sesuatu seperti itu tidak boleh menariknya kembali apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan kehendaknya atau kemauan untuk
mempergunakannya. Ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa janji untuk pihak ketiga itu
merupakan suatu penawaran offerte yang dilakukan oleh pihak yang meminta diperjanjikan hak stipulator kepada mitranya promissor agar
melakukan prestasi kepada pihak ketiga. Stipulator tadi tidak dapat menarik kembali perjanjian itu apabila pihak ketiga telah menyatakan
kehendaknya menerima perjanjian itu.
45
3. Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi;
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : a.
Sepakat mereka yag mengikatkan dirinya, b.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, c.
Suatu hal tertentu, d.
Suatu sebab yang halal.” Empat unsur tersebut dalam doktrin ilmu hukum yang
berkembang, digolongkan ke dalam :
46
a. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek pihak yang
mengadakan perjanjian unsur subyektif, dan b.
Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian unsur obyektif.
45
Ibid.
46
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja-I, Op,cit., hal 93.
Universitas Sumatera Utara
Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang
melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan
causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut
hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam
dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif, maupun batal demi hukum dalam
hal tidak terpenuhinya unsur obyektif, dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.
a. Sepakat Toestemming
Sepakat merupakan Kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan
kehendak yang disetujui antara pihak-pihak. Unsur kesepakatan yaitu;
47
1 Offerte penawaran adalah pernyataan pihak yang
menawarkan. 2
Acceptasi penerimaan adalah pernyataan pihak yang menerima penawaran.
47
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Bandung : Alumni, 2006, hal 98. Selanjutya disebut Mariam Darus Badrulzaman-II
Universitas Sumatera Utara
Jadi kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian. Untuk mengetahui kesepakatan itu
terjadi ada beberapa macam teoriajaran, yaitu :
48
1 Teori Pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat
kehendak pihak yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu, misalnya saat menjatuhkan bolpoin
untuk menyatakan menerima. Kelemahannya sangat teoritis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis
2 Teori Pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat
kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. Kelemahannya adalah bagaimana hal
tersebut bisa diketahui. Sebab, bisa saja walaupun sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan.
3 Teori Pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang
menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima walaupun penerimaan itu belum diterimanya dan
tidak diketahui secara langsung. Kelemahannya, bagaimana ia bisa mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum
menerimanya. 4
Teori Penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari
pihak lawan.
48
Salim HS., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hal 9. Selanjutnya disebut Salim HS-I
Universitas Sumatera Utara
Kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan. Suatu perjanjian dapat
dibatalkan, apabila terjadi ketiga hal tersebut, sebagaimana ditentukan Pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi: “Tiada suatu
perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.
Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa
yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus
melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih
pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki
oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh
para pihak. Pernyataan tersebut dikenal dengan nama penawaran.
49
Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan
pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut. Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran,
selanjutnya harus menentukan apakah ia akan menerima
49
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja-I, Op.cit., hal 95.
Universitas Sumatera Utara
penawaran yang disampaikan oleh pihak yang melakukan penawaran tersebut. Apabila pihak lawan dari pihak yang
melakukan penawaran menerima penawaran yang diberikan, maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika pihak lawan dari
pihak yang melakukan penawaran tidak menyetujui penawaran yang disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran
balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat
dilaksanakan dan diterima olehnya.
50
Hal yang demikian maka kesepakatan belum tercapai. Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada
akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai hal- hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam
perjanjian tersebut. Saat penerimaan yang paling akhir dari serangkaian penawaran atau bahkan tawar-menawar yang
disampaikan dan dimajukan oleh para pihak, adalah saat tercapainya kesepakatan. Hal ini adalah benar untuk perjanjian
konsensuil, di mana kesepakatan dianggap terjadi pada saat penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir.
51
b. Kecakapan
Setiap manusia baik warga negara maupun orang asing adalah pembawa hak subjek hukum yang memiliki hak dan
50
Ibid., hal 96
51
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum. Meskipun setiap subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan
perbuatan hukum, namun perbuatan tersebut harus di dukung oleh kecakapan dan kewenangan hukum.
52
Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun
kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu
perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat dilupakan. Jika masalah kecakapan untuk
bertindak berkaitan dengan masalah kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu tinndakan atau perbuatan
hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum.
Dapat saja seorang yang cakap bertindak dalam hukum, tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukann suatu perbuatan
hukum dan sebaliknya seorang yang dianggap berwenang untuk bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata karena suatu
hal menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum.
53
Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan
cakap untuk bertindak atas nama dirinya sendiri, baru kemudian
52
R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 1999, hal 139.
53
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja-I, Op,cit., hal 127.
Universitas Sumatera Utara
dicari tahu apakah orang perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut, juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan
atau perbuatan hukum tertentu.
54
1 Orang-orang yang belum dewasa;
Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan
diri pribadi orang-perorangan ini diatur dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 KUH Perdata. Pasal 1329 KUH Perdata
menyatakan bahwa : “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh udang-undang tidak dinyatakan tak
cakap”. Rumusan tersebut membawa arti positif, bahwa selain
dinyatakan tidak cakap maka setiap orang adalah cakap dan berwenang untuk bertindak dalam hukum. Pasal 1330 KUH
Perdata memberikan limitasi orang-orang mana saja yang dianggap tidak cakap untuk bertindak dalam hukum dengan menyatakan
bahwa : “Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
2 Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3 Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang- undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-
perjanjian tertentu”.
KUH Perdata memandang bahwa seorang wanita yang telah bersuami tidak cakap untuk mengadakan perjanjian. Sejak
54
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
tahun 1963 dengan Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA Nomor 31963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, kedudukan wanita yang telah bersuami diangkat ke derajat yang sama dengan pria,
untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan, sehingga ia tidak memerlukan bantuan lagi dari
suaminya. Oleh sebab itu ketentuan sub 3 dari Pasal 1330 KUH Perdata sudah tidak berlaku lagi, sehingga orang yang tidak cakap
tidak berwenang melakukan perbuatan hukum, dapat dibagi menjadi :
55
1 Mereka yang belum cukup umur
Mereka yang belum cukup umur maksudnya adalah mereka yang berlum dewasa. Menurut Pasal 330 KUH
Perdata menentukan bahwa; “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur
genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur
mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa. Mereka yang
belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara
sebgaimana diatur dalam bagian ke tiga, ke empat, ke lima dan ke enam bab ini”.
Yang dimaksud perwalian sebagaimana disebut dalam Pasal 330 KUH Perdata adalah pengawasan atas
orang anak-anak yang belum dewasa yang tidak ada di
55
Handri Raharjo, Op,cit., hal. 53.
Universitas Sumatera Utara
bawah kekuasaan orangtua sebagaimana diatur dalam undang-undang dan pengelolaan barang-barang dari anak
yang belum dewasa. 2
Mereka yang diletakkan di bawah pengampuan Hal ini diatur dalam Pasal 433-462 KUH Perdata
tentang pengampuan. Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang disebut curandus karena sifat-sifat pribadinya
dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak sendiri atau pribadi di dalam lalu lintas
hukum, karena orang tersebut curandus, oleh putusan hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak
cakap bertindak dan lantas diberi seorang wakil menurut undang-undang yang disebut pengampu
curatorcuratrice. Sedangkan pengampuannya disebut curatele. Sifat-sifat pribadinya yang dianggap tidak cakap
adalah Pasal 433 KUH Perdata a
Keadaan dungu; b
Sakit ingatangilamata gelap dianggap tidak cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya;
c Pemboros dan pemabuk ketidakcakapan bertindak
terbatas pada perbuatan-perbuatan dalam bidang hukum harta kekayaan saja.
Pengampuan terjadi karena putusan hakim yang didasarkan adanya permohonan. Yang dapat mengajukan
permohonan diatur di dalam Pasal 434-435 KUH Perdata yaitu keluarga, diri sendiri, dan jaksa dari kejaksaan.
Universitas Sumatera Utara
c. Suatu Hal Tertentu
Suatu hal tertentu maksudnya berbicara tentang objek perjanjian Pasal 1332 sd 1334 KUH Perdata. Objek perjanjian
yang dapat dikategorikan dalam pasal tersebut adalah:
56
1 Objek yang akan ada kecuali warisan, asalkan dapat
ditentukan jenis dan dapat dihitung. 2
Objek yang dapat diperdagangkan barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi
objek perjanjian.
Ketentuan Pasal 1332 KUH Perdata menyatakan bahwa: “Hanya kebendaan yang dapat diperdagangkan saja yang dapat
menjadi pokok perjanjian”. Pada dasarnya pasal ini hanya menegaskan kembali bahwa yang masuk dalam rumusan perjanjian
ini, yang dapat menjadi obyek dalam perikatan adalah kebendaan yang masuk dalam lapangan harta kekayaan. Jadi kebendaan, baik
yang berwujud maupun tidak berwujud, yang berada di luar lapangan harta kekayaan yang terutama diatur dalam Buku II
KUH Perdata tentang kebendaan tidaklah dapat menjadi pokok perjanjian, karena kebendaan tersebut tidak termasuk dalam
rumusan kebendaan menurut Pasal 1131 KUH Perdata, sehingga tidak dapat dijadikan jaminan bagi pelunasan perikatan orang
perorangan tersebut.
57
Pasal 1334 KUH Perdata mengatur mengenai perjanjian, yang melahirkan perikatan bersyarat. Dengan rumusan;
56
Mariam Darus Badrulzaman-II, Op.cit., hal 104.
57
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja-I, Op.cit., hal 158.
Universitas Sumatera Utara
“Kebendaan yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidak diperkenankan untuk
melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal yang mengenai warisan itu,
sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu; dengan
tidak mengurangi ketetentuan Pasal-Pasal 169, 176, dan 178”.
Ketentuan ini pada dasarnya merupakan suatu bentuk penegasan bahwa dalam suatu perjanjian, hanya seseorang yang
dapat berbuat bebas dengan kebendaan yang menjadi pokok perjanjian saja yang dapat membuat perjanjian yang mengikat
kebendaan tersebut. Suatu warisan yang belum terbuka pada pokoknya
bukanlah kebendaan milik dari orang yang akan memperoleh warisan. Hal ini menunjuk pada ketidakpastian mengenai apakah
orang yang akan memperoleh warisan tersebut pasti akan memperoleh kebendaan yang akan diwariskan tersebut sebagai hak
milik. Bahkan dalam rumusan Pasal 178 ayat 2 KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu hibah yang diberikan sebelum pemberi
hibah meninggal akan menjadi gugur apabila pemberi hibah hidup lebih lama, juga dari anak-anak dan keturunan penerima hibah.
Jelaslah bahwa sesuatu yang belum pasti akan dimiliki tidak dapat dijadikan obyek perjanjian. Perjanjian hanya sah dan mengikat jika
obyeknya yang berupa kebendaan telah ditentukan jenisnya, demikianlah Pasal 1333 KUH Perdata.
58
58
Ibid., hal 160.
Universitas Sumatera Utara
d. Suatu Sebab yang Halal
Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga Pasal 1337 KUH Perdata. Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa :
“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempuyai
kekuatan”. KUH Perdata tidak memberikan pengertian atau definisi dari “sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH
Perdata. Hanya saja dalam Pasal 1335 KUH Perdata, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah:
1 Bukan tanpa sebab;
2 Bukan sebab yang palsu;
3 Bukan sebab yang terlarang.
Pada dasarnya hukum tidak memperhatikan apa yang ada dalam benak, ataupun hati seseorang. Yang diperhatikan oleh
hukum adalah apa yang tertulis, yang pada pokoknya menjadi perikatan yang harus atau wajib dilaksanakan oleh debitor dalam
perjanjian tersebut. Oleh karena itu masih adanya kebebasan para pihak sebagaimana dinyatakan Pasal 1336 KUH Perdata bahwa:
“Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan
itu, perjanjian itu adalah sah”. Pasal ini menjelaskan bahwa undang-undang tidak pernah mempersoalkan apakah yang menjadi
alasan atau dasar dibentuknya perjanjian tertentu di antara para
Universitas Sumatera Utara
pihak, karena suatu perjanjian dapat dibuat berdasarkan alasan yang tidak mutlak sama antara kedua belah pihak yang
mengadakan perjanjian tersebut.
59
4. Akibat Perjanjian