Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada usia 20-an seorang individu mulai dituntut untuk memiliki pasangan oleh lingkungan sosial dan keluarganya. Usia ini dianggap sebagai usia matang menuju jenjang pernikahan sehingga pacaran dianggap sebagai hubungan yang penting dan serius. Pacaran adalah satu tugas perkembangan yang perlu dilalui oleh seseorang Hardjana, 2002. Beberapa individu yang telah memasuki periode perkembangan dewasa awal namun belum berpacaran merasa mendapat tekanan dari lingkungan di sekitarnya karena banyak yang menanyakan tentang pacar atau pasangannya. Menurut Santrock 2002 masa dewasa awal merupakan masa pembentukan kemandirian pribadi dan ekonomi, masa perkembangan karir, dan bagi banyak orang masa ini merupakan masa pemilihan pasangan, belajar hidup secara akrab, memulai keluarga dan mengasuh anak-anak. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial dan dalam kehidupannya membutuhkan orang lain. Manusia juga senantiasa memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Lindsklod dalam Reardon, 1987 mengatakan bahwa manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup. Orang lain yang hadir dalam kehidupan seseorang berfungsi untuk memenuhi salah satu kebutuhan manusia yaitu kasih sayang. Kebutuhan akan kasih sayang ini dapat terpenuhi melalui suatu hubungan dengan orang lain yang disebut pacaran Rice DeGenova, 2005. Sebuah artikel yang dikutip dari www.vemale.com menyebutkan bahwa pacaran dianggap penting dan bahkan berdampak besar bagi masa depan pernikahan pelakunya. Salah satu alasan kegagalan pernikahan adalah tidak mengenal secara mendalam calon mempelai. Proses pemilihan calon pasangan hidup dapat disebut dengan proses penjajakan untuk saling mengenal satu sama lain. Kurangnya penjajakan sebelum menikah dianggap sebagai penyebab pasangan belum siap menerima kekurangan dan kelebihan pasangannya sehingga menimbulkan tekanan batin ketika sudah menikah. Hal ini dialami salah satu individu yang tidak berpacaran sebelum menikah, “Y”. Dari hasil wawancara dengan “Y”, “Saya dulu ga pacaran. Kenalnya sama suami ya pas dekat dengan waktu pernikahan, dikenalin temen jadi ga kenal sendiri. Saya bener- bener tahu baik buruknya ya setelah nikah. Kadang kecewa karena perbedaan antara kami sangat jauh. Banyak sifatnya yang tidak saya suka. Tapi mau ga mau ya saya terima kekurangan meskipun kadang menyakitkan. Ya karena saya tidak mengenalnya terlebih dahulu.” Kekecewaan dalam pernikahan tanpa mengenal calon pasangan terlebih dahulu dapat menimbulkan ketidakharmonisan hubungan rumah tangga. Mengatasi hal tersebut, banyak orang tua yang memperbolehkan pacaran dengan atau tanpa pengawasan orang tua. Dalam sebuah artikel yang dikutip dari www.lifestyle.okezone.com, pacaran memang merupakan tugas perkembangan yang perlu dilalui oleh seseorang. Roelfs menjelaskan bahwa mereka yang tidak berstatus lajang merasa memiliki dukungan yang lebih kuat dalam berbagai hal dari pasangannya sehingga lebih sehat dan terhindar dari berbagai resiko buruk. Dilansir dari www.solopos.com, seorang siswa menuturkan bahwa dirinya merasa sepi apabila tidak berpacaran, dan seorang siswi menganggap bahwa pasangannya dapat dijadikan sarana mencurahkan isi hati dan sebagai teman dekat dalam melakukan hal-hal yang positif sehingga memperoleh kelegaan. Adapun hasil wawancara yang dilakukan dengan salah satu responden dewasa awal yang berpacaran. Hasil wawancara dengan seorang mahasiswa, “D” yang telah berpacaran selama hampir 9 tahun memperlihatkan bahwa dalam berpacaran seseorang akan banyak mengalami masalah, tetapi di saat yang sama berpacaran dapat menjadi sarana untuk belajar lebih memahami diri sendiri dan orang lain. Berikut hasil wawancaranya, “Saya sudah pacaran hampir 9 tahun dan memang banyak pengalaman baik dan buruk yang terjadi. Tidak hanya sekali kami memutuskan hubungan namun menjalin hubungan kembali. Saya banyak belajar dari pacar saya dan dari berbagai pengalaman baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Saya belajar untuk lebih memahami orang lain karena kami sering berbeda pendapat, belajar menyelesaikan masalah, saya juga menjadi lebih mengenal diri saya sendiri dan bahkan memperoleh banyak bantuan baik moril maupun material dari pacar saya”. Ada beberapa anggapan yang dituturkan oleh “D” selaku responden. “D” menganggap bahwa pacaran tidak hanya penting sebagai sarana untuk mengenal lebih dalam pasangan dalam rangka menuju hubungan yang lebih serius saja, tetapi juga merupakan proses belajar yang penting serta membuat orang yang berpac aran menjadi lebih “sehat” karena selama berpacaran seseorang akan merasa diterima dan mendapatkan dukungan dari pasangannya. Hal yang sama mungkin juga dialami oleh individu-individu lainnya yang sedang berpacaran. Pacaran tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga dapat memberikan dampak negatif. Hasil wawancara dengan salah satu individu, “A” yang pernah mengalami masa pacaran dan sekarang sudah putus, mengemukakan bahwa, “Dulu pacaran sih enak pada awal-awalnya, tapi seiring waktu bosen juga karena pasanganku gak suka aku berkumpul dengan teman- temanku jadi sosialku juga terbatas. Selain itu aku banyak dikekang dan harus selalu mendampinginya kalau dia mau pergi kemana gitu, aku kan juga banyak kegiatan yang harus kuselesaikan. Kalau ga dituruti ngambek, tapi kalau dituruti kerjaanku banyak terbengkelai. Jadinya yang harusnya support malah bisa bikin stres” Ada beberapa hal positif yang dirasakan oleh “A”. “A” mengatakan bahwa setelah putus justru kehidupannya bisa lebih stabil. “A” bisa fokus bekerja dan berkumpul bersama teman-temannya tanpa ada yang mengekang. Menurutnya pacaran memang tidak terlalu penting karena jika memang berniat untuk komitmen dan melanjutkan ke jenjang pernikahan, memilih calon pasangan bisa dilihat dan menanyakan kepada orang-orang yang mengenalnya dengan baik misalnya teman-temannya, lingkungan sosialnya dan masukan dari sahabat. Berdasarkan hasil wawancara, masing-masing individu yang berpacaran atau tidak berpacaran dapat mengalami kesejahteraan psikologis pada usia dewasa awal. Menurut Ryff, 1995, kesehatan psikologis ditandai dengan pemenuhan fungsi kriteria kesehatan mental positif yang dikemukakan oleh para ahli psikologi. Kesehatan psikologis merupakan gambaran kesejahteraan psikologis individu. Ryff menjelaskan bahwa secara teoritis, kesejahteraan psikologis meliputi aspek multidimensional yang terdiri dari 6 aspek yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi diri, penguasaan lingkungan, memiliki tujuan hidup dan pengembangan diri. Di sisi lain, beberapa peneliti menemukan bahwa kesejahteraan psikologis berkaitan dengan kepuasan hidup seseorang Neugarten, Havinghurst, Tobin dalam Ryff, 1989. Setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial selalu terdapat otoritas Soekanto, 2007. Hubungan berpacaran tidak hanya belajar untuk memahami pasangannya tetapi juga belajar untuk memahami dirinya sendiri melalu otoritasnya dalam proses berpacaran. Menurut Dahrendorf dalam Dwi, 2008, otoritas adalah pengaruh atau kekuasaan yang dimiliki individu untuk mempengaruhi pikiran, gagasan, pendapat, maupun perilaku seseorang atau suatu kelompok. Otoritas ini merupakan kesempatan yang dimiliki seseorang atau kelompok orang untuk menyadarkan orang lain akan kemampuannya sendiri dan menerapkannya terhadap tindakan atau perlawanan dari orang atau golongan yang lain menurut Weber dalam Soekanto, 2007. Otoritas ini berkaitan dengan kepuasan yang disampaikan Ryff mengenai kesejahteraan psikologis. Berdasarkan uraian di atas, berpacaran dianggap sesuatu yang sangat penting. Fenomena berpacaran dan tidak berpacaran juga berdampak pada pelakunya baik positif maupun negatif sehingga mempengaruhi kebahagiaan pelakunya. Melihat hal ini, peneliti menganggap bahwa penting untuk diteliti lebih mendalam apakah pacaran atau tidak pacaran memang ada hubungannya dengan kesejahteraan psikologis seseorang. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat apakah terdapat perbedaan kesejahteraan psikologis antara individu dewasa awal yang berpacaran dan tidak berpacaran berdasarkan dimensi yang dikemukakan Ryff.

B. Rumusan Masalah