persen. Konsumsi BBM untuk ini terus meningkat rata-rata 5 persen per tahun, mencapai sekitar 1,3 juta barel per hari. Subsidi BBM tidak menguntungkan
diterapkan di negara yang merupakan importer neto BBM. Jika demikian kondisinya maka alternatif solusi dari permasalahan subsidi ini adalah
menciptakan transportasi massa publict transport yang memadai sehingga akan berdampak pada pengurangan besarnya subsidi BBM.
Sumber : Kementerian ESDM, Tahun 2011
Gambar 37. Penggunaan Bahan Bakar Minyak Bersubsidi, Tahun 2011
Ketiga pengurangan belanja barang.
Komposisi belanja barang terdiri dari belanja barang operasional 34 persen, belanja barang non operasional 24
persen, belanja perjalanan dinas 20 persen, belanja jasa 16 persen, dan belanja barang BLU 6 persen. Dilihat dari nomenklatur belanja barang yang hampir
mirip-mirip maka berpotensi timbulnya tumpang tindih alokasi anggaran. Berdasarkan hasil pendugaan hubungan antara belanja barang dengan investasi
pemerintah sebagai proksi kegiatan pemerintah adalah sangat kecil sekali. Untuk 50 100
Transportasi …
Transportasi Air Rumah Tangga
Usaha Kecil Perikanan
89 1
6 1
3
50 100 Motor
Mobil …
Mobil …
Umum
40 4
53 3
itu porsi alokasi belanja barang ini masih bisa diefisienkan dengan dilakukan pergeseran untuk porsi belanja modal.
Keempat, pengurangann
belanja pembayaran
bunga utang.
Pengurangan pembayaran bunga utang dimungkinkan jika adanya negosiasi untuk melakukan moratorium dengan pihak kreditur. Seperti ditunjukkan gambar 35
dimana porsi terbesar pembayaran bunga utang adalah untuk utang jangka panjang. Dengan demikian dapat dilakukan renegosisasi agar adanya kesepakatam
moratorium utang pemerintah, baik dalam bentuk pembayaran cicilan pokok maupun pengurangan tingkat suku bunga. Jika pemerintah berhasil melakukan
moratorium utang luar negeri, maka belanja pembayaran bunga utang masih dimungkinkan dikurangi sebesar Rp5 triliun.
Moratorium utang pemerintah dimungkinkan karena sejak sebelum krisis ekonomi terjadi Pelita V, neraca utang luar negeri pemerintah sudah mengalami
net negative transfer . Artinya besarnya utang baru yang diterima pemerintah lebih
kecil dibandingkan besarnya kewajiban yang harus dibayarkan oleh pemerintah. Disamping itu, porsi untuk pembayaran beban bunga utang saja selama 2006-
2010 telah mencapai sekitar 14 persen. Jumlah ini belum termasuk untuk pembayaran beban cicilan pokok utang. Moratorium utang pemerintah ini tidak
hanya dilakukan dalam bentuk penundaan atau penghentian sementara kewajiban membayar cicilan dan bunga utang, tetapi juga bisa dilakukan renegosisasi
besarnya beban cicilan dan tingkat suku bunga serta reshedulling waktu jatuh tempo.
Dengan pertimbangan tersebut diatas maka, skenario pergeseran belanja pemerintah pusat tersebut masih mungkin dilakukan. Pengurangan belanja rutin
pemerintah pusat tersebut tentu saja akan menimbulkan dampak negatif. Namun jika penghematan tersebut dapat direalokasikan pada pembangunan infrastruktur,
maka dampak negatif tersebut dapat di offset melalui peningkatan investasi. Dengan adanya pembangunan infrastruktur maka akan memperlancar arus
distribusi barang dan dapat menekan biaya distribusi. Penyediaan infrastuktur juga akan memperlancar proses produksi dan mendorong tumbuhnya investasi baru.
Tabel 50 menunjukkan hasil pergeseran belanja rutin pemerintah pusat, telah berdampak pada peningkatan belanja modal sebesar 28.62 persen. Dampak
negatif dari penurunan subsidi dan belanja pegawai telah dinetralisir dengan meningkatnya semua kinerja sektor riil, yaitu kenaikan pada Investasi Pemerintah
7.67 persen, Investasi swasta 0.20 persen, ekspor 0.11 persen, konsumsi masyarakat 0.14 persen, dan penerimaan pajak 1.06 persen. Secara
keseluruhan dampak realokasi belanja pemerintah ini menghasilkan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi, yaitu pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar
sebesar 0.33 persen. Demikian juga tingkat pengangguran menurun sebesar 0,83 persen serta jumlah penduduk miskin menurun sebesar 0.02 persen.
Dari simulasi pertama ini dapat disimpulkan bahwa dampak perubahan komposisi belanja pemerintah yang berasal dari pergeseran belanja rutin untuk
direalokasikan ke belanja modal hanya berdampak kecil terhadap perbaikan kinerja pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan. Hal ini disebabkan
karena terjadinya inefisiensi pada belanja modal, sehingga dampak negatif dari pengurangan belanja rutin tidak dapat dinetralisir secara penuh oleh peningkatan
kinerja Investasi maupun ekspor.
Tabel 50. Dampak Pergeseran Komposisi Belanja Pemerintah Pusat
Variabel Keterangan
Satuan Nilai
Simulasi 1 Dasar
Nilai
CONS Konsumsi Rumah Tangga
Rp Miliar
1 176 363 1 178 045 0.14
CONG Konsumsi Pemerintah
Rp Miliar
164 187 164 076
-0.07
INVT Investasi Swasta
Rp Miliar
477 848 478 782
0.20
INVG Investais Pemerintah
Rp Miliar
77 483 83 426
7.67
EXPO Ekspor
Rp Miliar
942 685 943 739
0.11
IMPO Impor
Rp Miliar
714 478 716 890
0.34
BPGW Belanja Pegawai
Rp Miliar
104 632 99 632
-4.78
BBRG Belanja Barang
Rp Miliar
53 104 48 104
-9.42
BMDL Belanja Modal
Rp Miliar
71 663 91 663
27.91
BUTG Belanja Pembyr. Bunga Utang
Rp Miliar
77 410 72 410
-6.46
SNBM Belanja Subsidi Non BBM
Rp Miliar
31 068 31 058
-0.03
SBBM Belanja Subsidi BBM
Rp Miliar
123 001 118 001
-4.07
BDAK Belanja Daerah DAK
Rp Miliar
14 604 14 630
0.18
BDAU Belanja Daerah DAU
Rp Miliar
158 253 158 953
0.44
BDBH Belanja Daerah Bagi Hasil
Rp Miliar
69 014 69 025
0.02
RTAX Penerimaan Pajak
Rp Miliar
528 735 534 315
1.06
PUNEM Tingkat Pengangguran
8.35 8.28
-0.83
NPOV Jumlah Penduduk Miskin
Juta Orang
33.27 33.26
-0.02
RDOM Penerimaan Dalam Negeri
Rp Miliar
763 015 768 595
0.73
PDBI Produk Domestik Bruto
Rp Miliar
2 136 021 2 143 110
0.33
BTUS Total Belanja Pusat
Rp Miliar
543 085 551 075
1.47
BTDR Total Belanja Daerah
Rp Miliar
255 813 256 551
0.29
TOTB Total Belanja
Rp Miliar
798 898 807 626
1.09
6.4.2. Dampak Peningkatan Efisiensi Belanja Modal
Pada simulasi kedua diskenariokan tanpa adanya pergeseran komposisi belanja pemerintah, tapi hanya melalui jika terjadi efisiensi alokasi belanja modal.
Artinya pola dan komposisi belanja modal benar-benar difokuskan untuk pembangunan infrastruktur. Disamping itu terdapat perubahan dari pola
perencanaan dan penyerapan anggaran. Kualitas alokasi belanja modal ditingkatkan melalui perbaikan pola penyerapan anggaran, misalnya pelaksanaan
tender pembangunan infrastruktur harus sudah dilaksanakan sejak awal tahun.
Dengan demikian kualitas pembangunan infrastruktur dapat ditingkatkan dan peran stimulus fiskal akan lebih optimal. Berdasarkan hasil pendugaan kontribusi
belanja infrastruktur terhadap investasi pemerintah hanya sebesar 0.29. Dalam skenario ini dilakukan peningkatan efisiensi sebesar 10 persen, yaitu menjadi
0.39. Tabel 51 menunjukkan hasil simulasi efisiensi alokasi belanja modal.
Secara keseluruhan, jika terdapat efisiensi alokasi belanja modal dampaknya lebih efektif daripada pergeseran komposisi belanja pemerintah seperti pada skenario 1.
Dampak dari efisiensi belanja modal mampu meningkatkan Investasi Pemerintah 17.42 persen, Investasi swasta 0.61 persen, ekspor 0.35 persen, konsumsi
masyarakat 0.59 persen, dan penerimaan pajak 0.08 persen. Hasil akhir dari efisiennya ini menghasilkan pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar 0.91
persen. Sementara tingkat pengangguran berkurang sebesar 2.22 persen dan jumlah penduduk miskin berkurang sebesar 0.17 persen.
Dampak efisiensi alokasi belanja modal ini jauh lebih baik jika dibandingankan dengan hasil simulasi pertama dengan melakukan pergeseran
komposisi belanja pemerintah pusat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang utama dalam komposisi belanja pemerintah lebih disebabkan
adanya inefisiensi alokasi anggaran. Dalam hal ini, alokasi belanja untuk modal tidak sepenuhnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Hal yang
berpengaruh cukup signifikan lainnya adalah kualitas penyerapan anggaran. Jika sebagian besar penyerapan anggaran, termasuk belanja modal dilaksanakan pada
triwulan III dan triwulan IV, maka dapat dipastikan bahwa kualitas pembangunan infrastruktur yang ada tidak akan optimal.
Tabel 51. Dampak Peningkatan Efisiensi Belanja Modal
Variabel Keterangan
Satuan Nilai
Simulasi 2 Dasar
Nilai
CONS Konsumsi Rumah Tangga
Rp Miliar
1 176 363
1 183 353
0.59
CONG Konsumsi Pemerintah
Rp Miliar
164 187 164 212
0.02
INVT Investasi Swasta
Rp Miliar
477 848 480 747
0.61
INVG Investais Pemerintah
Rp Miliar
77 483 90 982
17.42
EXPO Ekspor
Rp Miliar
942 685 945 957
0.35
IMPO Impor
Rp Miliar
714 478 721 654
1.00
BPGW Belanja Pegawai
Rp Miliar
104 632 104 675
0.04
BBRG Belanja Barang
Rp Miliar
53 104 53 467
0.68
BMDL Belanja Modal
Rp Miliar
71 663 71 686
0.03
BUTG Belanja Pembyr. Bunga
Utang Rp Miliar
77 410 77 410
0.00
SNBM Belanja Subsidi Non BBM
Rp Miliar
31 068 30 885
-0.59
SBBM Belanja Subsidi BBM
Rp Miliar
123 001 123 001
0.00
BDAK Belanja Daerah DAK
Rp Miliar
14 604 14 612
0.06
BDAU Belanja Daerah DAU
Rp Miliar
158 253 158 329
0.05
BDBH Belanja Daerah Bagi Hasil
Rp Miliar
69 014 69 041
0.04
RTAX Penerimaan Pajak
Rp Miliar
528 735 529 157
0.08
PUNEM Tingkat Pengangguran
8.35 8.16
-2.22
NPOV Jumlah Penduduk Miskin
Juta Orang
33.27 33.21
-0.17
RDOM Penerimaan dalam Negeri
Rp Miliar
763 015 763 437
0.06
PDBI Produk Domestik Bruto
Rp Miliar
2 136 021
2 155 529
0.91
BTUS Total Belanja Pusat
Rp Miliar
543 085 543 331
0.05
BTDR Total Belanja Daerah
Rp Miliar
255 813 255 925
0.04
TOTB Total Belanja
Rp Miliar
798 898 799 257
0.04
6.4.3. Dampak Pergeseran Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan Efisiensi Belanja Modal
Pada simulasi ketiga, merupakan gabungan dari skenario pertama dan kedua. Artinya pada simulasi ketiga ini diasumsikan terdapat peningkatan belanja
modal yang berasal dari pergeseran belanja rutin dibarengi dengan peningkatan efisiensi belanja modal. Hasil simulasi ditunjukkan oleh Tabel 52, dimana
melalui skenario ketiga ini dampak terhadap kinerja perekonomian lebih optimal. Dampak dari pergeseran belanja pemerintah pusat dan efisiensi belanja modal
mampu meningkatkan Investasi Pemerintah 27.69 persen, Investasi swasta 0.87 persen, ekspor 0.50 persen, konsumsi masyarakat 0.48 persen, dan
penerimaan pajak 1.08 persen. Hasil akhir dari pergeseran dan efisiensi ini menghasilkan pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar 1.37 persen. Sementara
tingkat pengangguran berkurang sebesar 3.33 persen dan jumlah penduduk miskin berkurang sebesar 0.21 persen.
Tabel 52. Dampak Pergeseran Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan
Efisiensi Belanja Modal
Variabel Keterangan
Satuan Nilai
Simulasi 3 Dasar
Nilai
CONS Konsumsi Rumah Tangga
Rp Miliar 1 175 936
1 185 971 0.82
CONG Konsumsi Pemerintah
Rp Miliar 164 122
164 088 -0.06
INVT Investasi Swasta
Rp Miliar 477 674
482 027 0.87
INVG Investais Pemerintah
Rp Miliar 76 741
989 41.2 27.69
EXPO Ekspor
Rp Miliar 942 488
947 402 0.50
IMPO Impor
Rp Miliar 714 045
724 971 1.47
BPGW Belanja Pegawai
Rp Miliar 104 621
99 632 -4.78
BBRG Belanja Barang
Rp Miliar 53 083
48 103.8 -9.42
BMDL Belanja Modal
Rp Miliar 71 657.1
91 663.1 27.91
BUTG Belanja Pemb. Bunga Utang
Rp Miliar 77 409.9
72 409.9 -6.46
SNBM Belanja Subsidi Non BBM
Rp Miliar 30 970.5
30 858.5 -0.67
SBBM Belanja Subsidi BBM
Rp Miliar 123 001
118 001 -4.07
BDAK Belanja Daerah DAK
Rp Miliar 14 601.7
14 633.5 0.20
BDAU Belanja Daerah DAU
Rp Miliar 158 232
158 980 0.46
BDBH Belanja Daerah Bagi Hasil
Rp Miliar 690 12.1
690 57.2 0.06
RTAX Penerimaan Pajak
Rp Miliar 528 619
534 449 1.08
PUNEM Tingkat Pengangguran 8.36
8.07 -3.33
NPOV Jumlah Penduduk Miskin
Juta Orang 32.97
33.20 -0.21
RDOM Penerimaan dalam Negeri
Rp Miliar 762 899
768 729 0.75
PDBI Produk Domestik Bruto
Rp Miliar 2 134 847
2 165 390 1.37
BTUS Total Belanja Pusat
Rp Miliar 542 949
550 876 1.43
BTDR Total Belanja Daerah
Rp Miliar 255 788
256 613 0.31
TOTB Total Belanja
Rp Miliar 798 738
807 489 1.08
Kelebihan dari skenario ketiga ini tidak hanya menghasilkan kinerja perekonomian yang lebih baik, namun juga prosentase penurunan masing-masing
belanja rutin juga lebih rendah dibandingkan pada simulasi pertama. Sebagai contoh pengurangan belanjan pegawai 5 triliun hanya berdampak pada
pengurangan belanja pegawai sebesar 0.78 persen, demikian juga untuk pengurangan belanja rutin lainnya Tabel 52.
6.5. Alternatif Pilihan Kebijakan
Dalam setiap keputusan kebijakan publik, masing-masing pilihan kebijakan yang akan diambil pemerintah mempunyai implikasi dan dampak atas
pilihan kebijakan diambil. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat banyak. Namun untuk mencapai
pilihan kebijakan yang terbaik tentu saja bukan masalah yang mudah dan sederhana. Sebagai salah satu acuan, kebijakan publik yang baik adalah jika dapat
meminimalisir dampak negatif dan dapat mengoptimalkan dampak positif yang akan diminati oleh sebagian besar masyarakat. Berdasarkan 4 hasil simulasi
terhadap perubahan komposisi belanja pemerintah, maka dapat dipilih alternatif
komposisi belanja yang mempunyai dampak paling optimal bagi masyarakat.
Tabel 53 menunjukan perbandingan antara dampak yang ditimbulkan dari 3 skenario perubahan komposisi belanja pemerintah. Secara umum hasil
simulasi 3 berdampak paling besar terhadap pertumbuhan ekonomi maupun pengurangan jumlah penduduk miskin, dimana pertumbuhan ekonomi meningkat
sebesar 1.37 persen dan jumlah penduduk miskin berkurang 3.33 persen. Secara umum hasil dari 3 simulasi tersebut dapat disimpulkan bahwa belanja pemerintah
tidak mempunyai akan dampak besar terhadap kinerja perekonomian jika tidak disertai perbaikan, baik dari pola perencanaan maupun implementasi anggaran.
Tabel 53. Perbandingan Dampak Perubahan Komposisi Belanja Pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat
kemiskinan
Variabel Keterangan
Satuan Nilai
Sim 1 Sim 2
Sim 3 Dasar
CONS Konsumsi Rumah Tangga
Rp Miliar 1 175 936
0.14 0.59
0.82
CONG Konsumsi Pemerintah
Rp Miliar 164 122
-0.07 0.02
-0.06
INVT Investasi Swasta
Rp Miliar 477 674
0.20 0.61
0.87
INVG Investais Pemerintah
Rp Miliar 76 741
7.67 17.42
27.69
EXPO Ekspor
Rp Miliar 942 488
0.11 0.35
0.50
IMPO Impor
Rp Miliar 714 045
0.34 1.00
1.47
BPGW Belanja Pegawai
Rp Miliar 104 621
-4.78 0.04
-4.78
BBRG Belanja Barang
Rp Miliar 53 083
-9.42 0.68
-9.42
BMDL Belanja Modal
Rp Miliar 71 657.1
27.91 0.03
27.91
BUTG
Belanja Pemb. Bunga Utang
Rp Miliar 77 409.9
-6.46 0.00
-6.46
SNBM Belanja Subsidi Non BBM
Rp Miliar 30 970.5
-0.03 -0.59
-0.67
SBBM Belanja Subsidi BBM
Rp Miliar 123 001
-4.07 0.00
-4.07
BDAK Belanja Daerah DAK
Rp Miliar 14 601.7
0.18 0.06
0.20
BDAU Belanja Daerah DAU
Rp Miliar 158 232
0.44 0.05
0.46
BDBH Belanja Daerah Bagi Hasil
Rp Miliar 69 012.1
0.02 0.04
0.06
RTAX Penerimaan Pajak
Rp Miliar 528 619
1.06 0.08
1.08
PUNEM Tingkat Pengangguran 8.36
-0.83 -2.22
-3.33
NPOV Jumlah Penduduk Miskin
Juta Orang 32.97
-0.02 -0.17
-0.21
RDOM Penerimaan dalam Negeri
Rp Miliar 762 899
0.73 0.06
0.75
PDBI Produk Domestik Bruto
Rp Miliar 2 134 847
0.33 0.91
1.37
BTUS Total Belanja Pusat
Rp Miliar 542 949
1.47 0.05
1.43
BTDR Total Belanja Daerah
Rp Miliar 255 788
0.29 0.04
0.31
TOTB
Total Belanja Rp Miliar
798 738
1.09 0.04
1.08
Hal ini dapat diperbandingkan dengan pembahasan yang ada pada bab sebelumnya, terutama jika dibandingkan dengan kinerja perekonomian di Negara
lain. Sebagai contoh, jika dibandingkan dengan komposisi belanja di Thailand, diman komposisi belanja modal Thailand sekitar 20 persen dari total anggaran
pemerintah, namun Thailand mempunyai angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yaitu sebesar 7.9 persen. Disamping itu, berdasarkan hasil penelitian Wan
dan Sebastian 2011 angka elastisitas pertumbuhan terhadap kemiskinan di Thailand sebesar -5.62 jika menggunakan garis kemiskinan US1.25 per hari, dan