Dasar-Dasar Ketentuan Perjanjian Baku

ekonomi banyak aspek-aspek dibakukan dalam organisasi perusahaan yang saling bergantung. Menurut Hondius, syarat-syarat baku dalam perjanjian adalah “syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tertentu, tanpa merundingkan lebih dulu isinya”. 116

2. Dasar-Dasar Ketentuan Perjanjian Baku

Syarat baku yang disebutkan diatas, umumya juga dinyatakan sebagai perjanjian baku. Jadi pada azasnya isi perjanjian yang dibakukan adalah tetap dan tidak dapat diadakan perundingan lagi. Hal ini menunjukkan tidak terlihatnya kebebasan berkontrak antara para pihak, sehingga dipertanyakan apakah masih ada persesuaian kehendak dari pihak-pihak yang seimbang dalam perjanjian. Secara yuridis yaitu siapa yang menandatangani suatu perjanjian baku telah terikat dengan isi dari perjanjian itu, meskipun pihak lain tidak punya pilihan. Perjanjian baku yang memperlihatkan kedudukan para pihak tidak seimbang, di mana klausulnya dirancang oleh satu pihak saja, tidak mencerminkan persesuaian kehendak dari pihak yang bersangkutan kebebasan berkontrak sebagai asas dari hukum perjanjian. Jika berpegang teguh pada kebebasan berkontrak maka kadang-kadang akan dapat mengurangi kebebasan dari salah satu pihak. Misalnya apabila orang 116 Hondius, Syarat-Syarat Baku Dalam Hukum Kontrak, Ibid., hal 146. Universitas Sumatera Utara tidak membaca syarat-syarat perjanjian atau membaca tetapi tidak mengerti maksudnya dan menandatangani perjanjian itu, maka persesuaian kehendak telah berlaku. Untuk itu perlu memperhalus sistemnya dengan menggunakan asas kepercayaan vertrouwens beginsel dan demikian ajaran kepercayaan telah mengganti ajaran kehendak wilsleer. Kehendak tidak lagi merupakan hal yang esensial dari perbuatan hukum, ia adalah dibawah norma-norma pergaulan masyarakat yaitu suatu hal yang penting untuk menafsirkan perbuatan hukum. Sebagaimana diketahui perkembangan hukum perjanjian telah mengalami perubahan sesuai dengan perubahan pandangan yang hidup dalam masyarakat. 117 Melihat kenyataan bahwa kedudukan konsumen di bawah para pelaku usaha, maka Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merasakan perlunya pengaturan mengenai ketentuan perjanjian baku danatau pencantuman klausula baku dalam Kenyataan sosial tentang perjanjian baku bukanlah mengenai pembakuan dalam hal hubungan pada umumnya, tetapi hanya mengenai ketidak seimbangan kedudukan antara para pihak dalam perjanjian baku, yaitu konsumen dan perusahaan. Perjanjian baku dilihat dari kedudukan konsumen merupakan masalah sosial yaitu terhadap perusahaan maka kebebasannya berubah menjadi tidak bebas, dan tidak mengenai hubungan antara para perusahaan sendiri. 117 Ibid., hal 148. Universitas Sumatera Utara setiap perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha. 118 Hal ini menunjukkan pada prinsipnya, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tidak melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap perjanjian transaksi usaha perdagangan barang danatau jasa, selama dan sepanjang perjanjian baku danatau klausula baku tersebut tidak mencantumkan ketentuan sebagaimana dilarang dalam pasal 18 ayat 1, serta tidak Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan definisi tentang perjanjian baku, tetapi merumuskan klausula baku sebagai : “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen danatau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.” Undang-undang tentang Perlidungan Konsumen mengenai ketentuan klausula baku ini diatur dalam Bab V tentang Ketentuan Pencantuman Klausula Baku yang hanya terdiri dari satu pasal, yaitu pasal 18. Pasal 18 tersebut, secara prinsip mengatur dua macam larangan yang diberlakukan bagi para pelaku usaha yang membuat perjanjian baku danatau mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang dibuat olehnya. Pasal 18 ayat 1 mengatur larangan pencantuman klausula baku, dan pasal 18 ayat 2 mengatur bentuk atau format, serta penulisan perjanjian baku yang dilarang. 118 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal 54. Universitas Sumatera Utara berbentuk sebagaimana dilarang dalam pasal 18 ayat 2 Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tersebut. 119

3. Problematika Pemanfaatan Perjanjian Baku