11
BAB II LANDASAN TEORI
A. Persepsi
1. Pengertian Persepsi
Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan suatu objek yang diawali oleh proses pengindraan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh
alat indra, kemudian individu memberi perhatian, lalu diteruskan ke otak, dan baru kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang dinamakan
persepsi. Persepsi individu dapat menyadari dan mengerti tentang keadaan lingkungan yang ada di sekitarnya maupun tentang hal yang ada
dalam diri individu yang bersangkutan Sunaryo, 2013. Hal yang sejalan juga diungkapkanThoha 2002dalam buku Wijayaningsih 2014
persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami setiap informasi tentang lingkungannya, baik
lewat penglihatan, pendengaran, perasaan dan penciuman.
Persepsi adalah tindak lanjut dari sensasi, tidak ada persepsi tanpa sensasi, karena pada dasarnya persepsi adalah pemberian makna pada
stimulus yang ditangkap oleh alat-alat indera. Persepsi sangat bergantung pada faktor personal dan situasional faktor fungsional dan struktural.
Persepsi membantu manusia untuk bertindak dan memahami lingkungannya, karena persepsi adalah proses akhir dalam suatu
rangkaian peristiwa yang saling terkait Hude, 2006. Wade dan Tavris
2008 berpendapat bahwa persepsi adalah proses dimana impuls-impuls sensorik diatur dan diterjemahkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah proses pemberian makna atau arti dari sebuah stimulus atau rangsangan yang
berupa informasi, peristiwa atau objek yang berasal dari lingkungan sekitar.
2. Macam
–macam Persepsi Menurut Sunaryo 2013 persepsi terdiri dari dua macam, yaitu :
a. External perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya
rangsangan yang datang dari luar diri individu. b.
Self-perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsng yang berasal dari dalam individu. Dalam hal ini yang menjadi
objek adalah dirinya sendiri. Mulyana2001 dalam buku Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar
mengemukakan bahwa pada dasarnya persepsi manusia terbagi menjadi yakni :
a. Persepsi terhadap objek lingkungan fisik
Persepsi tiap orang dalam menilai suatu objek atau lingkungan fisik seseorang dapat melakukan kekeliruan, sebab
terkadang indera seseorang menipu diri orang tersebut. Hal tersebut disebabkan karena :
1 Kondisi yang mempengaruhi pandangan seseorang seperti
keadaan cuaca yang membuat fatamorgana, pembiasan
cahaya seperti dalam peristiwa ketika seseorang melihat bahwa tongkat yang dimasukkan ke dalam air akan terlihat
bengkok padahal sebenarnya tongkat tersebut berposisi lurus. Hai inilah yang biasa disebut dengan ilusi.
2 Latar belakang pengalaman yang berbeda antara seseorang
dengan orang lain 3
Budaya yang berbeda 4
Suasana psikologis yang berbeda juga dapat menimbulkan perbedaan persepsi seseorang dengan orang lain didalam
mempersepsikan suatu objek b.
Persepsi terhadap manusia atau persepsi sosial Persepsi sosial adalah proses menangkap arti objek
–objek sosial dan kejadian yang dialami seseorang didalam lingkungan
orang tersebut. Persepsi sosial dikatakan lebih sulit dan kompleks karena :
1 Manusia bersikap dinamis oleh karena itu persepsi terhadap
manusia dapat berubah dari waktu ke waktu dan lebih cepat dari pada persepsi terhadap objek.
2 Persepsi sosial tidak hanya menanggapi sifat–sifat yang
tampak dari luar, namun juga sifat –sifat ataupun alasan–alasan
internalnya. 3
Persepsi sosial bersifat interaktif karena pada saat seseorang mempersepsikan orang lain, maka orang lain tersebut tidak
diam saja melainkan turut mempersepsikan orang tersebut.
3. Syarat dan Proses Pembentukan Persepsi
Menurut Sunaryo 2013 dengan adanya persepsi, individu dapat menyadari dan memahami keadaan lingkungan sekitar mereka, serta dapat
menyadari dan memahami keadaan diri yang bersangkutan self perception. Persepsi terjadi melalui proses yang didahului dengan
pengindraan. Pertama, stimulus diterima oleh reseptor, kemudian diteruskan ke otak atau pusat saraf yang diorganisasikan, dan
diintepretasikan sebagai proses psikologis. Akhirnya, individu menyadari tentang apa yang dilihat dan didengar. Terdapat beberapa syarat terjadinya,
persepsi yaitu : a.
Adanya objek. Objek berperan sebagai stimulus, sedangkan pancaindra berperan sebagai reseptor
b. Adanya perhatian sebagai langkah pertama untuk mengadakan
persepsi c.
Adanya pancaindra sebagai reseptor penerima stimulus d.
Saraf sensorik sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak pusat saraf atau pusat kesadaran. Kemudian, dari otak dibawa
melalui saraf motorik sebagai alat untuk mengadakan respons. Persepsi terjadi melalui tiga proses yaitu proses fisik, proses
fisiologis dan proses psikologis. Proses fisik terjadi melalui kealaman, yakni objek diberikan stimulus, kemudian diterima oleh reseptor atau
pancaindra. Sementara itu, proses fisiologis terjadi melalui stimulus yang dihantarkan ke saraf sensorik lalu disampaikan ke otak. Terakhir, proses
psikologis merupakan proses yang terjadi pada otak sehingga individu
menyadari stimulus yang diterima. Jadi, ketiga syarat tersebut sangat diperlukan demi tercapainya suatu persepsi yang baik.
Menurut Damayanti
2000 dalam
Oktaviana 2015
menggambarkan proses pembentukan persepsi terdapat pada gambar dibawah ini.
Gambar 2. 1 Proses pembentukan persepsi Sumber : Damayanti 2000 dalam Oktaviana 2015
Proses pembentukan persepsi dimulai dengan penerimaan rangsangan dari berbagai sumber melalui panca indera yang dimiliki,
setelah itu diberikan respon sesui dengan penilaian dan pemberian arti terhadap rangsangan lain. Setelah diterima rangsangan atau data yang ada
diseleksi. Untuk menghemat perhatian yang digunakan rangsangan –
rangsangan yang telah diterima diseleksi lagi untuk diproses pada tahapan yang lebih lanjut. Setelah diseleksi rangsangan diorganisasikan berdasrkan
bentuk sesui dengan rangsangan yang telah diterima. Setelah data atau rangsangan tersebut berhasil ditafsirkan. Persepsi seseorang tidak timbul
RangsanganSensasi Seleksi Input
Proses pengorganisasian
Pengalaman Intepretasi
Lingkungan
Proses Belajar Persepsi
dengan sendirinya, tetapi melalui proses dan faktor –faktor yang
mempengaruhi persepsi seseorang. Hal inilah yang menyebabkan setiap orang memiliki interpretasi berbeda, walaupun apa yang dilihatnya sama,
belum tentu persepsi seseorang tersebut sama tergantung dengan pengalaman serta proses belajar yang didapat selama menerima proses
rangsangan dari lingkungan.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Krech dan Crutchfield faktor – faktor yang mempengaruhi persepsi
adalah : 1
Faktor Fungsional Faktor fungsional adalah faktor yang berasal dari
kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal –hal yang termasuk
apa yang kita sebut sebagai faktor –faktor personal. Faktor
personalterdiri dari
usia, jenis
kelamin, kebutuhan,
pengetahuan. Faktor-faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi disebut kerangka rujukan frame of reference. Para
psikolog menerapkan konsep ini untuk menjelaskan persepsi sosial.
Latar belakang
pendidikan dan
pengalaman memudahkan memahammi pengertian atau istilah-istilah yang
sesuai dengan latar belakang dan pengalamannya. 2
Faktor Struktural Faktor struktural adalah faktor-fator pendorong semata-
mata dari sifat stimulasi fisik dan efek alami yang timbul dari sistem saraf individu.Menurut teori Gestalt, jika seseorang
mempersepsikan sesuatu,
maka orang
tersebut akan
mempersepsikannya sebagai sesuatu keseluruhan, seseorang tidak melihat bagian
–bagiannya lalu menghimpunnya. Jika ingin memahami suatu peristiwa, kita harus memandangnya
dalam hubungan keseluruhan. Untuk memahami sesorang, kita harus melihatnya dalam konteksnya, dalam lingkungannya,
dalam masalah yang dihadapinya.Sesuai dengan prinsip ini Krech dan Crutcfield melahirkan dalil persepsi yang kedua:
―Medan perseptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti‖. Individu mengorganisasikan stimuli dengan melihat
konteksnya. Dalam hubungan dengan konteks, Krech dan Crutchfie
ld menyebutkan dalil persepsi yang ketiga: ―Sifat– sifat perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan pada
umumnya oleh sifat- sifat struktur secara keseluruhan‖. Menurut
dalil ini, jika individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan ditentukan oleh keanggotaan kelompoknya, dengan efek
yang berupa asimilasi atau kontras. Krech dan Crutchfield menyebutkan dalil yang keempat
yaitu objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu atau menyerupai satu sama lain, cenderung ditanggapi
sebagai struktur yang sama.
Menurut teori Health Belief Modelfaktor yang berhubungan dengan persepsi mengenai kerentanan, keseriusan, manfaat, dan
hambatan adalah faktor pemodifikasi yang terdiri dari variabel : 1
Variabel Demografi Varibel demografi terdiri dari usia, jenis kelamin, ras, dan
pendidikan. 2
Variabel Sosiopsikologis Varibel pada sosiopsikologis terdiri dari kepribadian, kelas
sosial, tekanan dari kawan sebaya. 3
Variabel Struktural Variabel struktural terdiri dari pengetahuan dan kontak
sebelumnya dengan penyakit.
5. Persepsi dalam Health Belief Model
Health Belief Model merupakan model psikologis yang mencoba untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku kesehatan dengan berfokus
pada sikap dan keyakinan individu. Teori Health Belief Model dikembangkan sejak tahuan 1950 oleh kelompok ahli psikologi sosial
untuk mengkaji alasan sesorang tidak berpartisipasi dalam program skrining kesehatan Rosenstock, 1974. Model ini dimodifikasi oleh
Becker 1974 untuk menangani permasalahan kepatuhan pada program pengobatan terapeutik.Pada teori Health Belief Model terdiri dari tiga
komponen yang saling berinteraksi. Komponen tersebut terdiri dari persepsi individu, faktor pemodifikasi dan kemungkinan tindakan.
Masing –masing komponen dibagi menjadi subkomponen. Lima komponen
health belief model yang menentukan munculnya perilaku menurut Becker dalam Bastable 2002 :
a. Persepsi tentang kerentanan Perceived Susceptibility
Gagasan ini mengacu kepada suatu persepsi subjektif dari penurunan kondisi kesehatan. Dalam konteks Health Belief Model
kerentanan individu diartikan sebagai pendapat individu tentang bagaimana kemungkinan perilaku mereka mengambil bagian dalam
menghasilkan kesehatan yang negatif. Agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus merasakan bahwa ia
rentan terhadap penyakit tersebut. Suatu tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul apabila seseorang telah
merasakan ia atau keluarganya rentan terhadap penyakit tertentu. b.
Persepsi tentang keparahan Perceived Severity Pandangan individu bahwa semakin berat suatu penyakit,
maka individu akan mempersepsikan sebagai sesuatu hal yang mengancam yang harus dihadapi dan melakukan tindakan
pencegahan. Dimensi ini mencankup evaluasi dari konsekuensi medis klinik seperti kematian, kecacatan, dan kesakitan dan konsekuensi
sosial misalnya, dampak kondisi pada pekerjaan, kehidupan keluarga, dan hubungan sosial. Contoh dalam kasus perokok, kanker paru-paru
merupakan penyebab utama kematian di Amerika. Seorang perokok mungkin tidak mengerti betapa sulitnya kanker paaru-paru dapat
dideteksi dan sulit untuk mengobatinya. Mereka juga mungkin tidak tahu bagaimana menyakitkan dan penyakit tersebut dapat bertahan
lama di kehidupan. Health belief model berusaha untuk meningkatkan mengenai
bagaimana persepsi
keseriusan penyakit
dapat mempengaruhi perilaku dalam tujuan meningkatkan kualitas hidup
seseorang Burke, 2013. c.
Persepsi tentang manfaat Perceived Benefits Persepsi mengenai manfaat
yang dirasakan apabila mengambil tindakan terhadap gejala yang dirasakan untuk
mengurangi ancaman. Individu merasa dirinya sangat rentan terhadap serangan penyakit
–penyakit tertentu dan tindakan yang dilakukan tergantung pada manfaat yang akan dirasakan nantinya.
d. Persepsi tentang hambatan Perceived barriers
Hambatan yang dirasakan adalah aspek negatif dari suatu tindakan kesehatan yang menghalanginya untuk dapat melakukan
tindakan tersebut Anies, 2006. Hambatan untuk bertindak dapat berupa keadaan yang tidak menyenangkan atau rasa sakit yang
ditimbulkan saat mendapatkan pengobatan, disamping itu hambatan dapat berupa biaya, baik bersifat monetary cost biaya pengobatan
maupun time cost waktu menunggu diruang tunggu, waktu yang digunakan selama perawatan, dan waktu yang digunakan ke tempat
pelayanan kesehatan.
e. Faktor pencetus cues to action
Faktor pencetus cues to action dapat datang dari dalam diri individu munculnya gejala
–gejala penyakit itu ataupun dari luar nasihat orang lain, kampanye kesehatan, terserang seorang teman atau
anggota keluarga oleh penyakit yang sama, dan sebagainya. Seseorang yang memiliki motivasi yang rendah untuk
bertindak misalnya yang tidak percaya bahwa dirinya akan terserang penyakit itu, yang menganggap remeh akibat dari penyakit tersebut atau
yang takut menerima pengobatan diperlukan rangsangan yang lebih intensif untuk mencetuskan respons yang diinginkan, sebab bagi
kelompok semacam ini penghayatan subjektif terhadap hambatanresiko negatif dari pengobatan penyakitnya, jauh lebih kuat daripada gejala
objektif dari penyakit itu ataupun pandangansaran profesional petugas kesehatan. Tetapi bagi mereka yang sudah termotivasi untuk bertindak,
maka rangsangan sedikit saja sudah cukup untuk menimbulkan respons tersebut Alhamda, 2014.
B. Filariasis
1. Pengertian Filariasis
Filariasis adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing filaria yang cacing dewasanya hidup dalam kelenjar limfe dan
darah manusia,ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk secara biologik, penyakit ini bersifat kronis dan bula tidak mendapatkan pengobatan akan
menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki elephantiatis kaki gajah, pembesaran lengan, payudara dan alat kelamin wanita maupun
laki-laki Zulkoni, 2011. Hal yang serupa juga dikemukakan oleh World
Health Organization WHOtahun 2015, filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filarial yang
ditularkan oleh berbagai jenis spesies nyamuk dan dapat mengakibatkan perubahan pada sistem limfatik dan pembesaran abnormal pada bagian
tubuh, menyebabkan rasa sakit, kecacatan dan stigma sosial. Di Indonesia kasus filaria menyerang sekitar 10 juta penduduk terutama di daerah
pedesaan Muslim, 2009. Hal yang sejalan juga dikemukan oleh Rajan 2009 filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit nematoda
dari genus Wuchereria dan Brugia. Hal ini terjadi terutama di negara –
negara tropis dunia.
Penyakit filariasis terdiri dari dua jenis, yaitu filarisis kelenjar limfe dan filariasis kulit dan jaringan. Penyakit yang terjadi di Indonesia
adalah filariasis kelenjar limfe Irianto, 2013. Filariasis limfatik umumnya dikenal sebagai kaki gajah adalah penyakit tropis yang
terabaikan WHO, 2015.
2. Penyebab Filariasis
a. Hospes
1 Manusia
Manusia yang mengandung parasit selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan. Biasanya pendatang
baru ke daerah endemis lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita daripada penduduk asli. Pada umumnya laki
–laki lebih banyak yang terkena infeksi, karena lebih banyak kesempatan
untuk mendapat infeksi exposure Fakultas Kedokteran UI, 2009.
2 Hewan
Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis hewan reservoir. Dari semua spesies cacing
filaria yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang
ditemukan juga pada lutung presbytis cristatus, kera Macaca fascicularis dan kucing Felis catus. Penanggulangan filariasis
pada hewan reservoir ini tidak mudah, oleh karena itu juga akan menyulitkan upaya pemberantasan Filariasis pada manusia
KemenkesRI, 2014. 3
Lingkungan Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus
filariasis dan mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis Brugia malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai
atau badan air lain yang ditumbuhi tanaman air. Sedangkan daerah endemis Wuchereria bancrofti tipe perkotaan urban adalah
daerah –daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan
banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor yaitu nyamuk Culex quinquesfasciatus. Sedangkan daerah endemis
Wuchereria bancrofti tipe pedesaan rural secara umum kondisi lingkungannya sama dengan daerah endemis Brugia malayi.
Menurut KemenkesRI 2014 secara umum lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik, lingkungan biologi, dan
lingkungan sosial ekonomi dan budaya. a
Lingkungan Fisik Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim,
keadaan geografis, struktur geologi dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor,
sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber –sumber
penularan filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat
–tempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk. Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa
–rawa dan adanya hospes reservoir kera, lutung dan kucing berpengaruh
terhadap penyebaran B.malayi. b
Lingkungan Biologik Lingkungan biologik dapat menjadi rantai penularan
filariasis.Contoh lingkungan biologik adalah adanya tanaman air sebagai tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia spp.
c Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya
Lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antar manusia, termasuk perilaku, adat istiadat,
budaya, kebiasaan dan tradisi penduduk. Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari atau kebiasaan keluar pada malam
hari kebiasaan tidur perlu diperhatikan karena berkaitan dengan intensitas kontak dengan vektor. Insiden filariasis
pada laki –laki lebih tinggi dari pada perempuan karena
umumnya laki-laki lebih kontak dengan vektor karena pekerjaannya.
b. Vektor
Vektor filariasis pada manusia dan binatang dibagi dalam 2 golongan besar, yaitu nyamuk Anophelini genus Anopheles dan
non-Anophelini genus Culex, Aedes dan Mansonia. Di Indonesia ditemukan 3 jenis parasit nematoda penyebab filariasis pada
manusia, yaitu Wucheria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori, sedangkan pada hewan ditemukan Brugia kalimantani dan
Dirofilaria immitis. Parasit-parasit ini oleh berbagai spesiaes nyamuk yang bertindak sebagai vektor, disebarluaskan di seluruh
kepulauan Indonesia Kemenkes, 2014. Beberapa spesies dari genus Culex, Aedes, dan Anopheles telah
dilaporkan menjadi vektor filariasis bancrofti. Vektor utama filariasis bancrofti di derah perkotaan adalah Culex quinquefasciatus
nama lama: Culex pipiens fatigans, sedangkan di daerah pedesaan berbagai spesies Anopheles seperti An.subpictus, An. Barbirostris,
An. Aconitus, An. Punctulatus, dan An. farauti. Vektor utama filariasis malayi ialah berbagai spesies dari Mansonia dan
Anopheles, seperti Mansonia uniformis tipe subperiodik nokturna dan An. barbiroatris Natadisastra, 2009.
c. Agent
Filariasis disebabkan oleh cacing filarial pada manusia, yaitu W.bancrofti, B.malayi, B.timori, Loa loa, Onchocerca volvulus,
Acanthocheilonraema perstants, Mansonella azzardi. Di Indonesia terdapat tiga spesies cacing penyebab Filariasis yaitu Wuchereria
bancrofti,Brugia malayi , Brugia timori.
Organisme Periodicity
Distribusi Vektor utama
Wuchereria bancrofti
Nokrutnal periodik
Diseluruh dunia, termasuk Afrika,Indonesia, Melanesia,
Mikronesia, Timur Tengah, Amerika Selatan dan Asia
Selatan. Anopheles,
Culex
Nocturnal sub-periodic
Asia Tenggara Aedes
Diurnal sub- periodic
Polynesia Aedes
Brugia malayi
Nocturnal periodik
India, Indonesia,
Asia Tenggara
Anopheles, Mansonia
Nocturnal sub-periodik
Indonesia, Asia Tenggara Mansonia
Diurnal sub- periodik
Tailand Mansonia
Brugia timori
Nocturnal periodik
Alor, Flores,
Indonesia, Roti, Timor
Anopheles
Gambar 2. 2 Agent Filariasis
Sumber : WHO, 2013
6. Manifestasi Filariasis
Menurut Sarojini dan Senthilkumaar 2013 mengatakan bahwa filariasis limfatik ditandai dengan gambaran yang luas dari manifestasi
klinis dengan tanda dan gejala berbeda dari satu daerah endemik dengan daerah endemik lainnya. Perjalanan klinis filariasis dapat dibagi menjadi :
a. Tahap asimtomatik
Tahap ini ditandai dengan adanya mikrofilaria dalam darah perifer, meskipun ada atau tidak ada manifestasi klinis filariasis.
b. Tahap akut
Manifestasi akut ditandai dengan demam, sakit kepala, nyeri tubuh dan berkeringat. Manifestasi akut berupa :
1 Limfadenitis : Pembesaran kelenjar getah bening di pangkal
paha inguinal, ketiak, di atas siku epitrochlear, belakang sendi lutut dan paha.
2 Limfangitis : Peradangan akut saluran getah bening,
mengakibatkan garis –garis kemerahan pada kulit sepanjang
pembuluh limfe yang meradang dan menyebar secara proaksimal dari daerah yang terinfeksi Eliastam, 2005.
3 Fenuculitis : Peradangan fenikulus spermatikus. Hal ini
berhubungan dengan demam dan radang testis Orchitis dan nyeri pada getah bening di selangkangan.
4 Epididiymo-orchitis : Kondisi nyeri akut yang melibatkan
testis dan epididimis. Hal ini biasanya berhubungan dengan
demam, funuculitis dan pembesaran kelenjar getah bening pada selangkangan.
5 Tropical Pulmonary Eosinophilia TPE : Individu mengeluh
kesulitan bernafas terkait dengan atau tanpa mengi. c.
Gejala Klinis Kronis Gejala klinis kronis menurtut Depkes 2009 terdiri dari
limfadema, lymph scrotum, kiluria, hidrokel. a
Limfadema Pada infeksi W. bancrofti, terjadi pembengkakan seluruh
kaki, seluruh lengan, skrotum, penis, vulva vagina dan payudara,
sedangkan pada
infeksi Brugia,
terjadi pembengkakan kaki dibawah lutut, lengan di bawah siku
dimana siku dan lutut masih normal. b
Lymph Scrotum Adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit
scrotum, kadang –kadang pada kulit penis, sehingga saluran
limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh vesicles besar
dan kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian. Hal ini mempunyai risiko tinggi terjadinya infeksi
ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut datang berulang dapat berkembang menjadi limfadema skrotum. Ukuran
skrotum kadang –kadang normal atau kadang–kadang sangat
besar.
c Kiluria
Adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah ginjal pelvis renal oleh caing filaria dewasa
spesies W. bancrofti, sehingga cairan limfe dan darah masuk kedalam saluran kemih. Gejala yang timbul adalah sebagai
berikut : i
Air kencing seperti susu karena air kencing banyak mengandung lemak, dan kadang
–kadang disertai darah haematuria
ii Sukar kencing
iii Kelelahan tubuh
iv Kehilangan berat badan
d Hidrokel
Adalah pelebaran kantung buah zakar karena terkumpulnya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat
terjadi pada satu atau dua kantung buah zakar, dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut :
i Ukuran skrotum kadang–kadang normal tetapi kadang–
kadang sangat besar sekali, sehingga penis tertarik dan tersembunyi.
ii Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus
iii Akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi, yaitu
komplikasi dengan Chyle Chylocele, darah Haematocele atau nanah Pyocele.
iv Hidrokel banyak ditemukan di daerah endemis W.
bancrofti dan dapat digunakan sebagai indikator adanya infeksi W. bancrofti.
7. Dampak Filariasis
a. Filariasis limfatik stadium lanjut dapat menyebabkan cacat fisik
permanen. Cacat mengacu pada penurunan nilai, pembatasan aktivitas dan pembatasan partisipasi WHO, 2013.
b. Dampak Ekonomi
Orang-orang yang menderita penyakit filariasis dalam jangka waktu lama tidak dapat bekerja seperti biasanya. Jika mereka bekerja
keras kadang-kadang menimbulkan penderitaan karena terlalu letih dan mereka harus beristirahat beberapa saat sebelum kembali
bekerja. Penderita filariasis kronik akan mengalami kerugian ekonomi setiap tahun akibat kunjungan yang berulang-ulang ke
berbagai fasilitas kesehatan, kehilangan produktivitas untuk bekerja, kecapaiaan dan hari produktif bagi anggota keluarga yang hilang
karena harus merawat orang yang sakit Ditjen PPPL KemenkesRI, 2010.
c. Dampak Sosial
Limfatik filariasis juga memberikan sebuah beban sosial yang berat bagi penderitanya, seperti komplikasi kronis sering dianggap
memalukan dan menghalangi pasien dari peran sosial dalam masyarakat. Kerusakan organ genetal pada laki-lakimerupakan
kecacatan yang berat sehingga menyebabkan keterbatasan fisik dan
menimbulkan stigmatisasi sosial. Bagi wanita, rasa malu dan tabu berkaitan dengan lymphoedema dan terutama kaki gajah.
Pembesaran pada tungkai bawah dan bagian genital dapat menimbulkan stigma yang negatif. Selain itu kerusakan organ-organ
seksual dapat menambah masalah dalam kehidupan perkawinan. Penderita Filariasis rentan terhadap depresi dan kesehatan mental
yang buruk WHO, 2013.
1. Sikluas Penularan Filariasis
Menurut Ditjen PPPL 2014 siklus penularan filariasis terdiri dari : a.
Tahap Perkembangan dalam Tubuh Nyamuk Vektor Saat
nyamuk vektor
menghisap darah
penderita mikrofilaremia beberapa mikrofilaria ikut terhisap bersama darah
dan masuk dalam lambung nyamuk. Mikrofilaria yang terhisap oleh nyamuk, tidak langsung menjadi infektif. Beberapa saat
setelah berada dalam lambung nyamuk, mikrofilaria melepas selubung, kemudian menerobos dinding lambung menuju rongga
badan dan selanjutnya ke jaringan otot thoraks. Di dalam jaringan otot thoraks, larva stadium 1L1 berkembang menjadi bentuk
larva stadium II L2 dan selanjutnya berkembang menjadi larva stadium IIIL3 yang infektif.
Waktu untuk perkembangan dari L1 menjadi L3 masa inkubasi ekstrinsik untuk W.bancrofti antara10
–14 hari B.malayi dan B.timori 8-10 hari. L3 bergerak menuju proboscis alat tusuk
nyamuk dan akan dipindahkan ke manusia pada saat nyamuk
mengigit. Mikrofilaria di badan tubuh nyamuk hanya mengalami perubahan
bentuk dan
tidak berkembangbiak
Cyclicodevelopmental sehingga diperlukan gigitan berulang kali untuk terjadinya infeksi.
b. Tahap Perkembangan dalam Tubuh Manusia dan Hewan Perantara
Hospes Reservoir Di dalam tubuh manusia L3 akan menuju sistem limfe dan
selanjutnya tumbuh menjadi cacing dewasa makrofilaria, kemudian cacing dewasa ini akan menghasilkan ribuan anak cacing
mikrofilaria perhari. Mikrofilaria yang berada di peredaran darah tepi akan terhisap oleh nyamuk yang menggigitnya dan kemudian
ditularkan kembali pada orang lain. Ketika larva L3 masuk dalam tubuh manusia memerlukan
periode waktu lama untuk berkembang menjadi cacing dewasa. Perkembangan L3 menjadi cacing dewasa dan menghasilkan
microfilaria untuk W.bancrofti selama kurang lebih 9 bulan 6-12 bulan, sedangkan untuk B.malayi dan B. Timori selama 3,5 bulan.
Perkembangan seperti ini terjadi juga dalam tubuh hewan reservoar lutung dan kucing .
Makrofilaria yang ada dalam tubuh manusia mampu bertahan hidup selama 5-7 tahun. Selama hidup yang lama tersebut,
dapat menghasilkan ribuan mikrofilaria setiap hari, sehingga dapat
menajdi sumber penularan dalam periode waktu yang sangat panjang.
8. Pencegahan Filariasis
Menurut Depkes 2009 upaya pencegahan filariasis yang dapat dilakukan oleh masyarakat dengan :
a. Menghindari diri dari gigitan nyamuk
1 Menggunakan kelambu sewaktu tidur. Kelambu harus disisipkan
dibawah kasur sehingga nyamuk tidak bisa masuk. Jika tidur disawah selama musim tanam atau panen, kelambu bisa dibawa
ke sawah untuk mencegah digigit nyamuk. 2
Menutup ventilasi rumah dengan kawat kasa nyamuk. 3
Menggunakan obat nyamuk semprot atau obat nyamuk bakar 4
Mengoles kulit dengan obat anti nyamuk b.
Memberantas nyamuk 1
Membersihkan tanaman air pada rawa–rawa yang merupakan tempat perindukan nyamuk.
2 Menimbun, mengeringkan, atau mengalirkan genangan air
sebagai tempat perindukan nyamuk. 3
Membersihkan semak–semak di sekitar rumah. c.
Pengobatan massal Kegiatan pengobatan massal filariasis dilaksanakan terhadap
semua penduduk usia 2 tahun sampai dengan usia 70 tahun di seluruh wilayah KabupatenKota Endemis filariasis dengen memberikan obat
DEC dan albendazole secara bersamaan. Pemberian obat secara
bersamaan ini dapat mematikan semua mikrofilaria yang ada di dalam darah setiap penduduk dalam waktu bersamaan, dan mencegah
makrofilaria cacing filaria dewasa menghasilkan mikrofilaria baru, sehingga rantai penularan filaria dapat diputus. Kegiatan POPM
filariasis dilaksanakan sekali setahun selama minimal lima tahun berturut
–turut, kemudian diikuti dengan evaluasi dampak setelah POPM Filariasis dihentikan serta menerapkan surveilans ketat pada
periode stop POPM filariasis. Obat yang digunakan dalam penanggulangan filariasis adalah
obat Diethylcarbamazine Citrate DEC dan Albendazole yang terbukti efektif dalam memutus rantai penularan pada daerah yang
endemis filariasis : a
Diethylcarbamazine Citrate DEC DEC bersama Albendazole digunakan untuk mengontrol
limfatik filariasis, dapat menurunkan mikrofilaria dengan baik selama setahun. Pemberian sekali setahun selama
minimal 5
tahun berturut
–turut bertujuan untuk mempertahankan kadar mikrofilaria dalam darah tetap rendah
sehingga tidak memungkinkan terjadinya penularan. Efek samping obat ini dapat berupa mual, sakit kepala,
demam, mengantuk, menurunnya nafsu makan, utrikaria dan muntah. Kejadian ikutan pasca pemberian obat DEC dapat
berupa alergi ringan sampai berat dapat timbul sebagai akibat
langsung dari matinya cacing filaria yang menandakan berhasilnya pengobatan Dirjen PPPL, 2012.
b Albendazole
Albendazole diindikasikan untuk meningkatkan efek DEC dalam membunuh mikrofilaria. Efek samping dari
Albendazole jarang menimbulkan efek samping pada pemakaian jangka pendek. Efek samping dapat timbul berupa
mual, nyeri ulu hati, pusing, sakit kepala, sakit perut, diare, keluar cacing, demam, lemas dan sesak nafas seperti asma.
Obat ini tidak diperbolehkan diberikan pada pasien sirosis hepatik, anak dibawah dua tahun dan wanita hamil Dirjen
PPPL, 2012.
C. Kerangka Teori
Bagan 2. 1 Kerangka Teori
Sumber : Dimodifikasi dari TeoriHealth Belief Model Rosentoch, 1975 dan Becker, 1975;Damayanti, 2000; Kemenkes, 2014
: Variabel yang tidak diteliti : Variabel yang diteliti
Keterangan :
Persepsi
Faktor Pemodifikasi:
1. Variabel
Demografi
Usia,Jenis kelamin,
Pendidikan, ras
2. Variabel Sosiopsikologi
Kelas sosial, Kepribadian 3.
Variabel Struktural
Pengetahuan dan
Pengalaman kontak dengan penyakit
Teori Health Belief Model Mengenai Filariasis
Persepsi kerentanan Perceived Susceptibility
Resiko terkena filariasis : 1.
Hospes a.
Manusia b.
Hewan c.
Lingkungan 2.
Vektor : nyamuk culex, Aedes, dan
Anopheles 3.
Agent RangsanganSensasi
Seleksi Input Proses pengorganisasian
Intepretasi
Persepsi keparahan Perceived Severity
Dampak filariasis : 1.
Kecacatan permanen 2.
Kerugian ekonomi 3.
Masalah psikososial Persepsi manfaat
Perceived Benefits Manfaat minum obat
pencegahan filariasis Persepsi hambatan
Perceived Barriers Keadaan setelah minum
obat pencegahan
filariasis
37
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka konsep
Sesuai dengan tujuan penelitian yang bersifat analitik atau mencari hubungan variabel yang akan diteliti yaitu faktor
–faktor yang berhubungan dengan persepsi masyarakat mengenai penyakit filariasis di RW 03 Desa
Cimanggis, maka kerangka konsep pada penelitian ini adalah : Variabel independen
Variabel dependen
Bagan 3. 1 Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka konsep tersebut, setiap konsep memiliki sebagai variabel sebagai indikasi pengukuran yang digambarkan oleh variabel bebas
atau independen yang terdiri dari umur, jenis kelamin, pendidikan, dan pengetahuan. Sedangkan varibel terikat atau dependen terdiri dari persepsi
masyarakat mengenai penyakit filariasis. Dalam peneletian ini, peneliti tidak
Jenis kelamin Umur
Pendidikan Pengetahuan
Persepsi masyarakat
mengenai penyakit Filariasis:
a. Persepsi tentang kerentanan
Perceived Susceptibility b.
Persepsi tentang keparahan Perceived Severity
c. Persepsi tentang manfaat
Perceived Benefits
d. Persepsi tentang hambatan
Perceived barriers
meneliti faktor pengalaman individu terkena filariasis karena kurangnya keberagaman faktor tersebut. Selain itu, peneliti juga tidak meneliti faktor
lingkungan keadaan sosial karena penelitian ini sudah dalam lingkungan yang homogen.
B. Hipotesis
1. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan persepsi masyarakat
mengenai Filariasis di RW 03 Desa Cimanggis. 2.
Ada hubungan antara umur dengan persepsi masyarakat mengenai Filariasis di RW 03 Desa Cimanggis.
3. Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi masyarakat
mengenai Filariasis di RW 03 Desa Cimanggis. 4.
Ada hubungan antara pengetahuan dengan persepsi masyarakat mengenai Filariasis di RW 03 Desa Cimanggis.
5. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan persepsi kerentanan,
keseriusan, manfaat, dan hambatan mengenai Filariasis di RW 03 Desa Cimanggis.
6. Ada hubungan umur dengan persepsi kerentanan, keseriusan, manfaat,
dan hambatan masyarakat mengenai Filariasis di RW 03 Desa Cimanggis.
7. Ada hubungan tingkat pendidikan dengan persepsi kerentanan,
keseriusan, manfaat, dan hambatan masyarakat mengenai Filariasis di RW 03 Desa Cimanggis.