Intercept
RDOM 0.030049
0.22798 0.54145
0.0187 a Penerimaan Dalam Negeri
DSPA 4709.395
0.5098 Dummy Perubahan Anggaran
LBMDL 0.578954
0.0001a Lag Belanja Modal
Uji F =
93.57
Prop F = .0001 R2 =
0.88633
DW=
2.180795
Keterangan : a nyata pada taraf 0.01 6.2.2.4. Belanja Pembayaran Bunga Utang
Komponen belanja pembayaran bunga utang terbesar adalah untuk pembayaran bunga utang luar negeri dan bunga utang dalam negeri. Data selama
2006-2010 menunjukkan beban bunga utang dalam negeri jangka panjang rata- rata mencapai Rp 27 triliun. Sementara beban pembayaran utang luar negeri
jangka panjang telah mencapai Rp 55 triliun. Disamping pembayaran beban bunga utang jangka panjang, belanja bunga juga harus dialokasikan untuk
pembayaran imbalan dan discount terhadap Surat Berharga Syariah Negara SBSN dan Surat Utang Negara SUN. Dalam tiga tahun terakhir jumlah SBSN
maupun SUN telah menunjukkan pertumbuhan yang sangat signifikan. Hal ini tentunya akan berdampak pada peningkatan beban pembayaran imbal jasa SUN
dan SBSN.
Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010
Gambar 34. Komposisi Belanja Pembayaran Bunga Utang, Tahun 2006-2010
Hasil pendugaan dari persamaan belanja pemerintah untuk pembayaran
bunga utang Tabel 38 menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi besarnya beban pembayaran bunga utang adalah besarnya
akumulasi atau stok utang pemerintah. Hal ini menunjukkan adanya penambahan utang baru pemerintah secara terus menerus. Elastisitas stok utang pemerintah
terhadap beban pembayaran bunga utang adalah sebesar 0.64 dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang elastisitasnya lebih rendah yaitu 0.12. Hal
ini dikarenakan dalam jangka panjang stok utang pemerintah tentu mengalami penurunan akibat pembayaran cicilan pokok utang.
10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 Bunga Utang DN-Jangka Panjang
Bunga Utang LN-Jangka Panjang Imbalan SBSN DN
Imbalan SBSN LN Discount SUN DN
SUN LN Loss on Bound Redemption Buy Back
… Imbalan SBSN DN
Pembayaran Denda
55.198 27.856
1.997 400
3.737 208
469 29
1.189
Besarnya pengaruh akumulasi utang terhadap beban pembayaran bunga disebabkan oleh kebijakan defisit fiskal yang selalu ditutup dengan utang baru.
Hasil pendugaan, defisit fiskal mempunyai hubungan yang positif terhadap beban pembayaran bunga dengan taraf kepercayaan
= 10. Dengan demikian
kebijakan defisit anggaran yang tidak dikelola dengan baik akan berdampak pada peningkatan beban anggaran itu sendiri pada tahun berikutnya.
Tabel 38. Hasil Estimasi Perilaku Pembayaran Bunga Utang
Variable Parameter
Estimate Elastisitas
Pr |t| Variable
E
SR
E
LR
Intercept -2404.62
0.6603 Intercept
DFIS 0.134982
0.06496 0.1427
0.2404 c Defisit Fiskal
LIBOR3 120.0732
0.00076 0.0017
0.8381 LIBOR3
DEBT 0.056453
0.63788 0.1240 .0001 a
Stok Utang Pemerintah LBUTG
0.544715 .0001 a
Lag Belanja Pemby. Utang Uji F =
117.25
Prop F = .0001 R2 =
0.93055
DW=
1.754319
Keterangan : a, c nyata masing-masing pada taraf 0.01 dan 0.10. Hal yang menarik dari pendugaan perilaku persamaan pembayaran bunga
ini adalah bahwa suku bunga internasional mempunyai hubungan yang tidak signifikan secara statistik. Suku bunga internasional yang di proxy dari suku
bunga LIBOR 3 bulan merupakan variabel yang menentukan besarnya beban bunga yang harus dibayar oleh pemerintah. Jika hasil pendugaan besarnya tingkat
bunga secara statistik tidak signifikan artinya bahwa beban terbesar beban pembayaran bunga utang bukan terletak pada besar kecilnya tingkat suku bunga,
namun namun pada besarnya akumulasi utang pemerintah. Tingkat suku bunga yang rendah sering menjadi justifikasi atau pembenaran pemerintah untuk selalu
menambah utang baru. Walaupun dengan suku bunga yang rendah, namun jika
stok utang pemerintah terus bertambah maka beban pembayaran bunga akan sangat besar.
Elastisitas suku bunga riil terhadap beban pembayaran utang pemerintah juga relatif tidak elastis. Hal ini disebabkan hampir semua utang Pemerintah
adalah utang jangka panjang dimana beban tingkat suku bunga sudah ditentukan secara tertentu pada awal perjanjian. Artinya perubahan tingkat suku bunga pada
utang pemerintah relatif kecil. Oleh sebab itu, kedepan faktor yang harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam menentukan besar kecilnya utang baru adalah
tidak hanya memperhatikan rendahnya tingkat bunga namun juga posisi stok atau akumulasi utang pemerintah.
Pemerintah selalu menggunakan indikator untuk mengukur tingkat aman dari utang pemerintah adalah rasio utang terhadap GDP dan rasio utang terhadap
ekspor. Likuiditas perekonomian seharusnya dilihat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jika hanya dilihat dari rasio stok utang terhadap GDP,
dimana pada tahun 2010 rasio utang Indonesia masih dalam level 41.9 persen memang masih berada pada level batas aman. Namun pembayaran bunga dan
pokok utang ini kini sudah menjadi beban berat dalam APBN. Tabel 39 menunjukkan bahwa rasio beban bunga dan pokok terhadap penerimaan dalam
negeri sebesar 17.5 persen dan terhadap penerimaan pajak sebesar 24 persen. Artinya bahwa sekitar 24 persen dari hasil penerimaan pajak dari masyarakat
habis untuk membayar bunga utang pemerintah. Apalagi jika dilihat dari posisi akumulasi utang pemerintah terhadap penerimaan dalam negeri sudah mencapai
97.77 persen. Besarnya akumulasi utang ini berpotensi menimbulkan jebakan utang debt trap.
Tabel 39. Indikator Rasio Utang Pemerintah Indonesia Rp Miliar
No Uraian
1980 1990
2000 2010
A Pendapatan Nasional GDP
556 925 950 478
1 389 770 2 310 690
B Penerimaan Dalam Negeri
9 933 42 193
205 335 992 248
C Penerimaan Pajak
2 912 22 011
115 913 723 307
D Total Belanja Pusat
8 895 32 867
188 392 697 407
E Pembayaran Bunga Utang
407.7 4 959.2
50 068.1 105 650.2
F Pembayaran Bunga + Pokok
754 12,577
57,691 173,681
G Stok Utang Pemerintah
8 147 83 119
630 951 970 102
Rasio E terhadap B 4.10
11.75 24.38
10.65 Rasio E terhadap C
14.00 22.53
43.19 14.61
Rasio E terhadap D 4.58
15.09 26.58
15.15 Rasio F terhadap B
7.59 29.81
28.10 17.50
Rasio F terhadap C 25.90
57.14 49.77
24.01 Rasio F terhadap D
8.48 38.27
30.62 24.90
Rasio G terhadap A 1.46
8.74 45.40
41.98 Rasio G terhadap B
82.02 197.00
307.28 97.77
Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Berbagai Tahun 6.2.2.5. Belanja Subsidi Non BBM
Kebijakan belanja subsidi Non BBM terbesar adalah untuk subsidi listrik, selebihnya dengan porsi yang relatif kecil diperuntukkan untuk subsidi pangan,
subsidi pupuk, subsidi benih dan lainnya. Subsidi non BBM ini idealnya adalah ditujukan
untuk program
pengentasan kemiskinan
dan pengurangan
pengangguaran. Subsidi non BBM semestinya tidak hanya ditujukan untuk program-program peningkatan konsumsi masyarakat seperti program bantuan
langsung tunai BLT dan Beras untuk masyarakat miskin Raskin. Subsidi Non BBM akan lebih baik kalau dialokasikan untuk kegiatan yang
meningkatkan produktifitas, seperti subsidi benih, peralatan pertanian ataupun subsidi pupuk. Dengan demikian akan dapat meningkatkan produktifitas di sektor
pertanian dan dengan sendirinya akan berkontribusi terhadap program pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Subsidi juga dapat diberikan pada
pemotongan pajak untuk usaha kecil dan menengah agar masyarakat miskin dapat meningkatkan usaha produktif, sehingga akan meningkatkan investasi.
Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010 Gambar 35. Komposisi Belanja Subsidi Non BBM, Tahun 2006-2010
Hasil pendugaan dari persamaan belanja subsidi non BBM pada Tabel 40 menunjukkan bahwa belanja subsidi Non BBM dipengaruhi secara positif oleh
jumlah penduduk miskin dan tingkat pengangguran. Besarnya jumlah penduduk miskin dan jumlah pengangguran mempunyai hubungan positif terhadap besarnya
belanja subsidi non BBM. Hal ini ditunjukan dengan koefisien parameter, dimana setiap kenaikkan 1 juta penduduk miskin, memerlukan tambahan alokasi belanja
subsidi non bbm sebesar Rp170 miliar atau elastisitasnya sebesar 0.73. Sayangnya belanja non subsidi BBm ini diberikan dalam bentuk Bantuan langsung tunai
BLT yang hanya berpengaruh pada peningkatan konsumsi masyarakat. Juga
10.000 20.000
30.000 40.000
50.000 60.000
Subsidi Pangan Subsidi Listrik
Subsidi Benih Subsidi Pupuk
Subsidi Pajak Subsidi PSO
Subsidi Lainnya
10.428 50.904
1.074 12.270
12.973 1.373
822
ketika jumlah pengangguran meningkat 1 persen, maka belanja subsidi non BBM naik sebesar Rp 343 miliar atau elastisitasnya sebesar 0.24. Dalam jangka
panjang, baik tingkat pengangguran maupun tingkat kemiskinan mempunyai hubungan yang sangat elastis Tabel 38.
Tabel 40. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Subsidi Non BBM
Variable Parameter
Estimate Elastisitas
Pr |t| Variable
E
SR
E
LR
Intercept -6 361.93
0.3868 Intercept
PUNEM 343.6425
0.24470 37.45
0.5033 Tingkat Pengangguran
LNPOV 170.9685
0.73419 112.36
0.4306 Lag Juml. Penduduk Miskin
LSNBM 0.993466
.0001 a Lag Belanja Sub Non BBM
Uji F =
49.35
Prop F = .0001 R2 =
0.80439
DW=
2.219149
Keterangan : a nyata pada taraf 0.01 6.2.2.6. Belanja Subsidi BBM
Belanja subsidi BBM memakan porsi terbesar dari besarnya subsidi yang diberikan pemerintah, terutama untuk subsdi premium, minyak tanah dan minyak
solar Tabel 3. Data 2008 menunjukkan penurunan besarnya subsidi untuk minyak tanah karena adanya program konversi terhadap gas elpiji. Banyak hasil
studi menunjukkan bahwa subsidi premium tidak tepat sasaran, karena penerimanya lebih banyak golongan masyarakat berpendapatan menengah ke atas.
Besarnya subsidi BBM selalu menimbulkan kontroversi, hal ini dikarenakan BBM merupakan bahan bakar yang terkait langsung dengan kegiatan produksi maupun
konsumsi masyarakat. Kenaikkan harga BBM pasti akan disertai dengan kenaikkan harga barang-barang dan akhirnya akan berdampak pada tingkat inflasi.
Secara teoritis, sebanrnya inflasi tidak selalu berakibat negatif terhadap perekonomian. Kenaikan harga juga diperlukan untuk merangsang terjadinya
peningkatan aggregat supply. Jika kenaikkan harga ini dapat dikendalikan maka
kenaikkan aggregat supply justru akan diikuti oleh kenaikkan permintaan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010 Gambar 36. Komposisi Belanja Subsidi Non BBM, Tahun 2006-2010
Hasil estimasi dari persamaan belanja subsidi BBM pada Tabel 41 menunjukkan besarnya subsidi BBM sangat dipengaruhi oleh harga minyak dunia
dan besarnya impor migas. Faktor utama besarnya subsidi BBM, sebenarnya bukan terletak pada perubahan harga minyak dunia, namun lebih dikarenakan
kebutuhan impor migas yang cukup besar. Dalam model ini harga minyak mentah dunia telah dikonversi dalam mata uang rupiah, sehingga dapat langsung
dihubungkan dengan kebutuhan besarnya subsidi. Hasil estimasi menunjukkan setiap terjadi kenaikkan 1 persen harga minyak mentah dunia, menyebabkan
kenaikkan kebutuhan belanja subsidi BBM sebesar 0.02 persen. Namun jika terjadi kenaikan impor migas, terutama BBM, akan meningkatkan belanja subsidi
sebesar 16.55 persen. Artinya, besarnya kebutuhan belanja subsidi BBM sebanrnya bukan disebabkan oleh kenaikkan harga minyak mentah dunia, tapi
5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 35.000 Subsidi Premium
Subsidi Minyak Solar Subsidi Minyak Tanah
Subsidi Elpiji
30.548 23.851
26.512 8.882
karena besarnya kebutuhan impor migas untuk memenuhi tingginya permintaan BBM di dalam negeri. Sebagian besar kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri
berasal dari impor. Bahkan Indonesia sudah menjadi negara net importir BBM. Padahal pada tahun 1980-an Indonesia masih menjadi negara net eksportir BBM.
Peningkatan kebutuhan konsumsi terhadap BBM dalam negeri telah menyebabkan hubungan yang sangat erat antara besarnya kebutuhan impor dengan besarnya
subsidi BBM. Setiap kenaikkan Rp1 miliar impor BBM telah berdampak pada peningkatan subsidi BBM sekiatar Rp1.34 miliar.
Tabel 41. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Subsidi BBM
Variable Parameter
Estimate Elastisitas
Pr |t| Variable
E
SR
E
LR
Intercept -16 304.5
0.012 Intercept
POILR 0.191491
0.02236 0.0224
0.8381 Harga Minyak Mentah Riil
IMPM 1.341059
16.54799 16.5897
.0001a Impor Migas
LSBBM 0.002516
0.9842 Lag Belanja Subsidi BBM
Uji F =
85.11
Prop F = .0001 R2 =
0.87643
DW=
1.757323
Keterangan : a pada taraf 0.01 Permintaan terbesar konsumsi BBM adalah untuk memenuhi kebutuhan
transportasi masyarakat, terutama kebutuhan premium. Ketiadaan transportasi publik yang memadai menyebabkan masyarakat menggunakan kendaraan pribadi,
baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Pertumbuhan kendaraan pribadi yang sangat pesat ini menyebabkan daya tampung ruas jalan menjadi tidak
memadai. Akibatnya hampir di semua kota besar terjadi kemacetan, sehingga mengakibatkan pemborosan penggunaan BBM dan semakin meningkatnya
kebutuhan BBM. Sementara pemerintah belum mempunyai grand strategi untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap BBM. Oleh karenanya setiap
terjadi kenaikkan harga minyak dunia, pasti akan menimbulkan polemik
6.2.2.7. Belanja Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus DAK merupakan dana transfer daerah dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah
yang sesuai dengan prioritas nasional. DAK diperuntukkan untuk mempercepat pembangunan daerah dan mengurangi ketimpangan pembangunan antar daerah.
Kegiatan khusus daerah yang menjadi prioritas nasional utamanya adalah program pengentasan kemiskinan dan mengurangi pengangguran. Dengan demikian,
semestinya besarnya alokasi DAK dipengaruhi oleh tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Hasil pendugaan Belanja Dana Alokasi Khusus pada Tabel 42 menunjukkan bahwa dalam jangka pendek tingkat kemiskinan tidak mempunyai
pengaruh yang cukup elastis hanya 0.29 persen dalam menentukan besarnya DAK. Namun pengaruh tingkat kemiskinan terhadap DAK cukup besar, dimana
setiap kenaikan 1 persen tingkat kemiskinan mengakibatkan belanja DAK meningkat sebesar Rp 4.09 triliun.
Tabel 42. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Transfer Daerah
Variabel Parameter
Estimate Elastisitas
Pr |t| Variable
E
SR
E
LR
Intercept -1 244.02
0.3143 Intercept
RDOM 0.008843
0.57490 2.0729 .0001 a
Penerimaan dalam Negeri PNPOV
4 095.655 0.29543
1.0652 0.4725
Tingkat Kemiskinan LBDAK
0.722654 .0001 a
Lag Belanja Daerah DAK Uji F =
293.59
Prop F = .0001 R2 =
0.96073
DW=
1.570737
Keterangan : a nyata pada taraf 0.01 Namun hubungan ini secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol atau
tingkat kesalahan dari pendugaan ini cukup besar. Sementara penerimaan dalam negeri juga memiliki hubungan yang positif dengan belanja DAK, dengan
pengaruh yang tidak terlalu besar. Namun, secara statistik hubungan antara penerimaan dalam negeri dan belanja DAK mempunyai hubungan yang signifikan
denagan tingkat = 0.01 dan ditunjukkan dengan tingkat kesalahan yang sangat kecil dibawah 1 persen.
6.2.2.8. Belanja Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum DAU merupakan dana transfer daerah yang diperuntukkan untuk menjalankan tugas pelayanan pemerintahan di tingkat
daerah. Oleh sebab itu, salah satu formulasi penentuan besarnya DAU adalah luas wilayah dan jumlah penduduk yang harus dilayani oleh pemerintah daerah. Hasil
estimasi dari persamaan belanja DAU seperti dalam Tabel 43 menunjukkan bahwa jumlah penduduk mempunyai hubungan yang positif terhadap besarnya
belanja DAU. Setiap kenaikan 1 juta jumlah penduduk berpengaruh pada peningkatan dana DAU sebesar Rp240 miliar. Atau peningkatan 1 persen jumlah
penduduk berdampak pada peningkatan DAU sebesar 0.03 persen. Namun korelasi antara jumlah penduduk dan DAU ini secara statistik tidak berbeda nyata
dengan nol. Sementara jumlah penerimaan dalam negeri dan pendapatan domestik
bruto juga berpengaruh positif. Setiap peningkatan penerimaan dalam negeri sebesar Rp 1 miliar maka yang akan dialokasikan pada peningkatan belanja DAU
sebesar Rp0.11 miliar. Atau setiap peningkatan 1 persen penerimaan domestik dialokasikan untuk belanja DAU sebesar 0.58 persen. Namun hubungan ketiga
variabel tersebut dengan belanja DAU secara statistik tidak signifikan dengan tingkat kesalahan kesalahan pendugaan yang masih cukup besar. Variabel yang
signifikan hanyalah besarnya belanja DAU pada tahun sebelumnya. Bisa jadi
penentuan formula besarnya DAU hanya mengikuti pada pola tahun-tahun sebelumnya saja.
Tabel 43. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Dana Alokasi Umum
Variable Parameter
Estimate Elastisitas
Pr |t| Variable
E
SR
E
LR
Intercept -1 456.97
0.7837 Intercept
RDOM 0.118351
0.58192 1.1607 .0001 a Penerimaan dalam Negeri
PDBI -0.00017
-0.00494 -0.00985
0.9686 Produk Domestik Bruto
GPOPI 740.9836
0.03483 0.06947
0.6557 Pertumbuhan Penduduk
LBDAU 0.498646
.0001 a Lag Belanja Daerah DAU Uji F =
777.17
Prop F = .0001 R2 =
0.98887
DW=
1.959068
Keterangan : a nyata pada taraf 0.01 6.2.2.9. Belanja Dana Bagi Hasil
Belanja Bagi hasil merupakan dana transfer daerah yang ditujukan untuk memenuhi asas keadilan dan pemerataan antara pemerintah pusat dan daerah.
Seperti diketahui sumber daya alam baik yang berbentuk migas maupun non migas dihasilkan oleh daerah. Untuk itu harus adanya pembagian yang
proporsional terhadap hasil sumber daya tersebut antara pemerintah pusat dan daerah. Hasil pendugaan untuk persamaan Belanja Dana Bagi Hasil menunjukkan
bahwa pertumbuhan ekonomi dan penerimaan migas mempunyai hubungan yang sangat signifikan terhadap belanja dana bagi hasil. Hal ini dikarenakan belanja
bagi hasil sebagian besar berasal dari penerimaan migas. Setiap kenaikan Rp1 miliar penerimaan non migas yang dialokasikan untuk belanja bagi hasil sebesar
Rp0,1 miliar atau elastisitasnya sebesar 0.29. Sementara peningkatan penerimaan migas Rp1 miliar hanya berpengaruh terhadap besarnya dana bagi hasil sebesar
Rp0.88 miliar atau elastisitas jangka pendeknya sebesar 0.36. Disamping penerimaan, pertumbuhan ekonomi juga berpengaruh signifikan, setiap
peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen akan meningkatkan belanja dana bagi hasil sebesar Rp78 miliar atau sebesar 0.03 persen.
Tabel 44. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Transfer daerah Dana Bagi Hasil
Variable Parameter
Estimate Elastisitas
Pr |t| Variable
E
SR
E
LR
Intercept -1 258.84
0.0859 Intercept
RNMGS 0.099113
0.29013 0.5607 .0001 a
Penerimaan Non Migas RMGS
0.87792 0.36723
0.7097 .0001 a Penerimaan Migas
GPDBI 78.46814
0.02934 0.0567
0.4291 Pertumbuhan Ekonomi
LBDBH 0.482529
.0001 a Lag Belanja DBH
Uji F =
1648.12
Prop F = .0001 R2 =
0.99472
DW=
1.437371
Keterangan : a nyata pada taraf 0.01 6.2.3. Blok Kinerja Perekonomian
Pada blok kinerja perekonomian digunakan untuk mengukur perilaku dari indikator kinerja perekonomian, utamanya adalah pertumbuhan ekonomi,
kesempatan kerja dan tingkat kemiskianan. Namun demikian, karena persamaan pertumbuhan ekonomi merupakan persamaan identitas bukan persamaan perilaku
maka yang dapat diestimasi hanya persamaan tingkat kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan.
Untuk melihat tingkat kesempatan kerja akan di proxy dengan perilaku tingkat pengangguran. Hasil estimasi dari persamaan tingkat pengangguran
diketahui bahwa tingkat pengangguran sangat dipengaruhi oleh kenaikan rata-rata tingkat upah riil. Jika tingkat upah riil naik sebesar 1 persen maka tingkat
pengangguran akan naik sebesar 0.42 persen. Sedangkan total investasi berpengaruh negatif dan secara statistik cukup signifikan terhadap tingkat
pengangguran. Namun secara ekonomi, total investasi hanya berpengaruh kecil terhadap pengurangan pengangguran. Setiap kenaikkan 1 persen investasi total,
maka tingkat pengangguran akan turun sangat kecil sekali seperti yang ditunjukkan Tabel 45.
Tabel 45. Hasil Estimasi Perilaku Tingkat Pengangguran
Variable Parameter
Estimate Elastisitas
Pr |t| Variable
E
SR
E
LR
Intercept 1.524157
0.0133 Intercept
WAGE 0.000013
0.42936 1.1124
0.0016 a Tingkat Upah
TOTI -6.38E-06
-3.07E-01 -1.653E-05
0.0156 a Total Investasi
LPUNEM 0.614013
.0001 a Lag Tingk. Pengangguran
Uji F =
40.58
Prop F = .0001 R2 =
0.77179
DW=
1.872554
Keterangan : a nyata pada taraf 0.01
Relatif kecilnya pengaruh tingkat Investasi terhadap pengangguran ini disebabkan karena pertumbuhan tingkat investasi yang rendah dan pertumbuhan
investasi terbesar berada pada sektor-setor non tradable. Sektor-sektor non tradabe
seperti sektor jasa dan pengangkutan merupakan sektor yang relatif padat modal, sehingga tidak banyak menciptakan lapangan kerja. Sementara sektor-
sektor pertanian dan industri cenderung pertumbuhannya menurun dan menyerap investasi yang relatif rendah.
Hubungan yang positif dan sangat signifikan antara kenaikan tingkat upah riil dengan tingkat pengangguran disebabkan karena kondisi faktor pasar tenaga
kerja yang mengalami over supply tenaga kerja. Hal ini ditunjukkan oleh adanya tingkat pengangguran terbuka yang cukup besar. Disamping pengangguran
terbuka, jumlah tenaga kerja yang bekerja tidak penuh atau tingkat pengangguran terselubung mencapai 33 persen. Di tengah rendahnya tingkat Investasi kondisi
pasar tenaga kerja yang seperti ini akan cenderung membuat upah riil cenderung tidak berubah atau rigid. Disisi lain tingginya tingkat inflasi membuat tuntutan
pekerja terhadap kenaikkan upah menjadi suatu keniscayaan. Tuntutan kenaikkan
upah inilah yang mendorong meningkatnya biaya produksi dan selanjutnya cenderung berdampak pada menurunnya ekspansi penyerapan tenaga kerja.
Tabel 46. Kondisi Tenaga Kerja dan Tingkat Pengangguran di Indonesia
Uraian 2007
2008 2009
2010 2011
PENDUDUK 15 THN KEATAS 164 118 323
166 641 050 169 328 208
172 070 339 171 756
077 1. ANGKATAN KERJA AK
109 941 359 111 947 265
113 833 280 116 527 546
117 370 485
Tingkat Partisipasi AK 66.99
67.18 67.23
67.72 68.34
a. Bekerja 99 930 217
102 552 750 104 870 663
108 207 767 109 670
399 Tingkat kesempatan Kerja
90.89 91.61
92.13 92.86
93.44 i. Pekerja Penuh
69 031 794 69 213 385
70 902 834 72 450 960
72 447 648 Penyerapan Kerja Penuh
69.08 67.49
67.61 66.96
66.06 ii. Pekerja Tidak Penuh
30 898 423 33 339 365
33 967 829 35 756 807
37 222 751 Pengang. Terselubung
30.92 32.51
32.39 33.04
33.94 b. Pengangguran Terbuka
10 011 142 9 394 515
8 962 617 8 319 779
7 700 086 Tingkat pengang.Terbuka
9.11 8.39
7.87 7.14
6.56 2. BUKAN ANGKATAN KERJA
54 176 964 54 693 785
55 494 928 55 542 793
54 385 592 a. Sekolah
13 777 378 13 226 066
13 810 846 14 011 778
13 104 294 b. Mengurus Rumahtangga
31 989 042 32 770 941
33 346 950 32 971 456
32 890 423 c. Lainnya
8 410 544 8 696 778
8 337 132 8 559 559
8 390 875
Sumber : Sakernas, BPS
Sementara itu hasil estimasi dari persamaan jumlah penduduk miskin menunjukkan hubungan yang negatif antara besarnya pertumbuhan ekonomi dan
total subsidi pemerintah. Elastisitas jangka pendek pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin di Indonesia hanya sebesar 0.01
dan dalam jangka panjang sebesar 0.05. Artinya setiap kenaikkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen hanya mampu mengurangi penduduk miskin sebesar
0.01 persen dalam jangka pendek dan 0.05 persen dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berdampak signifikan terhadap
program pengentasan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak pro poor dan pro job. Pertumbuhan ekonomi tidak mampu memperluas lapangan kerja
sehingga tidak mampu mengurangi jumlah penduduk miskin.
Demikian juga total subsidi pemerintah, elastisitas jangka pendek maupun jangka panjang sangat kecil sekali seperti ditunjukkan Tabel 47. Artinya
peningkatan belanja subsidi pemerintah tidak berpengaruh terhadap upaya penurunan kemiskinan pro poor. Hal ini dikarenakan upaya penangulangan
kemiskinan oleh pemerintah hanya bersifat adhoc seperti BLT dan Raskin yang tidak berdampak pada pemberdayaan masyarakat miskin. Dengan adanya
tambahan Rp100 ribu per bulan maka sebagian penduduk miskin sudah bergeser dari garis kemiskinan Rp 233 ribu. Namun jika dilihat dari hasil pendugaan
terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin, maka dapat tarik kesimpulan bahwa program BLT juga belum berpengaruh besar terhadap pergeseran
penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. Rendahnya pengaruh kebijakan subsidi terhadap pengurangan kemiskinan menunjukkan bahwa program subsidi
yang seharusnya ditujukan untuk asas pemerataan dan keadilan bagi penduduk miskin tidak tepat sasaran. Hal ini dikarenakan proporsi belanja subsidi terbesar
adalah subsidi energi atau subsidi BBM. Dimana subsidi BBM sebagian besar yang menikmati adalah penduduk golongan menengah keatas. Sementara subsidi
non BBM yang diperuntukkan untuk masyarakat miskin porsinya relatif kecil. Faktor lain yang signifikan terhadap besarnya jumlah penduduk miskin
adalah tingkat inflasi. Walaupun tingkat elastisitasnya jangka pendek maupun jangka pendek tidak cukup elastis, namun inflasi mempunyai hubungan yang
positif terhadap jumlah penduduk miskin. Kenaikan harga-harga secara umum yang meningkat tajam membuat daya beli masyarakat menurun dan tidak dapat
memenuhi kebutuhan dasarnya. Sementara itu, tingkat pengangguran juga mempunyai hubungan yang positif terhadap jumlah penduduk. Pengangguran
yang meningkat menyebabkan peningkatan jumlah penduduk. Namun hubungan antara pengangguran dan jumlah penduduk miskin secara statististik tidak berbeda
nyata dengan nol. Tabel 47. Hasil Estimasi Perilaku Jumlah Penduduk Miskin
Variable Parameter
Estimate Elastisitas
Pr |t| Variable
E
SR
E
LR
Intercept
5.891078 0.1356 Intercept
GPDBI
-0.06716
-0.01024 -0.0516
0.783 Pertumbuhan Ekonomi
TSUB
-5.23E-06
-5.51E-03 -0.0278
0.6566 Total Subsidi
PUNEM
0.050175
0.00832 0.0419
0.8649 Tingkat Pengangguran
INFL
0.095047
0.03417 0.1722
0.1253 b Tingkat Inflasi
LNPOV
0.801552 .0001 a Lag Jumlah Penduduk Miskin
Uji F =21.74 Prop F = .0001
R2 =0.76172 DW=1.62589
Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf 0.01 dan 0.05. 6.3.
Validasi Model
Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi alternatif kebijakan atau non kebijakan, maka perlu dilakukan pengujian
terhadap model, dengan tujuan untuk manganalisis sejauhmana model tersebut dapat mewakili fenomena komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan
ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan. Dalam kajian ini, kriteria statistik untuk validasi model yang digunakan
adalah Root Means Percent Square Error RMSPE yaitu untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur
nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif persen, atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya, sedangkan Theil’s Inequality
Coefficient U, bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk melakukan simulasi dan analisis kebijakan. Pada dasarnya semakin kecil nilai
RMSPE dan U- Theil’s, maka pendugaan model semakin baik Pindyck and
Rubinfield, 1991.
Tabel 48. Hasil Ringkasan Validasi Model Komposisi Belanja Pemerintah
Variabel Keterangan
N Obs
Mean Actual
Mean Predicted
Mean Abs
Error RMSE
Error U
CONS Konsumsi Rumah Tangga
6 1 166 431
1 175 936 1.02
1.24 0.0058
CONG Konsumsi Pemerintah
6 166 171
164 122 1.84
2.94 0.0169
INVT Investasi Swasta
6 465 933
477 674 2.61
3.24 0.0154
INVG Investasi Pemerintah
6 70 858
76 741 11.45
13.61 0.0656
EXPO Export
6 939 967
942 488 4.55
6.16 0.0305
IMPO Import
6 743 922
714 045 6.79
7.71 0.0407
BPGW Belanja Pegawai
6 101 085
104 621 5.22
6.76 0.0213
BBRG Belanja Barang
6 60 849
53 083 16.17
18.11 0.0775
BMDL Belanja Modal
6 63 510
71 657 19.67
35.56 0.0892
BUTG Belanja Peby. Bunga Utang
6 82 447
77 410 8.94
9.44 0.0478
SNBM Belanja Subsidi Non BBM
6 35 922
30 971 46.92
58.73 0.2068
SBBM Belanja Subsidi BBM
6 129 919
123 001 18.12
21.25 0.1374
BDAK Belanja Daerah DAK
6 16 503
14 602 20.20
24.58 0.0991
BDAU Belanja Daerah DAU
6 161 452
158 232 7.18
9.51 0.0375
BDBH Belanja Daerah Bagi Hasil
6 70 711
69 012 6.32
7.72 0.0327
RTAX Penerimaan Pajak
6 541 526
528 619 6.78
7.63 0.0390
PUNEM Tingkat Pengangguran
6 9.02
8.36 6.85
7.97 0.0475
NPOV Jumlah Penduduk Miskin
6 35.03
32.97 5.61
6.78 0.0373
RDOM Penerimaan dalam Negeri
6 775 805
762 899 4.68
5.26 0.0272
PDBI Produk Domestik Bruto
6 2 077 370
2 134 847 2.74
2.86 0.0143
BTUS Total Belanja Pusat
6 555 940
542 949 8.02
10.17 0.0477
BTDR BTDR
6 262 609
255 788 5.25
6.91 0.0296
TOTB Total Belanja Pemerintah
6 818 548
798 738 6.31
8.07 0.0356
Dari 23 persamaan yang divalidasi terdapat 16 persamaan yang memiliki RMSE dibawah 10 persen, 3 persamaan yang memiliki RMSE dibawah 20 persen
dan hanya satu persamaan yang RMSE 59 persen, yaitu persamaan belanja subsidi non BBM. Beberapa variabel yang memiliki RSMPE cukup besar ini tidak dapat
dihindarkan karena beberapa variabel dalam model tersebut berbentuk persamaan identitas. Faktor lainnya adalah simulasi hanya dilakukan untuk data 6 tahun
terakhir, sementara pendugaannya dilakukan untuk data selam 40 tahun, dimana struktur belanja pemerintah mengalami beberapa kali perubahan. Pemilihan 6
tahun terakhir dalam simulasi dengan pertimbangan struktur APBN mulai tahun 2006 sudah tidak mengalami perubahan lagi. Semua klasifikasi data sudah sama
dan dengan sistem perhitungan data pada variabel makro ekonomi juga sama. Sedangkan dilihat dari nilai Theil’s Inequality Coefficient U, model ini
dapat dijadikan sebagai sebuah evaluasi model untuk melihat alternatif kebijakan, karena rata-rata nilai U-Theil berada di bahwa 0.03. Dengan kata lain bahwa,
secara keseluruhan model ini dapat digunakan untuk melakukan peramalan perilaku dan simulasi maupun alternatif kebijakan. Dalam kajian ini model tidak
digunakan untuk meramalkan, melainkan hanya untuk melihat bagaimana dampak perubahan komposisi belanja pemerintah terhadap kinerja perekonomian
khususnya terhadap pertumbuhan ekonomi kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan. Hasil dari validasi model diringkas dalam Tabel 48.
6.4. Simulasi Kebijakan
Simulasi kebijakan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dampak dari perubahan komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi,
kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan. Simulasi berangkat dari hipotesis bahwa jika proporsi belanja modal dinaikkan maka akan berdampak pada
peningkatan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan pengurangan kemiskinan. Terdapat 3 skenario yang akan dilakukan dalam simulasi kebijakan
terkait dengan perubahan komposisi belanja pemerintah. Pada dasarnya, simulasi yang akan dilakukan adalah untuk melihat dampak dari perubahan komposisi
belanja pemerintah. Skenario yang dilakukan adalah jika terjadi peningkatan belanja modal sebesar Rp 20 triliun. Pertimbangan kenaikan belanja modal
sebesar Rp 20 triliun adalah berdasarkan rata-rata besarnya defisit anggaran selama tahun 2005-2010 adalah sekitar Rp 20 triliun. Idealnya kebijakan defisit
anggaran adalah untuk tujuan stimulus fiskal, yaitu adanya alokasi anggaran yang memadai untuk mendorong kinerja perekonomian. Stimulus fiskal yang efektif
untuk memacu perekonomian adalah belanja modal terutama untuk pembangunan infrastruktur.
Simulasi dilakukan dengan tahun dasar atau base line data antara tahun 2005-2010, dimana selama 6 tahun terakhir diketahui bahwa pertumbuhan
ekonomi aktual rata-rata sebesar 5.79 persen, dengan tingkat pengangguran sebesar 9.49 persen dan jumlah penduduk miskin sebesar 35 juta orang. Dari 3
simulasi akan diketahui komposisi belanja yang paling besar dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Adapun 3
simulasi kebijakan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Simulasi 1 : Jika terjadi perubahan komposisi belanja pemerintah
pusat, yaitu kenaikkan belanja modal sebesar Rp 20 triliun berasal dari pengurangan secara merata sebesar Rp 5 triliun dari belanja pegawai,
belanja Subsidi BBM, belanja barang, dan belanja pembayaran bunga utang.
2. Simulasi 2 : Jika terjadi efisiensi alokasi Belanja Modal, yaitu koefisien parameter atau kontribusi belanja modal terhadap investasi
pemerintah dinaikkan 1 persen dari 0.29 menjadi 0.39. 3. Simulasi 3 : Gabungan antara simulasi 1 dan 2. Jika terjadi perubahan
komposisi belanja pemerintah pusat disertai dengan efisiensi belanja modal.
6.4.1. Dampak Pergeseran Komposisi Belanja Pemerintah Pusat
Simulasi pertama, perubahan komposisi belanja pemerintah pusat dilakukan melalui pergeseran dari belanja pegawai, belanja subsidi BBM, belanja
barang dan belanja pembayaran bunga utang dimana masing-masing dikurangi sebesar Rp5 trliun. Dengan demikian terdapat penghematan belanja pemerintah
pusat sebesar Rp 20 triliun dan dialokasikan untuk peningkatan belanja modal. Dalam skenario pertama ini diasumsikan belum ada perubahan dari pola belanja
pemerintah. Dampak dari pergeseran ini berdampak pada pengurangan belanja pegawai sebesar 4.23 persen, belanja barang turun 9.43 persen, belanja subsidi
BBM turun 4.07 persen dan belanja pembayaran bunga utang turun 6.46 persen. Pergeseran komposisi belanja pemerintah pusat ini dapat dilakukan melalui
langkah-langkah sebagai berikut :
Pertama, penurunan belanja pegawai.
Penurunan belanja pegawai dapat dilakukan melalui beberapa langkah : 1 melakukan relokasi dan resdistribusi
PNS penempatan PNS. Seperti diketahui, setiap terjadi kebijakan pemekaran wilayah maka akan diikuti dengan penerimaan PNS baru. Kebutuhan PNS untuk
daerah pemekaran sebenarnya dapat dilakukan dengan menggeser penempatan PNS dari tempat asal daerah pemekaran atau menggeser PNS dari tempat yang
kurang produktif. Demikian juga ketika terjadi pembentukan lembaga negara baru atau badan baru tidak serta merta diikuti dengan rekruitmen PNS baru, dan 2
moratorium Pegawai Negeri Sipil, penghentian sementara untuk penerimaan PNS baru baik untuk pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Selama tahun 2006 – 2010 terjadi peningkatan PNS yang sangat drastis.
Dari Tabel 49 dapat dilihat pada tahun 2007 jumlah PNS mengalami peningkatan
sebesar 9.18 persen. Demikian juga pada tahun 2009, jumlah PNS naik sebesar 10.8 persen.
Tabel 49. Pertumbuhan Jumlah Pegawai Negeri Sipil, Tahun 2003-2010 Tahun
Jumlah Pertumbuhan
2003 3.648.005
2004 3.587.337
-1,66 2005
3.662.336 2,09
2006 3.725.231
1,72 2007
4.067.201 9,18
2008 4.083.360
0,40 2009
4.524.205 10,80
2010 4.598.100
1,63 Sumber : Badan Kepegawaian Negara, 2010
Kedua, Pengurangan subsidi BBM.
Sejak krisis ekonomi 1997, porsi alokasi subsidi BBM terus mengalami peningkatan. Hasil pendugaan sebelumnya
menunjukkan faktor yang sangat mempengaruhi peningkatan subsidi BBM adalah kenaikan harga minyak mentah dunia. Selama tahun 2006-2010 rata-rata porsi
subsidi BBM mencapai sekitar Rp 129 triliun. Hasil pembahasan di bab sebelumnya menunjukkan bahwa subsidi BBM ini tidak tepat sasaran, karena
yang menikmati adalah lebih banyak golongan menegah keatas. Disisi lain, BBM merupakan sumber energi utama. Ketergantungan
masyarakat terhadap BBM cukup besar, tidak hanya untuk kebutuhan transportasi tapi juga untuk kepentingan produksi. Apalagi sumber energi utama lainnya
seperti listrik juga masih menggandalkan BBM sebagai bahan bakunya. Dengan demikian jika subsidi BBM dikurangi, dikhawatirkan akan mempunyai efek ganda
multiplier effect sehingga akan memicu terjadinya inflasi. Kekhawatiran tersebut dijawab dengan hasil hasil penelitian Ikhsan 2005, menyebutkan bahwa
elastisitas inflasi terhadap kenaikan harga BBM adalah 0.056, maka jika terjadi kenaikan harga BBM sebesar 50 persen akan menyebabkan kenaikan inflasi
secara langsung sebesar 2.8 persen. Jika diperhitungkan dampak tidak langsung, dimana kenaikkan BBM juga akan mendorong kenaikan harga input lain, maka
dapat dihitung dengan dikalikan proporsi biaya produksi yang berasal dari non- BBM, maka diperoleh dampak tidak langsung terhadap biaya produksi bervariasi
antara 2.6 persen-2.7 persen. Jadi, dampak total dari kenaikan BBM terhadap biaya produksi bervariasi antarai 3.8 persen - 6.2 persen. Tampak jelas bahwa
karena porsi biaya non BBM jauh diatas porsi biaya non BBM, maka kenaikkan harga BBM sebenarnya akan berkontribusi besar terhadap inflasi.
Alasan paling fundamental pengurangan subsidi BBM ini adalah karena subsidi BBM tidak tepat sasaran. Data kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral ESDM menunjukkan bahwa 25 persen kelompok rumah tangga dengan penghasilan pengeluaran per bulan tertinggi menerima alokasi subsidi sebesar
77 persen. Sementara 25 kelompok rumah tangga dengan penghasilan pengeluaran per bulan terendah hanya menerima subsidi sekitar 15 persen.
Disamping itu, BBM bersubsidi terbesar adalah untuk Premium yaitu sebesar 60 persen, sisanya untuk minyak solar 34 persen dan minyak tanah 6 persen. Gambar
37 menunjukkan penggunaan premium terbesar adalah untuk transportasi darat sebesar 89 persen, khususnya untuk mobil pribadi sebesar 53 persen dan Motor
sebesar 40 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsumsi BBM bersubsidi terbesar adalah untuk kendaraan pribadi yaitu hampir mencapai 93
persen. Konsumsi BBM untuk ini terus meningkat rata-rata 5 persen per tahun, mencapai sekitar 1,3 juta barel per hari. Subsidi BBM tidak menguntungkan
diterapkan di negara yang merupakan importer neto BBM. Jika demikian kondisinya maka alternatif solusi dari permasalahan subsidi ini adalah
menciptakan transportasi massa publict transport yang memadai sehingga akan berdampak pada pengurangan besarnya subsidi BBM.
Sumber : Kementerian ESDM, Tahun 2011
Gambar 37. Penggunaan Bahan Bakar Minyak Bersubsidi, Tahun 2011
Ketiga pengurangan belanja barang.
Komposisi belanja barang terdiri dari belanja barang operasional 34 persen, belanja barang non operasional 24
persen, belanja perjalanan dinas 20 persen, belanja jasa 16 persen, dan belanja barang BLU 6 persen. Dilihat dari nomenklatur belanja barang yang hampir
mirip-mirip maka berpotensi timbulnya tumpang tindih alokasi anggaran. Berdasarkan hasil pendugaan hubungan antara belanja barang dengan investasi
pemerintah sebagai proksi kegiatan pemerintah adalah sangat kecil sekali. Untuk 50 100
Transportasi …
Transportasi Air Rumah Tangga
Usaha Kecil Perikanan
89 1
6 1
3
50 100 Motor
Mobil …
Mobil …
Umum
40 4
53 3