BAB V PENGARUH PRAKTIK PERTANIAN ORGANIK TERHADAP
KEBERLANJUTAN EKONOMI PETANI
Pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani, dapat diketahui melalui perbandingan analisis sistem usahatani organik
dan konvensional. Pengaruh tersebut memiliki tiga kemungkinan, yaitu: berpengaruh positif, negatif, atau tidak berpengaruh. Analisis sistem usahatani
dilakukan pada masing-masing kelompok eksperimen dan kontrol untuk mengetahui sampai sejauh mana keuntungan usahatani organik dibandingkan
usahatani konvensional. Selain itu, penulis juga menganalisis sistem usahatani sebelum dan sesudah organik pada satu kelompok responden eksperimen, yaitu
kelompok petani organik. Setelah sistem usahatani organik dan konvensional dianalisis dari segi tingkat input, output dan finansial, selanjutnya dilakukan
analisis statistik mengenai pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani berdasarkan hasil uji Paired Samples T-test.
Variabel sistem usahatani yang dianalisis dalam penelitian ini, antara lain: tingkat output atau produktivitas usahatani per musim; keuntungan usahatani per
musim yang diketahui melalui hasil pengurangan penerimaan usahatani per musim dengan biaya input produksi usahatani per musim; dan akses pasar. Semua
variabel di atas merupakan variabel yang mudah diukur untuk mengetahui keberlanjutan ekonomi petani dilihat dari sistem usahataninya. Penulis
menggunakan asumsi harga yang berlaku saat ini untuk mempermudah analisis finansial pada masing-masing sistem usahatani organik dan konvensional dalam
satu musim. Selain itu, petani juga tidak dapat mengingat biaya input produksi usahataninya secara detail maupun harga hasil panen mereka per kilogram
beberapa tahun yang lalu, saat pertanian organik belum diadposi oleh petani.
5.1. Analisis Tingkat Input dan Output Usahatani Organik dan Konvensional
Jenis tanaman budidaya dalam usahatani organik dan konvensional yang dianalisis dalam penelitian ini adalah padi sawah. Untuk mengetahui lebih jelas
mengenai tingkat input dan output usahatani organik dan konvensional per
musim, berikut ini disajikan tabel perbandingan input dan output usahatani organik dan konvensional per rataan luas lahan responden 0,24 ha per musim
menurut kelompok petani organik dan konvensional, serta tabel perbandingan input dan output usahatani sebelum dan sesudah organik per rataan luas lahan
responden 0,24 ha per musim menurut kelompok petani organik di Desa Ketapang.
Tabel 27. Perbandingan Input dan Output Usahatani Organik dan Konvensional per 0,24 ha per Musim menurut Kelompok Petani Organik dan
Konvensional, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010
Input dan Output
Organik Konvensional
n = 14 n = 65
Jenis Rata-rata
Jenis Rata-rata
Bibit
1
Umbul, Menthik Wangi, Menthik Susu
kg 6,2
IR 64, Umbul, Intani, PP kg
6,3
Pupuk
2
Pupuk kandang kg 1.001,7
Urea kg 120,4
Pupuk cair botol 4,3
TSP kg 71,8
PONSKA kg 68,6
Pestisida
3
Nabati botol 4,4
Matador, Hamador, dan lain-lain botol
5,7 HOK
4
51 49,1
Tingkat Produktivitas
Output
Gabah basah kg 1.814,3
Gabah basah kg 1856,1
Sumber: Data Primer Diolah Keterangan:
1
Tidak termasuk bibit Beras Merah yang digunakan oleh satu orang petani organik sebesar 2,6 kg.
2
Tidak termasuk pupuk kompos dan Bioton yang digunakan oleh satu orang petani organik dengan jumlah masing-masing sebesar 734,9 kg dan 0,9 botol, serta pupuk KCL dan NPK yang digunakan oleh dua orang
petani konvensional dengan jumlah masing-masing sebesar 74,6 kg dan 72 kg.
3
Jenis pestisida kimia sintetik yang paling dominan digunakan oleh petani konvensional adalah Matador dan Hamador.
4
HOK merupakan hasil pembagian biaya tenaga kerja Rp dengan upah rata-rata harian petani, yaitu Rp. 12.500,00.
Tabel 28. Perbandingan Input dan Output Usahatani Sebelum dan Sesudah Organik per 0,24 ha per Musim menurut Kelompok Petani Organik,
Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010
Input dan Output
Sebelum Organik Sesudah Organik
n = 14 n = 14
Jenis Rata-rata
Jenis Rata-
rata Bibit
1
IR 64 kg 7,5
Umbul, Menthik Wangi, Menthik Susu kg
6,2
Pupuk
2
Urea kg 122,9
Pupuk kandang kg 1.001,7
TSP kg 66,3
Pupuk cair botol 4,3
KCL kg 19,5
Pestisida
3
Matador, Hamador, dan lain-lain botol
3,3 Nabati botol
4,4 HOK
4
50,5 51
Tingkat Produktivitas
Output
Gabah Basah kg 1.904,6
Gabah Basah kg 1.814,3
Sumber: Data Primer Diolah Keterangan:
1
Tidak termasuk bibit Beras Merah yang digunakan oleh satu orang petani organik sebesar 2,6 kg.
2
Tidak termasuk pupuk kompos dan Bioton yang digunakan oleh satu orang petani organik dengan jumlah masing-masing sebesar 734,9 kg dan 0,9 botol, serta pupuk SP 36, NPK dan ZA yang digunakan oleh satu
orang petani sebelum organik dengan jumlah masing-masing sebesar 120 kg, 60 kg dan 21,8 kg.
3
Jenis pestisida kimia sintetik yang paling dominan digunakan oleh petani konvensional adalah Matador dan Hamador.
4
HOK merupakan hasil pembagian biaya tenaga kerja Rp dengan upah rata-rata harian petani, yaitu Rp. 12.500,00.
Input produksi usaha tani yang dibandingkan pada sistem pertanian organik dan konvensional, meliputi: penggunaan bibit padi, pupuk, pestisida dan HOK Hari
Orang Kerja. Tingkat produktivitas usahatani bisa diketahui melalui produksi gabah basah per musim dalam satuan kilogram. Berdasarkan Tabel 27, diketahui
bahwa terdapat perbedaan input produksi antara usahatani organik dan konvensional, baik dalam hal jumlah maupun jenis input yang digunakan, seperti:
jenis bibit padi, jenis pupuk dan jenis pestisida. Jenis bibit padi yang digunakan pada usahatani organik adalah: Umbul, Menthik Wangi, Menthik Susu dan Beras
Merah. Semua bibit padi tersebut merupakan varietas lokal yang sangat dianjurkan dalam praktik pertanian organik. Jenis bibit padi yang digunakan pada
usahatani konvensional secara umum adalah: IR 64, Umbul, Intani dan PP. Jumlah rata-rata bibit padi yang digunakan pada usahatani organik dan
konvensional per 0,24 ha per musim tidak jauh berbeda. Petani organik rata-rata menggunakan bibit padi sebanyak 6,2 kg di luar penggunaan bibit Beras Merah
yang tidak dihitung ke dalam Tabel 27 karena hanya satu responden yang
menggunakan bibit tersebut setiap musim secara rutin. Sementara itu, petani konvensional rata-rata menggunakan bibit padi sebanyak 6,3 kg. Selisih jumlah
penggunaan rata-rata bibit padi antara kedua kelompok responden hanya 0,1 kg. Jenis pupuk yang digunakan pada usahatani organik adalah pupuk kandang;
pupuk cair yang biasanya merupakan hasil fermentasi urine sapi, kelinci, manusia, atau bahkan bahan-bahan nabati; pupuk kompos dan Bioton. Sistem pertanian
organik tidak mengizinkan penggunaan bahan-bahan kimia sintetik sedikitpun. Oleh karena itu, tidak ada input pupuk kimia sintetik dalam sistem usahatani ini.
Sebaliknya, sistem usahatani konvensional menggunakan pupuk kimia sintetik untuk mempercepat proses pertumbuhan tanaman padi. Pupuk kimia sintetik yang
umumnya digunakan dalam usahatani konvensional, antara lain: Urea, TSP dan PONSKA. Pupuk kimia sintetik lainnya yang juga digunakan dalam usahatani
konvensional adalah KCL dan NPK meskipun jarang digunakan oleh responden kontrol penelitian ini.
Jumlah penggunaan rata-rata pupuk pada usahatani organik dan konvensional per 0,24 ha per musim relatif berbeda berdasarkan masing-masing
jenis pupuk yang digunakan. Petani organik menggunakan pupuk kandang hingga 1.001,7 kg dan pupuk cair sebanyak 4,3 botol setiap musimnya. Selain itu,
adapula petani organik yang menggunakan pupuk kompos dan Bioton dengan jumlah masing-masing sebesar 734,9 kg dan 0,9 botol setiap musimnya. Jumlah
penggunaan rata-rata pupuk kompos dan Bioton per 0,24 ha per musim tersebut, tidak dimasukkan dalam perhitungan Tabel 27 karena hanya digunakan oleh satu
orang petani organik. Jumlah pupuk yang digunakan dalam usahatani konvensional per 0,24 ha per musim menurut kelompok petani konvensional,
adalah sebagai berikut: pupuk Urea 120,4 kg, pupuk TSP 71,8 kg, pupuk PONSKA 68,6 kg. Selain itu, ada penggunaan jenis pupuk kimia sintetik lainnya,
yaitu KCLdan NPK yang tidak dimasukkan ke dalam perhitungan Tabel 27 karena hanya digunakan oleh dua orang petani konvensional dengan jumlah
masing-masing sebesar 74,6 kg dan 72 kg. Jenis dan jumlah pestisida yang digunakan dalam usahatani organik dan
konvensional juga sangat berbeda. Praktik pertanian organik hanya menggunakan pestisida organik berupa pestisida nabati yang dibuat dari tumbuh-tumbuhan
alami. Jumlah rata-rata pestisida nabati yang digunakan oleh petani organik per 0,24 ha per musim berdasarkan hasil penelitian ini adalah 4,4 botol. Praktik
pertanian konvensional membutuhkan jenis pestisida kimia sintetik dengan jumlah tertentu berdasarkan penggunaan petani per musim. Jenis pestisida kimia sintetik
yang paling banyak digunakan oleh petani konvensional adalah Hamador, Matador dan Regent. Selain itu, ada beberapa jenis pestisida kimia sintetik lainnya
yang hanya digunakan oleh sebagian kecil petani, yaitu: Gandasil B, Kape Laut, Konfider, SPONTAN, Herbafarm, Decis dan T-Mec. Jumlah penggunaan rata-rata
semua jenis pupuk kimia sintetik pada usahatani konvensional per 0,24 ha per musim menurut kelompok petani konvensional adalah 5,7 botol.
Hari Orang Kerja HOK rata-rata per 0,24 ha per musim sebagaimana yang ditunjukkan dalam Tabel 27, terlihat berbeda antara sistem pertanian organik
dan konvensional. Usahatani organik menghabiskan HOK rata-rata sekitar 51 hari, sedangkan usahatani konvensional HOK rata-ratanya adalah 49,1 hari. HOK
Rata-rata tersebut didapatkan dari hasil perhitungan total biaya tenaga kerja dibagi upah rata-rata harian petani yang umumnya sebesar Rp. 12.500,00. HOK rata-rata
pada pertanian organik ternyata lebih besar daripada pertanian konvensional dan oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pertanian organik membutuhkan tenaga
kerja atau waktu kerja yang lebih besar dibandingkan pertanian konvensional. Setelah mengetahui perbandingan jenis dan jumlah penggunaan rata-rata input
pada usahatani organik dan konvensional per 0,24 ha per musim menurut kelompok petani organik dan konvensional, maka perlu juga mengetahui
perbandingan tingkat produktivitas rata-rata pertanian organik dan konvensional per 0,24 ha per musim dengan basis hitungan hasil panen gabah basah dalam
satuan kilogram. Sistem pertanian organik mampu menghasilkan 1.814,3 kg gabah basah,
sedangkan sistem pertanian konvensional mampu menghasilkan gabah basah sebesar 1.856,1 kg Tabel 27. Berdasarkan rata-rata hasil panen tersebut, dapat
dinyatakan bahwa tingkat produktivitas pertanian organik sedikit lebih rendah dibandingkan pertanian konvensional. Meskipun demikian, selisih tingkat
produktivitas antara pertanian organik dan konvensional sangat tipis, sehingga baik pertanian organik maupun konvensional memiliki kemampuan yang hampir
sama dalam menghasilkan panen. Tingkat produktivitas pertanian konvensional yang sedikit lebih tinggi daripada pertanian organik, disebabkan oleh penggunaan
input kimia sintetik yang cukup tinggi, khususnya pupuk. Penggunaan pupuk kimia sintetik pada sistem pertanian konvensional dapat merangsang atau
mempercepat pertumbuhan tanaman, sehingga waktu panen menjadi lebih cepat dan hasil panen menjadi lebih banyak daripada sistem pertanian organik. Namun,
penggunaan input kimia sintetik secara rutin pada usahatani konvensional, beresiko terhadap turunnya kualitas lingkungan.
Tabel 28 berisi informasi mengenai perbandingan tingkat input dan output usahatani sebelum dan sesudah organik per 0,24 ha per musim, menurut
kelompok petani organik. Usahatani sebelum petani organik mengadopsi praktik pertanian organik sama saja dengan usahatani konvensional. Berdasarkan Tabel
28, terdapat perbedaan jenis dan jumlah penggunaan input pada usahatani sebelum dan sesudah organik. Input yang dibandingkan, meliputi: penggunaan
bibit padi, pupuk, pestisida, dan HOK Hari Orang Kerja. Sebelum responden eksperimen petani organik mengadopsi praktik pertanian organik, jenis bibit
padi yang biasanya digunakan adalah IR 64 dengan jumlah penggunaan rata-rata per 0,24 ha per musim sebesar 7,5 kg. Jenis bibit padi hibrida kemudian diganti
dengan varietas lokal, seperti: Umbul, Menthik Wangi, Menthik Susu dan Beras Merah ketika responden sudah menjalankan praktik pertanian organik. Jumlah
penggunaan rata-rata bibit padi varietas lokal tersebut per 0,24 ha per musim adalah 6,2 kg, tidak termasuk penggunaan bibit Beras Merah yang hanya
digunakan oleh satu orang petani organik dalam penelitian ini. Pupuk yang digunakan oleh responden eksperimen sebelum menjalankan
praktik pertanian organik adalah pupuk kimia sintetik dengan jenis: Urea, TSP, KCL, SP 36, NPK dan ZA. Jumlah penggunaan rata-rata masing-masing jenis
pupuk tersebut per 0,24 ha per musim adalah: Urea 122,9 kg, TSP 66,3 kg, KCL 19,5 kg, SP 36 120 kg, NPK 60 kg dan ZA 21,8 kg. Jumlah penggunaan rata-rata
pupuk SP 36, NPK dan ZA tidak dicantumkan ke dalam tabel 28 karena hanya digunakan oleh satu orang responden eksperimen. Semua jenis pupuk kimia
sintetik tersebut tidak digunakan lagi oleh responden eksperimen saat mereka sudah mengadopsi pertanian organik secara penuh. Jenis pupuk yang digunakan
oleh petani setelah bertani organik adalah pupuk kandang, pupuk cair, pupuk kompos dan Bioton dengan jumlah penggunaan rata-rata per 0,24 ha per musim
sebesar: 1.001,7 kg pupuk kandang, 4,3 botol pupuk cair, 734,9 kg pupuk kompos dan 0,9 botol Bioton. Jumlah penggunaan rata-rata pupuk kompos dan Bioton
tidak dicantumkan ke dalam Tabel 28 karena hanya digunakan oleh satu orang responden eksperimen.
Jenis pestisida yang digunakan pada usahatani sebelum dan sesudah organik relatif berbeda. Ada beberapa jenis atau merek pestisida kimia sintetik
yang digunakan oleh petani sebelum mereka bertani organik. Sementara itu, usahatani sesudah organik tidak menggunakan pestisida kimia sintetik sama sekali
tetapi menggunakan pestisida organik. Jenis pestisida kimia sintetik yang paling banyak digunakan oleh petani sebelum menjalankan usahatani organik adalah
Matador dan Hamador. Selain itu, ada beberapa merek pestisida kimia sintetik lainnya yang juga digunakan oleh para petani sebelum bertani organik, seperti:
Gandasil B, Gandasil Bubuk, Nakodan dan Regent. Jumlah penggunaan rata-rata semua jenis pestisida tersebut per 0,24 ha per musim menurut responden
eksperimen adalah 3,3 botol. Setelah menjalankan usahatani organik, para petani kemudian meninggalkan penggunaan pestisida kimia sintetik, lalu menggantinya
dengan pestisida nabati yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan alami. Jumlah penggunaan rata-rata pestisida nabati oleh petani organik per 0,24 ha per musim
adalah 4,4 botol dan jumlah ini lebih banyak daripada jumlah penggunaan pestisida kimia sintetik sebelum mereka bertani organik.
Perbedaan Hari Orang Kerja HOK juga terlihat antara sistem usahatani sebelum dan sesudah organik sebagaimana yang ditunjukkan dalam Tabel 28.
Sistem usahatani sesudah organik ternyata menghabiskan HOK rata-rata lebih banyak, yaitu 51 hari daripada sistem usahatani sebelum organik yang
menghabiskan HOK rata-rata sebesar 50,5 hari per 0,24 ha per musim. Selain perbedaan jenis dan tingkat penggunaan input, sistem pertanian organik dan
konvensional ternyata memiliki perbedaan tingkat produktivitas output. Perbandingan tingkat produktivitas pertanian antara sistem usahatani sebelum dan
sesudah organik dalam penelitian ini, dinilai dari kemampuan masing-masing
sistem usahatani untuk menghasilkan panen rata-rata dalam bentuk gabah basah per 0,24 ha per musim dengan satuan kilogram.
Berdasarkan Tabel 28, diketahui bahwa sistem usahatani sebelum organik mampu menghasilkan panen rata-rata sebesar 1.904,6 kg, sedangkan sistem
usahatani sesudah organik menghasilkan panen rata-rata sebesar 1.814,3 kg. Dengan demikian, sistem usahatani sesudah organik terbukti memiliki
produktivitas lebih rendah dibandingkan sistem usahatani sebelum organik. Meskipun demikian, nilai ekonomi produk organik dihargai lebih tinggi oleh para
petani dan konsumen daripada produk non organik, sehingga berpengaruh terhadap penerimaan usahatani per musim. Fakta ini diperkuat oleh pernyataan
salah satu informan penelitian, sebagai berikut:
“Pertanian organik niku ngge luwih apik dibandingno non organik, dilihat saking gembure lemah lan hasil panene. Pas
organik, tanah niku luwih remah timbangane sing ndok lahan non organik. Terus, hasil panen organik di waktu awal-awal memang
turun drastis, tapi ngge lami-lami mbalek maneh, meh podo kale lahan non organik meskipun memang sedikit lebih rendah hasil
panennya dibanding pertanian non organik, tapi selisihnya nggak banyak kok. Nek organik niku Mas, padine luwih abot, rapet masio
hasil panene ketok mek titik, tapi pas ditimbang tibae luwih abot dibandingno karo padi biasa dan harganya itu juga jauh lebih
tinggi Mas daripada padi biasa. Mangkane tetep luwih untung tani organik masio panene rodok titik.”
Rhy, laki-laki, 32 tahun.
5.2. Analisis Finansial Usahatani Organik dan Konvensional