83
kharismatik, dan mampu membangkitkan simbol-simbol Islam dianggap sebagai sebuah ancaman bagi kepentingan Belanda di Mataram.
Suatu ketika pemerintah kolonial Belanda bermaksud membuat jalan raya yang menghubungkan Yogyakarta dan Magelang. Jalan
tersebut ternyata menembus makam leluhur Diponegoro di Tegalrejo. Hal ini tentu saja membuat Diponegoro marah dan menganggapnya sebagai
suatu penghinaan.
Patok-patok yang menandai pembangunan jalan tersebut kemudian diganti oleh para pengikut Diponegoro dengan tombak-tombak.
Tindakan para pengikut Diponegoro tersebut dijawab oleh Belanda dengan mengirimkan pasukannya ke Tegalrejo pada 25 Juni 1825.
Pangeran Diponegoro dan pasukannya membangun pusat pertahanan di Selarong. Dukungan pada Diponegoro datang dari mana-mana sehingga
kekuatan pasukan Diponegoro semakin bertambah. Tokoh-tokoh yang bergabung antara lain Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasha
Prawirodirjo, dan Kiai Maja. Oleh karena itu untuk menghadapi perla- wanan ini Belanda mendatangkan pasukan dari Sumatra Barat dan
Sulawesi Selatan yang dipimpin Jenderal Marcus de Kock.
Pasukan Pangeran Diponegoro selalu berhasil memperoleh kemenangan. Untuk mematahkan perlawanan Diponegoro, Belanda
melakukan taktik Benteng Stelsel. Dengan taktik tersebut, di daerah- daerah yang telah dikuasai oleh Belanda didirikan benteng-benteng
pertahanan yang antara satu dengan lainnya dihubungkan oleh jalan sehingga pasukan mudah bergerak. Akibatnya, pasukan Diponegoro sulit
untuk bergerak.
Sejak 1829, kekuatan Diponegoro mulai berkurang, banyak pengikut Diponegoro yang ditangkap ataupun gugur dalam pertempuran.
Pada akhir November 1828, Kiai Maja ditangkap oleh Belanda. Sementa- ra Sentot Alibasha Prawirodirdjo menyerah pada Oktober 1829. Jenderal
de Kock memerintahkan Kolonel Cleerens untuk mencari kontak dengan Pangeran Diponegoro. Pada 28 Maret 1830, dilangsungkan perundingan
antara Jenderal de Kock dan Diponegoro di kantor keresidenan di Magelang. Namun, Belanda berkhianat. Pangeran Diponegoro dan para
pengikutnya ditangkap. Pangeran Diponegoro kemudian dibuang ke Manado dan Makassar. Dengan demikian, Perang Diponegoro berakhir.
e. Perlawanan terhadap Praktek Imperialisme di Bali
Pulau Bali sebelum abad ke-9 dikuasai oleh beberapa kerajaan kecil yang seluruhnya berada di bawah kekuasaan kerajaan Klungkung.
Kerajaan ini mengadakan perjanjian dengan Belanda pada tahun 1841. Berdasarkan perjanjian tersebut, kerajaan Klungkung yang saat itu
berada di bawah pemerintahan Raja Dewa Agung Putera, merupakan
Di unduh dari : Bukupaket.com
84
kupernement atau suatu negara yang bebas dari pengaruh kekuasaan Belanda. Hal ini berarti Belanda tidak bisa menguasai kerajaan
Klungkung.
Meskipun begitu, Belanda tidak berhenti mencari strategi untuk menguasai Bali. Pada tahun 1844, perahu dagang milik Belanda
terdampar di Prancak wilayah kerajaan Buleleng dan terkena Hukum Tawan Karang yang memberi hak kepada penguasa kerajaan untuk
menguasai kapal beserta isinya. Hal inilah yang dijadikan alasan oleh Belanda untuk melakukan serangan ke kerajaan Buleleng pada tahun
1848. Namun, serangan ini mengalami kegagalan. Pada serangan yang kedua 1849, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Mayor A.V.
Michies dan Van Swieeten berhasil merebut benteng pertahanan terakhir kerajaan Buleleng di Jagaraga. Pertempuran ini dikenal dengan nama
Puputan Jagaraga.
Setelah Buleleng ditaklukan, Belanda mulai menaklukan kerajaan- kerajaan di Bali lainnya. Oleh karena itu, perlawanan rakyat Bali dalam
menghadapi penjajahan Belanda diwarnai dengan berbagai perang puputan atau perang habis-habisan untuk mempertahankan harga diri
dan kehormatan.
Selain Puputan Jagaraga, puputan lain yang pernah terjadi di Bali, di antaranya Puputan Badung pada tahun 1906, Puputan Kusamba pada
tahun 1908, dan Puputan Klungkung pada tahun1908. f. Perlawanan terhadap Praktek Imperialisme di Kalimantan
Kerajaan Banjarmasin di Pulau Kalimantan pada tahun 1826 melakukan kerjasama secara resmi dengan Belanda. Sultan Adam
menyatakan secara resmi hubungan antara Kerajaan Banjarmasin dan Belanda pada 1826. Namun, pada 1850, Belanda mencampuri urusan
intern kerajaan sehingga menimbulkan perselisihan di antara keluarga kerajaan. Hal ini terus berlangsung hingga saat Sultan Adam meninggal
pada 1857.
Sepeninggal Sultan Adam, di kerajaan Banjarmasin terjadi perebutan kekuasaan yang menyebabkan terpecahnya keluarga kerajaan
ke dalam tiga kelompok. Ketiga kelompok tersebut adalah sebagai berikut:
x Kelompok Pangeran Tamjid Illah, cucu Sultan Adam.
Kelompok ini merupakan kelompok yang dibenci oleh rakyat karena mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Belanda.
x Kelompok Pangeran Anom, putera Sultan Adam. Kelompok ini merupakan kelompok yang tidak disukai oleh rakyat
karena tindakannya yang sewenang-wenang. x Kelompok Pangeran Hidayatullah, cucu Sultan Adam.
Di unduh dari : Bukupaket.com
85
Kelompok ini merupakan kelompok yang disenangi dan didukung oleh rakyat serta dicalonkan menjadi sultan untuk menggantikan Sultan
Adam.
Di tengah-tengah kekacauan tersebut, terjadilah Perang Banjarmasin pada 1889 yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Ia adalah
putera dari Sultan Muhammad yang sangat anti Belanda. Ketika perang berlangsung Belanda mengusulkan untuk mengangkat Pangeran Hidaya-
tullah sebagai sultan baru. Namun, Pangeran Hidayatullah menolak usul tersebut. Bahkan Pangeran Hidayatullah secara terang-terangan memi-
hak kepada Pangeran Antasari.
Pada 1862, Pangeran Hidayatullah dapat ditangkap dan kemudian dibuang ke Cianjur. Hal ini tidak membuat perlawanan terhadap Belanda
menjadi berhenti. Perlawanan terus berlangsung di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Oleh rakyat Banjarmasin, Pangeran Antasari diangkat
menjadi Sultan. Namun, hal ini tidak dapat bertahan lama karena Pangeran Antasari akhirnya tewas dalam pertempuran melawan Belanda
pada 1862.
Walaupun satu-persatu kekuatan di daerah berhasil ditaklukkan Belanda, perlawanan kerajaan di Nusantara berlangsung hingga akhir
abad ke-19. Perlawanan terjadi di Sumatra Utara dipimpin oleh Raja Sisingamangaraja XII, perlawanan kongsi Cina di Kalimantan Barat pada
1848-1864, perlawanan Raden Intan di Lampung pada 1856-1859, dan perlawanan Sultan Siak di Sumatra Utara pada 1857. Semuanya
dilakukan secara kedaerahan, oleh karena itu mudah sekali dipatahkan oleh Belanda.
3. Dampak Kolonialisme dan Imperialisme di Indonesia