CONTOH PROPOSAL EKSPERIMEN Pendidikan Pe

(1)

CONTOH PROPOSAL EKSPERIMEN (Pendidikan)

Pengaruh Pembelajaran Kontekstual dan Gaya Berfikir terhadap Prestasi

Belajar Matematika

A. JUDUL PENELITIAN

Pengaruh Pembelajaran Kontekstual dan Gaya Berfikir terhadap Prestasi Belajar Matematika

B. LATAR BELAKANG MASALAH

Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni dan budaya. Sementara itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat ini tidak lepas dari peran pendidikan, dan pendidikan merupakan bagian hakiki dari kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, masalah pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Masalah pendidikan seringkali menjadi topik perbincangan yang menarik dan hangat, di kalangan masyarakat luas, dan lebih-lebih lagi pakar pendidikan. Hal ini merupakan hal yang wajar karena semua orang berkepentingan dan ikut terlibat dalam proses pendidikan.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan semua pihak dapat memperoleh informasi dengan melimpah, cepat dan mudah melalui berbagai sumber dan tempat di dunia ini. Dengan demikian, siswa perlu memiliki kemampuan memperoleh, memilih dan mengolah informasi untuk bertahan pada keadaan yang selalu berubah dan penuh dengan persaingan. Kemampuan untuk memperoleh, memilih dan mengolah informasi membutuhkan pemikiran kritis, sistematis, logis, kreatif dan kemauan bekerja sama yang efektif. Cara berpikir seperti ini dapat dikembangkan dengan belajar matematika, karena matematika memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat dan jelas antar konsepnya sehingga memungkinkan siswa terampil berpikir rasional (Depdiknas, 2005). Selain itu, Indonesia sebagai negara berkembang sangat membutuhkan tenaga-tenaga kreatif yang mampu memberi sumbangan bermakna kepada ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan termasuk kesenian.

Matematika berfungsi mengembangkan kemampuan menghitung, mengukur dan menggunakan rumus matematika yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari melalui materi pengukuran dan geometri, serta aljabar dan trigonometri. Matematika juga berfungsi mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa yang dapat berupa model matematika, kalimat matematika, diagram, grafik atau tabel (Depdiknas, 2005). Matematika sebagai salah satu ilmu dasar merupakan mata pelajaran yang wajib diajarkan pada semua jenjang pendidikan, baik sekolah dasar, sekolah menengah mupun perguruan


(2)

tinggi. Cornelius mengatakan bahwa ada banyak alasan tentang perlunya siswa belajar matematika, yaitu: 1) merupakan sarana berpikir yang jelas dan logis; 2) sarana memecahkan masalah kehidupan sehari-hari; 3) sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman; 4) sarana mengembangkan kreativitas; dan 5) sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya (dalam Abdurrahman, 1999).

Begitu pentingnya peranan matematika seperti yang diuraikan di atas, seharusnya membuat matematika menjadi salah satu mata pelajaran yang menyenangkan dan digemari oleh siswa. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa mata pelajaran matematika masih merupakan pelajaran yang dianggap sulit, membosankan dan sering menimbulkan masalah dalam belajar. Kondisi ini mengakibatkan mata pelajaran matematika tidak disenangi, tidak diperdulikan dan bahkan diabaikan. Hal ini tentunya menimbulkan kesenjangan yang cukup besar antara apa yang diharapkan dari belajar matematika dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Di satu sisi matematika mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, meningkatkan daya nalar, berpikir logis, sistematis dan kreatif. Di sisi lain banyak siswa yang tidak menyenangi mata pelajaran matematika.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam rangka membangun pemahaman siswa yang nantinya diharapkan bermuara pada peningkatan mutu pendidikan, khususnya pendidikan matematika. Upaya-upaya yang dimaksud di antaranya penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku ajar atau bahan ajar atau buku referensi lainnya, melaksanakan

program academic staff deployment (ASD) yaitu menerjunkan dosen ke sekolah sebagai guru,

peningkatan mutu guru dan tenaga kependidikan lainnya baik melalui pelatihan, seminar dan kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), serta peningkatan kualifikasi

pendidikan mereka.Namun demikian, semua usaha tersebut nampaknya belum membuahkan

hasil yang optimal. Berbagai indikator menunjukkan bahwa mutu pendidikan, terlebih lagi pendidikan matematika yang secara otomatis menyentuh prestasi belajar matematika siswa mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah sampai kepada perguruan tinggi masih belum meningkat secara signifikan.

Upaya meningkatkan prestasi belajar matematika rupanya harus dilakukan dengan kerja keras serta harus menghadapi berbagai hambatan, antara lain: 1) pelajaran matematika masih menjadi mata pelajaran yang “menakutkan” bagi siswa, sehingga siswa atau masyarakat umum beranggapan bahwa mata pelajaran matematika itu adalah mata pelajaran yang hanya berkutat pada angka-angka saja; 2) sering terdengar nada-nada miring yang tersebar di masyarakat terkait dengan diberikannya pelajaran matematika di sekolah, di mana mereka beranggapan bahwa mata pelajaran matematika tidak ada manfaatnya bagi kehidupan sehari-hari. Selain itu, seperti termuat pada harian Kompas edisi 28 Maret 2002 dapat diperoleh gambaran sikap siswa terhadap mata pelajaran ini. Disebutkan bahwa mata pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang tidak menarik bagi para siswa SD


(3)

sampai SMA serta bagi mahasiswa di perguruan tinggi. Sikap antipati ini disebabkan karena siswa menganggap matematika merupakan pelajaran yang sulit dan hanya merupakan ilmu murni yang kerjanya bergulat dengan angka-angka saja.

Salah satu patokan yang sering digunakan untuk menggambarkan kurang berhasilnya pendidikan matematika di semua jenjang pendidikan adalah nilai hasil ujian akhir nasional (NUAN), karena NUAN merupakan indikator yang mudah dilihat oleh masyarakat luas untuk digunakan sebagai acuan tentang keberhasilan pendidikan, khususnya pendidikan matematika. Kenyataan menunjukkan bahwa secara nasional rata-rata NUAN matematika siswa SMP pada lima tahun terakhir ini berkisar antara 4,00 sampai 5,50 (Sumadi dkk, 2004). Sementara itu, khusus di SMP DHARMA LAKSANA, rata-rata NUAM untuk mata pelajaran matematika masih sulit beranjak dari urutan terbawah dan bahkan diklasifikasikan C. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini.

Tabel 1.1 Rata-rata NUAM Siswa SMP DHARMA LAKSANA Dua Tahun Terakhir

Tahun Pelajaran

Mata Pelajaran

PPKn B. Indo B. Ing Mat. IPA IPS

2003/2004 7,55 6,05 6,04 5,70 6,49 6,19

Kalsifikasi A C C C C C

2004/2005 - 7,17 6,16 5,62 -

-Klasifikasi - B B C -

-(Sumber Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMP DHARMA LAKSANA) Hasil observasi di SMP DHARMA LAKSANA menunjukkan bahwa dalam pembelajaran matematika di kelas proses belajar-mengajar masih didominasi oleh guru, di mana guru sebagai sumber utama pengetahuan. Hal ini dilakukan oleh guru karena guru mengejar target kurikulum untuk menghabiskan materi pembelajaran atau bahan ajar dalam kurun waktu tertentu. Guru juga lebih menekankan pada siswa untuk menghapal konsep-konsep, terutama rumus-rumus praktis, yang nantinya bisa digunakan oleh siswa dalam menjawab soal ulangan harian, ulangan umum atau pun UAN tanpa melihat secara nyata manfaat materi yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, siswa akan semakin beranggapan belajar matematika itu tidak ada artinya bagi kehidupan mereka, abstrak dan sulit dipahami. Akibatnya siswa selalu memandang matematika sebagai pelajaran yang “menakutkan” bahkan yang lebih ekstrim lagi siswa mengangap matematika itu sebagai


(4)

“musuh”. Semua itu pada akhirnya akan bermuara pada rendahnya prestasi belajar yang diperoleh siswa dalam pelajaran matematika.

Dalam proses pembelajaran matematika selama ini, guru menerapkan strategi klasikal dengan metode ceramah menjadi pilihan utama sebagai metode pembelajaran. Pola pembelajaran atau urutan sajian materi dalam pembelajaran matematika yang biasa dilakukan selama ini adalah (1) pembelajaran diawali penjelasan singkat materi oleh guru, siswa diajarkan teori, defenisi, teorema yang harus dihafal, (2) pemberian contoh soal dan (3) diakhiri dengan latihan soal. Dalam latihan soal, siswa selalu diarahkan untuk menjawab “benar” untuk setiap jawaban benar, kemampuan berpikir konvergen siswa lebih ditekankan tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir divergen (Ichrom, 1988). Pola pembelajaran konvensional seperti di atas dilakukan secara monoton dari waktu ke waktu. Dalam pembelajaran ini konsep yang diterima siswa hampir semuanya berasal dari “apa kata guru”. Konsekwensinya, bila siswa diberikan soal yang berbeda dengan soal latihan, maka siswa cenderung membuat kesalahan. Pengetahuan yang dimiliki siswa hanya bersifat prosedural yaitu siswa cenderung menghafal contoh-contoh yang diberikan oleh guru tanpa terjadi pembentukan konsepsi yang benar dalam struktur kognitif siswa. Siswa akan menemui hambatan jika diberikan soal yang tidak bisa diselesaikan dengan rumus secara langsung, tetapi melalui penerapan beberapa rumus atau konsep. Boleh dibilang siswa memiliki “senjata canggih” tetapi tidak mengetahui cara menggunakannya. Keadaan seperti ini membuat siswa mengalami kesulitan memahami konsep matematika sehingga sangat mudah terjadi miskonsepsi yang nantinya akan menyebabkan siswa mengalami kesulitan memahami konsep lebih lanjut.

Dominasi metode ceramah dalam pembelajaran matematika cenderung berorientasi pada materi yang tercantum dalam kurikulum dan buku teks, serta jarang mengaitkan materi yang dibahas dengan masalah-masalah nyata yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat guru menjelaskan materi, siswa cenderung diam serta mendengarkan apa yang dijelaskan oleh guru, siswa tidak bisa berargumentasi jika ada hal-hal yang ingin ditanyakan terkait dengan materi yang ada di buku.

Sebagai salah satu komponen penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan, kegiatan belajar mengajar (KBM) perlu diubah atau direvisi agar mampu meningkatkan prestasi belajar matematika siswa, apalagi pemerintah dalam hal ini Depdiknas merencanakan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pada tahun ajaran 2004/2005 secara nasional. Prambudi (2004) menyebutkan bahwa salah satu alasan diberlakukannya kurikulum terbaru (kurikulum berbasis kompetensi) adalah karena rendahnya kualitas pembelajaran, termasuk kualitas pembelajaran matematika. Dalam rangka menyongsong KBK, maka guru perlu merancang suatu pembelajaran yang menunjang rencana tersebut. Guru harus mampu mengupayakan membuat penyajian materi pelajaran matematika yang menarik dan menyenangkan.


(5)

Landasan berpikir KBK adalah konstruktivis yang esensinya adalah siswa harus menemukan dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan di benak mereka sendiri dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Pelajaran akan bermakna bila dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang dapat mengaitkan konten kurikulum yang dipelajari siswa dengan konteks kehidupan nyata. Dengan demikian pembelajaran yang sesuai dengan nafas KBK adalah pembelajaran kontekstual.

Pembelajaran kontekstual adalah suatu pembelajaran yang berupaya mengaitkan materi yang dipelajari dengan pengalaman siswa. Pembelajaran kontekstual tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi mendorong siswa mengkontruksi pengetahuan di benak siswa sendiri (Depdiknas, 2002). Dalam pembelajaran ini siswa didorong membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Proses pembelajaran kontekstual berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan trasfer pengetahuan dari guru ke siswa. Pembelajaran kontekstual menekankan pada tingkat berpikir yang tinggi, yaitu berpikir divergen (kreatif).

Penerapan pembelajaran kontekstual diduga dapat memberikan sumbangan alternatif pemecahan masalah pembelajaran matematika, khususnya dalam meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Di SMP, penerapan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika dimungkinkan karena topik-topik matematika yang diajarkan di SMP umumnya sebagian besar masih dapat dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Selain itu, menurut Piaget walaupun siswa SMP sudah berada pada tahap operasional formal, namun perubahan dari tahap operasional konkrit ke tahap operasional formal tidak berlangsung secara mendadak tetapi secara bertahap, sehingga siswa SMP yaitu pada usia 12-16 tahun proses berpikirnya belum sepenuhnya bersifat abstrak, sehingga masih membutuhkan benda-benda nyata dalam pembelajarannya (Depdiknas, 2005).

Gaya berpikir adalah perbedaan-perbedaan individu dalam merespon suatu permasalahan tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Klasifikasi gaya berpikir siswa dibagi menjadi dua, yaitu gaya berpikir konvergen dan gaya berpikir divergen. Gaya berpikir divergen adalah respon individu yang tunggal dan konvensional tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan, sedangkan gaya berpikir divergen adalah respon individu mencakup berbagai alternatif yang merupakan variasi ide yang tidak bisa tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan.

Pembelajaran matematika dengan pembelajaran kontekstual memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya, perolehan informasi dan merespon permasalahan yang diberikan. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang menekankan pada tingkat berpikir yang tinggi, yaitu berpikir divergen (kreatif) (Depdiknas, 2005). Sedangkan pembelajaran matematika yang menggunakan pembelajaran konvensional


(6)

cenderung mengarahkan siswa untuk memberi respon yang tunggal terhadap permasalahan yang diberikan. Siswa diharuskan menjawab “benar” untuk setiap jawaban benar, kemampuan berpikir konvergen siswa lebih ditekankan.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mencoba menerapkan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika dengan melaksanakan penelitian berjudul “Pengaruh Pendekatan Kontekstual dan Gaya Berfikir terhadap Prestasi Belajar Matematika”.

C. IDENTIFIKASI MASALAH

Berpijak pada latar belakang yang diuraikan di atas, maka terkait dengan prestasi belajar matematika siswa dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut. 1) bagaimana prestasi belajara matematika siswa SMP DHARMA LAKSANA?; 2) faktor-faktor apakah yang mempengaruhi prestasi belajara matematika siswa?; 3) pendekatan pembelajaran yang bagaimana dapat membantu meningkatkan prestasi belajar matematika?; 4) apakah pendekatan kontekstual mampu meningkatkan prestasi belajar matematika siswa?; 5) manakah yang lebih baik dalam pembelajaran matematika apakah pendekatan kontekstual atau pendekatan konvensional?; 6) bagaimanakah gaya berfikir siswa SMP DHARMA LAKSANA?; 7) bagaimanakah prestasi belajar matematika siswa yang memiliki gaya berfikir konvergen?; 8) bagaimanakah prestasi belajar matematika siswa yang memiliki gaya berfikir divergen? 9) apakah pendekatan pembelajaran dalam matematika sebaiknya mempertimbangkan gaya berfikir siswa?

D. PEMBATASAN MASALAH

Idealnya semua masalah yang diidentifikasi harus dikaji agar diperoleh peningkatan prestasi belajar matematika yang optimal. Mengingat kompleknya permasalahan seperti yang telah diungkapkan pada identifikasi masalah di atas serta terbatasnya dana, waktu, alat, dan kemampuan maka pengkajian pada penelitian ini hanya terbatas pada prestasi belajar matematika, sebagai akibat dari pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran matematika dan gaya berfikir yang dimiliki siswa.

E. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan batasan masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut.

1. Apakah terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang diajar dengan

pendekatan pembelajaran kontekstual dan siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional?


(7)

2. Untuk siswa yang memiliki gaya berpikir divergen, apakah prestasi belajar matematika siswa

yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional?

3. Untuk siswa yang memiliki gaya berpikir konvergen, apakah prestasi belajar matematika

siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual?

4. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan gaya berpikir siswa dalam

pengaruhnya terhadap prestasi belajar matematika.

F. TUJUAN PENELITIAN

Sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan pada bagian terdahulu yang akan dicari solusinya, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan

pendekatan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan pembelajaran konvensional.

2. Pada siswa yang memiliki gaya berpikir divergen, untuk mengetahui perbedaan prestasi

belajar matematika antara siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual dan siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional.

3. Pada siswa yang memiliki gaya berpikir konvergen, untuk mengetahui perbedaan prestasi

belajar matematika antara siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual dan siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran konvensional.

4. Untuk mengetahui ada tidaknya interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan gaya

berpikir siswa dalam pengaruhnya terhadap prestasi belajar matematika.

G. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagi guru

Penelitian ini akan memberikan pengalaman yang bermanfaat dalam merancang pembelajaran kontekstual dan memfasilitasi pembelajaran. Dari pengalaman tersebut diharapkan guru dapat mengembangkan model pembelajaran, LKS dan sumber belajar sejenis pada pokok bahasan yang lain dan dapat mengimplementasikannya dalam kelas. 2. Bagi siswa

Penelitian ini akan sangat bermanfaat karena secara tidak langsung mereka terbantu dalam diajar konsep-konsep matematika yang sangat memberi peluang bagi siswa untuk meningkatkan prestasi belajar mereka secara optimal. Hal ini disebabkan karena pembelajaran kontekstual memberikan kesempatan yang luas untuk berinteraksi dengan teman-temanya dan materi yang dipelajari dirancang terkait dengan kehidupan sehari-hari sehingga siswa menjadi lebih tertarik belajar matematika.


(8)

Penelitian ini sangat bermanfaat bagi pengembangan strategi pembelajaran yang mengaitkan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari (konteks). Hasil penelitian ini akan memberikan informasi yang rinci tentang keunggulan dan kelemahan pendekatan pembelajaran kontekstual yang teruji secara eksperimen.

H. KAJIAN TEORI

1. Hakikat Pembelajaran Matematika 1.1 Pembelajaran Matematika

Beberapa definisi atau ungkapan pengertian matematika hanya dikemukakan terutama berfokus pada tinjauan pembuat definisi itu. Misalnya ada ahli matematika yang sangat tertarik dengan perilaku bilangan, ia akan melihat matematika itu dari sudut pandang bilangan. Tokoh lain lebih mencurahkan pada struktur-struktur, ia melihat matematika dari sudut pandang struktur-struktur itu. Seperti kata Abraham S Lunchins dan Edith N Luchins (dalam Suherman, 1993) apakah matematika itu, dapat dijawab secara berbeda-beda tergantung pada kapan pertanyaan itu dijawab, di mana dijawab, dan siapa yang menjawabnya. Jadi tidak terdapat suatu definisi tentang matematika yang tunggal dan disepakati oleh semua tokoh atau pakar matematika.

Sesungguhnya matematika muncul dari kehidupan nyata sehari-hari. Sebagai contoh, bangun ruang dan datar pada dasarnya didapat dari benda-benda kongkrit dengan melakukan proses abstraksi dari benda-benda nyata. Pada awalnya matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam dunia nyata, kemudian pengalaman itu diolah dan diproses dalam struktur kognitif sehingga sampai pada suatu kesimpulan berupa konsep-konsep matematika. Agar konsep matematika yang terbentuk dapat dipahami orang lain, maka digunakan notasi dan istilah yang cermat dan disepakati secara universal yang dikenal dengan bahasa matematika. Oleh karena matematika muncul dari kehidupan nyata sehari-hari maka dari itu proses pembelajaran matematika harus dapat menghubungkan antara ide abstrak matematika dengan situasi dunia nyata yang pernah dialami ataupun yang pernah dipikirkan siswa.

De Lange (dalam Sugiarti, 2004) menyatakan bahwa mathematics is human

beingartinya matematika sebagai pengetahuan merupakan aktivitas manusia. Hudoyo (2003) mengatakan bahwa belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antar konsep-konsep dan struktur-struktur matematika tersebut. Matematika tidak menerima generalisasi berdasarkan pengamatan, tetapi menggunakan penalaran deduktif. Untuk dapat memahami struktur-struktur dan hubungan-hubungan tersebut diperlukan pemahaman tentang konsep-konsep yang terdapat dalam matematika itu sendiri. James dan James (dalam Suherman, 1993) mengatakan bahwa belajar matematika adalah belajar tentang logika mengenai bentuk, suasana, besaran, dan konsep-konsep berhubungan lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi menjadi tiga bidang, yaitu aljabar, analisis dan geometri.


(9)

Sementara itu, Johson dan Myklebust (dalam Abdurrahman, 2003) mengatakan bahwa belajar matematika adalah belajar tentang bahasa simbolik yang fungsi praktisnya untuk mengekpresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berfikir.

Ausebel (dalam Winata Putra dan Suherman, 1993) menyatakan bahwa, dalam belajar matematika siswa tidak hanya menerima dan menghafalkannya tetapi harus belajar secara bermakna. Belajar bermakna adalah proses belajar yang menghubungkan informasi atau pengetahuan baru dengan informasi atau pengetahuan yang sudah dimiliki siswa. Dengan demikian dalam suatu pembelajaran akan terjadi proses belajar yang bermakna bagi siswa, apabila konsep yang dipelajari siswa disajikan dalam bentuk masalah yang kontekstual (Depdiknas, 2005). Masalah kontekstual adalah masalah yang terkait dengan dunia nyata siswa atau paling tidak mendekati kondisi dunia nyata. Lebih jauh Ausebel (dalam Winata Putra dan Suherman, 1993) menyatakan bahwa belajar akan bermakna bagi siswa jika dalam belajar materinya dihubungkan dengan hal-hal yang telah diketahui siswa, telah dialami siswa dan kegunaanya di kemudian hari. Jadi dalam belajar bermakna konsep-konsep atau sifat-sifat matematika tidak disajikan dalam bentuk jadi tetapi harus ditemukan sendiri oleh siswa secara induktif, kemudian dibuktikan secara deduktif sehingga siswa betul-betul mengerti akan konsep tersebut.

Membawa situasi-situasi dunia nyata ke dalam matematika sekolah adalah perlu meskipun belum cukup, untuk menumbuhkembangkan sikap positif terhadap matematika, yang diharapkan dapat menjadi inspirasi untuk memahami dan menginterprestasi realitas dan sebagai aktivitas berpikir yang menarik. Tujuan matematika yang seperti itu dapat dicapai bila guru berhasil membawa siswa menggunakan matematika ke dalam situasi yang pernah dialami siswa atau kehidupan sehari-hari.

Salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah yang sejalan dengan konsep belajar bermakna adalah untuk mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, sehubungan dengan itu siswa memerlukan matematika untuk memenuhi kehidupan praktis dan memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari, selain itu agar siswa mampu memahami bidang studi lain, berpikir logis, kritis (berpikir konvergen), praktis serta bersikap positif dan kreatif (berpikir divergen). Oleh karena itu, matematika akan lebih menarik bagi siswa jika dalam pembelajaran matematika guru mengaitkan materi yang dipelajari siswa dengan kehidupan mereka sehari-hari, sehingga siswa akan menjadi tahu tujuan mereka belajar dan belajar menjadi lebih bermakna. Menurut Suherman (2003) penerapan strategi yang dipilih dalam pembelajaran matematika haruslah mampu mengoptimalisasikan interaksi seluruh unsur pembelajaran. Demi peningkatan optimalisasi interaksi dalam pembelajaran matematika, untuk pokok bahasan atau sub pokok bahasan tertentu mungkin dapat dicapai dengan pembelajaran kontekstual.


(10)

Masih banyak lagi definisi-definisi tentang belajar matematika, tetapi tidak satu pun perumusan yang tepat diterima oleh umum, atau sekurang-kurangnya dapat diterima dari berbagi sudut pandang. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan pembelajaran matematika adalah teori yang dungkapkan oleh Hudoyo (2003), yaitu belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antar konsep-konsep dan struktur-struktur matematika tersebut.

1.2 Prestasi Belajar Matematika

Sebagai seorang guru yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan proses belajar mengajar, salah satu tugas pokoknya adalah mengevaluasi taraf keberhasilan rencana dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Untuk melihat sejauh mana taraf keberhasilan mengajar guru dan belajar siswa secara tepat dan dapat dipercaya diperlukan informasi yang didukung oleh data yang objektif dan memadai tentang indikator-indikator perubahan tingkah laku siswa. Salah satu data yang sering dijadikan acuan untuk menentukan taraf keberhasilan rencana dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar adalah prestasi belajar siswa.

Prestasi belajar merupakan suatu indikator yang dapat menunjukkan tingkat kemampuan dan pemahaman siswa dalam belajar. Prestasi belajar dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai oleh individu setelah mengalami suatu proses belajar dalam jangka waktu tertentu. Menurut Nasution (2001) prestasi belajar adalah penguasaan seseorang terhadap pengetahuan atau keterampilan tertentu dalam suatu mata pelajaran, yang lasimnya diperoleh dari nilai tes atau angka yang diberikan guru. Berdasarkan pendapat Nasution perstasi belajar dapat dilihat dari nilai transkrip yaitu nilai raport, karena nilai raport merupakan perumusan terakhir dari upaya yang dilakukan pendidik (guru) dalam pemberian penilaian belajar terhadap peserta didik selama satu semester. Nilai raport mempunyai arti dan manfaat yang sangat penting bagi siswa, guru, sekolah dan orang tua siswa, karena nilai ini merupakan terjemahan dari prestasi belajar siswa yang nantinya bisa berguna dalam mengambil keputusan terhadap siswa bersangkutan atau sekolah.

Lebih jauh menurut Woodworth dan Marquis mengemukakan bahwa prestasi belajar merupakan kemampuan aktual yang dapat diukur secara langsung dengan tes. Sedangkan Bloom (1971) mengungkapkan, prestasi belajar merupakan hasil perubahan tingkah laku yang meliputi ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotor. Prestasi belajar bisa juga disebut sebagai abilitas atau kecakapan (Azwar, 1998). Abilitas ini dapat dibagi menjadi dua,

yaitu: 1) abilitas aktual (actual ability) yaitu abilitas yang telah diterjemahkan dalam bentuk

performansi nyata. Abilitas ini diperoleh siswa setelah mengalami proses belajar mengajar; 2)

abilitas potensial (pontensial ability) yaitu suatu kemampuan dasar yang berupa disposisi

yang dimiliki oleh individu untuk mencapai prestasi. Abilitas potensial merupakan atribut yang diasumsikan laten (bawaan) yang belum tampak pada performasi. Atribut bawaan ini ini terdapat dalam setiap individu dalam kadar yang berbeda-beda. Hal inilah yang menyebabkan


(11)

tidak semua orang memilki potensi dan kesempatan yang sama untuk mencapai perfomansi yang sama. Kecakapan aktual dan kecakapan potensial ini dapat dimasukkan ke dalam suatu

istilah yang lebih umum yaitu kemampuan (ability).

Ada banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Faktor-faktor tersebut dalam banyak hal saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Sudjana (2000), Muhibbin (2004), dan Purwanto (2000) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah faktor luar (eksternal) dan faktor dalam (internal). Faktor luar terdiri atas lingkungan, meliputi: lingkungan alami dan lingkungan sosial, dan instrumental meliputi: kurikulum, program, sarana dan prasarana, serta guru. Faktor dalam terdiri atas faktor fisiologis, meliputi: kondisi fisik secara umum dan kondisi pancaindera, dan faktor psikologis, meliputi: minat, kecerdasan, bakat, motivasi, dan gaya berpikir.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, yang dimaksud dengan prestasi belajar matematika dalam penelitian ini adalah tingkat penguasaan kognitif siswa terhadap materi pelajaran matematika setelah mengalami proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu, berupa nilai yang dituangkan dalam bentuk angka yang diperoleh dari hasil menjawab tes prestasi belajar matematika yang diberikan pada akhir penelitian. Prestasi yang dimaksud dalam hal ini adalah kecakapan nyata yang diperoleh siswa setelah belajar, bukan kecakapan potensial, sebab prestasi belajar ini dapat dilihat secara nyata yang berupa nilai setelah mengerjakan suatu tes. Tes yang digunakan untuk menentukan prestasi belajar sering diistilahkan dengan tes prestasi belajar. Sesuai dengan pendapat Bloom seperti yang diungkapakan di atas, maka idealnya pengungkapan prestasi belajar siswa meliputi ketiga ranah tersebut yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar siswa. Tes prestasi belajar secara luas tentu mencakup ketiga ranah tersebut. Tetapi pada penelitian ini akan dibatasi hanya mengungkap prestasi belajar siswa pada ranah konitif saja dengan penekanan pada tes bentuk tertulis.

2. Hakikat Pembelajaran Kontekstual 2.1 Hakikat Pembelajaran

Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik (siswa) dengan lingkungnnya, sehingga terjadi perubahan prilaku (Mulyasa, 2005). Fontana(dalam, Winataputra, 1993) menyebutkan bahwa pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan (fisik, sosial, kultur dan fsikologis) yang memberikan suasana tumbuh dan berkembangnya proses belajar. Sedangkan belajar menurut Fontana adalah proses perubahan tingkah laku yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman. Jadi, bila dilihat dari individu yang belajar proses pembelajaran bersifat eksternal (datang dari luar) yang sengaja dirancang atau didesain sehingga bersifat rekayasa, sedangkan proses belajar bersifat internal. Oleh karena pembelajaran bersifat rekayasa yaitu rekayasa prilaku maka pembelajaran selalu terikat tujuan. Atas dasar itu maka terjadinya proses belajar adalah kreteria dasar dari pembelajaran


(12)

(Winataputra, 1993). Dengan kata lain pembelajaran dinilai berhasil bila siswa (pebelajar) dapat belajar sesuai dengan tujuan yang dirancang. Sementara itu, Marhaeni (2006) mengatakan bahwa pembelajaran adalah kegiatan yang terprogram dalam desain FEE (facilitating, empowering, enabling ), untuk membuat siswa belajar secara aktif. Pengertian di atas menunjukkan bahwa dalam pembelajaran terjadi interaksi antara peserta didik yang belajar dan pendidik yang membantu proses belajar tersebut.

Menurut konsep sosiologi pembelajaran adalah rekayasa sosio-psikologi untuk memelihara kegiatan belajar sehingga tiap individu yang belajar akan belajar secara optimal dalam mencapai tingkat kedewasaan (Suherman, 1994). Dalam arti sempit pembelajaran adalah proses pendidikan dalam lingkup persekolahan, sehingga pembelajaran adalah proses sosialisasi individu dengan lingkungan sekolah seperti: guru, teman sesama siswa, sumber belajar serta sarana dan prasarana. Sedangkan pembelajaran menurut konsep komunikasi adalah proses komunikasi fungsional antara siswa dengan guru serta siswa dengan siswa, dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir (Suherman, 1994). Dalam pembelajaran guru berperan sebagai komunikator, siswa sebagai komunikan, dan materi yang dikomunikasikan berisi pesan berupa ilmu pengetahuan. Dalam komunikasi banyak arah dalam pembelajaran peran-peran tersebut bisa berubah.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian pembelajaran yang telah diungkapkan di atas, maka yang dimaksud dengan pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan (fisik, sosial, kultur dan fsikologis) yang bersifat eksternal (datang dari luar pebelajar) serta sengaja dirancang atau didesain (terprogram) sehingga memberikan suasana tumbuh dan berkembangnya proses belajar.

2.2 Landaan Pembelajaran Kontekstual

Akhir-akhir ini pembelajaran kontekstual merupakan salah satu pembelajaran yang banyak dibicarakan orang. Ada yang berpendapat bahwa pembelajaran kontekstual merupakan salah satu pembelajaran yang dapat diandalkan dalam mengembangkan dan mengimplementasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Berikut ini akan dijelaskan tentang landasan filisofi, landasan psikologis dan definisi pembelajaran kontekstual.

Pembelajaran kontekstual dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Piaget (dalam Sanjaya, 2005). Aliran filsafat konstruktivisme berangkat dari pemikiran epistimologis Giambatista Vico. Menurut Vico mengetahui adalah mengetahui bagaimana membuat sesuatu (dalam Suparno, 1997). Artinya, seseorang dikatakan mengetahui manakala ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu tersebut. Filsafat konstruktivisme ini kemudian mempengaruhi tentang konsep belajar, bahwa belajar bukanlah sekadar menghafal pengetahuan tetapi proses pengonstruksian pengetahuan berdasarkan pengalaman.


(13)

Pengetahuan bukan hasil “transfer” dari satu orang ke orang lain, tetapi pengetahuan merupakan hasil dari proses pengonstruksian yang dilakukan secara individu. Pengetahuan yang bermakna merupakan pengetahuan yang diperoleh dari hasil pengkonstruksian bukan dari transfer atau pemberian dari orang lain.

Pandangan Piaget tentang bagiamana pengetahuan terbentuk dalam struktur kognitif anak, sangat mempengaruhi pembelajaran kontekstual. Menurut pembelajaran kontekstual pengetahuan akan bermakna apabila dibangun sendiri oleh siswa. Pengetahuan yang diperoleh dari pemberian orang lain tidak akan bermakna serta akan mudah dilupakan dan tidak fungsional.

Berdasarkan fisafat konstruktivisme yang mendasarinya, bahwa pengetahuan terbentuk karena peran aktif individu, maka dipandang dari sudut psikologis, pembelajaran kontekstual berpijak pada aliran psikologi kognitif. Aliran ini mengatakan bahwa proses belajar terjadi karena pemahaman individu terhadap lingkungannya. Belajar bukanlah peristiwa mekanis seperti keterkaitan stimulus dan respon (S-R). Belajar melibatkan proses mental seperti emosi, minat, motivasi, gaya berpikir, kemampuan dan pemahaman.

Pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) pertama kali diajukan pada awal abad 20 di USA oleh tokoh pendidikan John Dewey. KataContextual berasal dari kata Contex yang berarti “hubungan, konteks, suasana atau

keadaan”. Dengan demikian Contextual diartikan “yang berhubungan dengan suasana”,

sehingga CTL dapat diartikan sebagai suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana atau konteks tertentu.

Dalam pembelajaran matematika, konteks yang dimaksud adalah materi pelajaran atau soal matematika yang dikaitkan dengan situasi kehidupan nyata siswa yang dekat dengan

keseharian siswa. Contoh soal yang dekat dengan keseharian siswa adalah: Ani membeli 10

buah buku tulis di Pasar Marga dengan harga 11.500 rupiah, berapakah harga dua buah buku tulis?. Contoh di atas akan mampu dikerjakan oleh siswa, serta situasinya mudah dibayangkan karena dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa. Di satu sisi ada soal yang mampu dikerjakan oleh siswa tetapi situasinya sulit dibayangkan. Contoh soal yang

situasinya sulit dibayangkan oleh siswa adalah: Sebuah satelit terbang dari bumi menuju

bulan dengan kecepatan 700 km/jam. Jika jarak bumi dan bulan adalah 21.000 km, berapakah waktu yang diperlukan oleh satelit itu untuk sampai di bulan?

Pembelajaran kontekstual adalah suatu pembelajaran di mana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam pembelajarannya dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, serta lebih menekankan pada belajar bermakna (Depdiknas, 2002). Guru menghadirkan dunia nyata ke dalam pembelajaran dengan cara, seperi: 1) guru berusaha membawa benda-benda riil yang berhubungan dengan materi yang sedang dipelajari, kemudian siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan benda-benda riil tersebut sehingga


(14)

siswa diharapkan menemukan sendiri konsep-konsep matematika yang sedang dipelajarinya, atau sebaliknya 2) guru bercerita tentang sesuatu yang relevan dengan materi yang dipelajari, dari cerita tersebut siswa diharapkan menemukan sendiri konsep yang sedang dipelajari. Menurut Johnson (dalam Nurhadi dan Senduk, 2003), sistem CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan lingkungan pribadinya, sosialnya dan budayanya. Lebih Selanjut Nurhadi dan Senduk menyatakan bahwa pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa memperkuat, memperluas dan menerapkan pengetahuan dan ketrampilan akademisnya dalam berbagai latar sekolah dan di luar sekolah untuk memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata. Pembelajaran matematika dengan pembelajaran kontekstual terjadi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah riil (nyata) yang berasosiasi dengan peran dan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, siswa dan selaku pekerja.

Pembelajaran kontekstual mengakui bahwa belajar hanya terjadi jika siswa memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berpikir yang dimilikinya. Pembelajaran kontekstual menekankan pada tingkat berpikir yang tinggi, yaitu berpikir divergen dalam pengumpulan data, pemahaman terhadap isu-isu atau pemecahan masalah. Pemaduan materi pelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari siswa dalam pembelajaran kontekstual akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang mendalam sehingga siswa kaya akan pemahaman masalah dan cara untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pembelajaran kontekstual menekankan pada bagaimana belajar di sekolah dikaitkan ke dalam situasi nyata, sehingga hasil belajar dapat lebih diterima dan berguna bagi siswa bilamana mereka meninggalkan sekolah.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, yang dimaksud dengan pembelajaran kontekstual dalam penelitian ini adalah suatu konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep seperti itu, maka proses pembelajaran akan berlangsung secara bermakna. Proses pembelajaran akan berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan bekerja dan mengalami, bukan “transfer“ pengetahuan dari guru ke siswa. Proses pembelajaran lebih utama daripada hasil pembelajaran. Dalam konteks ini, siswa harus sadar tentang makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Siswa sadar bahwa apa yang mereka pelajari akan berguna dalam kehidupannya.


(15)

Dalam penerapannya di kelas, pembelajaran kontekstual tetap memperhatikan tujuh

komponen pokok pembelajaran yang efektif, yaitu konstruktivisme (constructivism),

menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learningcommunity),

pemodelan (modeling), penilaian autentik (authenticassessment) dan refleksi (reflection)

(Depdiknas, 2002). Berikut ini dijelaskan masing-masing komponen pokok pembelajaran kontekstual, seperti diungkapkan di atas.

a. Konstruktivisme (constructivism)

Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pembelajaran kontekstual. Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman (Depdiknas, 2002). Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Dalam pandangan ini cara memperoleh pengetahuan lebih diutamakan dari pada hasil pengetahuan yang diperoleh oleh siswa. Oleh karena itu tugas guru adalah memfasilitasi siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya dan bukan mentransfer pengetahuan dari guru kepada siswa.

Pembelajaran kontekstual pada dasarnya mendorong agar siswa dapat mengkonstruksi pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman. Sebab pengetahuan hanya akan berfungsi apabila dibangun oleh individu itu sendiri. Pengetahuan yang hanya diberikan oleh orang lain tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Atas dasar asumsi itulah, maka penerapan asas konstruktivisme dalam pembelajaran kontekstual mendorong siswa untuk mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri melalui pengalaman nyata.

b. Menemukan (inquiry)

Asas kedua dalam pembelajaran kontekstual adalah penemuan. Artinya, proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Menemukan merupakan kegiatan inti dalam pembelajaran kontekstual (Depdiknas, 2002). Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh oleh siswa bukan hasil dari mengingat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Untuk itu dalam pembelajaran kontekstual peran guru adalah merancang kegiatan yang dapat memfasilitasi siswa untuk menemukan konsep, prinsip atau ketrampilan yang diinginkan.

Belajar dengan penemuan guru tidak secara langsung memberikan generalisasi, prinsip atau kaidah yang dipelajari siswa, tetapi guru melibatkan siswa dalam proses induktif untuk mendapatkannya. Guru menyusun situasi belajar sedemikian rupa sehingga siswa belajar bagaimana bekerja dengan data untuk membuat kesimpulan.

c. Bertanya (questioning)

Bertanya merupakan strategi dalam pembelajaran kontekstual. Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang selalu bermula dari bertanya. Bertanya merupakan kegiatan guru untuk menggali informasi, mengecek pemahaman siswa, memfokuskan perhatian siswa.


(16)

Bertanya dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru atau guru dengan siswa.

Dalam pembelajaran kontekstual, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa menemukan sendiri. Oleh karena itu, peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyan-pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan konsep-konsep atau kaidah-kaidah yang terdapat dalam materi yang dipelajari (Sanjaya, 2005).

d. Masyarakat Belajar (learning community)

Konsep masyarakat belajar menyarankan agar pengetahuan atau hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan teman sejawat atau kerjasama dengan teman yang lebih dewasa. Kerja sama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar (kooperatif) secara formal maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok dan antar siswa yang tahu ke siswa yang belum tahu.

Dalam pembelajaran kontekstual, penerapan asas masyarakat belajar dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran kooperatif (Depdiknas, 2002; Sanjaya, 2005). Siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang yang anggotanya bersifat heterogen, baik dari segi kemampuan, gaya berpikir, jenis kelamin, motivasi, ras maupun bakat dan minatnya.

e. Pemodelan (modeling)

Asas pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa (Sanjaya, 2005). Dalam pembelajaran kontekstual model keterampilan atau pengetahuan sangat diperlukan. Model yang dimaksud bisa berupa model proses belajar-mengajar maupun model hasil belajar, seperti misalnya cara mengoprasikan sesuatu, cara mengerjakan sesuatu dan sebagainya. Perlu disadari bahwa dalam pembelajaran kontekstual, guru bukanlah satu-satunya model. Model bisa berasal dari siswa ahli, bisa juga ahli yang didatangkan dari luar. Pada pembelajaran kontekstual guru harus pandai-pandai menjadi model (Depdiknas, 2002).

f. Refleksi (reflection)

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa yang telah dilakukan di masa lalu dan apa yang perlu dilakukan berikutnya. Menurut Sanjaya (2005) refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian pembelajaran yang telah dilalui siswa. Dalam pembelajaran kontekstual guru dituntut mampu memfasilitasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan baru. Dalam pembelajaran kontekstual, setiap berakhirnya proses pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengingat kembali


(17)

apa yang telah dipelajari. Siswa diberikan kebebasan menafsirkan pengalamannya sendiri, sehingga mereka dapat menyimpulkan pengalaman belajarnya.

g. Penilaian Autentik (authentic assessment)

Penilaian autentik menitik beratkan pada penilaian proses dengan tanpa mengesampingkan penilaian hasil. Hal ini didasarkan bahwa sebenarnya pembelajaran seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari materi, tetapi bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir satuan pembelajaran. Ini berarti informasi dikumpulkan oleh siswa selama pembelajaran maupun setelah pembelajaran. Pengumpulan informasi tersebut tidak saja dari guru, tetapi bisa dari teman sejawat atau orang lain yang terlibat dalam pembelajaran.

Dalam penelitian ini penilaian yang dilakukan adalah menggunakan tes esai. Tes esai yang autentik adalah tes esai jawaban terbuka di mana siswa mendemonstrasikan kemampuannya untuk; 1) menyebutkan pengetahuan faktual; 2) menilai pengetahuan faktualnya; 3) menyusun ide-idenya; dan 4) mengemukakan idenya secara logis dan koheren (Marhaeni 2006). Lebih jauh dikatakan bahwa tes esai yang terbuka merupakan asasmen yang baik dan relevan dengan pembelajaran kontekstual karena memiliki potensi untuk mengukur hasil belajar pada tingkat yang lebih tinggi atau kompleks dan mampu mengukur kinerja.

Sebuah kelas dikatakan menerapkan pembelajaran kontekstual jika menerapkan ke tujuh komponen tersebut di atas dalam pembelajarannya, yaitu konstruktivis filosofinya, menemukan kegiatan belajarnya, bertanya sebagai strategi, masyarakat belajar dengan pembelajaran kooperatif, model yang bisa ditiru, pengaitan antara pengetahuan sebelumnya dengan dengan pengetahuan yang baru dengan proses refleksi dan penilaian yang sebenarnya dalam kegiatan pembelajaran. Tetapi tidak mutlak setiap kali pertemuan ketujuh komponen tersebut harus diterapkan, mengingat keterbatasan waktu dan tenaga yang dimiliki oleh guru. Secara garis besar langkah-langkah penerapan pembelajaran kontekstual di kelas adalah sebagai berikut (Sumadi dkk, 2004; Parwati, 2003).

1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja

sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya.

2. Laksanakan sebanyak mungkin kegiatan menemukan (inkuri) untuk semua topik.

3. Kembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya.

4. Ciptakan “masyarakat belajar” (belajar dalam kelompok-kelompok)

5. Hadirkan “model” sebagai contoh pembelajaran.

6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.


(18)

Pembelajaran matematika yang dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah seperti yang disebutkan di atas, akan membantu siswa belajar secara bermakna. Konsep-konsep materi yang dipelajari akan lebih tahan lama ada di benak siswa, karena mereka belajar melalui bekerja dan menemukan sendiri. Dalam pembelajaran kontekstual guru tidak secara langsung memberikan generalisasi suatu konsep atau prinsip yang dipelajari siswa, tetapi guru melibatkan siswa dalam proses mendapatkannya. Guru menyusun situasi belajar sedemikian rupa sehingga siswa belajar bagaimana bekerja dengan data untuk membuat kesimpulan. Proses pembelajaran kontekstual mengikuti sintaks pembelajaran seperti yang disajikan pada Tabel 1.2 sintaks pembelajaran yang disajikan berikut ini dimodifikasi dari Depdiknas 2005.

Tabel 2.1 Sintaks Pembelajaran Kontekstual

Aktivitas Guru Aktivitas Siswa

1. Orientasi Siswa Pada Masalah

a. Memotivasi siswa (memfokuskan

perhatian siswa) dengan cara tanya jawab berkaitan dengan materi dalam kehidupan sehari-hari atau cerita yang relevan

b. Menyampaikan tujuan pembelajaran

dan logistik yang diperlukan

Siswa menjawab pertanyaan guru

Siswa mempersiapkan logistik yang diperlukan

2. Mengorganisasikan Siswa untuk

Belajar

a. Guru membagi siswa dalam kelompok

yang beranggotakan 4-5 orang yang bersifat heterogen (jenis kelamin, kemampuan, gaya berpikir)

b. Guru Membagikan Lembar Kerja

Siswa

c. Guru membimbing siswa dan

memfasilitasi siswa dalam

menyelesaikan masalah

d. Guru senantiasa mengajukan

pertanyaan untuk menggali apa yang dipikirkan siswa

Siswa menuju kelompoknya masing-masing

Siswa bekerja dalam kelompok Siswa menjawab pertanyaan guru

3. Mengembangkan dan Menyajikan

Hasil Karya

a. Guru membantu siswa menyiapkan

bahan persentasi di depan kelas

b. Guru Meminta kelompok menyajikan

hasilnya

Siswa mepresentasikan hasil kerja kelompoknya

4. Mengevaluasi dan Membuat

Kesimpulan

Siswa menyimpulkan materi yang dipelajari


(19)

5. Memberikan Pekerjaan Rumah

(PR)

Siswa mencatat pekerjaan rumah (PR) yang diberikan

2.4 Pembelajaran Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika

Knapp & Schell (dalam Depdiknas, 2005) mengidentifikasi beberapa masalah dalam pembelajaran, antara lain bahwa peserta didik kesulitan dalam menerapkan pengetahuannya untuk memecahkan masalah-masalah kompleks dan dalam seting yang berbeda, seperti masalah pada bidang lain atau masalah di luar sekolah. Begitu pula dalam pembelajaran matematika, siswa kurang mampu menghubungkan antar konsep dalam matematika, menghubungkan konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari dan menghubungkan konsep matematika dengan ilmu lainnya. Selain itu, siswa tidak memahami keterampilan-keterampilan dasar yang dimilikinya, karena mereka melihat bahwa pelajaran matematika di sekolah tidak relevan dengan kehidupan di luar sekolah. Sehingga banyak orang memandang matematika merupakan mata pelajaran yang paling sulit, padahal semua orang harus mempelajari matematika karena merupakan sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran matematika yang diterapkan selama ini di sekolah adalah pembelajaran konvensional yang bersifat teoritik dan mekanistik serta jarang mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari siswa. Tentunya pembelajaran yang demikian membuat siswa akan semakin beranggapan belajar matematika itu tidak ada artinya bagi kehidupan mereka, abstrak dan sulit dipahami. Sesungguhnya matematika muncul dari kehidupan nyata sehari-hari. Sebagai contoh, bangun ruang dan datar pada dasarnya didapat dari benda-benda kongkrit dengan melakukan proses abstraksi dari benda-benda nyata. Oleh karena itu, proses pembelajaran matematika harus dapat menghubungkan antara ide abstrak matematika dengan situasi dunia nyata yang pernah dialami ataupun yang pernah dipikirkan siswa. Pembelajaran yang dapat menghubungkan ide abstrak matematika dengan situasi dunia nyata adalah pemelajaran kontekstual. Pada rambu-rambu kurikulum mata pelajaran matematika disebutkan bahwa untuk mengajarkan konsep matematika dapat dimulai dengan masalah

sesuai dengan situasi nyata atau contextualproblem (Depdiknas, 2005). Kurikulum ini

tampak memberikan kesempatan atau memberikan roh pada penggunaan dan penerapan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika.

Pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika memberikan ruang yang cukup bagi siswa untuk membangun dan mengembangkan pemahaman konsep matematika secara mendalam, khususnya membangun kompetensi matematika siswa dalam: 1) memecahkan masalah matematika, 2) berargumentasi dan berkomunikasi secara matematis, 3) melakukan penemuan kembali, dan 4) berpikir kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, penemuan dan generalisasi melalui pemikiran divergen (Sudiarta, 2005).


(20)

Pembelajaran yang mengaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan sehari-sehari siswa akan lebih berkesan bagi siswa dibandingkan dengan pembelajaran di mana materi yang diperoleh bergantung pada informasi dari guru. Dalam pembelajaran kontekstual siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, menemukan sendiri aturan, siswa bebas berdiskusi dengan temannya, siswa bebas bertanya kepada guru serta memungkinkan siswa lebih mudah mengingat urutan materi yang dipelajarinya. Akibatnya pemahaman siswa tentang suatu konsep matematika akan lebih baik dibandingkan pemahaman konsep hasil informasi dari guru. Disamping itu, melalui pembelajaran yang mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari siswa akan mendidik siswa untuk dapat menghubungkan antar konsep dalam matematika, menghubungkan konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari dan menghubungkan konsep matematikia dengan ilmu lainnya.

Bedasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika adalah suatu konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi-materi atau konsep-konsep matematika yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

3. Hakikat Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang biasa dilakukan guru dalam proses belajar mengajar di dalam kelas. Pada pembelajaran konvensional, proses belajar mengajar lebih sering diarahkan pada “aliran informasi” atau “transfer” pengetahuan dari guru ke siswa. Konsep yang diterima siswa hampir semuanya berasal dari “apa kata guru”. Siswa terlatih seperti “burung beo” yang hanya pintar meniru tapi sulit sekali menciptakan sendiri. Dalam pembelajaran konvensional siswa terlatih berpikir konvergen (mencari satu jawaban benar) dan kurang sekali dibina berpikir divergen (mencari berbagai alternatif jawaban terhadap satu soal). Dominasi soal pilihan ganda dalam ulangan harian, ulangan umum atau EBTANAS yang selama ini diterapkan di sekolah memperkuat cara

(gaya) berpikir konvergen siswa (http://www.pendidikan-damai.org/files/Panduan). Siswa

hanya diarahkan untuk menjawab “benar” untuk setiap jawaban benar.

Guru menganggap belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi pelajaran. Proses pembelajaran cenderung hanya mengantarkan siswa untuk mencapai tujuan untuk mengejar target kurikulum, sehingga proses pembelajaran di kelas memiliki ciri-ciri 1) guru aktif, tetapi siswa pasif, 2) pembelajaran berpusat pada guru (teacher oriented), 3) transfer pengetahuan dari guru pada siswa dan 4) pembelajaran bersifat mekanistik.

Akibat dari pembelajaran tersebut siswa menjadi terbiasa menerima apa saja yang diberikan oleh guru tanpa mau berusaha menemukan sendiri konsep-konsep yang sedang dipelajari. Guru akan merasa bangga ketika anak didiknya mampu menyebutkan kemabali


(21)

secara lisan (verbal) sebagaian besar informasi yang terdapat dalam buku teks atau yang diberikan oleh guru. Penekanan pembelajaran adalah diperolehnya kemampuan mengingat (memorizing) dan bukan kemampuan memahami (understanding).

Pembelajaran yang dilakukan oleh guru masih berpegang pada teori tingkah laku (behavioristik). Teori ini didasari asumsi bahwa peserta didik (siswa) adalah manusia pasif yang tugasnya hanya mendengarkan, mencatat dan menghafal, serta hanya melakukan respon

terhadap stimulus yang datang dari luar (stimulus-response). Siswa akan belajar apabila

dilakukan pembelajaran oleh guru secara sengaja, teratur dan berkelanjutan. Tanpa upaya pembelajaran yang disengaja dan berkelanjutan maka siswa tidak mungkin melakukan kegiatan belajar (Sudjana, 2005). Belajar merupakan perubahan tingkah laku yang muncul sebagai respon individu terhadap stimulus yang datang dari luar (lingkungan). Siswa di dalam belajar supaya disongsong dan dipersiapkan untuk dapat menerima bentukan dari luar. Semua siswa dianggap individu yang sama, sehingga bila siswa diberikan stimulus maka respon yang diberikan akan sama.

Dalam pembelajaran konvensional, pola pembelajaran atau urutan sajian materi khususnya dalam pembelajaran matematika adalah (1) pembelajaran diawali penjelasan singkat materi oleh guru, siswa diajarkan teori, defenisi, teorema yang harus dihafal, (2) pemberian contoh soal dan (3) diakhiri dengan latihan soal. Dalam fase latihan soal, siswa diberi kesempatan untuk melakukan pelatihan dan pemberian umpan balik terhadap keberhasilan siswa. Pada fase ini pula, guru jarang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilannya yang dipelajarinya ke dalam situasi kehidupan nyata. Dalam pembelajaran konvensional metode ceramah merupakan pilihan utama sebagai metode pembelajaran.

Dengan pola pembelajaran seperti di atas, guru akan mengontrol secara penuh materi pelajaran serta metode penyampaiannya. Akibatnya, proses pembelajaran di kelas menjadi proses mengikuti langkah-langkah, aturan-aturan serta contoh-contoh yang diberikan oleh guru. Di bidang penilaian, seorang siswa dinilai telah menguasai materi pelajaran jika mampu mengingat dan mengaplikasikan langkah-langkah, aturan-aturan serta contoh-contoh yang telah diberikan oleh gurunya.

Berdasarkan hasil observasi proses belajar mengajar di SMP DHARMA LAKSANA, peneliti menyusun sintaks pembelajaran konvensional seperti disajikan pada Tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2 Sintaks Pembelajaran Konvensional

Aktivitas Guru Aktivitas Siswa

Menyampaikan pokok bahasan atau materi yang akan diberikan

Mendengarkan informasi yang disampaikan dan menerima materi baru


(22)

Mendemontrasikan ketrampilan atau menyajikan materi tahap demi tahap

Memperhatikan penjelasan guru Memberikan contoh soal yang relevan

dengan materi yang diberikan Mencatat contoh soal

Menyuruh siswa menyelesaikan

soal-soal yang ada dalam LKS Menyelesaikan soal-soal yang adadalam LKS

Memberikan pekerjaan rumah (PR) Mencatat pekerjaan rumah (PR)

Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud dengan pembelajaran konvensional dalam penelitian ini adalah suatu konsep belajar yang digunakan guru dalam membahas suatu pokok bahasan yang telah biasa digunakan dalam pembelajaran matematika serta lebih diarahkan pada “aliran informasi” atau “transfer” pengetahuan dari guru ke siswa. Langkah-langkah pembelajaran diawali dengan penjelasan singkat materi oleh guru, siswa diajarkan teori, defenisi, teorema yang harus dihafal, pemberian contoh soal dan diakhiri dengan latihan soal.

4. Perbandingan Pendekatan Kontekstual dengan Pendekatan Konvensinal

Dalam prakteknya di lapangan, pola pembelajaran kontekstual sangatlah berbeda dengan pembelajaran konvensional yang selama ini diterapkan. Secara garis besar perbedaan antara pola pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran konvensional yang dimodifikasi dari Depdiknas (2002) dan Nurhadi dan Senduk (2003) dapat dilihat di bawah ini.

Tabel 1.4 Perbedaan Pembelajaran Kontekstual dengan Pembelajaran Konvensional

Pendekatan Kontekstual Pendekatan Konvensional

Menyandarkan pada paradigma siswa belajar

Menyandarkan pada paradigma guru mengajar

Pembelajaran dikaitkan dengan konteks nyata keseharian siswa (nyata)

Pembelajaran teoritis, abstrak dan kurang mengaitkan dengan kehidupan nyata siswa (maya)

Ketrampilan dikembangkan atas dasar

pemahaman. Ketrampilan dikembangkan atas dasarlatihan

Pemilihan informasi berdasarkan

kebutuhan individu siswa Pemilihan informasi ditentukan olehguru

Selalu mengaitkan informasi dengan pengetahuan awal siswa

Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai pada saatnya diperlukan

Siswa secara aktif telibat dalam

pembelajaran Siswa adalah penerima informasi pasif

Siswa menggunakan kemampuan berfikir kritis, terlibat penuh dalam

Siswa secara pasif menerima rumus, kaidah tanpa memberi konstribusi ide


(23)

mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif dan ikut bertanggung jawab atas terjadinya pembelajaran yang efektif

dalam pembelajaran Siswa belajar dari teman melalui kerja

kelompok, diskusi dan saling mengoreksi

Siswa belajar secara individu Kemajuan belajar diukur dengan

berbagai cara dan sumber Kemajuan belajar diukur dengan tes

Pembelajaran bisa terjadi di berbagai tempat

Pembelajaran lebih cendrung di dalam kelas

Menerapkan penilaian autentik melalui penerapan praktis dalam pemecahan masalah

Penilaian hasil belajar hanya melalui hafalan akademik berupa ulangan atau ujian

Perbedaan pola pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran konvensional seperti yang dikemukakan di atas memberikan kesan bahwa pembelajaran kontekstual tampil dengan sejumlah keunggulan dibandingkan dengan pembelajaran konvensional yang dilakukan selama ini. Perbedaan tersebut juga menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kontekstual

menekankan kegiatan pembelajaran pada konsep student center.

Dengan melihat keunggulan-keunggulan dan karakteristik pembelajaran kontekstual, maka dalam penerapannya di kelas diharapkan siswa dapat mempelajari materi pelajaran yang disajikan oleh guru melalui konteks kehidupan mereka dan mereka dapat menemukan arti di dalam proses pembelajaran, sehingga pembelajaran menjadi lebih berarti dan menyenangkan bagi siswa. Di samping itu siswa akan merasakan manfaat langsung dari materi yang sedang dipelajari. Dengan demikian diharapkan hasil belajar siswa akan lebih baik dan lebih siap menghadapi masalah-masalah dalam kehidupannya nanti.

5. Hakikat Gaya Berfikir

Hampir setiap orang mempunyai sisi yang dominan. Belahan otak kanan menguasai belahan kiri badan, sedangkan belahan otak kiri menguasai belahan kanan badan. Respon, tugas dan fungsi belahan otak kiri dan kanan berbeda dalam menghayati berbagai pengalaman belajar, sebagaimana seseorang mengalami realita secara berbeda-beda dan unik. Belahan otak kiri terutama berfungsi untuk berpikir rasional, berpikir konvergen (tunggal), analitis, berurutan, linier, saintifik (seperti untuk belajar membaca, bahasa, aspek berhitung pada matenatika). Sedangkan belahan otak kanan berfungsi berpikir holistik, berpikir divergen (jamak), spasial, metaphorik dan lebih banyak menyerap konsep matematika, sintesis, mengetahui sesuatu secara intuitif, elaborasi serta dimensi humanistik mistik (Clark dalam Semiawan, 1997).


(24)

Berikut ini disajikan Tabel dikotomi fungsi belahan otak kiri dan otak kanan. Teori ini, walaupun didukung oleh bukti-bukti empiris, namun masih memerlukan pengkajian lebih lanjut untuk keabsahannya (Dacey, 1989; Piirto, 1992 dalam Munandar, 2002).

Tabel 2.4 Dikotomi Belahan Otak Belahan Otak Kiri Belahan Otak Kanan

Konvergen Divergen

Intelektual Emosinal

Horizontal Vertikal

Diarahkan Bebas

Objektif Subjektif

Abstrak Kongkrit

Verbal Nonverbal

Analitis Sintesis

Eksplisit Implisit

(Sumber Dacey, 1989; Piirto, 1992 dalam Munandar, 2002)

Belajar menurut logika neurologis adalah: pertama, menekankan pengembangan fungsi-fungsi belahan otak kanan terutama sejak janin dalam kandungan sampai usia 5 tahun, diteruskan sampai usia 16 tahun. Kedua, menekankan pengembangan fungsi-fungsi belahan otak kiri. Ketiga, kombinasi antara fungsi-fungsi belahan otak kiri dan kanan (http://www.pendidikan-damai.org/files/Panduan). Sementara itu, yang dilakukan guru di sekolah adalah membalik logika belajar neurologi ini. Sejak anak masuk SD yang ditekankan justru pelajaran bahasa (fungsi verbal), kemampuan membaca, menulis, dan berhitung atau matematika (fungsi intelektual dan fungsi logika) yang semuanya itu lebih menekankan pengembangan fungsi-fungsi belahan otak kiri.

Guilford dengan pidatonya yang terkenal pada tahun 1950 mengajukan Model Struktur Intelek yang membedakan berpikir konvergen dan berpikir divergen (Munandar, 2002; Semiawan, 1997). Berpikir konvergen hanya terbatas pada respon yang tunggal dan konvensional tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan, sedangkan berpikir divergen mencakup berbagai alternatif yang merupakan variasi ide yang tidak biasa tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan. Lebih jauh, Guilford mengatakan berpikir konvergen adalah pemberian jawaban atau penarikan kesimpulan yang logis dari informasi yang diberikan, dengan penekanan pada pencapaian jawaban tunggal yang paling tepat, atau


(25)

satu-satunya jawaban yang benar. Contoh: 2 + 5 = 7; 5 – 1 = 4; 2 x 4 = 8; 6 : 2 = 3. Sedangkan berpikir divergen adalah memberikan bermacam-macam kemungkinan jawaban berdasarkan informasi yang diberikan, dengan penekanan pada keragaman kuantitas dan kesesuaian. Contoh: benda-benda apa saja yang berbentuk lingkaran? Model Struktur Intelek dari Guilford sangat berpengaruh dalam mengidentifikasi anak yang berkemampuan unggul khusus dalam bidang tertentu. Senada dengan Guilford, Munandar (2002) mengatakan bahwa berpikir divergen adalah menjajaki macam-macam alternatif jawaban terhadap suatu persoalan, sedangkan berpikir konvergen menuju pada satu jawaban yang paling mungkin terhadap suatu persoalan.

Pada tahun enam puluhan Koestler juga meneliti fungsi otak dan menemukan teori berpikir bisosiatif atau berpikir kreatif (dalam Semiawan, 1997). Sama seperti Clark, Koestler berpendapat bahwa belahan otak kanan lebih bersifat lateral (ke samping) dan divergen (jamak) sedangkan belahan otak kiri bersifat vertikal (ke atas) dan konvergen (tunggal). Koestler mengatakan berfungsinya belahan otak kanan ditandai oleh banyaknya (lebih dari satu) kemungkinan jawaban (fungsi divergen) dan belahan otak kiri ditandai oleh kemungkinan satu jawaban (fungsi konvergen).

Menurut Fathoni (http://www.penulislepas.com/more.php?id=2041 0_1_0_M)proses

melahirkan ide dengan cara berpikir divergen berarti membiarkan pikiran kita untuk bergerak ke mana-mana secara simultan. Kita dituntut untuk mengeluarkan apa pun yang muncul di otak kita. Munculnya satu ide akan dapat memicu timbulnya ide yang lain. Kunci utama dalam metode berpikir divergen adalah menghilangkan penilaian. Karena jika penilaian masih menghantui kita, maka akan sulit untuk dapat menjalankan proses berpikir divergen secara efektif. Berpikir divergen adalah membiarkan otak kita bebas bergerak ke segala arah untuk mencari ide-ide yang nantinya kita tampung. Hal ini sesuai dengan fungsi pada otak kanan. Sedangkan berpikir secara konvergen adalah mempersempit ide dengan menyeleksi ide-ide mana yang terbaik, dan hal ini sesuai dengan fungsi dari otak kiri. Dengan kata lain berpikir divergen dan konvergen adalah bagaimana cara kita untuk menggunakan otak kiri dan otak kanan secara seimbang.

Bila kita menghadapi masalah yang rumit maka, kedua otak kita akan berfungsi secara bergantian. Kita menjelajahi berbagai dimensi, setelah itu kita analisis secara logis, teratur jawabannya, dan jawaban yang paling mendekati kebenaran sebagai pemecahan yang bersifat analitis. Meskipun demikian, tidak berarti masing-masing belahan otak mengelola bentuk informasi tertentu, namun masing-masing belahan itu berfungsi lebih efisien sesuai ciri-cirinya. Model Koestler ini bersandar terutama pada gaya berpikir, yaitu fungsi konvergen dan divergen. Gaya berpikir adalah perbedaan-perbedaan individu dalam merespon suatu permasalahan tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan.


(26)

Berpikir divergen sering diartikan sebagai berpikir kreatif (memberi banyak gagasan), sedangkan berpikir konvergen sering diartikan sebagai berpikir kritis (memilih gagasan yang terbaik) (Munandar, 2002). Menurut Cropley (dalam Munandar, 2002), Harsanto (2005),

Wahyudin (http://www.litagama.org/Jurnal/ Edisi5/StrategiPemb.htm) dan Taylor (dalam

Sujana, 2002), bahwa ciri-ciri individu yang berpikir konvergen adalah a) vertikal, artinya bergerak secara bertahap, b) konvergen, terfokus menuju pada satu jawaban yang paling benar, c) sistematis-terstruktur, d) berpikir logis, e) dependen, f) pengetahuan faktual, g) cenderung kurang bertanggung jawab, h) kurang percaya diri dalam menyelesaikan

tugas-tugas dibebankan kepadanya, dan i) teramalkan (predictable). Sedangkan ciri-ciri individu

yang berpikir divergen adalah a) lateral, artinya memandang persoalan dari beberapa sisi, b) divergen, menyebar ke berbagai arah untuk menemukan jawaban, c) holistik-sistemik, bersifat menyeluruh atau global, (d) intuitif – imajinatif, e) independen (mandiri), dan f) pengetahuan konseptual, g) bertanggung jawab, h) percaya diri serta menyukai tantangan, dan

i) tidak teramalkan (unpredictable).

Menurut Wakefield (dalam Sujana, 2002) kemampuan berpikir konvergen atau kritis adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memikirkan dan menemukan cara pemecahan yang paling tepat. Sementara itu, berpikir divergen sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah merupakan bentuk pemikiran yang samapai saat ini masih kurang mendapat perhatian dalam dunia pendidikan. Tes hasil belajar sebagian besar hanya meliputi tugas-tugas yang mengharuskan siswa mencari satu jawaban yang benar (berpikir konvergen) (Munandar, 2002). Kemampuan berpikir divergen, yaitu menjajaki berbagai kemungkinan jawaban atas suatu masalah jarang diukur. Dengan demikian kemampuan mental intelektual siswa secara utuh diabaikan. Kolb (dalam Nasution, 2001) mengatakan bahwa siswa yang berpikir konvergen lebih suka belajar bila soal yang dihadapinya mempunyai jawaban tertentu. Bila mereka menghadapi tugas atau masalah mereka berusaha menemukan jawaban yang tepat dan lebih suka menghadapi benda daripada manusia (abstrak). Sedangkan siswa yang berpikir divergen lebih suka memandang sesuatu dari berbagai segi. Mereka disebut “divergers” karena subur dalam melahirkan ide-ide baru.

Pendidikan formal di Indonesia terutama menekankan pada pemikiran konvergen (Munandar, 2002). Siswa jarang dirangsang untuk melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang atau memberikan berbagai alternatif penyelesaian suatu masalah. Siswa tumbuh menjadi kurang toleran atau kurang terbuka terhadap pendapat yang divergen, yang menyimpang dari yang konvensional. Siswa yang berpikir konvergen merasa lebih nyaman dan cenderung terikat pada apa yang telah ada. Sesuatu yang baru tidak disenangi oleh siswa karena tidak biasa dan tidak dikenal.

Dengan demikian yang dimaksud dengan gaya berpikir konvergen adalah respon individu yang tunggal dan konvensional tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan


(27)

atau informasi yang diberikan. Berpikir konvergen adalah pola pikir seseorang yang lebih didominasi oleh berfungsinya belahan otak kiri, berfikir vertikal, sistematik dan terfokus serta cenderung mengelaborasi atau meningkatkan pengetahuan yang sudah ada. Berfikir konvergen merupakan cara berpikir yang menuju ke satu arah, untuk memberikan jawaban atau penarikan kesimpulan yang logis dari informasi yang diberikan dengan penekanan pada pencapaian jawaban tunggal yang paling tepat. Berpikir konvergen berkaitan dengan berpikir logis, sistematis, linier dan dapat diramalkan. Sementara itu, berpikir divergen adalah respon individu mencakup berbagai alternatif yang merupakan variasi ide yang tidak bisa tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Bepikir divergen adalah pola berpikir seseorang yang lebih didominasi oleh berfungsinya belahan otak kanan, berfikir lateral, holistik-sistemik dan menyebar serta menyangkut pemikiran sekitar atau yang menyimpang dari pusat persoalan. Berpikir divergen adalah berpikir kreatif, berpikir untuk memberikan bermacam kemungkinan jawaban berdasarkan informasi yang diberikan dengan penekanan pada kuantitas, keragaman, originalitas jawaban. Gaya berpikir divergen menunjuk pada pola berpikir yang menuju ke berbagai arah dengan ditandai adanya kelancaran, kelenturan, dan orisinilitas.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, gaya berpikir divergen dan konvergen

memiliki karakteristik bipolar (http://www.litagama.org/Jurnal/Edisi5 /StrategiPemb.htm).

Gaya berpikir memiliki dua kutub yang tidak menunjukkan keunggulan antara satu kutub dengan kutub lainnya, berbeda halnya dengan kecakapan (ability) yang bersifat unipolar dengan rentangan nol sampai nilai maksimum tertentu, di mana siswa yang memiliki kemampuan lebih tinggi akan lebih baik daripada siswa yang memiliki kemampuan rendah. Dengan demikian, pembedaan gaya berpikir divergen dan konvergen sebenarnya adalah upaya memahami perbedaan individu dalam kecenderungannya memproses informasi dan merespon stimuli atau mendekati suatu tugas, apakah sebagai cenderung divergen atau cenderung secara konvergen. Siswa dikategorikan cenderung divergen, apabila dalam menghadap suatu persoalan (tugas) cenderung melihatnya dari berbagai segi, mencakup berbagai alternatif yang merupakan variasi ide yang tidak bisa tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Sebaliknya dikategorikan sebagai cenderung konvergen, apabila dalam menghadapi suatu persoalan selalu memandangnya dari satu sisi, respon yang tunggal dan konvensional tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Jadi setiap orang sebenarnya memiliki kedua cara berpikir itu, hanya tingkat dominasinya yang berbeda.

I. KAJIAN EMPIRIK

Ada beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Diantaranya adalah yang dilakukan oleh Sumadi (2004) dan Gita (2004). Hasil penelitian Sumadi (2004) terhadap siswa kelas II SMP di Kota Singaraja diperoleh hasil bahwa hasil belajar matematika siswa


(1)

4-5 orang yang bersifat heterogen (jenis kelamin, kemampuan, gaya berfikir) Guru Membagikan LKS

Guru membimbing siswa dan memfasilitasi siswa dalam menyelesaikan masalah

Guru senantiasa mengajukan pertanyaan untuk menggali apa yang difikirkan siswa

Siswa Bekerja dalam kelompok

Siswa menjawab pertanyaan guru

Pengembangan

3. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Guru membantu siswa menyiapkan bahan persentasi di depan kelas

Guru meminta siswa kelompok menyajikan hasil kerja kelompoknya

Siswa mepresentasikan hasil kerja kelompoknya

Peringkasan

4. Mengevaluasi dan membuat

kesimpulan Siswa menyimpulkan materiyang dipelajari 5. Memberikan pekerjaan

rumah (PR)

Siswa mengerjakan

pekerjaan rumah (PR)

9. Memberikan perlakuan kepada kelas kontrol berupa pembelajaran konvensional dengan sintaks pembelajaran sebagai berikut.

Tabel 1.7 Sintak pembelajaran konvensional

Phase Aktivitas Guru Aktivitas Siswa

Apersepsi

Menyampaikan pokok

bahasan atau materi yang akan diberikan

Mendengarkan informasi yang disampaikan dan menerima materi baru

Kegiatan Inti

Mendemontrasikan

ketrampilan atau menyajikan materi tahap demi tahap

Memperhatikan penjelasan guru

Memberikan contoh soal yang relevan dengan materi yang diberikan

Mencatat contoh soal

Menyelesaikan soal yang ada dalam LKS

Menyelesaikan soal-soal yang ada dalam LKS

Penutup Memberikan pekerjaan rumah(PR) Mencatat pekerjaan rumah(PR)

10. Memberikan pos-test pada akhir penelitian, baik utuk kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol.


(2)

11. Menganalisis data hasil penelitian dan melakukan uji hipotesis.

3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.1 Variabel Penelitian

Penelitian ini melibatkan variabel bebas dan variabel terikat yang dijelaskan sebagai berikut.

a. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran kontekstual yang dikenakan pada kelompok eksperimen dan pembelajaran konvensional yang dikenakan pada kelompok kontrol. Sedangkan variabel bebas intervensi adalah gaya berfikir siswa yang dibagi menjadi gaya berfikir konvergen dan gaya berfikirdivergen.

b. Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah prestasi belajar matematika siswa.

3.2 Definisi Operasional

Untuk menggambarkan secara operasional variabel penelitian, dibawah ini diberikan definisi operasional masing-masing variabel.

a. Pendekatan Konvensional

Yang dimaksud dengan pendekatan konvensional dalam penelitian ini adalah prosedur yang digunkan guru dalam membahas suatu pokok bahasan yang telah biasa digunkan dalam pembelajaran matematika. Langkah-langkah pembelajaran diawali dengan penjelasan singkat materi oleh guru, siswa diajarkan teori, defenisi, teorema yang harus dihafal, pemberian contoh soal dan diakhiri dengan latihan soal

b. Pendekatan Kontekstual

Pendekatan kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran di mana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam pembelajarannya dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan kehidupan mereka sehari-hari serta lebih menekankan pada belajar bermakna.

c. Gaya Berfikir

Gaya berfikir adalah perbedaan-perbedaan individu dalam merespon suatu permasalahan tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Klasifikasi gaya berfikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah berfikir konvergen dan berfikir divergen. Pengukuran gaya berfikir siswa dilakukan dengan menggunakan tes berfikir divergen yang dikembangkan oleh Utami Munandar.


(3)

Prestasi belajar matematika adalah tingkat penguasaan kognitif siswa terhadap materi pelajaran matematika setelah mengalami proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Prestasi belajar ini dinyatakan dengan skor yang diperoleh siswa dalam menjawab tes prestasi belajar matematika pada ranah kognitif yang diberikan pada akhir penelitian, dan data yang diperoleh berupa data interval.

4. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini data yang diperlukan adalah data tentang prestasi belajar matematika dan data tentang gaya berfikir siswa. Untuk mengumpulkan kedua data tersebut diperlukan dua macam tes, yaitu tes untuk mengukur prestasi belajar matematika dan tes untuk memilah gaya berfikir siswa, yaitu gaya berfikir konvergen dan divergen.

1. Tes Prestasi Belajar Matematika

Instumen yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang prestasi belajar matematika siswa adalah tes prestasi belajar pada ranah kognitif. Menurut Arikunto (1998: 123) “tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur ketrampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok“.

Untuk mengetahui kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh siswa dalam mengerjakan soal, maka bentuk tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk tes esai. Selain itu, soal bentuk esai (uraian) merupakan teknik terbaik untuk mengungkapkan kemampuan mengorganisasikan fikiran dan menyatakan pengetahuan secara lengkap (Azwar, 1999). Dalam menjawab tes esai siswa dituntut untuk menjawab secara rinci, teliti, dan berfikir sistematik. Walaupun demikian tes esai tidak lepas dari kelemahan-kelemahannya, seperti: 1) materi pelajaran yang dijangkau terbatas, 2) peskoran relatif subjektif, 3) pemeriksaan tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang dan 4) pemeriksaan cukup lama dan rumit jika jumla siswa cukup banyak (Azwar, 1999; Suherman, 1994). Untuk mengurangi kelemahan-kelemahan yang ada dalam tes essay, ditangani dengan cara, 1) untuk menjaga obyektivitas penilaian, pemberian skor dilakukan oleh dua orang yaitu peneliti sendiri dan teman sejawat, 2) pemeriksan dilakukan pernomor soal bukan perindividu dan 3) membuat pedoman penskoran.

2. Kisi-Kisi Tes Prestasi Belajar Matematika

Suatu tes untuk mengevaluasi prestasi belajar disebut baik jika materi yang terkandung dalam butir-butir tes tersebut dapat mewakili seluruh materi yang telah dipelajari siswa. Sebaliknya, suatu tes dikatakan kurang baik bila tes tersebut hanya memuat sebagian kecil materi yang diajarkan oleh guru. Untuk menghindari hal tersebut dan untuk mendapatkan tes yang representatif maka perlu dilakukan analisis rasional. Artinya dengan


(4)

melakukan analisis berdasarkan fikiran logik tentang materi-materi yang akan diteskan, tujuan instruksional, serta bentuk atau tipe tes yang akan dicapai.

Analisis rasional tersebut dituangkan dalam bentuk “kisi-kisi tes” atau “blue print” yang berisi pokok uji yang termuat dalam tes (Koyan, 2005). Berikut ini disajikan kisi-kisi tes prestasi belajar matematika.

Tabel 1.8 Kisi-kisi tes prestasi belajar matematika Stadar kompetensi Kompetensi dasar Sub Pokok Bahasan Indikator Nomor Butir Menentukan unsur-unsur dan bagian-bagian lingkaran serta ukurannya Menentukan unsur-unsur dan bagian-bagian

lingkaran

Unsur-unsur lingkaran

Menyebutkan unsur-unsur dan bagian-bagian lingkaran (pusat lingkaran, jari-jari, diameter, tali busur,

juring dan

tembereng)

1

Menghitung keliling dan luas lingkaran

Keliling dan luas lingkaran

Menentukan nilai phi ( ) dan rumus keliling lingkaran

3

Menentukan rumus

luas lingkaran 2

Menghitung

keliling dan luas

lingkaran 4,6

Menggunakan rumus keliling dan luas lingkaran dalam pemecahan masalah

5,7

Menggunakan hubungan sudut pusat, panjang busur, luas juring dalam pemecahan masalah

Sudut pusat, panjang busur, luas juring

Menentukan

hubungan sudut pusat dan sudut keliling jika menghadap busur yang sama

8

Menentukan

panjang busur dan luas juring

9 Menentukan luas

tembereng 12

Menggunakan hubungan sudut pusat, panjang busur, luas juring dan tembereng


(5)

dalam pemecahan masalah

Jumlah 10

3. Tes Gaya Berfikir Siswa

Munandar (1995) mengistilahkan berfikir divergen (kreatif) dengan kreativitas yang secara operasional dirumuskan sebagai suatu proses yang tercermin dari kelancaran, kelenturan, orisinil dan elaborasi dalam berfikir. Dalam penelitian ini instrumen gaya berfikir yang digunakan adalah tes yang telah distandarisasi oleh Utami Munandar. Tes tersebut terdiri dari enam sub tes, yaitu 1) Permulaan kata; 2) Menyusun kata; 3) Membentuk kalimat tiga angka; 4) sifat-sifat yang sama; 5) Macam-macam penggunaan; dan 6) Apa akibatnya. Permulaan kata, pada subtes ini subjek harus memikirkan sebanyak mungkin kata yang mulai dengan susunan huruf tertentu. Tes ini mengukur kelancaran dengan kata, yaitu kemampuan untuk menemukan kata yang memenuhi persyaratan setruktural tertentu. Menyusun kata, pada subtes ini subjek harus menyusun sebanyak mungkin kata dengan menggunakan huruf-huruf dari satu kata yang diberikan. Seperti tes permulaan kata, tes ini mengukur kelancaran kata, tetapu tes ini juga menuntut kemampuan reorganisasi persepsi. Membentuk kalimat tiga kata, pada subtes ini subjek harus menyusun kalimat yang terdiri dari tiga kata, huruf pertama untuk setiap kata diberikan sebagai rangsangan, akan tetapi urutan dalam penggunaan ketiga huruf tersebut boleh berbeda, menurut kehendak subjek. Tes ini mengukur orisinilitas dalam berfikir. Sifat-sifat yang sama, pada subtes ini subjek harus menemukan sebanyak mungkin objek yang semuanya memiliki dua sifat yang ditentukan. Tes ini merupakan ukuran dari kelancaran dalam memberikan gagasan.

Macam-macam penggunaan, pada subtes ini sebjek harus memikirkan sebanyak mungkin

penggunaan yang tidak lazim (tidak biasa) dari benda sehari-hari. Tes ini merupakan ukuran dari kelenturan dalam befikir, karena dalam tes ini subjek harus dapat melepaskan diri dari kebiasaan melihat benda sebagai alat untuk melakukan hal tertentu saja. Apa akibatnya, pada subtes ini subjek harus memikirkan segala sesuatu yang mungkin terjadi dari suatu kejadian. Tes ini merupakan ukuran dari kelancaran memberikan gagasan digabung dengan elaborasi, diartikan sebagai kemampuan untuk mengembangkan suatu gagasan dengan mempertimbangkan bermacam-macam implikasinya.

Waktu yang diberikan kepada siswa untuk menjawab tes gaya berfikir mempunyai batas waktu, berdasarkan pertimbangan bahwa menentukan waktu adalah penting untuk pengetesan yang cermat. Adapun ketentuan waktunya adalah sebagai berikut. Subtes 1, 2, 4 dan 5 masing-masing disediakan waktu 2 menit, subtes 3 disediakan waktu 3 menit, dan sub tes 6 disediakan waktu 4 menit. Jadi secara keseluruhan waktu yang diberikan kepada subjek untuk menjawab seluruh tes gaya berfikir adalah 15 menit. Hasil tes yang diberikan pada siswa akan mencerminkan gaya berfikir yang dimiliki oleh siswa tersebut. Semakin tinggi


(6)

hasil tes, maka peserta tes tersebut digolongkan memiliki gaya berfikir divergen, sebaliknya semakin rendah nilai tes, maka peserta tes tersebut digolongkan memiliki gaya berfikir konvergen.

4. Kisi-kisi Tes Gaya Berfikir Siswa

Tabel 1.9 Kisi-kisi tes gaya berfikir siswa No

. Variabel Dimensi Indikator No Item

1

Gaya Berfikir

Gaya Berfikir

Kelancaran

Permulaan kata 1

Menyusun kata 2

Sifat-sifat yang sama 4 Kelenturan Macam-macam

Penggunaan 3

Orisinilitas Membentuk kalimat

tiga angka 5