Perbandingan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, dan

persen pertumbuhan ekonominya mampu menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 1.28 persen, ceteris paribus. Baik dihitung dengan US1.25 maupun US2 per hari, kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam menurunkan tingkat kemiskinan masih kalah dibandingkan Viet Nam maupun Philipina, apalagi terhadap Malaysia, Thailand dan China. Kualitas pertumbuhan ekonomi beberapa negara tersebut tidak lepas dari efektifitas alokasi anggaran negara dan keberpihakan kebijakan ekonomi pada sektor yang memiliki dampak besar dalam pengurangan tingkat kemiskinan.

V. PERKEMBANGAN KOMPOSISI ANGGARAN PEMERINTAH, PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN

KERJA, DAN KEMISKINAN DI INDONESIA Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara APBN merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal Indonesia. Komposisi APBN menunjukkan arah, kebijakan dan politik anggaran yang diambil oleh pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Idealnya komposisi APBN disusun berdasarkan permasalahan dan tujuan prioritas pembangunan yang sedang dihadapi. Dengan demikian kebijakan anggaran mampu berperan optimal dalam menstimulus perekonomian. Struktur APBN Indonesia mengalami perubahan mendasar sejak tahun 2001. Sebelum tahun 2001, struktur dan format APBN dibuat dalam bentuk scrontro yaitu sisi pendapatan negara diletakkan berdampingan dengan sisi belanja negara. Bentuk ini dikenal dengan istilah T-Account. Mulai tahun anggaran 2001 struktur dan format APBN dibuat dalam bentuk staffel, yaitu komponen pendapatan negara dan belanja di satukan dalam satu kolom. Komponen pendapatan di bagian atas, sedangkan komponen bagian belanja ditempatkan di bawahnya. Selain itu juga terdapat komponen pembiayaan sehingga dengan format ini dapat terlihat adanya surplus atau defisit anggaran, serta sumber pembiayaannya dari dalam negeri maupun luar negeri. Bentuk ini dikenal dengan istilah I-Account. Dalam format baru tersebut juga dilakukan pengelompokan kembali reklasifikasi terhadap pos-pos pendapatan dan belanja negara sehingga sesuai dengan struktur dan format Goverment Finance Statistics GFS. Dengan demikian struktur dan format APBN telah disesuaikan dan mengarah kepada standar internasional dalam statistik keuangan Pemerintah. Demikian juga periode tahun anggaran disesuaikan yang semula menggunakan tahun anggaran April-Maret menjadi tahun kalender Januari Desember. Selain perubahan struktur APBN dari T-Account menjadi I-Account, mulai APBN tahun anggaran 2005 dilakukan perubahan format APBN yaitu perubahan substansial terhadap format belanja negara khususnya format anggaran belanja pemerintah pusat. Perubahan tersebut intinya mencakup 2 dua hal yaitu : 1. Penerapan sistem penganggran secara terpadu unified budget, melalui penyatuan anggaran rutin dan anggaran belanja pembangunan yang sebelumnya dipisahkan. 2. Reklasifikasi rincian belanja negara menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja, yang sebelumnya dirinci menurut sektor dan jenis belanja. Penerapan sistem penganggaran secara terpadu pertama kali digunakan pada APBN tahun anggran 2005. Beberapa catatan penting berkaitan dengan perubahan dan penyesuaian format dan struktur belanja negara secara terpadu yaitu: 1 dalam format dan struktur I-Account yang baru, belanja negara tetap dipisahkan antara belanja pemerintah pusat dan belanja ke daerah, karena pos belanja ke daerah yang berlaku selama ini tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu pos belanja negara sebagaimana diatur dalam UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, 2 semua pengeluaran negara yang sifatnya bantuansubsidi dalam format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai subsidi, 3 semua pengeluaran negara yang selama ini ‘mengandung’ nama lain-lain yang tersebar di hampir semua pos belanja negara, dalam format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai belanja lain-lain. Tabel 20. Konversi APBN dalam I-Account Format Lama Format Baru A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak II. Penerimaan Hibah B. Belanja Negara I. Belanja Pemerintah Pusat 1. Pengeluaran Rutin a. Belanja Pegawai b. Belanja Barang c. Pembayaran Bunga Utang d. Subsidi e. Pengeluaran Rutin Lainnya 2. Pengeluaran Pembangunan II. Belanja Ke Daerah 1. Dana Perimbangan 2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian C. Keseimbangan Primer D. SurplusDefisit Anggaran E. Pembiayaan A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak II. Penerimaan Hibah B. Belanja Negara I. Belanja Pemerintah Pusat 1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang 3. Belanja Modal 4. Pembayaran Bunga Utang 5. Subsidi 6. Belanja Hibah 7. Bantuan Sosial 8. Belanja Lainnya II. Belanja Ke Daerah 1. Dana Perimbangan 2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian C. Keseimbangan Primer D. SurplusDefisit Anggaran E. Pembiayaan Sumber : Sekretariat Jendral DPR RI, 2010 Perubahan format anggaran belanja negara yang mendasar dimaksud untuk mencapai 2 dua sasaran. Pertama, untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan belanja negara, melalui : 1 minimalisasi duplikasi rencana kerja dan penganggaran dalam belanja negara, dan 2 meningkatkan antara keterkaitan antara keluaran output dan hasil outcomes yang dicapai dengan penganggaran organisasi atau yang disebut anggaran berbasis kinerja performance based budget. Kedua, untuk menyesuaikan dengan klasifikasi yang digunakan secara internasional. Perubahan struktur anggaran diharapkan mampu mengoptimalkan peran kebijakan fiskal dalam memberikan stimulus perekonomian, terutama dalam mencapai pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan. Dalam bab ini akan dideskripsikan mengenai perkembangan komposisi APBN Indonesia antar periode waktu, yaitu periode sebelum krisis ekonomi 1997 dan periode setelah krisis ekonomi 1997. Disamping profil belanja pemerintah, juga akan diulas kinerja perekonomian dalam periode waktu yang sama. Dengan demikian akan mendapatkan gambaran dan perbandingan antara kebijakan komposisi belanja pemerintah dengan kinerja pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan antara periode sebelum krisis ekonomi dan periode setelah krisis ekonomi 1997.

5.1. Periode Sebelum Krisis Ekonomi, Tahun 19691970-19961997

Pada periode sebelum krisis ekonomi 1997, dimulai sejak periode pemerintahan orde baru. Pada masa pemerintahan orde baru kebijakan pembangunan ekonomi dilaksanakan melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah-Panjang RPJMRPJP. Target pencapaian RPJM dan RPJP dilaksanakan secara periodik melalui Pembangunan Lima Tahun Pelita. Pembangunan Jangka Panjang Pertama, dimulai dari Pelita I sampai dengan Pelita V, dimana Pelita I 19691970 – 19731974, Pelita II 19741975-19781979 Pelita III 19791980-19831984, Pelita IV 19841985 – 19881989, Pelita V 19891990-19941995. Pembangunan Jangka Panjang kedua mustinya dimulai dari Pelita VI 19951996 – 19961997. Namun, Pelita VI belum tuntas dilaksanakan, karena terjadinya krisis ekonomi 1997 yang menyebabkan pergantian rezim pemerintahan yang diikuti perubahan kebijakan pembangunan ekonomi. Dokumen RPJM yang dijadikan acuan perencanaan dan pentahapan pembangunan dalam setiap Pelita. Pada masa orde baru masing-masing Pelita memiliki prioritas pembangunan yang akan dicapai melalui tahapan perencanaan pembangunan selama 5 tahun. Pelita I menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri yang mendukung sektor pertanian serta stabilisasi ekonomi dengan melakukan pengendalian inflasi dan penyediaan kebutuhan pangan dan sandang. Prioritas Pelita II menitik beratkan pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Sasaran yang hendak dicapai adalah peningkatan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana melalui upaya peningkatan ketersediaan lapangan kerja. Fokus Pelita III adalah pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Kebijakan yang diambil pada masa ini melalui program Trilogi Pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi yang diikuti stabilisasi dan pemerataan. Pada masa itu dilakukan berbagai upaya untuk memperlancar proses transisi ekonomi dari sektor pertanian ke industri. Selanjutnya pada pelita IV, menitikberatkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri itu sendiri. Kebijakan ini diiringi dengan peningkatan kemampuan ekonomi dalam negeri dengan mengurangi ketergantungan pada sektor ekspor migas dan mendorong ekspor non-migas. Selanjutnya pada Pelita V, pemerintah lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor. Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Periodisasi kebijakan pembangunan ekonomi pada masa orde baru tersebut seharusnya diiring dengan kebijakan fiskal pemerintah, yang tercermin dalam kebijakan anggaran pemerintah. Prioritas pembangunan pada masing-masing periode tersebut seharusnya terealisasi dalam dokumen Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara APBN. Hal ini dikarenakan APBN merupakan acuan bagi pelaksanaan program-program pemerintah dalam mewujudkan sasaran dan prioritas yang telah ditetapkan dalam rencana pembangunan.

5.1.1. Realisasi Penerimaan Negara

Pada periode Pelita I, porsi terbesar penerimaan pemerintah berasal dari pajak, yaitu sebesar Rp 513 miliar atau sekitar 60 persen. Kontributor utama adalah pajak dalam negeri yang berasal dari Pajak Penghasilan PPh dan PPN- BM. Sedangkan proporsi pajak perdagangan internasional sebesar 22.87 persen atau sekitar Rp117.36 miliar, terbesar berasal dari pajak bea masuk sebesar Rp85,14 miliar. Pada Pelita II, terjadi pergeseran penerimaan negara, dimana penerimaan dari pajak turun 40.66 persen atau Rp2.9 triliun. Penerimaan bukan pajak meningkat menjadi 59.34 persen. Peningkatan penerimaan bukan pajak bersumber dari pendapatan migas yang mencapai Rp 1.6 triliun. Perkembangan realisasi penerimaan Pemerintah selama periode orde baru atau sebelum krisis ditunjukkan dalam Gambar 20.