Belanja Negara 509.6 Pembiayaan 8.9 Latar Belakang Masalah

Selama kurun waktu 2005-2010 APBN Indonesia telah mengalami kenaikkan lebih dari dua kali lipat, dimana jika pada tahun 2005 belanja negara baru mencapai Rp.509.6 triliun, namun pada tahun 2010 telah mencapai Rp.1 126 triliun. Ironisnya, peningkatan anggaran belanja pemerintah tidak berkorelasi secara signifikan terhadap pembangunan infrastruktur di Indonesia. Hal ini disebabkan proporsi terbesar belanja pemerintah digunakan untuk belanja rutin sekitar 80 persen, sehingga belanja untuk infrastruktur hanya mendapatkan porsi yang sangat rendah sekitar 8.4 persen. Anggaran belanja pemerintah setiap tahun mengalami peningkatan, seperti yang terlihat dalam Tabel 2, pada tahun 2010 total belanja pemerintah dalam APBN-P 2010 mencapai Rp.1 126 triliun atau 48.7 persen dari PDB berdasarkan harga konstan tahun 2000 atau 17.53 persen dari PDB berdasarkan harga berlaku. Namun peranan pengeluaran pemerintah dalam penciptaan PDB hanya berkisar 9.6 persen. Besarnya belanja pemerintah disatu sisi dan rendahnya kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan adanya ketidakefektifan belanja pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Ironisnya, peningkatan anggaran belanja pemerintah tidak berkorelasi secara signifikan terhadap pertumbuhan kinerja Investasi maupun Ekspor. Gambar 2 menunjukkan pertumbuhan belanja pemerintah justru lebih tinggi daripada pertumbuhan investasi yang di proksi dari pertumbuhan pembentukan modal domestik bruto. Peningkatan belanja pemerintah hanya sedikit yang digunakan untuk investasi melalui pembangunan infrastruktur. APBN semestinya menjadi instrumen fiskal yang berperan penting dalam menciptakan stabilisasi dan stimulus perekonomian. Apalagi kebijakan anggaran pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan defisit anggaran. Semestinya dengan kebijakan defisit anggaran, pengeluaran Pemerintah untuk investasi meningkatkan sehingga dapat mendorong dan mengisi kekurangan investasi swasta. Pilihan kebijakan defisit anggaran ditujukan agar terjadi ruang fiskal yang lebih ekspansif untuk mendorong perekonomian. Artinya agar terjadi peningkatan ruang gerak fiskal untuk menstimulus perekonomian. Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011 Gambar 2. Perbandingan Pertumbuhan Belanja Pemerintah dengan Pembentukan Modal Domestik Bruto Idealnya peningkatan pengeluaran pemerintah dibiayai dari peningkatan penerimaan negara, baik yang bersumber dari pajak maupun nonpajak. Permasalahannya, secara umum rasio pajak Indonesia terhadap PDB atau tax ratio masih rendah dimana dalam kurun waktu 2005-2010 rata-rata hanya 12.3 persen bahkan dengan pertumbuhan negatif 0.65 persen. Pertumbuhan negatif ini terlihat jelas, karena pada tahun 2006 tax ratio Indonesia dapat mencapai 13.5 persen. 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Pembentukan Modal Domestik Bruto Total Belanja Pemerintah Indikator rendahnya tax rasio dapat diukur dari perbandingan dengan negara- negara ASEAN lainnya, tax ratio Malaysia sudah mencapai 20.17 persen, Singapura sebesar 21.4 persen, demikian juga Thailand sebesar 17.28 persen. Hal tersebut mencerminkan bahwa sistem perpajakan di Indonesia masih lemah, disamping kesadaran dan kepatuhan pembayar pajak yang masih rendah. Disamping rendahnya tax rasio, elastisitas pajak juga rendah dimana angka elastisitas untuk PPh di Indonesia baru sebesar 1.19 dan elastisitas untuk PPn 1.07. Artinya jika pendapatan nasional naik 1 persen maka PPh hanya naik 1.19 persen. Jika konsumsi dalam negeri naik 1 persen maka PPN akan naik 1.07 persen. Elastisitas pajak ini dapat dijadikan acuan mengenai tingkat keberhasilan atau kegagalan pemerintah dalam kebijakan perpajakan. Negara-negara lain memiliki elastisitas pajak sekitar 2, sebagai contoh Malaysia angka elastisitas pajaknya sebesar 1.9, Pakistan sebesar 2.1, Spanyol sebesar 1.8, Maroko sebesar 2.2, India sebesar 2.4 dan Honduras sebesar 2.2 Setiyaji Amin, 2005. Hal Ini berarti bahwa pertambahan produk domestik bruto negara lain mengakibatkan pertambahan penerimaan pajak jauh lebih cepat dibanding Indonesia. Ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dikatakan berhasil jika kebijakan perpajakan ini bisa menaikkan angka elastisitas pajak mendekati angka 2. Kenaikan elastisitas pajak ini akan berjalan bersamaan dengan kenaikan rasio pajak. Adanya kenyataan bahwa penerimaan negara belum mampu membiayai peningkatan pengeluaran, sehingga pemerintah menetapkan kebijakan defisit anggaran. Pembiayaan defisit anggaran dilakukan melalui utang luar negeri dan utang dalam negeri. Tabel 2 menunjukkan pada tahun 2010, total pengeluaran pada APBN-P 2010 sekitar Rp 1 126.1 triliun. Sementara penerimaan negara yang ditargetkan hanya sebesar Rp 992.4 triliun. Konsekuensinya, APBN mengalami defisit sebesar Rp 133.7 triliun atau 2.1 persen dari pendapatan domestik bruto PDB. Pemerintah harus menambah utang baru sebesar 108.3 triliun, padahal posisi utang Pemerintah pada desember 2009 sudah mencapai US 169.22 miliar atau ekuivalen dengan Rp. 1 590.66 triliun. Beban pembayaran bunga utang pemerintah pada APBN-P 2010 sudah mencapai Rp. 105.7 triliun, dimana Rp. 71.9 triliun merupakan pembayaran bunga dalam negeri dan 33.8 triliun untuk pembayaran bunga luar negeri. Akibatnya, porsi alokasi anggaran untuk membayar beban bunga utang mencapai 13.5 persen dari total anggaran pemerintah pusat. Sedangkan alokasi anggaran untuk belanja modal justru lebih rendah hanya mencapai Rp. 95 triliun atau 12.2 persen. Konsekuensi lainnya adalah menjadi beban pada pengeluaran pemerintah pada tahun selanjutnya. Porsi anggaran yang seharusnya dapat meningkatkan investasi menjadi berkurang karena menanggung tambahan beban bunga dan pembayaran utang. Pada akhirnya, peningkatan penerimaan pajak dari masyarakat tersedot habis untuk memenuhi kewajiban membayar beban bunga utang pemerintah. Kebijakan defisit anggaran yang dibiayai dengan utang merupakan kebijakan yang dilematis. Untuk itu diperlukan perencanaan anggaran yang matang, tepat sasaran dan jangka panjang. Jika anggaran defisit tersebut dikelola dengan menejemen anggaran yang tidak prudent dan tidak berorientasi jangka panjang maka akan mengakibatkan fungsi stimulus fiskal hilang, bahkan berpotensi mengganggu kesinambungan fiskal. Jika kondisi ini terus berlanjut maka pemerintah dapat menjadi kontributor terjadinya kebangkrutan ekonomi Indonesia. Seperti halnya krisis ekonomi yang terjadi di eropa yang dipicu oleh utang pemerintah yang tidak dapat dikelola secara baik. Perdebatan mengenai efektifitas kebijakan defisit APBN yang dibiayai dengan utang pemerintah, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri mengemuka pasca krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997. Sebelumnya, pada masa orde baru, jarang sekali kalangan yang mempertentangkan terus bertambahnya utang pemerintah Indonesia. Bahkan tidak jarang, besarnya utang luar negeri pemerintah justru dianggap sebagai suatu indikator dari kepercayaan kreditur terhadap Indonesia. Alasan lainnya, aliran dana segar yang masuk dianggap mampu mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi debt-led growth. Pada era tahun 1900-an utang luar negeri dianggap telah berperan meningkatkan pengeluaran pemerintah melalui pendanaan anggaran pembangunan. Pada masa itu, utang dianggab mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang tergolong tinggi, rata-rata 7-8 persen, bahkan paling tinggi diantara negara-negara di kawasan ASEAN. Secara teoritis kebijakan defisit anggaran dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, pembiayaan defisit APBN yang bersumber dari utang merupakan pisau bermata dua, satu sisi akan menambah sumber pembiayaan pembangunan, namun disisi lain merupakan beban terhadap APBN itu sendiri melalui pembayaran cicilan dan bunga utang. Hal ini juga sudah menjadi perdebatan diantara para ahli ekonomi. Menurut faham Keynesian, kebijakan defisit fiskal jika ditujukan untuk ekspansi fiskal dapat mendorong perekonomian dalam bentuk stimulus fiskal. Keynes 1936 meyakini ekspansi fiskal melalui proses angka pengganda multiplier effect akan meningkatkan pendapatan nasional. Preskripsi ini telah diterapkan Amerika dan Eropa untuk keluar dari krisis depresi ekonomi dan berhasil. Paham Keynesian memandang bahwa aktifitas stimulus fiskal dalam bentuk defisit fiskal ini tidak akan memberi insentif negatif crowding out kepada investor. Sementara paham Neo Klasik yang diwakili oleh David Ricardo memandang bahwa defisit fiskal akan berdampak crowding out pada investasi dan berakibat menghambat pertumbuhan ekonomi. Karena itu, paham Neo Klasik menyarankan untuk menghindari defisit fiskal dan mengurangi peran langsung pemerintah dalam perekonomian. Perdebatan teoritis tersebut seyogyanya menjadi bahan pertimbangan yang komprehensif bagi pemegang kebijakan. Hal ini dikarenakan perkembangan utang pemerintah yang tidak terkendali juga dapat menjadi salah satu sumber ancaman bagi stabilitas ekonomi makro. Utang yang dikelola tanpa manejemen yang baik akan menjadi sumber tekanan defisit fiskal maupun tekanan atas cadangan devisa. Utang yang seharusnya menjadi debt-led growth akan mengakibatkan Indonesia masuk ke perangkap utang debt-trap. Kekhawatiran tersebut sangat beralasan dikarenakan masih terdapat sejumlah permasalahan dalam dalam pengelolaan APBN, baik yang bersifat fundamental maupun pada tataran tehnis pelaksanaan. Beberapa permasalahan pengeloaan APBN dijabarkan dalam bab perumusan masalah. Kenyataannya, proporsi belanja pemerintah untuk belanja rutin justru semakin meningkat. Pada tahun 2010, porsi belanja rutin mencapai 61 persen dan belanja transfer daerah 30.6 persen, sementara untuk belanja modal hanya 8.4 persen. Jika dilihat dari porsi dari belanja pemerintah pusat, belanja modal pemerintah hanya mendapatkan 12.2 persen. Rendahnya porsi belanja modal ini tentunya berimplikasi pada kemampuan pemerintah untuk menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur mempunyai pengaruh signifikan dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesempatan kerja. Sebagai perbandingan, diantara negara ASEAN proporsi anggaran belanja modal Indonesia tergolong sangat rendah. Tabel 1 memperlihatkan bahwa negara-negara yang memiliki proporsi belanja modal tinggi, seperti Malaysia 31 persen dari total pengeluaran mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tingkat pengangguran yang rendah. Sementara proporsi belanja modal Indonesia hanya mencapai sekitar 8.4 persen, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 6.1 persen dengan tingkat pengangguran sebesar 7.1 persen. Peran stimulus fiskal pemerintah akan lebih efektif jika adanya alokasi untuk belanja modal yang cukup. Belanja modal akan dapat meningkatkan pembangunan infrastruktur atau prasarana dan sarana publik. Selanjutnya akan memicu dan mendorong tumbuhnya investasi swasta. Ketersediaan infrastruktur akan mendorong pertumbuhan produksi barang dan jasa dengan lebih cepat dan efisien. Dengan demikian akan berdampak pada peningkatan kinerja sektor riil. Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi akan meningkat dan berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan mengurangi penganggguran. Hal tersebut sejalan dengan empat sasaran utama kebijakan pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJM tahun 2005- 2014. Dalam dokumen RPJMN 2010-2014 dan dalam setiap Rencana Kerja Pemerintah RKP disebutkan bahwa kebijakan Fiskal disusun guna memacu peningkatan kesejahteraan rakyat dengan bertumpu pada empar pilar strategis, yaitu: 1 meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas pro growth, 2 menciptakan dan memperluas lapangan kerja pro job, 3 meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui program-program jaring pengaman sosial yang berpihak kepada masyarakat miskin pro poor; dan d meningkatkan kualitas pengelolaan lingkungan hidup proenvironment.

1.2. Perumusan Masalah

Kebijakan fiskal akan efektif jika mampu memacu pertumbuhan sektor riil sekaligus menjaga kesinambungan fiskal dan stabilitas ekonomi makro. Dengan demikian akan dapat sebagai landasan untuk menopang pertumbuhan yang berkualitas dan berkelanjutan. Permasalahannya, postur APBN yang tertuang dalam dokumen Nota Keuangan belum mencerminkan fungsinya dalam menciptakan tujuan pro growth, pro job dan pro poor. Hal ini dapat dilihat dari beberapa sisi, antara lain : pertama, postur anggaran didominasi oleh pengeluaran rutin. Struktur belanja pemerintah pusat sangat tidak ideal dimana dalam kurun waktu 6 tahun APBN dihabiskan untuk belanja rutin ketimbang menciptakan perubahan. Dalam periode 2005-2010, rata-rata belanja pusat habis dipergunakan untuk yang sifatnya rutin, terutama belanja pegawai sebesar 18.89 persen, belanja barang sebesar 12.20 persen, belanja pembayaran bunga utang sebesar 14.77 persen, subsidi sebesar 27.81 persen, belanja sosial sebesar 8.98 persen, serta belanja lain-lain sebesar 4.81 persen. Sementara belanja modal yang diharapkan dapat lebih mendorong dan menciptakan pertumbuhan sektor riil justru mendapatkan porsi yang sangat rendah. Gambar 3 menunjukkan selama tahun 2005-2010 porsi belanja modal hanya sebesar 12.52 persen. Sumber : Kementerian Keuangan, 2011 Gambar 3. Rata-Rata Proporsi Alokasi Belanja Pusat Menurut Jenis Pengeluaran, Tahun 2005-2010 Kedua, Alokasi subsidi yang terlalu besar dan tidak tepat sasaran. Subsidi sebelum tahun 19971998 hanya berkisar 4 persen dari belanja negara namun sejak krisis ekonomi 1997 kebijakan subsidi mulai mengubah struktur APBN. Pada saat krisis subsidi diperlukan untuk mengamankan gejolak inflasi yang sangat tinggi. Namun kini meski kondisi perekonomian telah membaik alokasi subsidi rata-rata tetap lebih dari 20 persen. Hasil penelitian yang dilakukan oleh The Clean Air Initiative for Asian Cities pada July 2010 menegaskan bahwa subsidi BBM di negara Indonesia termasuk sangat besar, bahkan pada 2008 mencapai 2.7 persen dari PDB, sementara pada saat yang sama Philiphina hanya sebesar 0.2 persen, Thailand sebesar 0.8 persen, bahkan Singapura sebesar 0 persen. Hal ini menegaskan bahwa subsidi di Indonesia termasuk besar dibandingkan dengan negara lain. Tabel 3 menunjukkan perkembangan belanja subsidi selama 2005-2010 yang semakin meningkat, dimana sekitar 70 persen diperuntukkan untuk subsidi energi terutama untuk subsidi BBM. Belanja Pegawai; 18,89 Belanja Barang; 12,20 Belanja Modal; 12,52 Pembayaran Bunga Utang ; 14,77 Subsidi ; 27,81 Belanja Hibah; 0,08 Bantuan Sosial; 8,98 Belanja Lain-lain; 4,81