Menemukan telur cacing pada tinja atau cairan empedu dilakukan dalam pemeriksaan mikroskopis Soedarto, 2008.
Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan ataupun secara massal. Untuk pengobatan perorangan dapat dengan menggunakan beberapa jenis obat
misalnya piperasin, pirantel pamoat 10 mgkg berat badan, dosis tunggal mabendazol 500 mg atau albendazol 400 mg. Infeksi campuran Ascaris
lumbricoides dan T. trichiura dapat menggunakan Oksantel-pirantel pamoat. Pengobatan masal dilakukan pada anak Sekolah Dasar dengan pemberian
albendazol 400 mg 2 kali setahun oleh pemerintah Utama, 2009. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah
dengan tinja di sekitar halaman rumah, dibawah pohon, di tempat mencuci dan tempat pembuangan sampah. Di negara-negara tertentu terdapat kebiasaan
memakai tinja sebagai pupuk Utama, 2009.
2.3.2 Necator americanus dan Ancylostoma duodenale Cacing Tambang
Kedua parasit ini diberi nama cacing tambang karena pada zaman dahulu cacing ini ditemukan di Eropa pada pekerja pertambangan yang belum
mempunyai fasilitas sanitasi yang memadai. Hospes parasit ini adalah manusia, cacing ini menyebabkan nekatoriasis dan ankilostomiasis.
Penyebaran cacing ini di seluruh daerah khatulistiwa dan di tempat lain dengan keadaan yang sesuai, misalnya di daerah pertambangan dan perkebunan.
Prevalensi di Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan sekitar 40 Utama, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Cara terjadinya polusi tinja di tanah, lingkungan yang sesuai bagi perkembangan telur dan larva cacing, adanya kontak manusia dengan tanah yang
tercemar parasit merupakan tiga faktor penentu penyebaran infeksi cacing tambang Soedarto, 2009.
Cacing dewasa hidup di rongga usus halus, dengan mulut yang besar melekat pada mukosa dinding usus. Cacing betina N.americanus tiap hari
mengeluarkan telur 5.000-10.000 butir, sedangkan A.duodenale kira-kira 10.000- 25.000 butir. Cacing berukuran panjang ± 1 cm, cacing jantan ± 0,8 cm. Bentuk
badan N.americanus biasanuya menyerupai huruf S, sedangkan A.duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini besar. N.americanus
mempunyai benda kitin, sedangkan A.duodenale ada dua pasang gigi. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks.
Telurnya yang di keluarkan dengan tinja, cepat menjadi matangvdan mengeluarkan larva rabditiform dalam waktu 1 sampai 2 hari pada keadaan
menguntungkan serta pada suhu optimum 23° sampai 33°C. Telur A.duodenale mati dalam beberapa jam pada suhu 45°C dan dalam 7 hari pada 0°C Brown,
1979. Telur cacing tambang yang besarnya ± 60 x 40 mikron, berbentuk bujur
dan mempunyi dinding tipis. Di dinding terdapat beberapa sel. Larva rabditiform panjangnya ± 250 mikron, sedangkan filariform panjangnya ± 600 mikron. Infeksi
terjadi bila larva filariform menembus kulit. Infeksi A.duodenale juga dapat terjadi dengan menelan larva filariform.
Universitas Sumatera Utara
Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis : 1.
Stadium larva Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit maka terjadi perubahan
kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru biasanya ringan. Infeksi filariform A.duodenale secara oral bisa menyebabkan penyakit wakana dengan
gejala mual, muntah, iritasi faring, batuk, sakit leher dan serak. 2.
Stadium dewasa Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita
Fe dan protein. Tiap cacing N.americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan A.duodenale 0,08-0,34 cc. Pada
infeksi kronik atau infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer. Di samping itu juga terdapat eosinofilia. Cacing tambang biasanya tidak
menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja turun. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja segar. Dalam
tinja yang lama mungkin ditemukan larva. Untuk membedakan spesies N.americanus dan A.duodenale dapat dilakukan biakan misalnya dengan cara
Harada-Mori. Pengobatan dilakukan dengan pemberian Pirantel pamoat, dengan dosis
tunggal 11 mgkg berat badan maksimal, 1 gram. Mebendazol, 100 mg dua kali sehari dalam tiga hari, cukup efektif. Tidak dianjurkan digunakan ibu hamil dan
penggunaan dengan hati-hati pada anak dibawah dua tahun Cecil, 1985. Insidens tertinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di
daerah pedesaan, khususnya di perkebunan. Seringkali pekerja perkebunan yang
Universitas Sumatera Utara
langsung berhubungn dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70. Menurut Cecil 1985 prevalensi tertinggi ditemukan pada anak usia sekolah.
Menurut Brown
1979 faktor-faktor
berikut menguntungkan
pemeliharaan dan penyebaran cacing tambang: 1.
Orang-orang yang mengandung parasit yang defekasi di tanah di daerah yang sering dikunjungi oleh orang lain, bertumpuknya tinja di tempat-tempat
terpencil dekat rumah, kembalinya anggota keluarga ke tempat yang terbatas ini, menyebabkan infeksi keluarga. Sekolah yang terdiri dari satu ruangan
tanpa fasilitas menuntut ilmu kesehatan adalah sumber infeksi yang sangat baik.
2. Tanah pasir atau campuran tanah liat dan pasir yang merupakan tempat
pembiakan yang baik untuk larva cacing tambang. Tanah liat yang padat sekali tidak cocok untuk larva.
3. Iklim panas menguntungkan perkembangan telur dan larva dan devekasi di
sembrang tempat. Iklim dingin disertai salju memaksa orang untuk berlindung , maka di daerah-daerah tersebut dimana-mana dipakai kakus.
4. Kelembaban, 30-50 inici air hujan, terutama selama musim panas bilamana ada
kemungkinan untuk perkembangan telur dan larva. 5.
Penduduk miskin dan orang yang tidak memakai sepatu. Setengah dari penduduk dunia tidak memakai sepatu, tidak dapat membelinya atau tidak
memerlukannya.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Trichuris trichiura Cacing Cambuk