Hasil Spesifikasi Model DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN

Hal ini ditunjukkan besarnya angka Koefisien Gini Gini Coefficient Indonesia yang diterbitkan Badan Pusat Statistik BPS, yang menyatakan bahwa kesenjangan di Indonesia tak kunjung membaik. Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan distribusi, nilai 0 menyatakan kesetaraan total dan nilai 1 ketidaksetaraan maksimal. Pada tahun 1999, koefisien Gini Indonesia berada di level 0.31 selanjutnya pada tahun 2005 dan 2009 justru meningkat berada pada level 0.36 dan 0.37. Pada tahun 2010 koefisien gini kembali berada pada level 0.33. Besarnya koefisien gini menunjukkan terjadinya kesenjangan atau ketimpangan pendapatan antara masyarakat yang kaya dan masyarakat yang miskin. Pola dan distribusi pendapatan masyarakat ini berpengaruh signifikan terhadap pola konsumsi masyarakat. Tabel 27. Hasil Estimasi Perilaku Konsumsi Rumah Tangga Variable Parameter Estimate Elastisitas Pr |t| Variable E SR E LR Intercept -21657.4 0.0143 Intercept Yd 0.174135 0.28492 1.3638 .0001 a Disposable Income LCONS 0.79108 .0001 a Lag Konsumsi Swasta Uji F = 7948.43 Prop F = .0001 R2 = 0.99768 DW=1.2884 Keterangan : a nyata pada taraf 0.01 Pendapatan disposable dipengaruhi oleh kebijakan perpajakan dan subsidi. Instrumen perpajakan dan subsidi idealnya adalah sebagai instrumen untuk pemerataan pendapatan antar golongan penerima pendapatan di masyarakat. Yaitu dengan membebankan pajak yang progresif untuk masyarakat yang berpenghasilan tinggi dan memberikan subsidi untuk golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Pajak progresif seharusnya tidak hanya dibebankan melalui Pajak Penghasilan PPh masyarakat yang berpenghasilan tinggi, namun juga harus dibebankan Pada Pajak Pertambahan nilai PPn untuk barang-barang mewah. Sementara mekanisme subsidi harus ditujukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah, baik melalui subsidi input maupun subsidi output. Subsidi input dapat dilakukan melalui pemberian fasilitas pembiayaan maupun peralatan pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah UMKM, sehingga para pelaku UMKM dapat mengembangkan usahanya dan memperoleh peningkatan pendapatan. Konsumsi rumahtangga merupakan kontributor terbesar dalam pembentukan pendapatan nasional di Indonesia. Porsi konsumsi rumah tangga rata-rata menyumbang hampir 60 persen terhadap total pendapatan nasional. Konsumsi rumah tangga merupakan motor penggerak utama dalam pertumbuhan ekonomi. Besarnya porsi pendapatan masyarakat yang digunakan untuk konsumsi ini ibarat pedang bermata dua. Satu sisi besarnya konsumsi, melalui efek pengganda multiplier effect, akan berdampak positif mendorong peningkatan konsumsi masyarakat. Disisi lain, besarnya konsumsi menunjukkan tingkat tabungan masyarakat yang rendah. Tentu saja kondisi ini akan mempengaruhi besaran pembentukan modal tetap yang akan diinvestasikan dalam perekonomian. Sementara itu hasil pendugaan untuk perilaku konsumsi pemerintah CONG menunjukkan bahwa konsumsi pemerintah dipengaruhi secara positif oleh penerimaan domestik, pengaruh krisis ekonomi dan konsumsi pemerintah pada tahun sebelumnya. Namun variabel yang paling signifikan berpengaruh terhadap konsumsi pemerintah adalah variabel lag nya atau konsumsi pemerintah pada tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pola belanja pemerintah tidak mengalami banyak perubahan hanya berdasarkan pola historis tahun sebelumnya. Sementara itu penerimaan domestik hanya memiliki elastisitas yang relatif kecil terhadap besarnya konsumsi pemerintah. Dalam jangka pendek elastisitas penerimaan domestik terhadap konsumsi pemerintah hanya 0.04 dan dalam jangka panjang sebesar 0.71. Artinya penerimaan domestik tidak signifikan mempengaruhi konsumsi pemerintah. Faktor yang sangat signifikan mempengaruhi besarnya konsumsi pemerintah adalah konsumsi pemerintah tahun sebelumnya. Koefisien parameter lag konsumsi pemerintah adalah sebesar 0.9422. Dengan demikian berarti pola dan perilaku konsumsi pemerintah lebih banyak merujuk pada pola tahun sebelumnya. Atau dengan kata lain, faktor yang menentukan besarnya konsumsi pemerintah adalah menggunakan pertimbangan yang sama seperti yang terjadi pada tahun sebelumnya. Hal ini juga bisa dilihat bahwa hampir tidak pernah ada perubahan yang signifikan dalam pola konsumsi pemerintah. Pola konsumsi pemerintah tercermin dalam komposisi belanja rutin, yaitu belanja pegawai, belanja barang, belanja subsidi, belanja pembayaran utang, dan belanja lain-lain. Hampir tiap tahun komposisi belanja rutin tidak ada perubahan yang signifikan. Faktor lain yang mempengaruhi konsumsi pemerintah adalah pengaruh krisis ekonomi. Sejak krisis ekonomi 1997, porsi konsumsi pemerintah mengalami perubahan yang signifikan, antara lain disebabkan oleh peningkatan inflasi, suku bunga dan fluktuasi nilai tukar. Inflasi telah menyebabkan harga- harga meningkat tajam sehingga menambah beban pengeluaran konsumsi pemerintah. Inflasi telah mendorong kenaikan porsi belanja rutin pemerintah, utamanya yaitu belanja pegawai, belanja barang dan subsidi. Sementara kenaikkan suku bunga dan fluktuasi nilai tukar telah berdampak signifikan terhadap peningkatan beban pembayaran beban bunga pemerintah. Tabel 28. Hasil Estimasi Perilaku Konsumsi Pemerintah Variable Parameter Estimate Elastisitas Pr |t| Variable E SR E LR Intercept 5646.629 0.0263 Intercept RDOM 0.019354 0.0409 0.7090 0.0031 a Penerimaan dalam Negeri dk 17120.53 0.0650 b Dummy Krisis LCONG 0.942246 .0001 a Lag Cons Pemerintah Uji F = 1454.77 Prop F = .0001 R2 = 0.98744 DW=2.037197 Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf 0.01 dan 0.05 Hasil pendugaan dari persamaan Investasi Swasta pada Tabel 29 diperoleh bahwa pendapatan nasional mempunyai pengaruh positif terhadap Investasi, sementara suku bunga investasi riil berpengaruh negatif terhadap investasi. Namun peningkatan pendapatan nasional hanya berpengaruh sangat kecil terhadap peningkatan Investasi. Setiap kenaikkan Rp1 miliar pendapatan nasional hanya berdampak pada peningkatan Investasi sekitar Rp0.07 miliar. Dalam jangka pendek elastisitas pendapatan nasional terhadap investasi swasta adalah inelastis hanya 0.33, namun dalam jangka panjang cukup elastis yaitu 1.31. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam jangka pendek pertumbuhan ekonomi tidak mampu mendorong tumbuhnya investasi. Begitu juga sebaliknya, Investasi hanya berkontribusi kecil terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, peningkatan suku bunga investasi riil sebesar 1 persen akan berdampak pada penurunan Investasi sebesar Rp456 miliar. Artinya suku bunga investasi riil tidak mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap investasi. Elastisitas jangka pendek maupun jangka panjang suku bunga riil terhadap