70
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian Kecacingan
Pengukuran sanitasi lingkungan rumah responden dengan kejadian kecacingan diukur berdasarkan sarana air bersih, sanitasi jamban, saluran
pembuangan air limbah dan pengelolaan sampah. Hasil penelitian keadaan sarana air bersih menunjukkan sebagian besar
responden kelompok kasus dengan jumlah 18 orang 72,0 berada pada kategori risiko pencemaran tinggi sedangkan pada kelompok kontrol pada umumnya
memiliki sarana air bersih yang risiko pencemarannya rendah dengan jumlah responden 30 orang 85,7. Buruknya sarana air bersih mengakibatkan tingginya
kejadian kecacingan yang dapat dilihat pada kelompok kasus. Berdasarkan hasil analisis hubungan antara sarana air bersih terhadap
kejadian kecacingan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p= 0,001 p 0,05 dengan OR 15,429 CI 95 = 4,256-55,928 sehingga dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan antara penyediaan air bersih dengan kejadian kecacingan pada siswa SD Negeri 101200 Desa Perkebunan Hapesong dan SD Negeri 101300
Desa Napa Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa responden yang memiliki sarana air bersih yang berada
dalam kategori risiko pencemaran tinggi memiliki risiko 15,429 kali lebih besar untuk terjadi kecacingan dari responden yang memiliki sarana air bersih yang
berada pada kategori resiko pencemaran rendah.
Universitas Sumatera Utara
Hasil observasi di lapangan, umumnya responden memperoleh air dari sungai, sumur gali dan air perpipaan sementara air bersih di dapatkan dari sumur
gali dan air perpipaan. Lebih banyak responden yang menggunakan air perpipaan sebagai sarana air bersih, namun air perpipaan yang di gunakan bukan dari
sambungan sendiri. Sebagian air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari berasal dari kran umum yang dialirkan dengan pipa ke rumah responden, pipa
yang digunakan untuk mengalirkan air bersih pada umumnya terbuat dari pipa plastik. Air yang berasal dari keran umum ditampung pada wadah yang terbuka
yang memungkinkan pencemaran air terjadi. Penggunaan air yang tercemar akan menimbulkan berbagai masalah
kesehatan seperti kecacingan. Air yang mengandung telur cacing yang apabila digunakan untuk mencuci tangan akan dapat berpindah ke tangan dan akan masuk
ke dalam tubuh ketika makan menggunakan tangan Proverawati Rahmawati, 2012.
Air yang terkontaminasi telur cacing jika dipergunakan untuk membersihkan diri misalnya untuk mandi, mencuci tangan dan menggelontorkan
kotoran setelah buang air besar akan dapat tertelan ataupun masuk melalui pori- pori kulit yang terbuka akibat luka. Tidak tersedianya sarana air bersih yang
memadai mengakibatkan sebagian responden mandi dan buang air besar di sungai.
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Fitri 2012 pada murid SD di Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan menunjukkan ada
hubungan kondisi sarana air bersih terhadap kejadian kecacingan yaitu p= 0,001.
Universitas Sumatera Utara
Mendukung pendapat Slamet 1996 yang menyatakan air merupakan sarana utama untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian pengukuran sanitasi jamban sebagian besar responden kelompok kasus berada pada kategori risiko pencemaran tinggi dengan
jumlah 17 orang 68,0 sedangkan pada kelompok kontrol secara umum memiliki sanitasi jamban pada kategori risiko rendah dengan jumlah 31 responden
88,6. Masih ada responden yang tidak memiliki jamban di rumah mempermudah responden untuk terinfeksi. Tingginya kepemilikan jamban yang
tingkat risiko pencemaran tinggi akan memicu tingginya angka kecacingan. Sanitasi jamban yang tingkat risiko pencemaran tinggi lebih banyak terdapat pada
kelompok kasus. Hasil analisis hubungan sanitasi jamban dengan kejadian kecacingan
menggunakan uji chi-square diperoleh nilai p= 0,001 p 0,05 dengan OR sebesar 16,469 95 CI = 4,321-62,774 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan antara sanitasi jamban dengan kejadian kecacingan. Hasil ini menunjukkan bahwa responden yang memiliki sanitasi jamban yang berada dalam
kategori tingkat risiko pencemaran tinggi memiliki risiko 16,469 kali lebih besar untuk terjadi kecacingan dari responden yang memiliki sanitasi jamban yang
tingkat risiko pencemaran rendah. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Fitri 2012 pada murid SD di Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli
Selatan menunjukkan ada hubungan kondisi sarana air bersih terhadap kejadian kecacingan yaitu p= 0,001.
Universitas Sumatera Utara
Hasil observasi menunjukkan secara umum responden buang air besar di jamban hal ini ditunjukkan dengan sebagian besar responden memiliki jamban
leher angsa yang memiliki septictank. Meski demikian masih ada responden yang tidak memiliki jamban di rumah sehingga jika ingin buang air besar harus pergi ke
sungai. Pembuangan tinja yang tidak baik dapat menimbulkan pencemaran tanah,
pencemaran air, kontaminasi dan memicu perkembangbiakan lalat. Tinja yang mengandung telur cacing dapat menjadi sumber infeksi dengan berbagai media
perantara air, tangan, lalat, tanah, makanan dan minuman. Menurut Salvato 1982 diperlukan suatu cara pembuangan tinja yang memenuhi persyaratan
sanitasi agar tidak terjadi pencemaran dan memberikan manfaat. Manfaat secara langsung adalah menurunkan insidensi penyakit dan manfaat tidak langsung
adalah peningkatan kondisi kebersihan lingkungan yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian pengukuran saluran pembuangan air limbah lebih banyak responden kelompok kasus berada pada kategori risiko pencemaran
tinggi dengan jumlah 16 orang 64,0 sedangkan pada kelompok kontrol secara umum memiliki pengelolaan air limbah pada kategori risiko pencemaran tinggi
dengan jumlah 20 responden 57,1. Berdasarkan hasil analisis uji beda pengelolaan air limbah responden antara responden kasus dengan responden
kontrol menggunakan uji chi-square diperoleh nilai p= 0,593 p 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan pengelolaan air limbah antara
responden kasus dengan responden kontrol.
Universitas Sumatera Utara
Tidak terdapatnya perbedaan antara saluran pembuangan air limbah pada responden kasus dan kontrol terjadi karena penyebaran telur cacing yang berasal
dari tinja manusia secara tidak langsung ataupun langsung masuk ke tubuh manusia, pada umumnya limbah rumah tangga pada penelitan ini adalah air
buangan dalam bentuk cair seperti air bekas cucian dan mandi. Tidak ada pembuangan tinja ke saluran pembuangan limbah sehingga penularan telur cacing
tidak terjadi. Namun penularan telur cacing dapat terjadi oleh faktor lain yang tidak memenuhi syarat seperti sarana air bersih dan kebersihan halaman.
Halaman sering dijadikan arena bermain anak-anak, bahkan tidak jarang digunakan untuk tempat buang air besar yang memungkinkan telur cacing untuk
tidak cepat matang sehingga potensi untuk menularkan tetap besar. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Kartini 2009 pada anak SD di Kota Banda
Aceh tahun 2009 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan saluran pembuangan air limbah rumah tangga dengan terjadinya kejadian kecacingan.
Berdasarkan hasil penelitian pengukuran pengelolaan sampah sebagian besar responden kelompok kasus berada pada kategori risiko pencemaran tinggi
dengan jumlah 19 orang 76,0 sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar memiliki pengelolaan air limbah pada kategori risiko pencemaran rendah
dengan jumlah 26 responden 74,3. Berdasarkan hasil analisis hubungan pengelolaan sampah responden dengan kejadian kecacingan menggunakan uji chi-
square diperoleh nilai p= 0,001 p 0,05 dengan OR sebesar 9,148 95 CI = 2,782-30,082 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara
pengelolaan sampah dengan kejadian kecacingan. Hasil ini menunjukkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
responden yang memiliki pengelolaan sampah yang berada dalam kategori risiko pencemaran tinggi memiliki risiko 9,148 kali lebih besar untuk terjadi
kecacingan dari responden yang memiliki pengelolan sampah yang tingkat risiko pencemarannya rendah. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Fitri 2012
pada murid SD di Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan menunjukkan ada hubungan kondisi tempat sampah terhadap kejadian kecacingan
yaitu p= 0,001. Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh keluarga responden adalah
dengan cara dibakar. Sampah yang telah dikumpulkan pada tempat sampah akan dikumpulkan sementara waktu di halaman belakang rumah dan sewaktu-waktu
jika sudah banyak kemudian dibakar. Tidak tetapnya jadwal pembakaran membuat sampah menumpuk dan berserakan ditiup angin. Pengelolaan sampah
dengan tingkat risiko tinggi memicu meningkatnya kejadian kecacingan. Sampah yang dibiarkan begitu saja akan membusuk dan membuat tanah menjadi lembab
yang merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan cacing. Anak-anak yang bermain di sekitar rumah akan terinfeksi ketika kontak langsung dengan
tanah atau karena tidak memakai alas kaki di sekitar rumah. Menurut Slamet 2009 pengaruh sampah terhadap kesehatan salah
satunya adalah efek tidak langsung berupa penyakit bawaan vektor yang berkembang biak dalam sampah. Sampah bila dibuang sembarangan dapat
menjadi sarang lalat yang merupakan salah saru vektor dari cacing.
Universitas Sumatera Utara
5.2 Hubungan Higiene Perorangan dengan Kejadian Kecacingan