Trichuris trichiura Cacing Cambuk

2.3.3 Trichuris trichiura Cacing Cambuk

Penyakit yang disebabkan Trichuris trichiura disebut trikuriasis. Manusia adalah hospes utama Trichuris trichiura, akan tetapi cacing tersebut juga pernah dilaporkan di dalam kera dan babi Brown, 1979. Cacing ini bersifat kosmopolit, terutama ditemukan didaerah panas dan lembab, seperti di Indonesia Utama, 2009 Panjang cacing betina kira-kira 5 cm, sedangkan jantan kira-kira 4 cm. Bagan anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 35 dari panjang seluruh tubuh. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum dengan bagian anteriornya seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3.000-20.000 butir. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan bentuk yang infektif. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang. Lalu keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum. Masa pertumbuhan mulai dari telur tertelan sampai cacing dewasa betina bertelur ± 30-90 hari Brown, 1979. Cacing Trichuris pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi. Universitas Sumatera Utara Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, sehingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan usus. Di tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Disamping itu cacing ini juga mengisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. Menurut Brown 1979 anak-anak lebih sering terkena infeksi dari pada orang dewasa. Penderita terutama anak-anak dengan infeksi Trichuris yang berat dan menahun, menunjukkan gejala diare yang diselingi sindrom disenti, anemia, berat badan turun dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum. Trichuriasis dengan gejala-gejala kliniknya tidak dapat dibedakan dari infeksi nematoda intestinal lainnya, meskipun eosinofili lebih sering ditemukan. Diagnosis dilakukan dengan ditemukan telur yang khas berbentuk seperti tempayan dalam tinja. Pengobatan dilakukan dengan pemberian Albendazol 400 mg dosis tunggal Utama, 2009. Mebendazol 100 mg dua kali sehari selama tiga hari tanpa memandang berat badan. Tetapi, pemakaian mabendazole sebaiknya berhati-hati pada anak dibawah 2 tahun dan tidak diperbolehkan untuk ibu hamil Cecil, 1985. Faktor penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimum 30° C. Pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia tinggi, di beberapa daerah pedesaan frekuensinya 30-90. Pencegahan Trichuriasis seperti dengan nematoda yang ditularkan melalui tanah lainnya, parasit ini terkait dengan kemiskinan di daerah pedesaan. Penyediaan sarana sanitasi pembuangan kotoran manuisa, dipadukan dengan Universitas Sumatera Utara pendidikan kepada masyarakat mengenai penularan kecacingan penting untuk dicegah Cecil, 1985. Menurut Brown 1979 infeksi yang sangat endemik dapat dicegah dengan: 1. Pengobatan orang-orang yang terkena infeksi 2. Pembuangan tinja manusia secara baik 3. Mencuci tangan sebelum makan 4. Mendidik anak-anak tentang sanitasi dan higiene perorangan 5. Mencuci dengan baik dan menyiram dengan air panas sayuran yang tidak dimasak, teristimewa penting di negeri-negeri yang memakai tinja sebagai pupuk.

2.3.4 Dampak Kecacingan

Dokumen yang terkait

Hubungan Sanitasi Lingkungan Dan Higiene Perorangan Dengan Kejadian penyakit Cacing Pita (Taenia Solium) Pada Siswa SD Negeri 173545 di Desa Tambunan Kecamatan Balige Tahun 2014

5 87 152

Hubungan Higiene Perorangan Siswa Dengan Infeksi Kecacingan Anak SD Negeri Di Kecamatan Sibolga Kota Kota Sibolga

5 31 138

Hubungan Sanitasi Dasar dan Higiene Perorangan dengan Infeksi Kecacingan Pada Siswa SD Negeri 067773 Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan MarelanTahun 2016

1 9 148

Hubungan Higiene Perorangan dengan Kejadian Kecacingan pada Murid SD Negeri Abe Pantai Jayapura

0 1 11

Lampiran 1 KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN RUMAH DAN HIGIENE PERORANGAN DENGAN KEJADIAN KECACINGAN PADA SISWA SDN 101200 DESA PERKEBUNAN HAPESONG DAN SDN 101300 DESA NAPA KECAMATAN BATANG TORU KABUPATEN TAPANULI SELATAN TAHUN 2015

0 0 36

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sanitasi - Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah dan Higiene Perorangan dengan Kejadian Kecacingan di SD Negeri 101200 Desa Perkebunan Hapesong dan SD Negeri 101300 Desa Napa Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun

0 0 34

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN RUMAH DAN HIGIENE PERORANGAN DENGAN KEJADIAN KECACINGAN PADA SISWA SDN 101200 DESA PERKEBUNAN HAPESONG DAN SDN 101300 DESA NAPA KECAMATAN BATANG TORU KABUPATEN TAPANULI SELATAN TAHUN 2015 SKRIPSI

0 0 14

Hubungan Sanitasi Lingkungan Dan Higiene Perorangan Dengan Kejadian penyakit Cacing Pita (Taenia Solium) Pada Siswa SD Negeri 173545 di Desa Tambunan Kecamatan Balige Tahun 2014

0 0 48

Hubungan Sanitasi Lingkungan Dan Higiene Perorangan Dengan Kejadian penyakit Cacing Pita (Taenia Solium) Pada Siswa SD Negeri 173545 di Desa Tambunan Kecamatan Balige Tahun 2014

0 1 35

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DAN HIGIENE PERORANGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT CACING PITA (Taenia Solium) PADA SISWA SD NEGERI 173547 DI DESA TAMBUNAN KECAMATAN BALIGE KABUPATEN TOBA SAMOSIR TAHUN 2014

0 0 16