Pengaruh Kemasan Plastik dan Suhu Penyimpanan Terhadap Susut Bobot

27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengaruh Kemasan Plastik dan Suhu Penyimpanan Terhadap Susut Bobot

Susut bobot pada produk pertanian merupakan masalah pascapanen yang terkait dengan pemasaran. Dari segi ekonomi, banyak produk pertanian yang dipasarkan berdasarkan bobotnya. Terjadinya susut bobot dapat menyebabkan perubahan pada tampilan fisik produk sehingga produk tersebut tidak diminati oleh pasar. Selain tampilan fisik, susut bobot juga mengindikasikan terjadinya penurunan mutu pada produk yang ditunjukkan baik oleh perubahan tekstur maupun penurunan nilai gizi produk. Hal ini memperlihatkan bahwa selama pengolahan pascapanen, susut bobot sebaiknya dicegah sebagai upaya untuk mempertahankan mutu produk setelah panen. Susut bobot terkait erat dengan kehilangan air dari produk. Selain kehilangan air, susut bobot juga dapat terjadi karena kehilangan berat kering ubi jalar. McCombs dan Pope 1958 dalam Anonim 1995 melaporkan bahwa kandungan berat kering ubi jalar menurun selama penyimpanan. Wilson et al. 1995 menyebutkan bahwa kehilangan air dari dalam produk merupakan salah satu penyebab utama penurunan mutu yang menjadikan produk tidak layak untuk dipasarkan. Gambar 11 menunjukkan grafik susut bobot ubi jalar selama penyimpanan. Terlihat bahwa baik pada penyimpanan suhu ruang maupun suhu dingin, ubi jalar tanpa kemasan memiliki susut bobot yang jauh lebih tinggi daripada ubi jalar yang dikemas. Susut bobot yang rendah pada ubi jalar tanpa kemasan dapat menunjukkan bahwa uap air yang dihasilkan oleh ubi jalar, baik dari respirasi maupun transpirasi, tertahan oleh kemasan plastik. Uap air yang dihasilkan oleh ubi jalar tidak langsung dilepas ke udara namun ditahan oleh kemasan plastik. Uap air yang tertahan dapat diserap kembali oleh ubi jalar sehingga kehilangan air dari produk dapat dihindari. Sementara itu, ubi jalar tanpa kemasan mengalami susut bobot yang tinggi karena tidak ada yang menahan air dari ubi jalar sehingga uap air langsung dilepas ke udara di sekitarnya. 28 Wilson et al. 1995 menyebutkan bahwa kelembaban relatif, suhu produk dan lingkungan, serta laju udara merupakan faktor yang mempengaruhi kehilangan air dari produk. Salunkhe 1976 mengutarakan bahwa kehilangan air akan terjadi dengan cepat pada kelembaban relatif yang rendah dan sebaliknya akan lambat pada kelembaban relatif yang tinggi. Sementara itu, terkait dengan laju respirasi produk, Wilson et al. 1995 menyebutkan bahwa laju respirasi dari 0.7 1.2 1.7 2.2 2.7 3.2 3.7 4.2 tanpa kemasan; Suhu ruang tanpa kemasan; Suhu dingin 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16 0.18 0.2 2 4 6 8 10 12 14 LDPE;Suhu ruang HDPE;Suhu ruang PP;Suhu ruang LDPE;Suhu dingin HDPE;Suhu dingin PP;Suhu dingin Hari penyimpanan hari ke- Gambar 11. Grafik susut bobot ubi jalar selama penyimpanan. S u s u t b o b o t 29 suatu produk secara langsung dipengaruhi oleh suhu, dimana semakin tinggi suhu maka laju respirasinya akan semakin tinggi. Untuk ubi jalar tanpa kemasan, susut bobot yang lebih tinggi terjadi pada penyimpanan dalam suhu dingin. Pada suhu ruang rata-rata susut bobot tiap dua hari adalah 1.24 sedangkan pada suhu dingin 2.73. Hal ini dapat terjadi karena kelembaban relatif pada suhu dingin lebih rendah daripada kelembaban relatif pada suhu ruang. Kelembaban relatif yang rendah mengakibatkan terjadinya kehilangan air yang lebih cepat karena udara yang mengelilinginya mengandung uap air dengan jumlah yang lebih sedikit daripada yang dapat ditampung pada suhu bersangkutan. Dengan begitu, uap air dari produk akan ditransfer dari produk ke udara yang lebih kering di sekitarnya. Pada Gambar 11 terlihat bahwa pada penyimpanan suhu ruang ubi jalar dengan kemasan polipropilen PP mengalami susut bobot yang lebih rendah daripada kedua jenis kemasan lainnya. Ubi jalar dengan kemasan high density polyethylene HDPE dan low density polyethylene LDPE terlihat memiliki susut bobot yang relatif sama. Rata-rata susut bobot tiap dua hari pada suhu ruang untuk ubi jalar dengan kemasan PP, HDPE, dan LDPE berturut-turut adalah 0.09, 0.11, dan 0.11. Gambar 11 menunjukkan bahwa pada suhu dingin, berbeda dengan pada suhu ruang, ubi jalar dengan kemasan PP mengalami susut bobot yang relatif lebih tinggi daripada kedua jenis kemasan lainnya. Ubi jalar dengan kemasan HDPE mengalami susut bobot yang lebih rendah daripada LDPE. Rata-rata susut bobot tiap dua hari pada suhu dingin untuk ubi jalar dengan kemasan PP, HDPE, dan LDPE berturut-turut adalah 0.08, 0.05, dan 0.06. Gambar 11 menunjukkan bahwa untuk ubi jalar yang dikemas, terlihat bahwa susut bobot cenderung lebih tinggi pada suhu ruang daripada suhu dingin. Pada suhu yang lebih tinggi, laju respirasi juga akan lebih tinggi sehingga air yang dihasilkan juga lebih tinggi. Dengan begitu, air yang hilang dari produk lebih banyak daripada saat disimpan dalam suhu dingin. Sementara itu, susut bobot ubi jalar dengan kemasan LDPE yang relatif tinggi dapat pula disebabkan oleh permeabilitas O 2 Tabel 3 kemasan LDPE yang lebih tinggi daripada kedua 30 kemasan lainnya. Permeabilitas O 2 yang tinggi memicu terjadinya respirasi sehingga uap air yang dihasilkan lebih banyak. Sebagai produk pertanian, ubi jalar merupakan benda hidup yang setelah dipanen masih mengalami proses-proses fisiologis, diantaranya respirasi dan transpirasi. Saat proses-proses tersebut masih berlangsung, produk menghasilkan dan membutuhkan uap air serta berbagai macam gas. Kegiatan pertukaran uap air dan gas antara produk dengan lingkungan harus terjadi dengan baik sehingga proses-proses tersebut dapat tetap berlangsung. Saat ubi jalar dikemas dengan plastik, maka proses pertukaran uap air dan gas dari produk ke lingkungan, dan sebaliknya, akan melalui kemasan plastik tersebut. Kehilangan air yang terjadi akibat uap air yang dilepaskan ke lingkungan menjadi salah satu penyebab susut bobot pada produk. Massey 2003 menyebutkan bahwa beberapa jenis plastik baik digunakan untuk menahan uap air sehingga transmisi uap air tidak terjadi melalui bahan tersebut. Pada Tabel 3 telah diberikan nilai yang menunjukkan tingkat transmisi uap air atau water vapour transmission rate WVTR dari plastik PP, LDPE, dan HDPE. Nilai WVTR LDPE yang lebih tinggi daripada HDPE menunjukkan bahwa tingkat transmisi uap air saat melalui LDPE lebih besar daripada saat melalui HDPE. Pada suhu dingin, LDPE memiliki rata-rata susut bobot yang lebih tinggi daripada HDPE. Hal ini menunjukkan bahwa susut bobot yang lebih besar pada ubi jalar dalam kemasan LDPE dapat diakibatkan oleh kemampuan kemasan LDPE untuk melewatkan uap air lebih banyak ke udara daripada HDPE. Sementara pada suhu ruang, rata-rata susut bobot ubi jalar dalam kemasan LDPE sama dengan ubi jalar dalam kemasan HDPE. Hal ini dapat terjadi akibat adanya faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi kemampuan transmisi uap air plastik, seperti suhu, kelembaban, dan tekanan. Kisaran WVTR yang cukup besar untuk kemasan PP memperlihatkan bahwa tingkat transmisi uap air pada PP dapat lebih rendah atau lebih tinggi daripada HDPE, namun tetap lebih rendah daripada LDPE. Pada penyimpanan suhu ruang, ubi jalar dalam kemasan PP terlihat memiliki rata-rata susut bobot yang lebih rendah daripada HDPE dan LDPE, yang mungkin diakibatkan oleh kemampuan transmisi uap air PP yang lebih rendah daripada HDPE dan LDPE. 31 Sementara pada suhu dingin, rata-rata susut bobot ubi jalar dalam kemasan PP lebih tinggi daripada ubi jalar dalam kemasan HDPE maupun LDPE. Pada ubi jalar dalam kemasan PP dan HDPE, hal tersebut dapat terjadi akibat kemasan PP memiliki nilai WVTR yang lebih rendah daripada HDPE. Pada kemasan PP dan LDPE, hal tersebut mungkin terjadi akibat pengaruh lingkungan, seperti suhu dan kelembaban ruang penyimpanan, terhadap kemampuan plastik dalam mentransmisikan uap air. Hasil analisis ragam untuk susut bobot ditunjukkan pada Tabel 5 dan selengkapnya pada Lampiran 6. Terlihat bahwa dengan menggunakan taraf 5, nilai Pr F untuk jenis kemasan dan suhu penyimpanan jauh lebih kecil daripada 5. Ini berarti bahwa jenis kemasan dan suhu penyimpanan berpengaruh sangat nyata terhadap susut bobot. Uji lanjut berupa uji Duncan untuk jenis kemasan dan suhu penyimpanan terdapat pada Tabel 6 dan 7. Tabel 5. Analisis ragam susut bobot Source Pr F Jenis kemasan .0001 Suhu penyimpanan .0001 Jenis kemasanSuhu penyimpanan .0001 rJenis kemasanSuhu penyimpanan .0001 Hari penyimpanan .0001 rHari penyimpanan 0.5776 Jenis penyimpananHari penyimpanan .0001 Suhu penyimpananHari penyimpanan .0001 Jenis kemasanSuhu penyimpananHari penyimpanan .0001 32 Tabel 6. Uji Duncan jenis kemasan untuk susut bobot Duncan Grouping Mean N Jenis kemasan A 1.983 42 Tanpa kemasan B 0.085 42 LDPE B B 0.084 42 PP B B 0.079 42 HDPE Ket: Nilai rata-rata dengan huruf A, B yang sama menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan P ≤ 0.05. Tabel 7. Uji Duncan suhu penyimpanan untuk susut bobot Duncan Grouping Mean N Suhu penyimpanan A 0.730 84 Suhu dingin B 0.386 84 Suhu ruang Ket: Nilai rata-rata dengan huruf A, B yang sama menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan P ≤ 0.05. Dari uji Duncan, terlihat bahwa untuk jenis kemasan, ubi jalar yang disimpan tanpa kemasan memiliki susut bobot yang berbeda nyata dengan jenis kemasan yang lain. Ubi jalar tanpa kemasan berbeda nyata dalam menghasilkan susut bobot yang paling tinggi. Sementara itu, untuk suhu penyimpanan, terlihat bahwa penyimpanan pada suhu ruang berbeda nyata dengan penyimpanan pada suhu dingin. Dalam Tabel 5, dapat dilihat pula bahwa interaksi antara jenis kemasan, suhu penyimpanan, dan hari penyimpanan adalah sangat nyata untuk susut bobot. Uji lanjut berupa uji Duncan untuk interaksi tersebut dapat dilihat pada Tabel 8 dan selengkapnya dalam Lampiran 7. Uji Duncan yang dilakukan menunjukkan bahwa rata-rata susut bobot ubi jalar terbesar terjadi pada interaksi tanpa kemasan di suhu dingin pada hari ke-4. Interaksi tersebut paling berbeda nyata dengan interaksi yang lain dimana selain interaksi tersebut, semua interaksi tidak berbeda nyata untuk nilai susut bobot ubi jalar yang disimpan. 33 Tabel 8. Uji Duncan interaksi antara jenis kemasan, suhu penyimpanan, dan hari penyimpanan untuk susut bobot Jenis Kemasan Penyimpanan Suhu LDPE HDPE PP Tanpa kemasan Hari ke-2 Ruang 0.09 h 0.09 h 0.08 h 1.19 defg Dingin 0.14 h 0.12 h 0.18 h 3.14 b Hari ke-4 Ruang 0.10 h 0.11 h 0.07 h 2.00 c Dingin 0.01 h 0.01 h 0.03 h 4.06 a Hari ke-6 Ruang 0.11 h 0.08 h 0.07 h 1.36 def Dingin 0.04 h 0.03 h 0.08 h 2.83 b Hari ke-8 Ruang 0.13 h 0.12 h 0.10 h 1.44 de Dingin 0.07 h 0.06 h 0.05 h 3.25 b Hari ke-10 Ruang 0.09 h 0.11 h 0.09 h 0.98 efg Dingin 0.05 h 0.06 h 0.06 h 2.14 c Hari ke-12 Ruang 0.11 h 0.11 h 0.09 h 0.83 g Dingin 0.02 h 0.01 h 0.06 h 1.65 cd Hari ke-14 Ruang 0.12 h 0.13 h 0.11 h 0.90 fg Dingin 0.12 h 0.08 h 0.11 h 2.02 c RATA-RATA Ruang 0.11 0.11 0.09 1.24 Dingin 0.06 0.05 0.08 2.73 Ket: Nilai rata-rata dengan subscript a, b, c, d, e, f, g, h yang sama menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan P ≤ 0.05.

B. Pengaruh Kemasan Plastik dan Suhu Penyimpanan Terhadap Kadar Air