mengupayakan   terjadinya   proses pembelajaran   yang   efektif   dan   ikut
bertanggung   jawab   atas   terjadinya pembelajaran yang efektif
dalam pembelajaran Siswa belajar dari teman melalui kerja
kelompok,   diskusi   dan   saling mengoreksi
Siswa belajar secara individu Kemajuan   belajar   diukur   dengan
berbagai cara dan sumber Kemajuan belajar diukur dengan tes
Pembelajaran   bisa   terjadi   di   berbagai tempat
Pembelajaran lebih cendrung di dalam kelas
Menerapkan penilaian autentik melalui penerapan   praktis   dalam   pemecahan
masalah Penilaian   hasil   belajar   hanya   melalui
hafalan akademik berupa ulangan atau ujian
Perbedaan pola pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran konvensional seperti yang dikemukakan di atas memberikan kesan bahwa pembelajaran kontekstual tampil dengan
sejumlah   keunggulan   dibandingkan   dengan   pembelajaran   konvensional   yang   dilakukan selama ini. Perbedaan tersebut juga menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kontekstual
menekankan kegiatan pembelajaran pada konsep student center.
Dengan melihat keunggulan-keunggulan dan karakteristik pembelajaran kontekstual, maka dalam penerapannya di kelas diharapkan siswa dapat mempelajari materi pelajaran
yang disajikan oleh guru melalui konteks kehidupan mereka dan mereka dapat menemukan arti   di   dalam   proses   pembelajaran,   sehingga   pembelajaran   menjadi   lebih   berarti   dan
menyenangkan  bagi siswa. Di samping itu siswa  akan merasakan manfaat  langsung dari materi yang sedang dipelajari. Dengan demikian diharapkan hasil belajar siswa akan lebih
baik dan lebih siap menghadapi masalah-masalah dalam kehidupannya nanti.
5. Hakikat Gaya Berfikir
Hampir setiap orang mempunyai sisi yang dominan. Belahan otak kanan menguasai belahan kiri badan, sedangkan belahan otak kiri menguasai belahan kanan badan. Respon,
tugas   dan   fungsi   belahan   otak   kiri   dan   kanan   berbeda   dalam   menghayati   berbagai pengalaman belajar, sebagaimana seseorang mengalami realita secara berbeda-beda dan unik.
Belahan otak kiri terutama berfungsi untuk berpikir rasional, berpikir konvergen tunggal, analitis, berurutan, linier, saintifik seperti untuk belajar membaca, bahasa, aspek berhitung
pada   matenatika.   Sedangkan   belahan   otak   kanan   berfungsi   berpikir   holistik,   berpikir divergen   jamak,   spasial,   metaphorik   dan   lebih   banyak   menyerap   konsep   matematika,
sintesis, mengetahui sesuatu secara intuitif, elaborasi serta dimensi humanistik mistik Clark dalam Semiawan, 1997.
Berikut ini disajikan Tabel dikotomi fungsi belahan otak kiri dan otak kanan. Teori ini, walaupun didukung oleh bukti-bukti empiris, namun masih memerlukan pengkajian lebih
lanjut untuk keabsahannya Dacey, 1989; Piirto, 1992 dalam Munandar, 2002.
Tabel 2.4 Dikotomi Belahan Otak
Belahan Otak Kiri Belahan Otak Kanan
Konvergen Divergen
Intelektual Emosinal
Horizontal Vertikal
Diarahkan Bebas
Objektif Subjektif
Abstrak Kongkrit
Verbal Nonverbal
Analitis Sintesis
Eksplisit Implisit
Sumber Dacey, 1989; Piirto, 1992 dalam Munandar, 2002
Belajar   menurut   logika   neurologis   adalah:   pertama,   menekankan   pengembangan fungsi-fungsi belahan otak kanan terutama sejak janin dalam kandungan sampai usia 5 tahun,
diteruskan sampai usia 16 tahun. Kedua, menekankan pengembangan fungsi-fungsi belahan otak   kiri.   Ketiga,   kombinasi   antara   fungsi-fungsi   belahan   otak   kiri   dan   kanan
http:www.pendidikan-damai.orgfilesPanduan.   Sementara   itu,   yang   dilakukan   guru   di sekolah adalah membalik logika belajar neurologi ini.  Sejak anak masuk SD y
ang ditekankan justru pelajaran bahasa fungsi verbal, kemampuan membaca, menulis, dan berhitung atau
matematika   fungsi   intelektual   dan   fungsi   logika   yang   semuanya   itu   lebih   menekankan pengembangan fungsi-fungsi belahan otak kiri.
Guilford   dengan   pidatonya   yang   terkenal   pada   tahun   1950   mengajukan   Model Struktur Intelek yang membedakan berpikir konvergen dan berpikir divergen Munandar,
2002; Semiawan, 1997. Berpikir konvergen hanya terbatas pada respon yang tunggal dan konvensional tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan, sedangkan berpikir divergen
mencakup berbagai alternatif yang merupakan variasi ide yang tidak biasa tentang hal-hal yang   terkait   dengan   pembicaraan.   Lebih   jauh,   Guilford   mengatakan   berpikir   konvergen
adalah   pemberian   jawaban   atau   penarikan   kesimpulan   yang   logis   dari   informasi   yang diberikan, dengan penekanan pada pencapaian jawaban tunggal yang paling tepat, atau satu-
satunya jawaban yang benar. Contoh: 2 + 5 = 7; 5 – 1 = 4; 2 x 4 = 8;      6 : 2 = 3. Sedangkan berpikir divergen adalah memberikan bermacam-macam kemungkinan jawaban berdasarkan
informasi   yang   diberikan,   dengan   penekanan   pada   keragaman   kuantitas   dan   kesesuaian. Contoh:   benda-benda   apa   saja   yang   berbentuk   lingkaran?   Model   Struktur   Intelek   dari
Guilford   sangat   berpengaruh   dalam   mengidentifikasi   anak   yang   berkemampuan   unggul khusus dalam bidang tertentu. Senada dengan Guilford, Munandar 2002 mengatakan bahwa
berpikir   divergen   adalah   menjajaki   macam-macam   alternatif   jawaban   terhadap   suatu persoalan, sedangkan berpikir konvergen menuju pada satu jawaban yang paling mungkin
terhadap suatu persoalan. Pada tahun enam puluhan Koestler juga meneliti fungsi otak dan menemukan teori
berpikir bisosiatif atau berpikir kreatif dalam Semiawan, 1997. Sama seperti Clark, Koestler berpendapat   bahwa   belahan   otak   kanan   lebih   bersifat   lateral   ke   samping   dan   divergen
jamak   sedangkan   belahan   otak   kiri   bersifat   vertikal   ke   atas   dan   konvergen   tunggal. Koestler mengatakan berfungsinya belahan otak kanan ditandai oleh banyaknya lebih dari
satu   kemungkinan   jawaban   fungsi   divergen   dan   belahan   otak   kiri   ditandai   oleh kemungkinan satu jawaban fungsi konvergen.
Menurut
Fathoni http:www.penulislepas.commore.php?id=2041   0_1_0_M
proses melahirkan ide dengan cara berpikir divergen berarti membiarkan pikiran kita untuk bergerak
ke mana-mana secara simultan. Kita dituntut untuk mengeluarkan apa pun yang muncul di otak kita. Munculnya satu ide akan dapat memicu timbulnya ide yang lain. Kunci utama
dalam   metode   berpikir   divergen   adalah   menghilangkan   penilaian.   Karena   jika   penilaian masih menghantui kita, maka akan sulit untuk dapat menjalankan proses berpikir divergen
secara efektif. Berpikir divergen adalah membiarkan otak kita bebas bergerak ke segala arah untuk mencari ide-ide yang nantinya kita tampung. Hal ini sesuai dengan fungsi pada otak
kanan. Sedangkan berpikir secara konvergen adalah mempersempit ide dengan menyeleksi ide-ide mana yang terbaik, dan hal ini sesuai dengan fungsi dari otak kiri. Dengan kata lain
berpikir divergen dan konvergen adalah bagaimana cara kita untuk menggunakan otak kiri dan otak kanan secara seimbang
. Bila   kita   menghadapi   masalah   yang   rumit   maka,   kedua   otak   kita   akan
berfungsi secara bergantian. Kita menjelajahi berbagai dimensi, setelah itu kita analisis secara logis,
teratur jawabannya, dan jawaban yang paling mendekati kebenaran sebagai pemecahan yang bersifat analitis. Meskipun demikian, tidak berarti masing-masing belahan otak mengelola
bentuk informasi tertentu, namun masing-masing belahan itu berfungsi lebih efisien sesuai ciri-cirinya.   Model   Koestler   ini   bersandar   terutama   pada   gaya   berpikir,   yaitu   fungsi
konvergen   dan   divergen.   Gaya   berpikir   adalah   perbedaan-perbedaan   individu   dalam merespon   suatu   permasalahan   tentang   hal-hal   yang   terkait   dengan   pembicaraan   atau
informasi yang diberikan.
Berpikir divergen sering diartikan sebagai berpikir kreatif memberi banyak gagasan, sedangkan berpikir konvergen sering diartikan sebagai berpikir kritis memilih gagasan yang
terbaik   Munandar,   2002.   Menurut   Cropley   dalam   Munandar,   2002,   Harsanto   2005, Wahyudin
http:www.litagama.orgJurnal   Edisi5 StrategiPemb.htm   dan   Taylor   dalam
Sujana, 2002, bahwa ciri-ciri individu yang berpikir konvergen adalah a vertikal, artinya bergerak secara bertahap, b konvergen, terfokus menuju pada satu jawaban yang paling
benar, c sistematis-terstruktur, d berpikir logis, e dependen, f pengetahuan faktual, g cenderung kurang bertanggung jawab, h kurang percaya diri dalam menyelesaikan tugas-
tugas dibebankan kepadanya, dan i teramalkan predictable. Sedangkan ciri-ciri individu yang berpikir divergen adalah a lateral, artinya memandang persoalan dari beberapa sisi, b
divergen,   menyebar   ke   berbagai   arah   untuk   menemukan   jawaban,   c   holistik-sistemik, bersifat menyeluruh atau global, d intuitif – imajinatif, e independen mandiri, dan f
pengetahuan konseptual, g bertanggung jawab, h percaya diri serta menyukai tantangan, dan i tidak teramalkan unpredictable.
Menurut Wakefield dalam Sujana, 2002 kemampuan berpikir konvergen atau kritis adalah   kemampuan   yang   dimiliki   seseorang   dalam   memikirkan   dan   menemukan   cara
pemecahan yang paling tepat. Sementara itu, berpikir divergen sebagai kemampuan untuk melihat   bermacam-macam   kemungkinan   penyelesaian   terhadap   suatu   masalah   merupakan
bentuk   pemikiran   yang   samapai   saat   ini   masih   kurang   mendapat   perhatian   dalam   dunia pendidikan. Tes hasil belajar sebagian besar hanya meliputi tugas-tugas yang mengharuskan
siswa mencari satu jawaban yang benar berpikir konvergen Munandar, 2002. Kemampuan berpikir divergen, yaitu menjajaki berbagai kemungkinan jawaban atas suatu masalah jarang
diukur. Dengan demikian kemampuan mental intelektual siswa secara utuh diabaikan. Kolb dalam Nasution, 2001 mengatakan bahwa siswa yang berpikir konvergen lebih suka belajar
bila soal yang dihadapinya mempunyai jawaban tertentu. Bila mereka menghadapi tugas atau masalah mereka berusaha menemukan jawaban yang tepat dan lebih suka menghadapi benda
daripada manusia abstrak. Sedangkan siswa yang berpikir divergen lebih suka memandang sesuatu dari berbagai segi. Mereka disebut “divergers” karena subur dalam melahirkan ide-
ide baru.
Pendidikan   formal   di  Indonesia   terutama   menekankan   pada   pemikiran   konvergen Munandar, 2002. Siswa jarang dirangsang untuk melihat suatu masalah dari berbagai sudut
pandang  atau  memberikan  berbagai  alternatif  penyelesaian  suatu  masalah.  Siswa  tumbuh menjadi   kurang   toleran   atau   kurang   terbuka   terhadap   pendapat   yang   divergen,   yang
menyimpang dari yang konvensional. Siswa yang berpikir konvergen merasa lebih nyaman dan cenderung terikat pada apa yang telah ada. Sesuatu yang baru tidak disenangi oleh siswa
karena tidak biasa dan tidak dikenal. Dengan  demikian   yang  dimaksud  dengan  gaya   berpikir   konvergen   adalah  respon
individu yang tunggal dan konvensional tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan
atau informasi yang diberikan. Berpikir konvergen adalah pola pikir seseorang yang lebih didominasi oleh berfungsinya belahan otak kiri, berfikir vertikal, sistematik dan terfokus serta
cenderung   mengelaborasi   atau   meningkatkan   pengetahuan   yang   sudah   ada.   Berfikir konvergen merupakan cara berpikir yang menuju ke satu arah, untuk memberikan jawaban
atau penarikan kesimpulan yang logis dari informasi yang diberikan dengan penekanan pada pencapaian jawaban tunggal yang paling tepat. Berpikir konvergen berkaitan dengan berpikir
logis, sistematis, linier dan dapat diramalkan. Sementara itu, berpikir divergen adalah respon individu mencakup berbagai alternatif yang merupakan variasi ide yang tidak bisa tentang
hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan.    Bepikir divergen adalah pola berpikir seseorang yang lebih didominasi oleh berfungsinya belahan otak kanan,
berfikir lateral, holistik-sistemik dan menyebar serta menyangkut pemikiran sekitar atau yang menyimpang dari pusat persoalan. Berpikir divergen adalah berpikir kreatif, berpikir untuk
memberikan bermacam kemungkinan jawaban berdasarkan informasi yang diberikan dengan penekanan   pada   kuantitas,   keragaman,   originalitas   jawaban.   Gaya   berpikir   divergen
menunjuk   pada   pola   berpikir   yang   menuju   ke   berbagai   arah   dengan   ditandai   adanya kelancaran, kelenturan, dan orisinilitas.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, gaya berpikir divergen dan konvergen memiliki   karakteristik   bipolar
http:www.litagama.orgJurnalEdisi5   StrategiPemb.htm .
Gaya berpikir memiliki dua kutub yang tidak menunjukkan keunggulan antara satu kutub dengan   kutub   lainnya,   berbeda   halnya   dengan   kecakapan   ability   yang   bersifat   unipolar
dengan   rentangan   nol   sampai   nilai   maksimum   tertentu,   di   mana   siswa   yang   memiliki kemampuan lebih tinggi akan lebih baik daripada siswa yang memiliki kemampuan rendah.
Dengan   demikian,   pembedaan   gaya   berpikir   divergen   dan   konvergen   sebenarnya   adalah upaya memahami perbedaan individu dalam kecenderungannya memproses informasi dan
merespon   stimuli   atau   mendekati   suatu   tugas,   apakah   sebagai   cenderung   divergen   atau cenderung   secara   konvergen.   Siswa   dikategorikan   cenderung   divergen,   apabila   dalam
menghadap   suatu   persoalan   tugas   cenderung   melihatnya   dari   berbagai   segi,   mencakup berbagai alternatif yang merupakan variasi ide yang tidak bisa tentang hal-hal yang terkait
dengan   pembicaraan   atau   informasi   yang   diberikan.   Sebaliknya   dikategorikan   sebagai cenderung konvergen, apabila dalam menghadapi suatu persoalan selalu memandangnya dari
satu   sisi,   respon   yang   tunggal   dan   konvensional   tentang   hal-hal   yang   terkait   dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Jadi setiap orang sebenarnya memiliki kedua
cara berpikir itu, hanya tingkat dominasinya yang berbeda.
I. KAJIAN EMPIRIK
Ada beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Diantaranya adalah yang dilakukan oleh Sumadi 2004 dan Gita 2004. Hasil penelitian Sumadi 2004 terhadap
siswa kelas II SMP di Kota Singaraja diperoleh hasil bahwa hasil belajar matematika siswa
yang mengikuti pembelajaran kontekstual lebih baik daripada hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. Hasil serupa ditemukan oleh Gita 2004 yang
juga mengkaji tentang pendekatan kontekstual di SMP. Hasil penelitiaannya menunjukkan bahwa pendekatan kontekstual dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa.
Hasil penelitian Mahendra 2004 mengungkapkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajar dengan pendekatan kontekstual lebih baik daripada
kemampuan   pemecahan   masalah   matematika   siswa   yang   diajar   dengan   pendekatan konvensional.   Senada   dengan   Mahendra,   Parta   2004   juga   mengungkapkan   keunggulan
pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika. Pada hasil penelitiannya dikatakan bahwa pemahaman konsep matematika siswa yang diajar dengan pendekatan kontekstual
lebih baik daripada siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional. Selain berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika dan pemahaman konsep matematika,
pendekatan kontekstual juga berpengaruh terhadap penalaran dan komonikasi matematika serta koneksi matematika Sastrini, 2004 dan Suarsana 2004.
Sementara   itu,   penelitian Arifin   2002   tentang   gaya   berfikir   siswa   menunjukkan bahwa penerapan   model   mengajar   synectics   dalam   pembelajaran   IPS-Ekonomi,   dapat
meningkatkan
kemampuan berfikir
divergen siswa
http:pps.upi.eduorgabstrakthesisabstrakipsabstrakips02 .
html .
.
J. KERANGKA BERFIKIR
a. Hubungan antara pendekatan pembelajaran dengan prestasi belajar matematika siswa
Matematika adalah suatu cabang ilmu yang berhubungan atau menelah bentuk-bentuk atau   struktur   yang   abstrak,   dan   hubungan   diantara   struktur-struktur   tersebut.   Belajar
matematika   adalah   belajar   tentang   konsep-konsep   dan   struktur-struktur   matematika   yang terdapat dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antar konsep-konsep
dan struktur-struktur matematika tersebut. Untuk dapat memahami hubungan antara struktur- struktur yang abtrak tersebut diperlukan pemahaman konsep-konsep yang terdapat di dalam
matematika itu sendiri. Belajar matematika tidak hanya sekadar belajar tentang konsep-konsep tetapi belajar
secara bermakana. Bermakna dalam hal ini siswa tahu tujuan mereka belajar matematika. Siswa   belajar   bermakna   jika   materi   dalam   pembelajarannya   dikaitkan   dengan   kehidupan
nyata   yang   dekat   dengan   keseharian   siswa.   Untuk   itu   diperlukan   suatu   pendekatan pembelajaran   yang   mampu   mengaitkan   materi   yang   dipelajari   siswa   dengan   kehidupan
mereka sehari-hari. Pendekatan pembelajaran yang bisa mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan siswa adalah pendekatan kontekstual.
Salah satu tujuan belajar matematika adalah untuk mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola fikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam