sistem usahatani untuk menghasilkan panen rata-rata dalam bentuk gabah basah per 0,24 ha per musim dengan satuan kilogram.
Berdasarkan Tabel 28, diketahui bahwa sistem usahatani sebelum organik mampu menghasilkan panen rata-rata sebesar 1.904,6 kg, sedangkan sistem
usahatani sesudah organik menghasilkan panen rata-rata sebesar 1.814,3 kg. Dengan demikian, sistem usahatani sesudah organik terbukti memiliki
produktivitas lebih rendah dibandingkan sistem usahatani sebelum organik. Meskipun demikian, nilai ekonomi produk organik dihargai lebih tinggi oleh para
petani dan konsumen daripada produk non organik, sehingga berpengaruh terhadap penerimaan usahatani per musim. Fakta ini diperkuat oleh pernyataan
salah satu informan penelitian, sebagai berikut:
“Pertanian organik niku ngge luwih apik dibandingno non organik, dilihat saking gembure lemah lan hasil panene. Pas
organik, tanah niku luwih remah timbangane sing ndok lahan non organik. Terus, hasil panen organik di waktu awal-awal memang
turun drastis, tapi ngge lami-lami mbalek maneh, meh podo kale lahan non organik meskipun memang sedikit lebih rendah hasil
panennya dibanding pertanian non organik, tapi selisihnya nggak banyak kok. Nek organik niku Mas, padine luwih abot, rapet masio
hasil panene ketok mek titik, tapi pas ditimbang tibae luwih abot dibandingno karo padi biasa dan harganya itu juga jauh lebih
tinggi Mas daripada padi biasa. Mangkane tetep luwih untung tani organik masio panene rodok titik.”
Rhy, laki-laki, 32 tahun.
5.2. Analisis Finansial Usahatani Organik dan Konvensional
Analisis finansial usahatani organik dan konvensional dilakukan untuk mengetahui lebih jelas mengenai biaya input produksi, penerimaan usahatani,
keuntungan dan nilai BC Rasio per musim. Analisis finansial ini akan menjawab sampai sejauh mana pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan
ekonomi petani. Perhitungan finansial pada masing-masing kategori, seperti: biaya input produksi, penerimaan usahatani dan keuntungan merupakan nilai rata-
rata dari semua responden pada masing-masing kelompok kontrol dan eksperimen per rataan luas lahan responden 0,24 ha per musim. Pertanian
organik dapat dikatakan mampu menjamin keberlanjutan ekonomi petani jika nilai keuntungan rata-ratanya lebih besar daripada nilai keuntungan rata-rata usahatani
konvensional per 0,24 ha per musim dan demikian pula dengan nilai BC Rasio pada usahatani organik yang lebih tinggi daripada konvensional. Suatu bisnis atau
sistem usahatani dikategorikan layak jika nilai BC Rasionya lebih besar dari 1. Sebaliknya, jika nilai BC Rasio suatu usahatani lebih kecil dari 1, maka usahatani
tersebut tidak layak secara ekonomi. Biaya input produksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah
total biaya yang dikeluarkan oleh petani selama proses produksi dalam sistem usahatani, meliputi: biaya penggunaan bibit padi, pupuk, pestisida, biaya tenaga
kerja dan upah panen. Penerimaan usahatani yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah total hasil panen rata-rata gabah basah dalam satuan kilogram per
0,24 ha per musim kali harga jual gabah basah per kilogram, yaitu Rp. 2.700,00 dan dikurangi upah panen yang besarnya 15 dari jumlah total hasil panen gabah
basah dalam satuan rupiah. Nilai keuntungan rata-rata usahatani per 0,24 ha per musim, baru dapat dihitung setelah nilai input produksi dan penerimaan usahatani
diketahui karena keuntungan usahatani dalam penelitian ini didefinisikan sebagai hasil pengurangan antara penerimaan usahatani dengan biaya input produksi.
Sementara itu, nilai BC Rasio yang dijadikan sebagai acuan kelayakan usahatani merupakan rasio atau hasil bagi antara keuntungan benefit dengan biaya input
produksi cost. Analisis finansial usahatani organik dan konvensional menurut dua kelompok responden petani organik dan konvensional dan menurut satu
kelompok responden petani organik di Desa Ketapang, selengkapnya disajikan dalam Tabel 29 dan Tabel 30.
Tabel 29. Perbandingan Analisis Biaya, Penerimaan dan Keuntungan Rata-rata Usahatani Organik dan Konvensional per 0,24 ha per Musim menurut
Kelompok Petani Organik dan Konvensional, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010
Organik Rp Konvensional Rp
n = 14 n =65
Input Produksi:
1. Bibit
1
44.455 28.388,8
2. Pupuk
2
36.465,6 371.937,5
3. Pestisida 3.151,3
51.090,6 4. Tenaga Kerja dan Upah
Panen
3
2.161.122,2 1.616.434,5
Total Biaya Input Produksi 2.245.194
2.067.851,5
Penerimaan Usahatani
4
6.096.150,6 4.009.191,4
Keuntungan 3.850.956,5
1.941.339,9
BC Rasio 1,7
0,9
Sumber: Data Primer Diolah Keterangan:
1
Termasuk biaya menggunakan bibit Beras Merah oleh satu orang petani organik.
2
Termasuk biaya menggunakan pupuk kompos dan Bioton oleh satu orang petani organik, serta pupuk KCL dan NPK oleh dua orang petani konvensional.
3
Upah panen dihitung 15 dari penerimaan usahatani dengan basis hitungan gabah basah Rp.
4
Dihitung dari perkalian antara hasil panen dalam bentuk gabah basah kg dengan harga jual gabah basah per kg, yaitu Rp. 2.700,00 lalu dikurangi upah panen.
Tabel 30. Perbandingan Analisis Biaya, Penerimaan dan Keuntungan Rata-rata Usahatani Sebelum dan Sesudah Organik per 0,24 ha per Musim
menurut Kelompok Petani Organik, Desa Ketapang, Jawa Tengah, Tahun 2010
Sebelum Organik Rp Sesudah Organik Rp
n = 14 n = 14
Input Produksi:
1. Bibit
1
37.721,1 44.455
2. Pupuk
2
393.217,8 36.465,6
3. Pestisida 47.463
3.151,3 4. Tenaga Kerja dan Upah
Panen
3
1.659.626,9 2.161.122,2
Total Biaya Input Produksi
2.138.028,8 2.245.194
Penerimaan Usahatani
4
4.113.909,7 6.096.150,6
Keuntungan
1.975.880,9 3.850.956,5
BC Rasio 0.9
1.7
Sumber: Data Primer Diolah Keterangan:
1
Termasuk biaya menggunakan bibit Beras Merah oleh satu orang petani organik.
2
Termasuk biaya menggunakan pupuk kompos dan Bioton oleh satu orang petani organik, serta pupuk SP 36, NPK dan ZA yang digunakan oleh satu orang petani sebelum organik.
3
Upah panen dihitung 15 dari penerimaan usahatani dengan basis hitungan gabah basah Rp.
4
Dihitung dari perkalian antara hasil panen dalam bentuk gabah basah kg dengan harga jual gabah basah per kg, yaitu Rp. 2.700,00 lalu dikurangi upah panen.
Berdasarkan Tabel 29, diketahui bahwa biaya penggunaan rata-rata bibit padi per 0,24 ha per musim pada usahatani organik lebih besar daripada usahatani
konvensional. Biaya penggunaan bibit padi pada usahatani organik mencapai Rp. 44.455,00 sedangkan usahatani konvensional menghabiskan biaya untuk bibit
padi hanya sebesar Rp. 28.388,80. Lebih tingginya biaya penggunaan bibit padi pada usahatani organik disebabkan oleh harga bibit padi varietas lokal yang lebih
mahal, yaitu Rp. 6.000,00 per kg daripada harga bibit padi varietas hibrida seperti IR 64, yang hanya Rp. 5.000,00 per kg. Pertanian organik mewajibkan
penggunaan bibit padi varietas lokal. Biaya penggunaan pupuk pada usahatani organik, ternyata lebih rendah
daripada usahatani konvensional. Sistem usahatani organik menghabiskan biaya penggunaan rata-rata pupuk sebesar Rp. 36.465,60 sedangkan usahatani
konvensional menghabiskan biaya penggunaan rata-rata pupuk yang lebih tinggi, yaitu Rp. 371.937,50 per 0,24 ha per musim. Lebih rendahnya biaya penggunaan
pupuk pada usahatani organik disebabkan karena usahatani organik hanya menggunakan pupuk organik yang biayanya relatif sangat rendah atau bahkan
seringkali tidak perlu mengeluarkan biaya dan bahan bakunya pun mudah didapat di lingkungan sekitar petani. Sebaliknya, usahatani konvensional membutuhkan
asupan pupuk kimia sintetik yang harganya jauh lebih mahal dan hanya bisa didapat dari toko-toko Saprodi Sarana Produksi Pertanian atau melalui subsidi
kelompok tani. Biaya penggunaan rata-rata pestisida per 0,24 ha per musim pada
usahatani organik juga lebih rendah daripada usahatani konvensional. Usahatani organik menghabiskan biaya penggunaan pestisida sebesar Rp. 3.151,30
sedangkan usahatani konvensional menghabiskan biaya penggunaan pestisida sebesar Rp. 28.388,80. Praktik pertanian organik tidak memperbolehkan
penggunaan pestisida kimia sintetik, sehingga petani organik harus membuat pestisida alami yang pada umumnya berupa pestisida nabati untuk menggantikan
fungsi pestisida kimia sintetik. Oleh karena itu, biaya input untuk penggunaan pestisida pada usahatani organik jauh lebih rendah dibandingkan usahatani
konvensional yang menggunakan pestisida kimia sintetik. Harga pestisida kimia sintetik per botol berkisar antara Rp. 15.000,00 hingga Rp. 25.000,00 tergantung
pada jenis atau merek pestisida, sedangkan pestisida nabati seringkali tidak membutuhkan biaya dan jika memang petani terpaksa harus membelinya,
harganya hanya Rp. 5.000,00 per botol. Biaya tenaga kerja dan upah panen rata-rata per 0,24 ha per musim pada
usahatani organik mencapai Rp. 2.161.122,20 sedangkan biaya tenaga kerja dan upah panen rata-rata per 0,24 ha per musim pada usahatani konvensional adalah
Rp. 1.616.434,50 Tabel 29. Berdasarkan fakta tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pertanian organik menghabiskan biaya tenaga kerja dan upah panen lebih
besar daripada pertanian konvensional. Hal ini berbanding lurus dengan HOK yang dihabiskan pada masing-masing sistem usahatani seperti yang telah
dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Secara keseluruhan, total biaya input produksi rata-rata per 0,24 ha per musim pada usahatani organik dan konvensional
masing-masing adalah Rp. 2.245.194,00 dan Rp. 2.067.851,50. Usahatani organik ternyata menghabiskan biaya input produksi lebih tinggi daripada usahatani
konvensional. Penjelasan mengenai mengapa biaya input produksi pada usahatani
organik lebih tinggi daripada usahatani konvensional adalah karena usahatani organik menghabiskan biaya tenaga kerja dan upah panen yang lebih tinggi
daripada usahatani konvensional. Selisih biaya tenaga kerja dan upah panen antara usahatani organik dan konvensional cukup besar. Hal ini salah satunya disebabkan
oleh tingginya harga jual gabah basah organik per kilogram dibandingkan gabah basah non organik yang kemudian mempengaruhi besarnya upah panen dalam
satuan rupiah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, upah panen dihitung 15 dari total panen rata-rata gabah basah per 0,24 ha per musim. Meskipun terdapat
perbedaan total biaya input rata-rata antara usahatani organik dan konvensional, namun jenis biaya input produksi yang paling tinggi dalam kedua sistem usahatani
adalah sama, yaitu terletak pada biaya tenaga kerja dan upah panen. Penulis menggunakan beberapa asumsi dalam penelitian ini untuk
mengetahui penerimaan usahatani rata-rata responden per 0,24 ha per musim secara mudah. Selain itu, hal ini juga untuk mempermudah perhitungan
keuntungan usahatani rata-rata per 0,24 ha per musim. Beberapa asumsi tersebut, adalah:
1 Semua petani yang menjadi responden penelitian ini dianggap menjual
seluruh hasil panennya per musim dalam bentuk gabah basah karena sebagian besar hasil panen yang diperoleh responden hanya digunakan untuk konsumsi
sendiri Tabel 25. 2
Penulis menggunakan acuan harga jual padi organik dan konvensional dalam bentuk gabah basah per kilogram yang berlaku saat ini, karena tidak banyak
petani yang bisa mengingat harga jual padi beberapa tahun lalu. Penerimaan usahatani rata-rata per 0,24 ha per musim menunjukkan
perbedaan yang cukup besar antara pertanian organik dan konvensional. Penerimaan rata-rata usahatani organik mencapai Rp. 6.096.150,60 sedangkan
usahatani konvensional menghasilkan penerimaan rata-rata sebesar Rp. 4.009.191,40. Lebih besarnya penerimaan usahatani organik dibandingkan
konvensional disebabkan oleh harga jual produk pertanian organik yang lebih tinggi daripada produk pertanian konvensional. Oleh karena itu, meskipun tingkat
produktivitas pertanian organik sedikit lebih rendah daripada pertanian konvensional, tetapi nilai penerimaan usahatani rata-ratanya jauh lebih besar.
Petani organik telah memiliki standar kualitas dan harga jual sendiri untuk hasil panennya yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi daripada hasil panen pertanian
konvensional. Perbandingan harga jual antara produk pertanian organik dan konvensional, dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31. Daftar Harga Jual Padi Organik dan Konvensional menurut Bentuk Padi di Desa Ketapang, Tahun 2010
Bentuk Padi yang Dijual Harga Jualkg Rp
Organik Konvensional
Gabah Basah 4.200,00
2.700,00 Gabah Kering
4.500,00 4.000,00
Beras 7.200,00 - 9.000,00
5.000,00 - 6.500,00 Sumber: Data Primer
Penerimaan usahatani organik yang lebih besar daripada usahatani konvensional, ternyata mempengaruhi nilai keuntungan rata-rata usahatani
organik per 0,24 ha per musim. Tabel 29 menunjukkan bahwa keuntungan rata- rata usahatani organik yang mencapai Rp. 3.850.956,50 jauh lebih besar daripada
keuntungan rata-rata usahatani konvensional yang hanya Rp. 1.941.339,90.
Selisih keuntungan rata-rata usahatani organik dengan konvensional tersebut, hampir dua kali lipat. Selain nilai keuntungan rata-rata usahatani, juga perlu
diketahui nilai BC Rasio masing-masing sistem usahatani agar dapat disimpulkan apakah sistem usahatani tersebut layak atau tidak secara ekonomi. Nilai BC Rasio
usahatani organik dan konvensional per 0,24 ha per musim secara berurutan adalah 1,7 dan 0,9 Tabel 29. Berdasarkan nilai BC Rasio tersebut, dapat
disimpulkan bahwa sistem usahatani organik layak secara ekonomi, sedangkan sistem usahatani konvensional tidak layak secara ekonomi karena nilai BC
Rasionya kurang dari 1. Dengan demikian, sudah terbukti bahwa pertanian organik lebih menguntungkan secara ekonomi daripada pertanian konvensional,
berdasarkan analisis finansial terhadap dua kelompok responden, yaitu kelompok petani organik dan konvensional.
Perbandingan analisis finansial antara usahatani sebelum dan sesudah organik menurut kelompok responden eksperimen petani organik, dapat dilihat
pada Tabel 30. Berdasarkan tabel 30, dapat diketahui bahwa total biaya input produksi rata-rata usaha tani sesudah organik lebih besar daripada usahatani
sebelum organik. Responden eksperimen menghabiskan total biaya input produksi rata-rata per 0,24 ha per musim ketika mereka sudah bertani organik sebesar
Rp. 2.245.194,00. Biaya tersebut lebih besar dibandingkan total biaya input produksi rata-rata usahatani sebelum organik, yaitu Rp. 2.138.028,80. Lebih
besarnya total biaya input produksi rata-rata pada usahatani sesudah organik disebabkan oleh biaya tenaga kerja dan upah panen yang lebih besar daripada
usahatani sebelum organik, seperti yang telah dijelaskan pada analisis finansial di paragraf sebelumnya. Biaya tenaga kerja dan upah rata-rata per 0,24 ha per musim
pada sistem usahatani sebelum organik adalah Rp. 1.659.626,90. Biaya tersebut meningkat menjadi Rp. 2.161.122,20 setelah para petani menjalankan usahatani
organik. Perbedaan biaya input produksi rata-rata per 0,24 ha per musim pada
usahatani sebelum dan sesudah organik tidak hanya terlihat dalam hal tenaga kerja dan upah panen, tetapi juga dalam hal penggunaan bibit padi, pupuk dan pestisida.
Biaya penggunaan bibit padi usahatani sebelum dan sesudah organik, masing- masing adalah Rp. 37.721,10 dan Rp.
44.455,00 Tabel 30. Biaya penggunaan
bibit padi lebih besar pada saat petani menjalankan pertanian organik karena seperti yang telah dijelaskan pada analisis finansial sebelumnya, pertanian organik
mengharuskan penggunaan bibit padi varietas lokal yang harganya lebih mahal dibandingkan bibit padi varietas hibrida yang biasanya digunakan dalam sistem
pertanian konvensional. Biaya penggunaan rata-rata pupuk per 0,24 ha per musim pada usahatani sebelum organik, jauh lebih tinggi daripada sesudah organik.
Biaya tersebut mencapai Rp. 393.217,80 dan berbeda jauh dengan biaya penggunaan rata-rata pupuk pada usahatani sesudah organik yang hanya sebesar
Rp. 36.465,60. Para petani harus membeli pupuk kimia sintetik yang harganya relatif mahal pada saat sebelum bertani organik. Namun, biaya penggunaan pupuk
akhirnya dapat ditekan sesudah petani menjalankan praktik pertanian organik karena pertanian organik hanya memanfaatkan sumber daya pupuk yang langsung
berasal dari limbah-limbah organik. Biaya penggunaan rata-rata pestisida per 0,24 ha per musim pada
usahatani sebelum dan sesudah organik masing-masing adalah Rp. 47.463,00 dan Rp. 3.151,30. Hal ini berarti, usahatani sebelum organik mengeluarkan biaya lebih
tinggi untuk penggunaan pestisida daripada usahatani sesudah organik. Pada saat sebelum bertani organik, para petani menggunakan pestisida kimia sintetik yang
harganya relatif mahal, yaitu berkisar antara Rp. 15.000,00 sampai Rp. 25.000,00 per botol tergantung jenis atau merek pestisida. Namun, setelah para petani
mengadopsi praktik pertanian organik, mereka secara perlahan-lahan meninggalkan pestisida kimia sintetik, kemudian menggantinya dengan pestisida
nabati yang tidak perlu mengeluarkan biaya atau jika terpaksa harus membeli pestisida nabati dari tetangga, mereka hanya perlu mengeluarkan uang sebesar
Rp. 5.000,00 per botol. Itulah alasan mengapa biaya penggunaan pestisida pada usahatani sebelum organik jauh lebih tinggi daripada sesudah organik.
Dari semua biaya input yang telah dijelaskan, dapat diketahui bahwa kategori biaya input yang paling besar pada sistem usahatani sebelum dan sesudah
organik adalah biaya tenaga kerja dan upah panen. Analisis finansial berikutnya yang akan dibandingkan antara kedua sistem usahatani adalah penerimaan
usahatani, keuntungan usahatani dan nilai BC Rasio. Penerimaan rata-rata usahatani sebelum dan sesudah organik per 0,24 ha per musim seperti yang
tercantum dalam Tabel 30 secara berurutan adalah Rp. 4.113.909,70 dan Rp. 6.096.150,60. Penerimaan rata-rata usahatani sesudah organik ternyata lebihbesar
daripada sebelum organik. Hal ini sama dengan yang terjadi pada perbandingan penerimaan rata-rata usahatani organik dan konvensional antara kedua kelompok
responden kontrol dan eksperimen. Nilai keuntungan rata-rata usahatani sesudah organik per 0,24 ha per
musim juga lebih tinggi dibandingkan sebelum organik. Para petani biasanya mendapatkan keuntungan rata-rata per 0,24 ha per musim sebesar Rp.
1.975.880,90 sebelum bertani organik dan jumlah keuntungan rata-tersebut meningkat menjadi Rp.
3.850.956,50 setelah mereka bertani organik. Setelah mengetahui nilai keuntungan rata-rata usahatani sesudah organik yang lebih tinggi
daripada sebelum organik, maka sudah dapat dikatakan bahwa usahatani sesudah organik lebih unggul secara ekonomi daripada usahatani sebelum organik
usahatani konvensional. Hal ini diperkuat oleh nilai BC Rasio sebesar 1,7 pada usahatani sesudah organik yang berarti, usahatani tersebut layak secara ekonomi.
Sebaliknya, nilai BC Rasio pada usahatani sebelum organik hanya 0,9 yang berarti usahatani tersebut tidak layak secara ekonomi, karena suatu bisnis bisa
disebut layak jika nilai BC Rasio lebih besar dari 1.
5.3. Analisis Akses Pasar Usahatani Organik dan Konvensional Pengertian akses pasar dalam penelitian ini adalah kemampuan atau
peluang petani dalam memasarkan atau menjual produk pertaniannya kepada konsumen melalui berbagai macam saluran distribusi berdasarkan permintaan
konsumen. Akses pasar dinilai dari jumlah dan kemudahan saluran distribusi yang bisa dijangkau oleh petani sendiri dengan otoritas harga jual produk dari petani.
Dengan demikian, akses pasar suatu sistem usahatani bisa dikatakan tinggi jika semakin banyak peluang pasar dan saluran distribusi yang bisa dijangkau oleh
petani. Selain itu, petani juga merasa leluasa dalam menjual produknya kepada siapa saja, di mana saja, dengan posisi tawar yang lebih tinggi. Sebaliknya, akses
pasar dikatakan rendah jika petani menghadapi keterbatasan peluang pasar dan saluran distribusi atas produk pertanian mereka; serta tidak memiliki posisi tawar
atau bargaining position yang tinggi atas produk pertanian mereka di hadapan konsumen sehingga petani tidak berdaya.
Akses pasar usahatani organik menurut pengakuan semua responden eksperimen petani organik lebih tinggi daripada akses pasar usahatani
konvensional karena para petani memiliki lebih banyak saluran distribusi untuk memasarkan produk-produk mereka setelah bertani organik. Para petani organik
dapat membandingkan akses pasar pada sistem usahatani organik dan konvensional karena mereka telah melaksanakan kedua sistem usahatani tersebut
sebelumnya. Produk-produk pertanian organik khususnya padi, dapat dijual langsung kepada konsumen dengan harga premium atau sesuai dengan standar
harga dari petani. Selain itu, petani juga biasanya menjual padi organik dalam bentuk gabah basah atau gabah kering ke Koperasi Paguyuban Petani Al-Barokah
dengan harga lebih tinggi daripada padi non organik. Saluran distribusi lainnya yang sudah bisa dijangkau petani, antara lain: grosir beras organik, distributor
besar, bahkan gerai khusus produk organik yang tersebar di beberapa daerah, seperti: Jakarta, Bogor, Surabaya, Semarang, Solo, Salatiga, Kendal, dan lain-lain.
Petani organik sekarang lebih bebas dalam menentukan kemana dan kepada siapa hasil panen padi organik mereka akan dijual. Tidak ada ketakutan
sama sekali mengenai akses pasar pertanian organik karena saat ini, permintaan konsumen demand atas produk organik masih sangat tinggi bahkan lebih tinggi
daripada ketersediaan produknya supply. Oleh karena itu, seringkali para petani organik belum sanggup memenuhi semua permintaan tersebut. Berdasarkan
kondisi tersebut, Paguyuban Petani Al-Barokah kemudian menjalin kerjasama atau kemitraan dengan kelompok tani organik di daerah lain untuk memenuhi
permintaan konsumen. Hal ini sangat berbeda dengan akses pasar pertanian konvensional yang rendah. Para petani konvensional hanya dapat menjual produk
mereka di pasar lokal dalam bentuk beras atau di tempat penggilingan selepan dan sawah dalam bentuk gabah melalui tengkulak. Harga jual padi konvensional
pun jauh lebih rendah daripada padi organik. Selain itu, sudah terdapat banyak pesaing produsen padi konvensional di pasaran. Fakta mengenai perbandingan
antara akses pasar pertanian organik dan konvensional, diperkuat oleh pernyataan salah satu informan penelitian sebagai berikut:
“Sebelum organik, padi dalam bentuk gabah basah, gabah kering, atau beras biasanya dijual ke pasar lokal dan sebagian besar
lainnya langsung dijual di tempat penggilingan selepan atau sawah melalui tengkulak. Sedangkan setelah organik, padi bisa
dijual ke Koperasi Paguyuban Petani Al-Barokah atau langsung kepada konsumen dan grosir beras organik, tergantung keputusan
petani. Harga jual padi organik dalam bentuk apapun, tentu saja lebih tinggi daripada yang non organik. Sampai saat ini, kami
masih kewalahan sekali memenuhi permintaan pasar atas beras organik karena tidak semua petani di sini bertani organik.
Padahal, potensi lahan pertanian yang bisa diorganikkan masih besar. Jadi, Al-Barokah dalam hal ini terus menjalin kemitraan
dengan kelompok tani organik di daerah lainnya yang juga tergabung dalam SPPQT Serikat Paguyuban Petani Qorryah
Thoyyibah. Kelompok tani tersebut sudah terbukti organik dan bisa dipercaya kualitas produknya karena kami sama-sama
melakukan pengecekan atau inspeksi internal terhadap lahan pertanian organik.”
Mst, laki-laki, 43 tahun.
5.4. Pengaruh Praktik Pertanian Organik terhadap Keberlanjutan Ekonomi Petani