pihak, karena suatu perjanjian dapat dibuat berdasarkan alasan yang tidak mutlak sama antara kedua belah pihak yang
mengadakan perjanjian tersebut.
59
4. Akibat Perjanjian
Adapun rumusan mengenai sebab yang terlarang disamping sebab yang halal. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 1337
KUH Perdata menyatakan bahwa : “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan
dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang demikian tidak mempunyai kekuatan
Pasal 1335 KUH Perdata.
a. Perjanjian yang Sah adalah Undang-undang
Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Istilah “semua” maka pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksud bukanlah hanya
semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga meliputi perjanjian yang tidak bernama.
60
59
Ibid., hal 162.
60
Mariam Darus Badrulzaman-I, Op.cit., hal 82.
Universitas Sumatera Utara
Istilah “secara sah” pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah Pasal 1320 KUH Perdata adalah mengikat
sebagai undang-undang terhadap para pihak. Hal tersebut tersimpul realisasi asas kepastian hukum. Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata
menunjukkan kekuatan kedudukan kreditur dan sebagai konsekuensinya perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali secara
sepihak. Namun kedudukan ini diimbangi dengan Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata yang mengatakan bahwa perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Hal ini memberikan perlindungan pada debitur dan kedudukan antara kreditur dan debitur menjadi
seimbang, sehingga merupakan realisasi dari asas keseimbangan.
61
b. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral di dalam hukum kontrak, meskipun asas
ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para
pihak.
62
Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapa pun, apa pun isinya, apa pun bentuknya
61
Ibid.
62
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010, hal 108.
Universitas Sumatera Utara
sejauh tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan Pasal 1337 dan 1338 KUH Perdata.
63
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham indiviualisme yang secara embrional lahir dalam
zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisance melalui antara lain
ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan Rosseau.
64
Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Asas ini dalam hukum
kontrak diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa “the invisible hand akan menjamin
kelangsungan jalannya persaingan bebas, karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi di dalam kehidupan
sosial ekonomi masyarakat”. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk
menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah
berada dalam cengkeraman pihak yang kuat, diungkapkan dalam exploitation de homme par l’homme.
65
63
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta : Intermasa, 1987, hal 13.
64
Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, hal 9. Selanjutnya disebut Salim HS-II
65
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak
berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak
mendapat perlindungan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu
dengan kepentingan umum. Pemerintah sebagai pengemban kepentigan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu
dan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang
hukum publik. Adanya campur tangan pemerintah ini terjadi lah permasyarkatan vermastchappelijking hukum kontrak.
66
Perkembangan yang bersifat relatif tersebut, maksudnya adalah kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab. Asas inilah
yang menyebabkan hukum perjanjian bersistem terbuka. Pasal- pasal dalam hukum perjanjian sebagian besar karena Pasal 1320
KUH Perdata bersifat pemaksa dinamakan hukum pelengkap karena para pihak boleh membuat ketentuan-ketentuan sendiri
yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian namun bila mereka tidak mengatur sendiri sesuatu soal maka mereka para
pihak mengenai soal itu tunduk pada undang-undang dalam hal ini Buku III KUH Perdata. Jika dipahami secara saksama maka asas
66
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
67
1 Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2 Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3 Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan
persyaratannya; 4
Menentukan bentuknya perjanjian yaitu secara tertulis atau lisan.
Namun, keempat hal tersebut boleh dilakukan dengan syarat tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan
kesusilaan. Menurut Sri Soedewi Maschoen Sofwan, pembatasan
kebebasan berkontrak akibat adanya :
68
1 Perkembangan masyarakat dibidang sosial ekonomi misal:
karena adanya penggabungan atau sentralisasi perusahaan; 2
Adanya campur tangan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum atau pihak yang lemah;
3 Adanya aliran dalam masyarakat yang menginginkan
adanya kesejahteraan sosial. c.
Asas Konsensualisme Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338
KUH Perdata.
69
67
Handri Raharjo, Op.cit., hal 44.
68
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak dalam buku Agus Yudha Hernoko, Op.cit., hal 115.
69
Mariam Darus Badrulzaman-I, Op.cit., hal 87.
Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan
secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua
Universitas Sumatera Utara
belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
70
Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Hukum Germani tidak dikenal asas
konsensualisme, tetapi yang dikenal adalah perikatan riil dan perikatan formal. Perikatan rill adalah suatu perikatan yang dibuat
dan dilaksanakan secara nyata kontan dalam hukum adat, sedangkan yang disebut perikatan formal adalah suatu perikatan
yang telah ditentukan bentuknya yaitu tertulis baik berupa akta autentik maupun akta di bawah tangan. Hukum Romawi dikenal
istilah Contractus Verbis Literis dan Contractus innominat, yang artinya bahwa terjadinya perjanjian, apabila memenuhi bentuk
yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUH Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
71
Pasal 1320 KUH Perdata penyebutannya tegas sedangkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata ditemukan dalam istilah “semua”.
Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya, yang dirasakan baik
untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.
72
70
Salim HS-II, Op.cit., hal 10.
71
Salim HS-I, Op.cit., hal 157.
72
Mariam Darus Badrulzaman-I, Op.cit., hal 87.
Universitas Sumatera Utara
d. Asas Kekuatan Mengikat
Suatu perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata pada
apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta
moral. Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan, dan kebiasaan yang mengikat para pihak.
73
Perkembangan asas kekuatan mengikat kontrak dapat ditelusuri sejalan dengan perkembangan Hukum Romawi
berdasarkan corak dan struktur masyarakat yang paling sederhana sampai yang telah maju modern. Menurut David Allan, sejak 450
tahun sebelum Masehi sampai sekarang telah terjadi empat tahap perkembangan pemikiran mengenai kekuatan mengikat kontrak,
yaitu:
74
1 Tahap pertama, disebut dengan contracts re;
2 Tahap kedua, disebut dengan contracts verbis;
3 Tahap ketiga, disebut dengan contracts litteris;
4 Tahap keempat, disebut dengan contracts consensus.
e. Asas Iktikad Baik
Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata. Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata berbunyi :
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Maksudnya
73
Ibid.
74
Taryana Soenandar, Prinsip-prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Bisnis Internasional, Agus Yudha Hernoko, Op.cit., hal 125.
Universitas Sumatera Utara
perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Pengertian iktikad baik dalam dunia hukum mempunyai arti yang
lebih luas daripada pengertian sehari-hari.
75
Menurut Hoge Raad, dalam putusannya tanggal 9 Februari 1923 Nederlandse Jurisprudentie, hlm. 676 memberikan rumusan
bahwa : “perjanjian harus dilaksanakan “volgens de eisen van redelijkheid en billijkheid”, artinya iktikad baik harus dilaksanakan
meurut kepatutan dan kepantasan”.
76
P.L. Werry menerjemahkan “redelijkheid en billijkheid” dengan istilah “budi dan kepatuhan”,
beberapa terjemahan lain menggunakan istilah “kewajaran dan keadilan” atau “kepatutan dan keadilan”.
77
Redelijkheid artinya rasional, dapat diterima oleh nalar dan akal sehat reasonable;
raisonable, sedangkan billijkheid artinya patut dan adil. Jadi, “redelijkheid en billijkheid” meliputi semua yang dapat dirasakan
dan dapat diterima nalar dengan baik, wajar dan adil, yang diukur dengan norma-norma objektif yang bersifat tidak tertulis dan bukan
berasal dari subjektivitas para pihak.
78
Menurut P.L. Werry norma ini pada hakikatnya sama dengan norma “kecermatan yang patut
dalam masyarakat” pada norma tidak tertulis yang tercantum dalam Pasal 1365 KUH Perdata perbuatan melanggar hukum.
79
75
Ibid., hal 135.
76
P.L. Werry, Perkembangan Hukum tentang Iktikad Baik di Netherland, Jakarta : Percetakan Negara RI, 1990, hal 9.
77
Ibid., hal 139
78
Ibid.
79
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang
memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek, sedangkan iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal
sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan penilaian tidak memihak menurut norma-norma yang
objektif.
80
Simposium Hukum Perdata Nasional yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional BPHN, iktikad baik
hendakya diartikan sebagai:
81
1 Kejujuran pada waktu membuat kontrak;
2 Pada tahap pembuatan ditekankan, apabila kontrak dibuat
di hadapan pejabat, para pihak dianggap beriktikad baik meskipun ada juga pendapat yang menyatakan
keberatannya;
3 Sebagai kepatutan dalam tahap pelaksanaan, yaitu terkait
suatu penilaian baik terhadap perilaku para pihak dalam melaksanakan apa yang telah disepakati dalam kontrak,
semata-mata bertujuan untuk mencegah perilaku yang tidak patut dalam pelaksanaan kontrak tersebut.
Selain asas di atas, dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh BPHN, Departemen Kehakiman dari tanggal 17
sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional, yaitu :
82
80
Salim HS-II, Op.cit., hal 11.
81
Badan Pembinaan Hukum Nasional BPHN, Simposium Hukum Perdata Nasional, Kerjasama Badan Pembinaan Hukum Nasional BPHN, Agus Yudha Hernoko, Op.cit., hal 141.
82
Salim HS-I, Op.cit., hal 158.
Universitas Sumatera Utara
a. Asas Kepercayaan Vertrouwensbeginsel
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu
sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan
itu, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak.
Adanya kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat
sebagai undang-undang. b.
Asas Persamaan Hukum Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan
derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-
masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain
sebagai manusia cipataan Tuhan. c.
Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan
untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur
Universitas Sumatera Utara
memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditur yang
kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.
d. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat
perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak. e.
Asas Moral Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, di mana suatu
perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak debitur. Hal ini juga
terlihat di dalam zaakwaarneming, di mana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela moral yang
bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Asas ini dapat kita lihat dalam
Pasal 1339 KUH Perdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum tersebut
didasarkan pada kesusilaan moral, sebagai panggilan dari hati nuraninya.
f. Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata, di mana asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.
Universitas Sumatera Utara
Asas ini harus lah di pertahankan, sebab dengan adanya asas ini maka ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan
dalam masyarakat. g.
Asas kebiasaan Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu
perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim
diikuti. h.
Asas perlidungan Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara
debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur, karena
pihak debitur berada pada pihak yang lemah. Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam
menentukan dan membuat kontrak.
5. Hapusnya Perjanjian