Mutu Dan Umur Simpan Ubi Jalar Putih (Ipomoea Batatas L.) Dalam Kemasan Plastik Pada Berbagai Suhu Penyimpanan

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komoditas ubi jalar (Ipomoea batatasL.) merupakan salah satu komoditas umbi-umbian yang terkenal di kalangan masyarakat Indonesia. Pemanfaatan ubi jalar sebagai alternatif bahan pangan semakin diperhitungkan dalam upaya diversifikasi pangan di Indonesia. Prospek ubi jalar sebagai pengganti bahan pangan pokok, seperti beras dan jagung, didukung oleh komposisi gizinya. Ubi jalar merupakan sumber kalori dan karbohidrat yang tinggi. Rukmana (2007) menyebutkan bahwa ubi jalar merupakan sumber kalori sebesar 215 kal/ha/hari sedangkan padi dan jagung hanya 176 kal dan 110 kal/ha/hari. Sementara Bouwkamp (1985) mengatakan bahwa 75-90% dari padatan ubi jalar merupakan karbohidrat. Ubi jalar juga mengandung berbagai vitamin dan mineral serta kandungan gizi lain seperti protein dan lemak.

Dilihat dari kandungan gizi serta potensi pemanfaatannya, ubi jalar layak dipertimbangkan sebagai komoditas pertanian yang memiliki potensi pasar tinggi. Rukmana (2007) menyebutkan bahwa ubi jalar memiliki potensi ekonomi dan sosial yang cukup tinggi sebagai bahan makanan yang efisien pada masa mendatang, bahan pakan ternak, dan bahan baku berbagai industri. Tidak hanya di pasar dalam negeri, pemanfaatan ubi jalar yang tinggi di negara lain seperti Jepang, Korea, dan Amerika, dapat menjadi potensi pasar yang diperhitungkan. Rukmana (2007) menyatakan bahwa ubi jalar amat potensial diancang sebagai komoditas ekspor nonmigas.

Untuk dapat memenuhi kebutuhan pasar, diperlukan produk ubi jalar yang bermutu baik dan sesuai dengan kebutuhan konsumen. Produksi yang baik dan terarah akan menghasilkan ubi jalar yang tidak hanya bermutu baik tetapi juga bernilai jual tinggi. Wargiono (1980) menyebutkan bahwa sebagian besar hasil panen ubi jalar dikonsumsi dalam bentuk ubi segar, oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan konsumen, hasil ubi jalar harus selalu tersedia dalam keadaan segar. Namun kendala yang dihadapi pada produksi ubi jalar yaitu ubi jalar tidak tahan disimpan lama. Syarief dan Halid (1993) menyebutkan bahwa ubi


(2)

Cahyono (2004) menyatakan bahwa tunas pada ubi jalar akan tumbuh setelah penyimpanan selama 1 minggu tanpa perlakuan khusus.

Selama penyimpanan, gangguan lain pada ubi jalar segar dapat terjadi sehingga mutu dan kesegarannya menurun. Gangguan-gangguan tersebut diantaranya penyusutan ukuran ubi, munculnya tunas, munculnya kerutan, dan kebusukan. Metode penyimpanan yang telah dilakukan oleh petani ubi jalar umumnya berupa penyimpanan sederhana dengan bantuan media seperti tanah, pasir, abu, dan sekam. Namun Wargiono (1980) menyebutkan bahwa petani biasanya menghindari penyimpanan ubi jalar karena dalam penyimpanan, ubi jalar akan mengalami penurunan bobot sekitar 5%.

Penggunaan kemasan plastik selama penyimpanan dapat dipertimbangkan sebagai cara untuk mempertahankan mutu ubi jalar dan memperpanjang umur simpannya. Pengemasan menurut Pantastico (1986) memiliki keuntungan-keuntungan diantaranya merupakan unit penanganan yang efisien, merupakan unit penyimpanan yang mudah disimpan di gudang-gudang atau di rumah, serta melindungi mutu dengan memberi perlindungan terhadap kerusakan mekanik dan kehilangan air. Penggunaan kemasan plastik mempunyai keunggulan dibanding bahan kemasan lain karena sifatnya yang ringan, transparan, kuat, termoplastis, dan selektif dalam permeabilitasnya terhadap uap air, O2, dan CO2 (Nurminah, 2002). Pengaruh lain dari kemasan plastik adalah melindungi produk dari perubahan kadar air karena bahan kemasan dapat menghambat terjadinya penyerapan uap air dari udara (Loekmanet al., 1991dalamHafriyanti, 2008).

Banyak faktor yang mempengaruhi mutu ubi jalar selama menjalani masa penyimpanan. Faktor-faktor tersebut perlu diperhatikan untuk mendapatkan kondisi penyimpanan yang sesuai sehingga dapat memperpanjang masa simpan ubi jalar sekaligus mempertahankan mutu ubi jalar selama masa penyimpanan. Demikian pula untuk penyimpanan ubi jalar dalam kemasan plastik. Pengaruh penggunaan kemasan plastik terhadap umur simpan dan mutu ubi jalar selama penyimpanan perlu diamati. Apabila cara penyimpanan tersebut dapat memperpanjang umur simpan serta menjaga mutu ubi jalar, maka penyimpanan ubi jalar dalam kemasan plastik dapat diterapkan oleh para petani dan produsen ubi jalar sebagai upaya mempertahankan mutu ubi jalar yang akan dipasarkan.


(3)

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Mempelajari mutu ubi jalar dalam kemasan plastik selama penyimpanan.

2. Mengamati pengaruh jenis kemasan dan suhu terhadap mutu ubi jalar selama penyimpanan.


(4)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ubi Jalar

Ubi jalar memiliki banyak nama atau sebutan antara lain ketela rambat, huwi boled (Sunda), tela rambat (Jawa), dan shoyu (Jepang). Ubi jalar juga dikenal dengan sebutan sweet potato. Klasifikasi tanaman ubi jalar dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan adalah sebagai berikut.

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Convolvulales Famili : Convolvulaceae Genus : Ipomoea

Spesies :Ipomoea batatasL.Sin batatas edulis choisy (Juanda Js. Dan Cahyono, 2004)

Tanaman ubi jalar, yang termasuk dalam tumbuhan semusim (annual), memiliki susunan tubuh utama yang terdiri dari batang, ubi, daun, bunga, buah, dan biji. Batang tanaman berbentuk bulat, tidak berkayu, berbuku-buku, dan tipe pertumbuhannya tegak atau merambat (menjalar). Batang tanaman tipe tegak memiliki panjang antara 1-2 m, sedangkan tipe merambat memiliki panjang 2-3 m. Ukuran batang dibedakan atas tiga macam yaitu besar, sedang, dan kecil. Warna batang biasanya hijau tua sampai keungu-unguan (Rukmana, 2007).

Tanaman ubi jalar memiliki daun tunggal yang beraneka ragam, baik bentuk maupun warnanya (Lembaga Biologi Nasional dan LIPI, 1977). Daun ubi jalar berbentuk bulat hati, bulat lonjong, dan bulat runcing, tergantung pada varietasnya. Daun ubi jalar memiliki tulang-tulang menyirip, kedudukan tegak agak mendatar, dan bertangkai tunggal yang melekat pada batang. Ukuran daun bervariasi, tergantung pada varietasnya. Daun ubi jalar berwarna hijau tua dan hijau kuning (Juanda Js. dan Cahyono, 2004).

Umbi tanaman ubi jalar merupakan bagian yang dimanfaatkan untuk bahan makanan. Umbi tanaman ubi jalar memiliki mata tunas yang dapat tumbuh menjadi tanaman baru. Umbi tanaman ubi jalar memiliki ukuran, bentuk, warna


(5)

kulit, dan warna daging bermacam-macam, tergantung pada varietasnya. Ukuran umbi ubi jalar ada yang besar dan kecil sementara bentuknya ada yang bulat, bulat lonjong, dan bulat panjang. Kulit umbi ada yang berwarna putih, kuning, ungu, jingga, dan merah. Daging umbi ada yang berwarna putih, kuning, jingga, dan ungu muda (Juanda Js. dan Cahyono, 2004).

Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang penting disamping padi, jagung, sagu, dan ubi-ubian lainnya. Zat patinya merupakan salah satu bahan dalam pembuatan tekstil atau kertas. Daun bersama batang mudanya digunakan untuk sayuran juga sebagai pakan ternak (Lembaga Biologi Nasional dan LIPI, 1977). Komposisi ubi jalar disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi gizi dalam tiap 100 gram daun dan ubi jalar segar

Banyaknya dalam No. Kandungan gizi

Ubi putih Ubi merah Ubi kuning* Daun

1 Kalori (kal) 123,00 123,00 136,00 47,00

2 Protein (g) 1,80 1,80 1,10 2,80

3 Lemak (g) 0,70 0,70 0,40 0,40

4 Karbohidrat (g) 27,90 27,90 32,30 10,40

5 Kalsium (mg) 30,00 30,00 57,00 79,00

6 Fosfor (mg) 49,00 49,00 52,00 66,00

7 Zat besi (mg) 0,70 0,70 0,70 10,00

8 Natrium (mg) - - 5,00

-9 Kalium (mg) - - 393,00

-10 Niacin (mg) - - 0,60

-11 Vitamin A (SI) 60,00 7700,00 900,00 6150,00

12 Vitamin B1(mg) 0,90 0,90 0,10 0,12

13 Vitamin B2(mg) - - 0,04

-14 Vitamin C (mg) 22,00 22,00 35,00 22,00

15 Air (g) 68,50 68,50 - 84,70

16 Bagian yang dapat

dimakan (%) 86,00 86,00 - 73,00

Keterangan: *)Food and Nutrition Research Center Handbook I. Manila. -) Tidak ada data

(Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI, 1981dalamJuanda Js. dan Cahyono, 2004) Tanaman ubi jalar diduga berasal dari Amerika Tengah tropis, tetapi ada yang mengatakan berasal dari Polinesia. Penyebaran tanaman banyak dilakukan oleh bangsa Portugis dan Spanyol pada abad ke-16 antara lain ke Filipina,


(6)

macamnya, ubi jalar dipanen pada usia 3-6 bulan (Lembaga Biologi Nasional dan LIPI, 1977).

Teknologi di bidang pemuliaan tanaman ubi jalar telah banyak menemukan varietas-varietas (klon) baru yang lebih unggul daripada generasi sebelumnya. Varietas ubi jalar yang telah ditemukan masing-masing memiliki sifat yang berbeda-beda. Perbedaan sifat tersebut terletak pada bentuk umbi, ukuran/bentuk umbi, warna kulit umbi, warna daging umbi, tekstur daging umbi, rasa umbi, kandungan gizi, ketahanan terhadap penyakit, produktivitas, dan daya adaptasi terhadap lingkungan. (Juanda Js. dan Cahyono, 2004). Rukmana (2007) menyebutkan bahwa varietas atau kultivar atau klon ubi jalar yang ditanam di berbagai daerah jumlahnya cukup banyak, antara lain lampeneng, sawo, cilembu, rambo, SQ-27, jahe, klenang, gedang, tumpuk, georgia, layang-layang, karya, daya, borobudur, prambanan, mendut, dan kalasan.

Gambar 1. Ubi jalar.

B. Pascapanen Ubi Jalar

Dalam Juanda Js. Dan Cahyono (2004) disebutkan bahwa penanganan pascapanen bertujuan untuk mempertahankan kualitas (mutu) ubi jalar. Penanganan pascapanen ubi jalar meliputi pembersihan, sortasi, penyimpanan, pengemasan dan pengangkutan, dan pemasaran hasil. Bouwkamp (1985) menyebutkan bahwa proses pascapanen ubi jalar terdiri atas proses curing dan penyimpanan. Sementara Edmond dan Ammerman (1971) menyebutkan bahwa


(7)

dalam perjalanannya menuju pasar, ubi jalar mengalami empat periode yaitu curing,post-curing, penyimpanan, dan pemasaran.

Penanganan pascapanen dilaksanakan sebagai upaya untuk mempertahankan mutu ubi jalar yang telah dipanen. Sebelum dipanen, umbi ubi jalar masih melekat dengan tanamannya sehingga dapat menerima substansi-substansi makanan yang diperlukan bagi pertumbuhnnya. Saat dipanen, umbi akan dilepas dari batang tanamannya yang mengakibatkan terhentinya penerimaan substansi makanan sehingga pertumbuhan ikut terhenti. Karena tetap membutuhkan sumber tenaga, maka umbi yang telah terlepas akan mengambil tenaga tersebut dari kandungan gula yang ada dalam tubuhnya. Hal ini menyebabkan terjadinya susut bobot pada umbi. Kegiatan pascapanen berupa curing, post-curing, penyimpanan, dan pemasaran ditujukan untuk meminimumkan susut tersebut sehingga kandungan dalam umbi pun tidak ikut berkurang (Edmond dan Ammerman, 1971).

Kegiatan pascapanen yang pertama dilakukan setelah ubi jalar dipanen adalah pembersihan dan sortasi. Umbi perlu dibersihkan dari kotoran-kotoran yang dapat menjadi sumber kontaminasi bermacam-macam patogen yang dapat merusak umbi selama dalam penyimpanan. Umbi yang bersih dari kotoran dapat meniadakan jasad-jasad renik yang menempel pada umbi sehingga umbi tidak mudah terserang patogen saat di penyimpanan serta penampilannya akan lebih menarik (Juanda Js. dan Cahyono, 2004).

Sortasi atau pemisahan umbi ubi jalar dilakukan untuk memisahkan umbi yang baik dan sehat dari umbi yang cacat atau rusak. Dalam kegiatan sortasi juga dilakukan proses grading atau pengelompokkan. Pengelompokkan dilakukan berdasarkan besarnya umbi dan tingkat kerusakannya. Sortasi dan grading dilakukan untuk mendapatkan umbi yang berukuran seragam sesuai dengan kualitasnya sehingga akan mempermudah penentuan harga dan penjualan di pasar (Juanda Js. dan Cahyono, 2004).

Penyimpanan merupakan penanganan pascapanen yang dilakukan untuk mempertahankan mutu umbi agar tetap terjaga sehingga saat belum terjual mutunya tetap baik. Edmond dan Ammerman (1971) menyebutkan bahwa suhu


(8)

penyimpanan optimum untuk ubi jalar adalah 13-15.5oC. Sementara Syarif dan Halid (1993) memberikan beberapa cara penyimpanan ubi jalar seperti berikut ini. 1. Cara-cara tradisional misalnya dengan penguburan kembali ubi yang sudah dipanen atau membiarkan ubi tidak dipanen dan hanya dipanen dalam jumlah yang diperlukan. Cara lain adalah dengan membungkus ubi dengan lumpur dan menyimpan dalam air. Cara-cara tersebut dilakukan untuk memperpanjang daya simpan ubi jalar dalam jumlah kecil dan memberikan hasil yang cukup memuaskan.

2. Menyimpan ubi jalar dengan serbuk gergaji basah dalam peti. Cara ini dapat mempertahankan mutu ubi jalar selama 1-2 bulan. Suhu simpan sekitar 26oC memberikan hasil yang cukup memuaskan, praktis, dan murah bagi petani. Meski begitu, jika serbuk gergaji terlalu kering maka tidak akan terjadi pengawetan, Sebaliknya jika serbuk gergaji terlalu basah akan mempercepat pembusukan. 3. Cara lain yaitu ubi jalar yang telah dibersihkan diangin-anginkan selama 2-3 hari kemudian ditimbun di tempat yang kering dan sejuk dan ditutup dengan pasir kering atau abu setebal 20-30 cm. Ubi jalar yang disimpan dengan cara seperti ini dapat tahan selama 5 bulan tanpa boleng.

4. Ubi jalar dibuat menjadi gaplek dan tepung untuk mengawetkan produk.

Berbagai penelitian juga telah dilakukan terkait penyimpanan ubi jalar. Penelitian-penelitian tersebut bertujuan antara lain untuk memperpanjang umur simpan ubi jalar, maupun untuk menghindari terjadinya penurunan mutu fisik maupun kimiawi ubi jalar selama masa penyimpanan. Banyak faktor yang mempengaruhi mutu ubi jalar selama menjalani masa penyimpanan. Faktor-faktor inilah yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan kondisi penyimpanan yang sesuai sehingga dapat memperpanjang masa simpan ubi jalar sekaligus mempertahankan mutu ubi jalar selama masa penyimpanan.

Penelitian mengenai penyimpanan ubi jalar juga pernah dilakukan oleh Risnawati (2002) dan Rajagukguk (2002). Risnawati (2002) menerapkan pelapisan lilin pada ubi jalar dan menyimpulkan bahwa mutu ubi jalar yang diberi perlakuan pencelupan dalam emulsi lilin dan fungisida benlate-50 lebih baik dibandingkan umbi yang tidak mendapat perlakuan. Diungkapkan pula oleh Risnawati (2002) bahwa pencelupan ubi jalar ke dalam emulsi lilin dan fungisida


(9)

dapat menekan laju kerusakan ubi jalar. Sementara itu, Rajagukguk (2002) memberikan perlakuan panas pada ubi jalar dan menyimpulkan perlakuan panas dengan Hot Water Treatment pada pascapanen ubi jalar mencapai optimum pada pencelupan dengan suhu 47.5oC selama 30 menit. Disebutkan oleh Rajagukguk (2002) bahwa perlakuan panas yang diberikan pada pascapanen ubi jalar mempengaruhi mutu ubi jalar terhadap susut bobot, kadar air, kekerasan, dan kadar pati ubi jalar, namun tidak berpengaruh terhadap warna kulit dan warna daging ubi.

Untuk ubi jalar, susut bobot telah menjadi sebuah masalah dalam penanganan pascapanen. Wargiono (1980) menyebutkan bahwa petani biasanya menghindari penyimpanan ubi jalar karena selama penyimpanan, ubi jalar akan mengalami penurunan bobot sekitar 5%. Ini berarti bahwa susut bobot menjadi salah satu kendala dalam proses penyimpanan ubi jalar. Dalam penelitiannya, Watson et al. (1992) melakukan penyimpanan ubi jalar dengan menggunakan beberapa media penyimpanan, yaitu pasir, tanah, abu, sekam, dan karung goni. Setelah penyimpanan selama 2 minggu, ubi jalar yang disimpan mengalami susut bobot, berturut-turut dalam media pasir, tanah, abu, sekam, dan karung goni, sebesar 14.40%, 18.77%, 18.15%, 16.50%, dan 14.34%.

Curing merupakan kegiatan yang sebaiknya dilakukan sebelum penyimpanan. Prosescuring, menurut Juanda Js. dan Cahyono (2004), merupakan penyembuhan luka melalui pembentukan lapisan gabus pada kulit. Lapisan tersebut dapat menghambat penguapan air dan masuknya infeksi patogen sehingga dapat mengurangi kehilangan berat. Proses curing dilakukan pada suhu 30-32oC dengan kelembaban udara 85-90% selama 4-7 hari (Booth, 1973dalamJuanda Js. dan Cahyono, 2004). Selama proses curing akan terbentuk lapisan gabus yang apabila dapat dipertahanan dengan baik selama masa penyimpanan, maka akan menghasilkan ubi jalar dengan umur simpan yang lebih lama (Edmond dan Ammerman, 1971).

Pengemasan pada ubi jalar dilakukan dengan tujuan untuk melindungi umbi dari kerusakan mekanis karena pengangkutan dan kerusakan fisiologis karena pengaruh lingkungan, seperti suhu, kelembaban, dan cahaya matahari.


(10)

kesegaran umbi tetap baik hingga di tempat tujuan (Juanda Js. dan Cahyono, 2004).

Pengangkutan bertujuan untuk mengangkut ubi jalar ke pusat-pusat pemasaran. Saat pengangkutan dilakukan, perlu diperhatikan bahwa peti kemasan harus diatur rapi, teratur, dan tidak membentuk rongga. Hal ini dimaksudkan agar peti kemasan tidak bergeser dan tidak saling berbenturan. Peti kemasan yang bergeser-geser atau saling berbenturan akan menimbulkan kerusakan kemasan dan kerusakan umbi di dalamnya (Juanda Js. dan Cahyono, 2004).

C. Standar Mutu Ubi Jalar

Standar mutu ubi jalar diperlukan dalam rangka menjaga mutu ubi jalar yang sampai pada konsumen. Standar mutu bagi ubi jalar terdapat pada Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-4493-1998. Dalam SNI 01-4493-1998 disebutkan bahwa standar mutu ubi jalar sangat diperlukan agar baik konsumen dan produsen mempunyai kepastian terhadap mutu yang diinginkan. Dengan begitu, konsumen akan memperoleh mutu ubi jalar sesuai dengan daya belinya dan produsen akan mendapat harga sesuai dengan produknya. Keuntungan lain dengan adanya standar mutu ubi jalar yaitu dapat digunakan untuk pembinaan perbaikan mutu ubi jalar.

Definisi ubi jalar dalam SNI 01-4493-1998 yaitu ubi jalar merupakan umbi dari tanaman ubi jalar (Ipomoea batatas L.) dalam keadaan utuh, segar, bersih, dan aman dikonsumsi serta bebas dari organisme pengganggu tumbuhan. Disebutkan pula bahwa terdapat beberapa istilah terkait dengan mutu ubi jalar. Istilah-istilah tersebut diantaranya yaitu keseragaman warna, keseragaman bentuk umbi, keseragaman berat umbi, umbi cacat, dan kotoran.

1. Keseragaman warna

Keseragaman warna kulit umbi seperti warna merah atau putih atau warna lainnya dan keseragaman warna daging umbi, seperti putih, kuning, orange, dan ungu sesuai dengan varietasnya.


(11)

2. Keseragaman bentuk umbi

Keseragaan bentuk umbi adalah keseragaman ratio panjang (P)/lebar (L) dari ubi jalar, seperti bulat (P/L berkisar 1-1,5), elip (P/L berkisar 1,6-2,0), panjang (P/L > 2,0) sesuai dengan varietasnya.

3. Keseragaman berat umbi

Keseragaman berat umbi adalah keseragaman sesuai dengan 3 macam penggolongan berat yaitu:

a. golongan A mempunyai berat > 200 gram per umbi, b. golongan B mempunyai berat 100-200 gram per umbi,

c. golongan C mempunyai berat < 100 gram per umbi, dan toleransi di atas dan di bawah ukuran berat masing-masing 5% (biji) maks.

4. Umbi cacat

Umbi cacat adalah umbi yang rusak karena mekanis dan fisik seperti pecah, teriris, tergores, memar, fisiologis karena bertunas, lunak, keriput, dan biologis karena hama dan penyakit seperti berlubang, busuk, dan sebagainya.

5. Kotoran

Kotoran adalah benda-benda asing bukan umbi seperti tanah, pasir, batang, daun, dan benda lainnya yang menempel pada umbi atau berada di dalam kemasan sedangkan sekat atau pembungkus dalam kemasan tidak termasuk kotoran.

Disebutkan pula dalam SNI 01-4493-1998 mengenai klasifikasi serta syarat mutu ubi jalar. Mutu ubi jalar dapat digolongkan ke dalam 3 kelas mutu yaitu mutu I, II, dan III sementara syarat mutu ubi jalar terbagi menjadi syarat umum dan syarat khusus. Syarat khusus mutu ubi jalar tercantum dalam Tabel 2 sedangkan syarat umum mutu ubi jalar adalah sebagai berikut.

1. Ubi jalar tidak boleh mempunyai bau asing. 2. Ubi jalar harus bebas dari hama dan penyakit.

3. Ubi jalar harus bebas dari bahan kimia seperti insektisida dan fungisida.

4. Ubi jalar harus memiliki keseragaman warna, bentuk, maupun ukuran umbinya. 5. Ubi jalar harus sudah mencapai masak fisiologis optimal.

6. Ubi jalar harus dalam kondisi bersih.


(12)

bambu yang dilapisi karton dengan berat netto ubi jalar maksimum 10 kg dan tahan mengalami handling, baik dalam waktu pemuatan dan pembongkaran. Kotak pengemas harus berlubang-lubang, untuk sirkulasi udara. Sementara itu, rekomendasi yang terdapat dalam SNI 01-4493-1998 diantaranya yaitu bahwa umbi yang dikemas harus dicuci dan sebelumnya diangin-anginkan.

Tabel 2. Spesifikasi persyaratan khusus mutu ubi jalar

Mutu No. Komponen Mutu

I II III

1 Berat umbi (gram/umbi) > 200 110 - 200 75 – 100

2 Umbi cacat (per 50 biji) maks Tidak ada 3 biji 5 biji

3 Kadar air (% bb min) 65 60 60

4 Kadar serat (% bb maks) 2 2,5 > 3,0

5 Kadar pati (% bb min) 30 25 25

(Sumber: SNI 01-4493-1998)

D. Kemasan Plastik

Nurminah (2002) mengungkapkan bahwa pengemasan komoditi hortikultura merupakan suatu usaha menempatkan komoditi segar ke dalam suatu wadah yang memenuhi syarat sehingga mutunya tetap atau hanya mengalami sedikit penurunan pada saat diterima oleh konsumen akhir dengan nilai pasar yang tetap tinggi. Disebutkan pula bahwa dengan pengemasan, komoditi dapat dilindungi dari kerusakan, benturan mekanis, fisik, kimia, dan mikrobiologis selama pengangkutan, penyimpanan dan pemasaran (Sacharow dan Griffin, 1980 dalam Nurminah, 2002). Levy (2000) dalam Hariyanti (2006) menyebutkan bahwa pengemasan juga dapat dijadikan pengawet produk pangan di dalamnya. Nurminah (2002) menyebutkan bahwa beberapa faktor yang penting diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan, keadaan lingkungan, dan sifat bahan pengemas.

Nurminah (2002) mengatakan bahwa banyak ragam kemasan plastik yang digunakan untuk makanan dan minuman, misalnya polietilen, polipropilen, polistiren, poliamida, polisulfon, poliester, poliuretan, polikarbonat, polivinilklorida, polifenilinoksida, polivinilasetat, poliakrilonitril dan melamin formaldehid. Hafriyanti et al. (2008) menyebutkan bahwa polietilen (PE) dan polipropilen (PP) merupakan jenis plastik yang harganya murah, mudah


(13)

ditemukan di pasaran, juga memiliki sifat umum yang hampir sama. Menurut Wheaton dan Lawson (1985) dalam Hafriyanti et al. (2008) bahan kemasan plastik yang paling banyak digunakan adalah plastik PE karena mempunyai harga relatif murah, mempunyai komposisi kimia yang baik, resisten terhadap lemak dan minyak, tidak menimbulkan reaksi kimia terhadap makanan, mempunyai kekuatan yang baik dan cukup kuat untuk melindungi produk dari perlakuan kasar selama penyimpanan, mempunyai daya serap yang rendah terhadap uap air, serta tersedia dalam berbagai bentuk. Plastik jenis LDPE dan HDPE merupakan varian dari polietilen. Sementara dalam Hafriyantiet al. (2008) disebutkan bahwa plastik PP memiliki daya lindung yang lebih baik terhadap produk yang dikemas serta mempunyai daya tembus uap air yang lebih rendah dibanding plastik PE. Robertson (1993) menyebutkan bahwa plastik LDPE memiliki densitas 915-939 kg/m3, HDPE memiliki densitas 941-965 kg/m3, sementara densitas PP adalah sekitar 900 kg/m3. Dalam Tabel 3 diberikan karakteristik-karakteristik untuk plastik jenis LDPE, HDPE, dan PP.

Tabel 3. Karakteristik jenis plastik LDPE, HDPE, dan PP

Jenis plastik Karakteristik

LDPE HDPE PP

Titik leleh (oC) 105-115 128-138 160-175

Tensile modulus (GPa) 0.2-0.5 0.6-1.1 1.1-1.5

Tensile strength (MPa) 8-31 17-45 31-43

Elongation (%) 100-965 10-1200 500-650

WVTR*)(gμm/m2d) 375-500 125 100-300

Permeabilitas O2**)

(103cm3μm/m2d atm) 160-210 40-73 50-94

*) Water vapour transmission rate, pada 37.8oC dan 90% RH (d =day, 24 jam) **) Pada 25oC

(Sumber: Abdel-Bary, 2003)

Karakteristik masing-masing jenis plastik juga disebutkan dalam Nurminah (2002) sebagai berikut.

1. Polietilen

Polietilen merupakan film yang lunak, transparan dan fleksibel, mempunyai kekuatan benturan serta kekuatan sobek yang baik. Dengan pemanasan akan


(14)

yang rendah serta sifat-sifat mekaniknya yang baik, polietilen mempunyai ketebalan 0.001 sampai 0.01 inchi, yang banyak digunakan sebagai pengemas makanan, karena sifatnya yang termoplastik, polietilen mudah dibuat kantung dengan derajat kerapatan yang baik (Sacharow dan Griffin, 1970).

2.Low Density Polyethylene(LDPE)

Sifat mekanis jenis plastik LDPE adalah kuat, agak tembus cahaya, fleksibel dan permukaan agak berlemak. Pada suhu di bawah 60oC sangat resisten terhadap senyawa kimia, daya proteksi terhadap uap air tergolong baik, akan tetapi kurang baik bagi gas-gas yang lain seperti oksigen.

3.High Density Polyethylene(HDPE)

Plastik HDPE memiliki sifat bahan yang lebih kuat, keras, buram dan lebih tahan terhadap suhu tinggi. Jenis plastik HDPE mempunyai sifat lebih kaku, lebih keras, kurang tembus cahaya dan kurang terasa berlemak.

4. Polipropilen (PP)

Polipropilen sangat mirip dengan polietilen dan sifat-sifat penggunaannya juga serupa (Brody, 1972). Polipropilen lebih kuat dan ringan dengan daya tembus uap yang rendah, ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil terhadap suhu tinggi dan cukup mengkilap (Winarno dan Jenie, 1983).

E. Penyimpanan

Tujuan utama penyimpanan adalah pengendalian laju transpirasi, respirasi, infeksi, penyakit, dan mempertahankan produk dalam bentuk yang paling berguna bagi konsumen. Umur simpan produk dapat diperpanjang dengan pengendalian penyakit-penyakit pascapanen, pengaturan atmosfer, perlakuan kimiawi, penyinaran, dan pendinginan. Suhu penyimpanan merupakan faktor lingkungan yang terpenting karena suhu merupakan faktor yang mengatur laju semua proses-proses fisiologi dan biokimia (Pantastico, 1986).

Pantastico (1986) mengatakan bahwa proses penyimpanan dilakukan untuk menekan laju proses-proses kehidupan pada produk sampai sekecil-kecilnya Oleh karena itu, produk harus diberikan kondisi penyimpanan yang sesuai dan yang mencukupi. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi proses-proses yang tidak dikehendaki, seperti pertunasan, pertumbuhan akar, dan perkecambahan biji.


(15)

Pengendalian berupa pengendalian transpirasi dan pengendalian respirasi dapat dilakukan.

Pengendalian transpirasi dapat dilakukan melalui pengendalian faktor-faktor lingkungan yang penting bagi transpirasi, yaitu suhu, RH, dan perbedaan tekanan uap. Suhu rendah, RH tinggi, dan perbedaan tekanan uap yang kecil diperlukan untuk menekan pengeriputan komoditi menjadi sekecil mungkin. Pengeriputan timbul akibat kehilangan berat dan menjadikan produk tidak menarik saat penjualan. Sementara itu, saat penggunaan RH tinggi pada penyimpanan, harus diusahakan agar tidak terjadi pertumbuhan jamur dan organisme-organisme pembusuk lainnya, yang disebabkan oleh pengembunan uap pada permukaan komoditi. Faktor-faktor tersebut dapat dikendalikan antara lain dengan pengemasan yang tepat, penggunaan lapisan pelindung, dan pendekatan suhu pendingin sedekat mungkin dengan suhu udara yang diinginkan (Pantastico, 1986).

Tabel 4. Masa simpan sayuranprepacked(eceran) pada lima suhu yang berbeda

Masa simpan dalam hari pada suhu Komoditi

28oC 21oC 10oC 5oC 0oC

Asparagus 1 2 – 3 3 – 6 7 – 14 14 – 21

Brokoli 1 2 – 3 3 – 5 7 – 14 14 – 21

Buncis 2 – 3 4 – 5 6 – 8 7 – 9 14 – 21

Brussel sprout 1 2 – 3 4 – 5 5 – 10 14 – 21

Wortel 4 4 – 6 14 – 21 21 21 – 30

Cauliflower, head 2 2 – 4 5 – 7 6 – 12 14 – 21

Seledri 2 – 5 5 – 8 7 – 10 9 – 14 14 – 30

Ketimun 3 – 5 7 – 10 7 – 14 -

-Selada (head) 1 – 3 2 – 4 6 – 7 7 – 10 15 – 25

Selada (daun) 1 2 – 3 5 – 7 7 – 10 14 – 25

Karo (dengan kulit) 1 – 2 2 – 4 5 – 7 5 – 10 -5 – 10

Jamur 1 2 – 3 4 – 5 6 – 8 -8 – 12

Daun bawang 1 1 – 2 3 – 5 7 – 10 -14 – 25

Green peas 3 – 5 4 – 6 14 – 21 14

-Tomat 1 – 3 2 – 5 4 – 12 -

-Ubi jalar 3 – 7 7 – 14 14 – 28 -

-Jagung manis (dalam kloht) 1 1 – 2 3 – 5 5 – 7 10 – 14

Bayam 1 1 – 2 2 – 3 5 – 6 10 – 20

Kentang 7 7 – 14 30 – 60 -


(16)

Berbagai kondisi lingkungan selama produk pertanian disimpan sangat berpengaruh terhadap mutu produk, atau perubahan Fisiologi Lepas Panen. Dari semua faktor lingkungan, yang paling berpengaruh adalah suhu (Winarno, 2002). Pada Tabel 3, disajikan masa simpan berbagai komoditi pada lima suhu yang berbeda. Winarno (2002) juga menyatakan bahwa sifat-sifat penyimpanan sangat dipengaruhi oleh varietas, keadaan udara, musim, tanah, keadaan kultural, tingkat kematangan, serta cara-cara penanganan sebelum disimpan.


(17)

III. METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2009 hingga Mei 2009. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

B. Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi ubi jalar (Ipomoea batatasL.) putih dengan umur panen 5 bulan yang diperoleh dari petani ubi jalar di Desa Cikarawang, Bogor, Jawa Barat. Bahan lain yang digunakan adalah 3 jenis kemasan plastik, yaitu low density polyethylene (LDPE), high density polyethylene (HDPE), dan polipropilen (PP). Ketiga jenis plastik tersebut memiliki ketebalan 0.3 mm dan digunakan sebagai bahan kemasan bagi ubi jalar selama penyimpanan.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan digital untuk mengukur bobot umbi,rheometeruntuk mengukur kekerasan, oven, desikator, dan cawan untuk mengukur kadar air, refrigerator sebagai ruang penyimpanan suhu dingin, dan termometer untuk mengukur suhu dalam ruang penyimpanan.

C. Tahapan Penelitian

Penelitian akan menerapkan dua macam perlakuan pada ubi jalar selama penyimpanan, yaitu perlakuan pengemasan dan perlakuan suhu ruang penyimpanan. Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 13. Tahap-tahap pelaksanaan penelitian meliputi sebagai berikut.

1. Persiapan bahan

Umbi ubi jalar yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan langsung dari lahan setelah dipanen. Setelah dikumpulkan, ubi jalar dibiarkan untukcuring, yaitu proses pembentukan lapisan gabus pada kulit yang dapat membantu


(18)

hari dalam ruangan dengan suhu 27-29oC dan kelembaban 85-90% (Lampiran 5). Setelah proses curing selesai, umbi ubi jalar dibersihkan dari tanah dan kotoran yang masih melekat. Ubi jalar dibersihkan dengan cara dicuci dengan air kemudian diangin-anginkan selama 3-4 jam. Umbi ubi jalar yang telah bersih kemudian disortasi. Umbi yang masih dalam keadaan baik, bersih, dan tidak memiliki cacat seperti pecah, tergores, bertunas, dan busuk dipisahkan dari umbi yang telah cacat atau rusak. Umbi ubi jalar yang keadaannya masih baik selanjutnya diberi perlakuan berupa pengemasan dengan plastik dan penyimpanan pada dua tingkat suhu.

Gambar 2. Ubi jalar saat curing.


(19)

2. Penyimpanan dengan kemasan plastik

Ubi jalar yang disimpan diberi perlakuan pengemasan dengan plastik dan suhu penyimpanan. Tiap kemasan diisi dengan 8 umbi ubi jalar. Jenis kemasan yang digunakan adalah sebagai berikut:

a. Plastik LDPE

Gambar 4. Ubi jalar dalam kemasan LDPE. b. Plastik HDPE


(20)

c. Plastik PP

Gambar 6. Ubi jalar dalam kemasan PP.

d. Tanpa kemasan, sebagai pembanding yaitu ubi jalar yang disimpan tanpa menggunakan bahan kemasan apapun.

Gambar 7. Ubi jalar tanpa kemasan.

Penyimpanan dilakukan selama 2 minggu pada dua tingkat suhu yaitu suhu ruang (27-29oC) dan suhu dingin (15oC).


(21)

Gambar 8. Penyimpanan dalam suhu ruang.

Gambar 9. Penyimpanan suhu dingin dalamrefrigerator.

3. Analisis parameter mutu ubi jalar


(22)

kadar pati, kekerasan, dan cacat pada umbi yang meliputi kepoyoan, pertunasan, dan pembusukan. Parameter mutu yang telah ditentukan kemudian diamati dan diukur secara berkala selama penyimpanan. Pengukuran dilakukan setiap dua hari selama penyimpanan, kecuali untuk kadar pati yang pengukurannya dilakukan setelah penyimpanan berlangsung. Analisis parameter mutu hasil pengamatan dan pengukuran selama penyimpanan dilakukan untuk mengetahui perubahan mutu ubi jalar selama penyimpanan dan pengaruh perlakuan yang telah diterapkan terhadap mutu ubi jalar yang disimpan.

4. Pendugaan umur simpan

Pendugaan umur simpan ubi jalar dilakukan dengan mengacu pada hasil pengamatan dan pengukuran parameter mutu ubi jalar selama penyimpanan. Parameter mutu yang telah diukur selama penyimpanan akan dibandingkan dengan standar mutu ubi jalar untuk digunakan dalam menduga umur simpan ubi jalar.

D. Pengamatan

Pengamatan dan pengukuran dalam penelitian ini dilakukan untuk melihat perubahan mutu yang terjadi pada ubi jalar. Pengamatan dan pengukuran yang dilakukan antara lain terhadap parameter-parameter berikut.

1. Susut bobot

Susut bobot diukur untuk melihat besarnya penyusutan bobot umbi selama penyimpanan berlangsung. Peralatan yang digunakan untuk mengukur bobot umbi ubi jalar adalah timbangan digital dengan merk Mettler. Pengukuran susut bobot dilakukan tiap dua hari sekali, yaitu pada hari ke-2, ke-4, ke-6, ke-8, ke-10, ke-12, dan ke-14. Perhitungan susut bobot dilakukan per dua hari untuk melihat apakah terjadi perubahan nilai susut bobot untuk tiap dua hari selama penyimpanan. Perhitungan susut bobot yang digunakan adalah sebagai berikut.

Keterangan: mn-2 = Bobot hari ke-(n-2) (g) mn = Bobot hari ke-n (g)

% 100 (%)

2

2 

   n n n m m m bobot Susut


(23)

2. Kadar air

Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode oven. Pengukuran kadar air dilakukan tiap dua hari sekali, yaitu pada hari 2, 4, 6, 8, 10, ke-12, dan ke-14. Cawan yang akan digunakan ditimbang dengan timbangan analitik. Ubi jalar yang diukur kadar airnya diiris-iris kemudian diambil sebanyak 5-10 gram dan diletakkan ke dalam cawan. Cawan berisi 5-10 gram ubi jalar ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105oC selama 24 jam. Setelah selesai, cawan dikeluarkan dari oven, dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Perhitungan untuk menentukan kadar air adalah sebagai berikut.

Keterangan: a = massa cawan (g)

b = massa cawan dan ubi jalar sebelum dimasukkan dalam oven (g) c = massa cawan dan ubi jalar setelah dikeluarkan dari oven (g)

3. Kadar pati

Pati yang terkandung dalam ubi jalar merupakan salah satu parameter yang menentukan mutu ubi jalar. Pengukuran kadar pati dilakukan dengan Direct Acid Hydrolysis Method (AOAC, 1970 dalam Sudarmadji et al., 1997). Pengukuran kadar pati dilakukan setelah masa penyimpanan 14 hari.

4. Kekerasan

Kekerasan umbi ubi jalar diukur dengan menggunakan alat rheometer merk Sun Rheometer. Rheometer yang digunakan diatur pada mode 20, beban maksimum 10 kg, kedalaman penusukan 10 mm, kecepatan penurunan jarum 60 mm/menit, dan menggunakan jarum dengan diameter 5 mm. Pengukuran kekerasan dilakukan tiap 2 hari sekali, yaitu pada hari 2, 4, 6, 8, ke-10, ke-12, dan ke-14.

% 100 ) ( ) ( ) ( ) (%       a b a c a b bb air Kadar


(24)

5. Cacat pada umbi

Pengamatan terhadap terbentuknya cacat pada umbi yang disimpan dilakukan setiap 2 hari sekali, yaitu pada hari ke-2, ke-4, ke-6, ke-8, ke-10, ke-12, dan ke-14. Parameter untuk umbi cacat yang diamati pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:

a. Pertunasan

Pengamatan pertunasan dilakukan dengan mengamati kapan munculnya tunas pada umbi ubi jalar selama penyimpanan untuk tiap perlakuan yang diterapkan.

b. Kepoyoan

Pengamatan kepoyoan dilakukan dengan mengamati kapan terbentuknya poyo pada umbi ubi jalar selama penyimpanan untuk tiap perlakuan yang diterapkan.

c. Pembusukan

Pengamatan pembusukan dilakukan dengan mengamati kapan umbi ubi jalar menjadi busuk selama penyimpanan untuk tiap perlakuan yang diterapkan.

E. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dalam waktu (RAL-Factorial in Time), kecuali untuk pengamatan kadar pati. Rancangan yang digunakan untuk pengamatan kadar pati adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL-Faktorial). Rancangan yang digunakan memiliki 2 faktor dengan 3 kali ulangan perlakuan. Faktor-faktor yang digunakan antara lain sebagai berikut.

A : Jenis kemasan

A1 :Low density polyethylene(LDPE) A2 :High density polyethylene(HDPE) A3 : Polipropilen (PP)

A4 : Tanpa kemasan B : Suhu ruang penyimpanan

B1 : Suhu ruang (T= 27-29oC; RH= 85-90%) B2 : Suhu dingin (T= 15oC; RH= 75-85%)


(25)

Model dari RAL-Factorial in Time, seperti yang diungkapkan oleh Mattjik dan Sumertajaya (2002), adalah sebagai berikut:

Yijkl= µ +αi+βj+αβij+ ijk+ ωl+ kl+ αωil+ ωjl+α ωijl+ ijkl

dimana: Yijkl = nilai respon pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, ulangan ke-k, dan waktu pengamatan ke-l

µ = rataan umum

αi = pengaruh faktor A taraf ke-i

βj = pengaruh faktor B taraf ke-j

αβij = pengaruh interaksi faktor A dengan faktor B ijk = komponen acak perlakuan

ωl = pengaruh waktu pengamatan ke-l kl = komponen acak waktu pengamatan αωil = pengaruh interaksi waktu dengan faktor A

ωjl = pengaruh interaksi waktu dengan faktor B

α ωijl= pengaruh interaksi faktor A, faktor B dengan waktu ijkl = komponen acak dari interaksi waktu dengan perlakuan. Sementara untuk RAL, bentuk umumnya adalah sebagai berikut:

Yijk= µ +αi+βj+ (αβ)ij+ ijk

dimana: Yijk = pengamatan pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, dan ulangan ke-k

µ = rataan umum

αi = pengaruh utama faktor A

βj = pengaruh utama faktor B

αβij = komponen interaksi dari faktor A dan faktor B

ijk = pengaruh acak dari interaksi AB yang menyebar normal (0,σ2). Analisis statistik yang dilakukan adalah analisis ragam untuk melihat interaksi, kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan sebagai penentu beda nyata dari hasil perhitungan. Analisis ragam dilakukan dengan taraf nyata 5%. Pengolahan data statistik dilakukan dengan program SAS 9.1.


(26)

Gambar 10. Diagram alir tahapan penelitian. Analisis parameter mutu:

 Susut bobot  Kadar air  Kadar pati  Kekerasan  Cacat pada umbi

(pertunasan, kepoyoan, pembusukan)

Pendugaan umur simpan Penyimpanan

dalam kemasan plastik LDPE (T1= 27-29oC,

T2= 15oC) Penyimpanan

tanpa kemasan (T1= 27-29oC,

T2= 15oC)

Pengukuran bobot awal, kadar air awal, kadar pati awal, dan kekerasan awal.

Pengumpulan ubi jalar putih

Curing

(selama 6 hari pada suhu 27-29oC dan kelembaban 85-90%) Pembersihan

Sortasi

Penyimpanan dalam kemasan

plastik HDPE (T1= 27-29oC,

T2= 15oC)

Penyimpanan dalam kemasan

plastik PP (T1= 27-29oC,


(27)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengaruh Kemasan Plastik dan Suhu Penyimpanan Terhadap Susut Bobot

Susut bobot pada produk pertanian merupakan masalah pascapanen yang terkait dengan pemasaran. Dari segi ekonomi, banyak produk pertanian yang dipasarkan berdasarkan bobotnya. Terjadinya susut bobot dapat menyebabkan perubahan pada tampilan fisik produk sehingga produk tersebut tidak diminati oleh pasar. Selain tampilan fisik, susut bobot juga mengindikasikan terjadinya penurunan mutu pada produk yang ditunjukkan baik oleh perubahan tekstur maupun penurunan nilai gizi produk. Hal ini memperlihatkan bahwa selama pengolahan pascapanen, susut bobot sebaiknya dicegah sebagai upaya untuk mempertahankan mutu produk setelah panen.

Susut bobot terkait erat dengan kehilangan air dari produk. Selain kehilangan air, susut bobot juga dapat terjadi karena kehilangan berat kering ubi jalar. McCombs dan Pope (1958) dalam Anonim (1995) melaporkan bahwa kandungan berat kering ubi jalar menurun selama penyimpanan. Wilson et al. (1995) menyebutkan bahwa kehilangan air dari dalam produk merupakan salah satu penyebab utama penurunan mutu yang menjadikan produk tidak layak untuk dipasarkan.

Gambar 11 menunjukkan grafik susut bobot ubi jalar selama penyimpanan. Terlihat bahwa baik pada penyimpanan suhu ruang maupun suhu dingin, ubi jalar tanpa kemasan memiliki susut bobot yang jauh lebih tinggi daripada ubi jalar yang dikemas. Susut bobot yang rendah pada ubi jalar tanpa kemasan dapat menunjukkan bahwa uap air yang dihasilkan oleh ubi jalar, baik dari respirasi maupun transpirasi, tertahan oleh kemasan plastik. Uap air yang dihasilkan oleh ubi jalar tidak langsung dilepas ke udara namun ditahan oleh kemasan plastik. Uap air yang tertahan dapat diserap kembali oleh ubi jalar sehingga kehilangan air dari produk dapat dihindari. Sementara itu, ubi jalar tanpa kemasan mengalami susut bobot yang tinggi karena tidak ada yang menahan air dari ubi jalar sehingga uap air langsung dilepas ke udara di sekitarnya.


(28)

Wilson et al. (1995) menyebutkan bahwa kelembaban relatif, suhu produk dan lingkungan, serta laju udara merupakan faktor yang mempengaruhi kehilangan air dari produk. Salunkhe (1976) mengutarakan bahwa kehilangan air akan terjadi dengan cepat pada kelembaban relatif yang rendah dan sebaliknya akan lambat pada kelembaban relatif yang tinggi. Sementara itu, terkait dengan laju respirasi produk, Wilson et al. (1995) menyebutkan bahwa laju respirasi dari

0.7 1.2 1.7 2.2 2.7 3.2 3.7 4.2 tanpa kemasan; Suhu ruang tanpa kemasan; Suhu dingin 0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16 0.18 0.2

2 4 6 8 10 12 14

LDPE;Suhu ruang HDPE;Suhu ruang PP;Suhu ruang LDPE;Suhu dingin HDPE;Suhu dingin PP;Suhu dingin

Hari penyimpanan (hari ke-)

Gambar 11. Grafik susut bobot ubi jalar selama penyimpanan.

S u s u t b o b o t (% )


(29)

suatu produk secara langsung dipengaruhi oleh suhu, dimana semakin tinggi suhu maka laju respirasinya akan semakin tinggi.

Untuk ubi jalar tanpa kemasan, susut bobot yang lebih tinggi terjadi pada penyimpanan dalam suhu dingin. Pada suhu ruang rata-rata susut bobot tiap dua hari adalah 1.24% sedangkan pada suhu dingin 2.73%. Hal ini dapat terjadi karena kelembaban relatif pada suhu dingin lebih rendah daripada kelembaban relatif pada suhu ruang. Kelembaban relatif yang rendah mengakibatkan terjadinya kehilangan air yang lebih cepat karena udara yang mengelilinginya mengandung uap air dengan jumlah yang lebih sedikit daripada yang dapat ditampung pada suhu bersangkutan. Dengan begitu, uap air dari produk akan ditransfer dari produk ke udara yang lebih kering di sekitarnya.

Pada Gambar 11 terlihat bahwa pada penyimpanan suhu ruang ubi jalar dengan kemasan polipropilen (PP) mengalami susut bobot yang lebih rendah daripada kedua jenis kemasan lainnya. Ubi jalar dengan kemasan high density polyethylene(HDPE) danlow density polyethylene(LDPE) terlihat memiliki susut bobot yang relatif sama. Rata-rata susut bobot tiap dua hari pada suhu ruang untuk ubi jalar dengan kemasan PP, HDPE, dan LDPE berturut-turut adalah 0.09%, 0.11%, dan 0.11%.

Gambar 11 menunjukkan bahwa pada suhu dingin, berbeda dengan pada suhu ruang, ubi jalar dengan kemasan PP mengalami susut bobot yang relatif lebih tinggi daripada kedua jenis kemasan lainnya. Ubi jalar dengan kemasan HDPE mengalami susut bobot yang lebih rendah daripada LDPE. Rata-rata susut bobot tiap dua hari pada suhu dingin untuk ubi jalar dengan kemasan PP, HDPE, dan LDPE berturut-turut adalah 0.08%, 0.05%, dan 0.06%.

Gambar 11 menunjukkan bahwa untuk ubi jalar yang dikemas, terlihat bahwa susut bobot cenderung lebih tinggi pada suhu ruang daripada suhu dingin. Pada suhu yang lebih tinggi, laju respirasi juga akan lebih tinggi sehingga air yang dihasilkan juga lebih tinggi. Dengan begitu, air yang hilang dari produk lebih banyak daripada saat disimpan dalam suhu dingin. Sementara itu, susut bobot ubi jalar dengan kemasan LDPE yang relatif tinggi dapat pula disebabkan oleh permeabilitas O2 (Tabel 3) kemasan LDPE yang lebih tinggi daripada kedua


(30)

kemasan lainnya. Permeabilitas O2 yang tinggi memicu terjadinya respirasi sehingga uap air yang dihasilkan lebih banyak.

Sebagai produk pertanian, ubi jalar merupakan benda hidup yang setelah dipanen masih mengalami proses-proses fisiologis, diantaranya respirasi dan transpirasi. Saat proses-proses tersebut masih berlangsung, produk menghasilkan dan membutuhkan uap air serta berbagai macam gas. Kegiatan pertukaran uap air dan gas antara produk dengan lingkungan harus terjadi dengan baik sehingga proses-proses tersebut dapat tetap berlangsung. Saat ubi jalar dikemas dengan plastik, maka proses pertukaran uap air dan gas dari produk ke lingkungan, dan sebaliknya, akan melalui kemasan plastik tersebut.

Kehilangan air yang terjadi akibat uap air yang dilepaskan ke lingkungan menjadi salah satu penyebab susut bobot pada produk. Massey (2003) menyebutkan bahwa beberapa jenis plastik baik digunakan untuk menahan uap air sehingga transmisi uap air tidak terjadi melalui bahan tersebut. Pada Tabel 3 telah diberikan nilai yang menunjukkan tingkat transmisi uap air atau water vapour transmission rate(WVTR) dari plastik PP, LDPE, dan HDPE.

Nilai WVTR LDPE yang lebih tinggi daripada HDPE menunjukkan bahwa tingkat transmisi uap air saat melalui LDPE lebih besar daripada saat melalui HDPE. Pada suhu dingin, LDPE memiliki rata-rata susut bobot yang lebih tinggi daripada HDPE. Hal ini menunjukkan bahwa susut bobot yang lebih besar pada ubi jalar dalam kemasan LDPE dapat diakibatkan oleh kemampuan kemasan LDPE untuk melewatkan uap air lebih banyak ke udara daripada HDPE. Sementara pada suhu ruang, rata-rata susut bobot ubi jalar dalam kemasan LDPE sama dengan ubi jalar dalam kemasan HDPE. Hal ini dapat terjadi akibat adanya faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi kemampuan transmisi uap air plastik, seperti suhu, kelembaban, dan tekanan.

Kisaran WVTR yang cukup besar untuk kemasan PP memperlihatkan bahwa tingkat transmisi uap air pada PP dapat lebih rendah atau lebih tinggi daripada HDPE, namun tetap lebih rendah daripada LDPE. Pada penyimpanan suhu ruang, ubi jalar dalam kemasan PP terlihat memiliki rata-rata susut bobot yang lebih rendah daripada HDPE dan LDPE, yang mungkin diakibatkan oleh kemampuan transmisi uap air PP yang lebih rendah daripada HDPE dan LDPE.


(31)

Sementara pada suhu dingin, rata-rata susut bobot ubi jalar dalam kemasan PP lebih tinggi daripada ubi jalar dalam kemasan HDPE maupun LDPE. Pada ubi jalar dalam kemasan PP dan HDPE, hal tersebut dapat terjadi akibat kemasan PP memiliki nilai WVTR yang lebih rendah daripada HDPE. Pada kemasan PP dan LDPE, hal tersebut mungkin terjadi akibat pengaruh lingkungan, seperti suhu dan kelembaban ruang penyimpanan, terhadap kemampuan plastik dalam mentransmisikan uap air.

Hasil analisis ragam untuk susut bobot ditunjukkan pada Tabel 5 dan selengkapnya pada Lampiran 6. Terlihat bahwa dengan menggunakan taraf 5%, nilai Pr > F untuk jenis kemasan dan suhu penyimpanan jauh lebih kecil daripada 5%. Ini berarti bahwa jenis kemasan dan suhu penyimpanan berpengaruh sangat nyata terhadap susut bobot. Uji lanjut berupa uji Duncan untuk jenis kemasan dan suhu penyimpanan terdapat pada Tabel 6 dan 7.

Tabel 5. Analisis ragam susut bobot

Source Pr > F

Jenis kemasan <.0001

Suhu penyimpanan <.0001

Jenis kemasan*Suhu penyimpanan <.0001

r(Jenis kemasan*Suhu penyimpanan) <.0001

Hari penyimpanan <.0001

r(Hari penyimpanan) 0.5776

Jenis penyimpanan*Hari penyimpanan <.0001

Suhu penyimpanan*Hari penyimpanan <.0001


(32)

Tabel 6. Uji Duncan jenis kemasan untuk susut bobot Duncan Grouping Mean N Jenis kemasan

A 1.983 42 Tanpa kemasan

B 0.085 42 LDPE

B

B 0.084 42 PP

B

B 0.079 42 HDPE

Ket: Nilai rata-rata dengan huruf (A, B) yang sama menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaanP≤0.05.

Tabel 7. Uji Duncan suhu penyimpanan untuk susut bobot Duncan Grouping Mean N Suhu penyimpanan

A 0.730 84 Suhu dingin

B 0.386 84 Suhu ruang

Ket: Nilai rata-rata dengan huruf (A, B) yang sama menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaanP≤0.05.

Dari uji Duncan, terlihat bahwa untuk jenis kemasan, ubi jalar yang disimpan tanpa kemasan memiliki susut bobot yang berbeda nyata dengan jenis kemasan yang lain. Ubi jalar tanpa kemasan berbeda nyata dalam menghasilkan susut bobot yang paling tinggi. Sementara itu, untuk suhu penyimpanan, terlihat bahwa penyimpanan pada suhu ruang berbeda nyata dengan penyimpanan pada suhu dingin.

Dalam Tabel 5, dapat dilihat pula bahwa interaksi antara jenis kemasan, suhu penyimpanan, dan hari penyimpanan adalah sangat nyata untuk susut bobot. Uji lanjut berupa uji Duncan untuk interaksi tersebut dapat dilihat pada Tabel 8 dan selengkapnya dalam Lampiran 7. Uji Duncan yang dilakukan menunjukkan bahwa rata-rata susut bobot ubi jalar terbesar terjadi pada interaksi tanpa kemasan di suhu dingin pada hari ke-4. Interaksi tersebut paling berbeda nyata dengan interaksi yang lain dimana selain interaksi tersebut, semua interaksi tidak berbeda nyata untuk nilai susut bobot ubi jalar yang disimpan.


(33)

Tabel 8. Uji Duncan interaksi antara jenis kemasan, suhu penyimpanan, dan hari penyimpanan untuk susut bobot

Jenis Kemasan

Penyimpanan Suhu LDPE HDPE PP Tanpa kemasan

Hari ke-2 Ruang 0.09h 0.09h 0.08h 1.19defg

Dingin 0.14h 0.12h 0.18h 3.14b

Hari ke-4 Ruang 0.10h 0.11h 0.07h 2.00c

Dingin 0.01h 0.01h 0.03h 4.06a

Hari ke-6 Ruang 0.11h 0.08h 0.07h 1.36def

Dingin 0.04h 0.03h 0.08h 2.83b

Hari ke-8 Ruang 0.13h 0.12h 0.10h 1.44de

Dingin 0.07h 0.06h 0.05h 3.25b

Hari ke-10 Ruang 0.09h 0.11h 0.09h 0.98efg

Dingin 0.05h 0.06h 0.06h 2.14c

Hari ke-12 Ruang 0.11h 0.11h 0.09h 0.83g

Dingin 0.02h 0.01h 0.06h 1.65cd

Hari ke-14 Ruang 0.12h 0.13h 0.11h 0.90fg

Dingin 0.12h 0.08h 0.11h 2.02c

RATA-RATA Ruang 0.11 0.11 0.09 1.24

Dingin 0.06 0.05 0.08 2.73

Ket: Nilai rata-rata dengan subscript (a, b, c, d, e, f, g, h) yang sama menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaanP≤0.05.

B. Pengaruh Kemasan Plastik dan Suhu Penyimpanan Terhadap Kadar Air

Kadar air, menurut Heddy (1994), sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan. Disebutkan pula oleh Heddy (1994) bahwa kandungan air sangat berpengaruh terhadap konsistensi bahan pangan dimana sebagian besar bahan pangan segar mempunyai kadar air 70% atau lebih. Kadar air juga berkaitan dengan tingkat kesegaran dari bahan pangan. Jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi umur simpan suatu produk (Hall, 1980). Ubi jalar merupakan salah satu jenis produk pertanian dengan kadar air tinggi saat di panen. Kadar air dalam ubi jalar merupakan salah satu faktor penentu mutu ubi jalar. Dengan begitu, kadar air dalam ubi jalar perlu dipertahankan.

Gambar 12 merupakan grafik kadar air ubi jalar selama penyimpanan berturut. Terlihat bahwa pada penyimpanan suhu ruang, ubi jalar tanpa kemasan selama penyimpanan memiliki kadar air yang tidak selalu lebih rendah


(34)

ubi jalar yang tidak dikemas lebih rendah daripada ubi jalar yang dikemas. Kadar air ubi jalar pada akhir penyimpanan untuk ubi jalar tanpa kemasan adalah 62.85%, sedangkan untuk ubi jalar dengan kemasan PP, HDPE, dan LDPE berturut-turut adalah 65.76%, 64.55%, dan 66.46%.

Pada penyimpanan suhu dingin, ubi jalar tanpa kemasan memiliki kadar air yang lebih rendah daripada ubi jalar yang dikemas. Pada akhir penyimpanan, kadar air ubi jalar tanpa kemasan adalah 59.14%, sedangkan untuk ubi jalar dengan kemasan PP, HDPE, dan LDPE berturut-turut adalah 63.59%, 66.07%, dan 65.00%.

Gambar 12. Grafik kadar air ubi jalar selama penyimpanan.

Sebagai salah satu faktor mutu ubi jalar, maka kadar air dalam ubi jalar harus diperhatikan dengan baik. Nilainya yang harus diperhatikan menuntut adanya perlakuan-perlakuan khusus yang perlu diterapkan untuk mendapatkan kondisi lingkungan yang mendukung terjaganya kandungan air dalam produk. Pengendalian faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban menjadi salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menjaga kadar air suatu produk.

Salunkhe (1976) menyebutkan bahwa kelembaban relatif yang direkomendasikan untuk suatu produk sebaiknya dipertahankan saat berada dalam ruang penyimpanan. Pada penelitian ini, ruang penyimpanan dengan suhu dingin memiliki kelembaban relatif yang lebih rendah daripada penyimpanan suhu ruang. Hal tersebutdapat menyebabkan tingkat kehilangan uap air yang lebih tinggi pada ubi jalar dalam suhu dingin daripada ubi jalar dalam suhu ruang.

52 54 56 58 60 62 64 66 68 70 72

0 2 4 6 8 10 12 14

LDPE; Suhu ruang

HDPE; Suhu ruang

PP; Suhu ruang

tanpa kemasan; Suhu ruang LDPE; Suhu dingin

HDPE; Suhu dingin

PP; Suhu dingin

tanpa kemasan; Suhu dingin K a d a r a ir (% b b )


(35)

Pada Gambar 12, dapat dilihat bahwa kadar air ubi jalar tanpa kemasan lebih rendah saat disimpan dalam suhu dingin daripada dalam suhu ruang. Hal ini dapat menunjukkan bahwa tingkat kehilangan air dari ubi jalar pada suhu dingin lebih tinggi daripada ubi jalar dalam suhu ruang.

Untuk ubi jalar dengan kemasan plastik, nilai kadar air ubi jalar cenderung lebih tinggi saat disimpan dalam suhu dingin daripada suhu ruang. Hal ini dapat disebabkan oleh suhu ruang yang lebih tinggi memicu laju respirasi yang lebih tinggi sehingga air yang dihasilkan lebih banyak. Kadar air yang lebih tinggi pada ubi jalar dalam kemasan plastik menunjukkan bahwa kemasan plastik dapat digunakan untuk mempertahankan kadar air ubi jalar. Kemasan plastik yang digunakan menahan uap air sehingga air dari dalam umbi tidak hilang ke udara.

Untuk mempertahankan kadar air suatu produk berarti menghindari kehilangan air dari suatu produk. Hal ini terkait dengan dengan susut bobot, dimana nilai susut bobot sangat dipengaruhi oleh besarnya kehilangan air dari dalam produk. Terjaganya kadar air dalam suatu produk dapat memperkecil nilai susut bobot. Pada Gambar 12 terlihat bahwa ubi jalar dengan kemasan plastik, baik dalam suhu ruang maupun suhu dingin, pada akhir masa penyimpanan memiliki kadar air lebih tinggi daripada ubi jalar tanpa kemasan. Sementara pada Gambar 11, terlihat pula bahwa pada kedua suhu penyimpanan, ubi jalar dengan kemasan plastik memiliki susut bobot yang lebih rendah daripada ubi jalar tanpa kemasan.

Hasil analisis ragam untuk kadar air ditunjukkan pada Tabel 9 dan selengkapnya pada Lampiran 8. Terlihat bahwa untuk jenis kemasan nilai Pr > F jauh lebih kecil daripada 5% sedangkan suhu penyimpanan memiliki nilai Pr > F yang lebih besar dari 5%. Ini berarti bahwa pengaruh jenis kemasan terhadap kadar air adalah sangat nyata sementara pengaruh suhu penyimpanan tidak nyata. Uji lanjut berupa uji Duncan untuk jenis kemasan terdapat pada Tabel 10.

Uji Duncan memperlihatkan bahwa untuk jenis kemasan, ubi jalar yang disimpan tanpa kemasan memiliki kadar air yang berbeda nyata dengan jenis kemasan yang lain. Ubi jalar yang tanpa kemasan berbeda nyata dalam menghasilkan kadar air yang paling rendah.


(36)

Tabel 9. Analisis ragam kadar air

Source Pr > F

Jenis kemasan <.0001

Suhu penyimpanan 0.9021

Jenis kemasan*Suhu penyimpanan 0.0002

r(Jenis kemasan*Suhu penyimpanan) 0.9694

Hari penyimpanan 0.5494

r(Hari penyimpanan) 0.9296

Jenis penyimpanan*Hari penyimpanan 0.1585

Suhu penyimpanan*Hari penyimpanan 0.4781

Jenis kemasan*Suhu penyimpanan*Hari penyimpanan 0.2119

Tabel 10. Uji Duncan jenis kemasan untuk kadar air Duncan Grouping Mean N Jenis kemasan

A 64.523 42 HDPE

A

A 64.463 42 PP

A

A 64.012 42 LDPE

B 61.812 42 Tanpa kemasan

Ket: Nilai rata-rata dengan huruf (A, B) yang sama menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaanP≤0.05.

Dalam Tabel 9, dapat dilihat pula bahwa interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan adalah sangat nyata untuk kadar air. Uji Duncan untuk interaksi tersebut dapat dilihat pada Tabel 11 dan selengkapnya dalam Lampiran 9. Uji Duncan yang dilakukan nenunjukkan bahwa rata-rata terendah kadar air ubi jalar terjadi pada interaksi tanpa kemasan di suhu dingin. Interaksi tersebut paling berbeda nyata dengan interaksi yang lain dimana selain interaksi tersebut, semua interaksi tidak berbeda nyata untuk kadar air ubi jalar yang disimpan.


(37)

Tabel 11. Uji Duncan interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan untuk kadar air

Jenis Kemasan

Penyimpanan Suhu LDPE HDPE PP Tanpa kemasan

Hari ke-2 Ruang 64.28 63.92 61.43 63.18

Dingin 64.70 66.44 64.78 63.69

Hari ke-4 Ruang 64.36 66.94 61.67 63.73

Dingin 62.38 65.34 67.41 62.19

Hari ke-6 Ruang 63.54 62.81 63.67 63.41

Dingin 65.92 64.13 63.96 61.37

Hari ke-8 Ruang 63.32 63.62 63.05 62.74

Dingin 63.07 63.85 68.34 54.63

Hari ke-10 Ruang 62.79 64.40 64.08 64.23

Dingin 62.82 61.75 64.43 62.69

Hari ke-12 Ruang 62.23 65.08 63.08 63.21

Dingin 65.29 64.41 67.23 58.31

Hari ke-14 Ruang 66.46 64.55 65.76 62.85

Dingin 65.00 66.07 63.59 59.14

RATA-RATA Ruang 63.85b 64.48ab 63.25b 63.34b

(untuk uji Duncan) Dingin 63.94ab 64.57ab 65.68a 60.29c

Ket: Nilai rata-rata dengan subscript (a, b, c) yang sama menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaanP≤0.05.

C. Pengaruh Kemasan Plastik dan Suhu Penyimpanan Terhadap Kadar Pati

Salah satu kandungan yang penting dalam ubi jalar adalah pati. Tingginya kandungan pati dalam ubi jalar adalah salah satu pertimbangan dalam menjadikan ubi jalar sebagai salah satu alternatif bahan pangan. Pati dalam ubi jalar juga berpotensi unuk dijadikan berbagai jenis bahan pangan turunan. Pati yang diekstrak dari ubi jalar umumnya disimpan dalam bentuk tepung yang selanjutnya dapat digunakan untuk membuat berbagai macam panganan. Pengaruh kemasan plastik selama penyimpanan ubi jalar terhadap kadar pati ubi jalar terlihat dalam Gambar 13.

Gambar 13 memperlihatkan grafik kadar pati ubi jalar setelah penyimpanan 14 hari. Dari grafik dapat dilihat bahwa ubi jalar yang disimpan pada suhu ruang memiliki kadar pati yang lebih tinggi daripada ubi jalar yang disimpan pada suhu dingin. Hal ini terjadi baik pada ubi jalar dengan kemasan plastik maupun pada ubi jalar tanpa kemasan.


(38)

Gambar 13. Grafik kadar pati ubi jalar setelah penyimpanan 14 hari.

Ubi jalar yang disimpan dengan LDPE terlihat memiliki kadar pati yang lebih tinggi saat disimpan dalam suhu ruang daripada dalam suhu dingin. Selisih antara kadar pati ubi jalar dengan LDPE pada suhu ruang dan suhu dingin cukup besar. Hal serupa juga tampak pada ubi jalar dengan kemasan HDPE. Ubi jalar dengan kemasan HDPE dalam suhu ruang memiliki kadar pati yang lebih tinggi daripada ubi jalar dalam suhu dingin. Selisih antara kadar pati ubi jalar pada suhu ruang dengan suhu dingin juga terlihat cukup besar. Sementara itu, untuk ubi jalar yang dikemas dengan PP, meskipun kadar pati dalam suhu ruang lebih tinggi daripada dalam suhu dingin, tetapi selisih diantaranya bernilai kecil.

Gambar 13 memperlihatkan bahwa baik pada suhu ruang maupun suhu dingin, kadar pati ubi jalar dengan kemasan PP lebih tinggi daripada ubi jalar dengan kemasan HDPE dan LDPE sementara kadar pati ubi jalar dengan kemasan HDPE lebih tinggi daripada ubi jalar dengan LDPE. Pada kedua suhu penyimpanan, dapat dilihat pula bahwa ubi jalar tanpa kemasan memiliki kadar pati yang tinggi. Pada suhu ruang, kadar pati ubi jalar tanpa kemasan lebih tinggi daripada ubi jalar dengan kemasan LDPE dan HDPE, meskipun lebih rendah daripada ubi jalar dengan kemasan PP. Sedangkan pada suhu dingin, ubi jalar tanpa kemasan memiliki kadar pati yang lebih tinggi daripada ubi jalar dengan ketiga jenis kemasan plastik yang digunakan.

28.15 28.565 29.58 28.63 22.995 23.77 28.06 28.26 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34

LDPE HDPE PP tanpa kemasan

Suhu ruang Suhu dingin K a d a r p a ti (% ) Jenis kemasan


(39)

Winarno dan Aman (1973) dalam Kiswanto (2005) menyebutkan bahwa respirasi pada dasarnya merupakan oksidasi enzimatik pada senyawa makromolekul seperti gula, protein, pati, dan lemak hingga dihasilkan CO2 dandan H2O yang disertai dengan pembebasan energi atau panas dalam bentuk ATP. Pada Gambar 14 terlihat bahwa ubi jalar dalam kemasan PP memiliki kadar pati yang lebih tinggi daripada ubi jalar dalam kedua kemasan lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh permeabilitas O2(Tabel 3) kemasan PP yang lebih kecil daripada kedua kemasan lainnya. Permeabilitas O2 yang lebih rendah mengakibatkan respirasi yang terjadi lebih sedikit sehingga oksidasi enzimatis senyawa pati lebih rendah. Dengan begitu kadar patinya tetap tinngi.

Winarno (2002) menyebutkan bahwa umbi-umbian merupakan sumber pati. Heddy (1994) menyebutkan bahwa pati di dalam tanaman dapat merupakan sebagai cadangan makanan. Kadar pati dalam ubi jalar menjadi salah satu parameter dalam penentuan mutu ubi jalar. Dengan mempertahankan kadar pati dalam ubi jalar berarti turut mempertahankan mutu ubi jalar. Ubi jalar dengan kandungan pati tinggi akan diminati oleh pasar dan dilihat sebagai produk bermutu dengan kandungan gizi yang mencukupi.

Hasil analisis ragam untuk kadar pati tertera pada Tabel 12 dan selengkapnya terlampir dalam Lampiran 10. Dalam tabel tersebut terlihat bahwa nilai Pr > F untuk jenis kemasan dan suhu penyimpanan sama-sama lebih rendah dari 5%. Ini menunjukkan bahwa baik jenis kemasan maupun suhu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap kadar pati. Uji Duncan untuk jenis kemasan terdapat pada Tabel 13 sementara untuk suhu penyimpanan pada Tabel 14.

Dari uji Duncan, terlihat bahwa untuk jenis kemasan, ubi jalar yang disimpan dengan kemasan HDPE dan LDPE memiliki kadar pati yang berbeda nyata dengan jenis kemasan yang lain. Ubi jalar dengan kemasan HDPE dan LDPE berbeda nyata dalam menghasilkan kadar air yang lebih rendah daripada jenis kemasan lain. Sementara itu, untuk suhu penyimpanan, terlihat bahwa penyimpanan pada suhu ruang berbeda nyata dengan penyimpanan pada suhu dingin dimana suhu ruang mengahasilkan kadar pati yang lebih tinggi daripada suhu dingin.


(40)

Pada Tabel 12 juga terlihat bahwa interaksi antara jenis kemasan dengan suhu penyimpanan adalah sangat nyata. Uji Duncan untuk interaksi ini dapat dilihat pada Tabel 15 dan selengkapnya pada Lampiran 11.

Tabel 12. Analisis ragam kadar pati Source Pr > F

Jenis kemasan <.0001

Suhu penyimpanan <.0001

Jenis kemasan*Suhu penyimpanan <.0001

Tabel 13. Uji Duncan jenis kemasan untuk kadar pati Duncan Grouping Mean N Jenis kemasan

A 28.820 4 PP

A

A 28.445 4 Tanpa kemasan

B 26.168 4 HDPE

C 25.573 4 LDPE

Ket: Nilai rata-rata dengan huruf (A, B, C) yang sama menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan P 0.05.

Tabel 14. Uji Duncan suhu penyimpanan untuk kadar pati Duncan Grouping Mean N Suhu penyimpanan

A 28.7313 8 Suhu ruang

B 25.7713 8 Suhu dingin

Ket: Nilai rata-rata dengan huruf (A, B) yang sama menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaanP≤0.05.

Uji Duncan menunjukkan bahwa terjadi tiga interaksi yang berbeda nyata bagi kadar pati ubi jalar. Interaksi-interaksi tersebut yaitu interaksi antara kemasan PP pada suhu ruang, interaksi kemasan HDPE pada suhu dingin, dan interaksi kemasan LDPE pada suhu dingin. Interaksi antara kemasan PP pada suhu ruang


(41)

menghasilkan kadar pati paling tinggi sementara interaksi kemasan HDPE pada suhu dingin dan interaksi kemasan LDPE pada suhu dingin menghasilkan kadar pati yang lebih rendah daripada interaksi lainnya.

Tabel 15. Uji Duncan interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan untuk kadar pati

Jenis Kemasan

Penyimpanan Suhu LDPE HDPE PP Tanpa kemasan

Hari ke-14 Ruang 28.15b 28.56b 29.58a 28.63b

(rata-rata) Dingin 22.99d 23.77c 28.06b 28.26b

Ket: Nilai rata-rata dengansubscript (a, b, c, d)yang sama menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaanP≤0.05.

D. Pengaruh Kemasan Plastik dan Suhu Penyimpanan Terhadap Kekerasan

Kekerasan terkait dengan kualitas tekstural suatu produk. Pantastico (1986) menyebutkan bahwa tekstur buah-buahan dan sayur-sayuran amat bervariasi dimana tekstur tersebut bergantung pada ketegangan, ukuran, bentuk, keterikatan sel-sel, adanya jaringan penunjang, dan susunan tanamannya. Gambar 14 memperlihatkan grafik kekerasan ubi jalar selama penyimpanan pada suhu ruang dan suhu dingin.

Dalam Gambar 14 terlihat bahwa pada kedua suhu penyimpanan, ubi jalar tanpa kemasan cenderung memiliki kekerasan yang lebih rendah daripada ubi jalar dengan kemasan plastik. Muthmainnah (2008) menyebutkan bahwa tingginya penurunan kekerasan dipengaruhi oleh tingginya susut bobot dan tingkat kerusakan mekanis yang terjadi. Kekerasan pada ubi jalar tanpa kemasan yang cenderung lebih rendah daripada kekerasan ubi jalar dengan kemasan plastik dapat terkait dengan kehilangan air yang terjadi selama penyimpanan. Kehilangan air dari produk turut dalam meningkatkan susut bobot produk tersebut. Ubi jalar tanpa kemasan memiliki susut bobot yang lebih tinggi daripada ubi jalar dengan kemasan plastik (Gambar 11) sehingga kekerasan ubi jalar tanpa kemasan lebih rendah daripada ubi jalar dengan kemasan plastik.


(42)

Gambar 14. Grafik kekerasan ubi jalar selama penyimpanan.

Pada akhir penyimpanan, kekerasan ubi jalar tanpa kemasan dalam suhu ruang adalah 5.82 kgf sementara kekerasan ubi jalar dengan kemasan PP, HDPE, dan LDPE berturut-turut adalah 6.36 kgf, 6.44 kgf, dan 6.67 kgf. Sedangkan dalam suhu dingin, kekerasan ubi jalar tanpa kemasan pada akhir penyimpanan adalah 5.02 kgf sementara kekerasan ubi jalar dengan kemasan PP, HDPE, dan LDPE berturut-turut adalah 6.26 kgf, 6.51 kgf, dan 6.67 kgf. Terlihat bahwa baik pada suhu ruang maupun suhu dingin, ubi jalar dengan kemasan LDPE memiliki kekerasan yang paling tinggi diantara ubi jalar dengan kemasan plastik, diikuti oleh ubi jalar dengan kemasan HDPE kemudian PP. Terlihat pula bahwa kisaran nilai kekerasan ubi jalar dengan kemasan plastik pada suhu ruang tidak berbeda jauh dengan nilai kekerasan ubi jalar pada suhu dingin.

Pantastico (1986) menyebutkan bahwa selama penyimpanan, turunnya ketegaran disebabkan oleh pembongkaran protopektin yang tak larut menjadi asam pektat dan pektin yang lebih mudah larut. Sementara Rajagukguk (2002) menyebutkan bahwa proses pelunakan dapat disebabkan oleh terdegradasinya pati dalam bahan, terutama untuk bahan yang mengandung pati dalam jumlah tinggi seperti ubi jalar. Salunkhe (1976) menyatakan bahwa apabila kehilangan air, atau transpirasi, apabila tidak dicegah, maka produk akan menjadi lisut, keras, atau lunak, sehingga tidak layak konsumsi.

Hari penyimpanan (hari ke-)

K e k e ra s a n (k g f) 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 7.5 8

0 2 4 6 8 10 12 14

LDPE; Suhu ruang

HDPE; Suhu ruang

PP; Suhu ruang

tanpa kemasan; Suhu ruang

LDPE; Suhu dingin

HDPE; Suhu dingin

PP; Suhu dingin


(43)

Hasil analisis ragam untuk kekerasan ditunjukkan pada Tabel 16 dan selengkapnya pada Lampiran 12. Terlihat bahwa untuk jenis kemasan nilai Pr > F jauh lebih kecil daripada 5% sedangkan suhu penyimpanan memiliki nilai Pr > F yang lebih besar dari 5%. Ini berarti bahwa pengaruh jenis kemasan terhadap kadar air adalah sangat nyata sementara pengaruh suhu penyimpanan tidak nyata. Uji lanjut berupa uji Duncan untuk jenis kemasan terdapat pada Tabel 17.

Tabel 16. Analisis ragam kekerasan

Source Pr > F

Jenis kemasan <.0001

Suhu penyimpanan 0.3470

Jenis kemasan*Suhu penyimpanan 0.0169

r(Jenis kemasan*Suhu penyimpanan) 0.8856

Hari penyimpanan 0.0034

r(Hari penyimpanan) 0.3130

Jenis penyimpanan*Hari penyimpanan 0.0002

Suhu penyimpanan*Hari penyimpanan 0.1938

Jenis kemasan*Suhu penyimpanan*Hari penyimpanan 0.0071

Tabel 17. Uji Duncan jenis kemasan untuk kekerasan Duncan Grouping Mean N Jenis kemasan

A 6.144 42 HDPE

A

A 6.141 42 LDPE

B 5.916 42 PP

C 5.339 42 Tanpa kemasan

Ket: Nilai rata-rata dengan huruf (A, B, C) yang sama menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan P 0.05.


(44)

berbeda nyata dengan jenis kemasan yang lain. Ubi jalar tanpa kemasan dan ubi jalar dengan kemasan PP berbeda nyata dalam menghasilkan kekerasan yang lebih rendah daripada jenis kemasan lainnya.

Tabel 18. Uji Duncan interaksi antara jenis kemasan, suhu penyimpanan, dan hari penyimpanan untuk kekerasan

Jenis Kemasan

Penyimpanan Suhu LDPE HDPE PP Tanpa kemasan

Hari ke-2 Ruang 5.93bcdefghij 6.02bcdefghi 5.80bcdefghij 5.42defghijk

Dingin 5.89bcdefghij 6.20bcdefg 4.93jkl 5.31efghijk

Hari ke-4 Ruang 5.99bcdefghij 5.64bcdefghijk 6.16bcdefgh 5.13ghijkl

Dingin 5.74bcdefghijk 6.54bc 6.04bcdefghi 4.28lm

Hari ke-6 Ruang 6.21bcdefg 6.22bcdefg 5.80bcdefghij 5.20fghijkl

Dingin 6.02bcdefghi 6.25bcdef 6.07bcdefghi 4.71klm

Hari ke-8 Ruang 6.02bcdefghi 5.67bcdefghijk 5.97bcdefghij 5.89bcdefghij

Dingin 6.33bcde 6.13bcdefgh 5.54cdefghijk 7.51a

Hari ke-10 Ruang 5.82bcdefghij 6.10bcdefghi 6.14bcdefgh 5.99bcdefghij

Dingin 6.31bcde 6.25bcdef 6.24bcdef 3.82m

Hari ke-12 Ruang 6.39bcde 5.84bcdefghij 5.71bcdefghijk 5.52cdefghijk

Dingin 5.99bcdefghij 6.19bcdefgh 5.86bcdefghij 5.11hijkl

Hari ke-14 Ruang 6.67ab 6.44bcd 6.36bcde 5.82bcdefghij

Dingin 6.67ab 6.51bcd 6.26bcdef 5.02ijkl

Ket: nilai rata-rata dengansubscript(a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k, l, m)yang sama menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaanP≤0.05.

Pada Tabel 16, terlihat pula bahwa interaksi antara jenis kemasan, suhu penyimpanan, dan hari penyimpanan adalah sangat nyata untuk kekerasan. Uji lanjutan berupa uji Duncan yang dilakukan untuk interaksi ketiga faktor bersangkutan dapat dilihat pada Tabel 18 dan selengkapnya dalam Lampiran 13. Uji Duncan menghasilkan analisis yang menyatakan bahwa adanyasubscriptyang sama pada semua interaksi menunjukkan bahwa semua interaksi tidak berbeda nyata untuk nilai kekerasan ubi jalar.

E. Pengaruh Kemasan Plastik dan Suhu Penyimpanan Terhadap

Kemunculan Cacat Pada Umbi

Cacat pada produk pertanian merupakan salah satu faktor yang sangat merugikan bagi pemasaran produk tersebut. Tidak hanya dari segi tampilan fisik, cacat pada produk pun akan mempengaruhi produk dari segi mutu. Dengan begitu,


(45)

cacat pada produk harus dihindari dan dicegah agar produk tetap layak untuk dipasarkan. Pada ubi jalar, cacat pada umbi dapat disebabkan oleh faktor mekanis, kimiawi, maupun biologis. Kerusakan akibat pengaruh mekanis seperti benturan, goresan, maupun retakan dapat mengarah kepada kerusakan lain seperti pembusukan dan pencemaran oleh mikroorganisme yang tidak diinginkan. Dalam penelitian ini, pengamatan kemunculan cacat pada urbi dilakukan berdasarkan tiga parameter, yaitu pertunasan, kepoyoan, dan pembusukan.

1. Pertunasan

Pantastico (1986) mengungkapkan bahwa pertunasan dapat menjadi sumber kerusakan yang parah. Disebutkan pula oleh Pantastico (1986) bahwa pertunasan berhubungan dengan dormansi dan istirahat, dimana dormansi adalah keadaan inaktif yang diseabkan oleh faktor-faktor dalam maupun luar sementara istirahat adalah peristiwa tak timbulnya pertunasan meskipun keadaan lingkungannya menguntungkan. Ubi jalar merupakan produk pertanian yang tidak mengenal keadaan istirahat, dengan demikian potensi terjadinya pertunasan setelah panen menjadi lebih besar.

Gambar 15 merupakan grafik kemunculan tunas pada ubi jalar selam penyimpanan. Terlihat bahwa tunas lebih cepat muncul pada penyimpanan suhu ruang ketimbang pada penyimpanan suhu dingin. Terlihat pula bahwa pada penyimpanan suhu ruang, tunas pada ubi jalar yang dikemas muncul lebih cepat daripada ubi jalar yang tidak dikemas.


(46)

Tumbuhnya tunas dapat dipacu oleh kondisi berupa kelembaban yang tinggi. Kemunculan tunas yang lebih cepat terjadi pada suhu ruang dapat disebabkan oleh kondisi kelembabannya. Pada penyimpanan suhu ruang, kelembaban relatif ruang penyimpanannya lebih tinggi daripada ruang penyimpanan dengan suhu dingin. Oleh karena itu, pertunasan lebih cepat terjadi pada peyimpana suhu ruang. Sementara kemunculan tunas yang lebih cepat pada ubi jalar yang dikemas dapat disebabkan oleh tertahannya uap air oleh kemasan plastik sehingga kelembaban dalam kemasan menjadi lebih tinggi dan memacu terbentuknya tunas. Gambar 16 merupakan gambar tunas yang muncul pada umbi ubi jalar.

Gambar 16.Tunas pada umbi ubi jalar.

2. Kepoyoan

Kepoyoan, oleh Syarief dan Halid (1993), disebut sebagai warna kecoklatan yang disebabkan oleh aktivitas enzim polifenolase yang terdapat pada lendir ubi, yang akan membentuk warna coklat jika kontak dengan udara. Munculnya kepoyoan pada umbi ubi jalar akan mempengaruhi penilaian mutu ubi jalar dari segi tampilan fisiknya sehingga dapat mengurangi minat konsumen saat pemasaran.

Gambar 17 merupakan grafik kemunculan poyo pada ubi jalar selama penyimpanan. Terlihat bahwa kepoyoan pada ubi jalar muncul lebih cepat pada ubi jalar yang disimpan pada suhu dingin daripada suhu ruang. Dapat dilihat pula bahwa baik pada suhu dingin maupun suhu ruang, kepoyoan lebih cepat terbentuk pada ubi jalar tanpa kemasan. Terjadinya hal ini dapat


(47)

disebabkan oleh kondisi lingkungan penyimpanan yang memudahkan terjadinya kontak umbi dengan udara.

Gambar 17. Grafik kemunculan poyo pada ubi jalar.

Pada penyimpanan suhu dingin, kelembaban relatif ruang penyimpanan yang lebih rendah daripada penyimpanan suhu ruang menjadikan ruang tersebut lebih kering. Dengan begitu kontak umbi dengan udara lebih mungkin untuk terjadi sehingga memicu terbentuknya warna coklat pada umbi.


(48)

Pada ubi jalar yang tidak dikemas, kepoyoan muncul lebih cepat akibat kontak langsung umbi dengan udara. Kemasan plastik pada ubi jalar yang dikemas menyebabkan terhalangnya kontak umbi dengan udara bebas sehingga dapat memperlambat munculnya kepoyoan pada umbi. Pada Gambar 18 diberikan gambar umbi yang telah mengalami kepoyoan.

3. Pembusukan

Pembusukan pada produk pertanian dapat disebabkan oleh kondisi yang memungkinkan mikroorganisme untuk berkembang pada produk. Kerusakan mekanis seperti tergores, pecah, atau memar dapat memicu pertumbuhan mikroba-mikroba pada produk. Heddy (1994) mengungkapkan bahwa mikroba penyebab kebusukan pangan dapat ditemukan di mana saja, baik di tanah, air, udara, serta di atas permukaan kulit buah-buahan, sayur-sayuran, biji-bijian, dan kacang-kacangan. Kelembaban relatif yang tinggi juga dapart menjadi pemicu pertumbuhan mikroba, meskipun kelembaban relatif yang tinggi diperlukan untuk mencegah terjadinya pengeriputan dan susut bobot produk (Salunkhe, 1976).

Selama 14 hari penyimpanan ubi jalar, pembusukan pada umbi ubi jalar tidak terjadi. Beberapa faktor yang memungkinkan hal ini terjadi diantaranya terkait kegiatan pra penyimpanan yang dilakukan. Sebelum penyimpanan dilakukan, ubi jalar terlebih dahulu melalui proses curing, dimana pada proses tersebut, luka-luka pada umbi akibat kerusakan mekanis disembuhkan melalui pembentukan lapisan gabus (periderm) pada umbi. Selain itu, pada proses pemilihan, umbi yang dipilih merupakan umbi-umbi yang bersih dan sedapat mungkin terbebas dari hama, penyakit, maupun luka-luka mekanis. Dengan begitu pencegahan terhadap umbi yang buruk telah dilakukan dari saat sebelum penyimpanan dilakukan.

F. Pendugaan Umur Simpan

Umur simpan suatu bahan pertanian terkait erat dengan mutunya. Saat degradasi mutu telah mulai terjadi, maka hal tersebut mengindikasikan bahwa umur simpan produk bersangkutan telah berkurang. Salah satu standar mutu yang


(49)

dapat digunakan sebagai pertimbangan nilai mutu ubi jalar adalah SNI 01-4493-1998. Pendugaan umur simpan dilakukan dengan membandingkan nilai parameter mutu yang diamati dengan standar mutu yang ada. Saat nilai mutu hasil pengamatan sudah tidak memenuhi syarat standar mutu yang berlaku, maka dapat dikatakan bahwa produk tersebut telah tidak layak untuk dipasarkan. Dengan demikian, umur simpan produk adalah jangka waktu dimana produk dapat mempertahankan mutunya hingga nilainya sudah tidak memenuhi syarat pada standar mutu yang berlaku.

Umur simpan yang dimaksud pada pembahasan ini merupakan waktu dimana mutu ubi jalar masih dikatakan memenuhi standar dimulai sejak setelah panen. Karena pada penelitian ini setelah dipanen ubi jalar langsung dicuring selama 6 hari sebelum dimasukkan ruang penyimpanan, maka umur simpan ubi jalar adalah total waktu curing ditambah jumlah hari penyimpanan dimana mutu ubi jalar masih dianggap memenuhi persyaratan.

Dalam SNI 01-4493-1998 terdapat syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum dikatakan telah dipenuhi pada saat proses pemilihan ubi jalar yang akan disimpan. Syarat khusus yang ditetapkan yang juga diamati dalam penelitian ini adalah kadar air, kadar pati, dan cacat pada umbi. Pendugaan umur simpan akan dilakukan berdasarkan parameter-parameter tersebut. Untuk susut bobot dan kekerasan, karena kedua parameter tersebut terkait dengan kadar air, maka dapat dikatakan bahwa penggunaan kadar air dalam pendugaan umur simpan telah mewakili kedua parameter tersebut.

Kadar air yang memenuhi syarat standar mutu adalah 65% bb minimal untuk mutu I dan 60% bb minimal untuk mutu II dan III. Dari Gambar 13 dapat dilihat bahwa hingga penyimpanan hari ke-14 kadar air pada ubi jalar dengan kemasan plastik semuanya masih diatas 60%. Dengan begitu, hingga waktu tersebut, ubi jalar masih memenuhi syarat minimal untuk kadar air. Pada hari penyimpanan ke-1, ubi jalar tanpa kemasan yang disimpan pada suhu ruang masih memiliki kadar air diatas 60%, namun kadar air ubi jalar yang disimpan pada suhu dingin telah mencapai dibawah 60% (Gambar 13). Bila dilihat pada Gambar 13, maka ubi jalar tanpa kemasan pada suhu dingin telah memiliki kadar air dibawah


(50)

tanpa kemasan pada suhu dingin dikatakan telah tidak memenuhi syarat standar mutu yang digunakan.

Hal serupa juga dilakukan untuk kadar pati. Standar mutu mensyaratkan kadar pati minimal untuk ubi jalar mutu I adalah 30% bb dan untuk mutu II dan III adalah 25%. Pada Gambar 14, dapat dilihat bahwa setelah penyimpanan hari ke-14 kadar pati untuk ubi jalar pada suhu ruang, baik yang dikemas maupun tidak, masih diatas 25%. Namun untuk suhu dingin, kadar pati ubi jalar dengan kemasan PP dan ubi jalar yang tidak dikemas masih diatas 25% sedangkan kadar pati ubi jalar dengan kemasan LDPE dan HDPE telah mencapai dibawah 25% (Gambar 14). Maka, ubi jalar dengan kemasan LDPE dan HDPE yang disimpan dalam suhu dingin sudah tidak memenuhi syarat dalam standar mutu sejak sebelum penyimpanan hari ke-14.

Keberadaan umbi yang cacat juga menjadi pertimbangan dalam syarat standar mutu. Kemunculan tunas dan poyo pada umbi mengindikasikan bahwa umbi tersebut telah cacat. Dengan begitu, umur simpan ubi jalar dapat pula dilihat dari kemunculan tunas dan poyo. Saat tunas dan poyo telah muncul, maka kelayakan ubi jalar untuk dipasarkan telah menurun. Dengan melihat pada pendugaaan sebelumnya, yaitu melalui kadar air dan kadar pati, ubi jalar yang hingga penyimpanan hari ke-14 masih memenuhi syarat standar mutu kemudian dilihat berdasarkan kemunculan tunas dan poyonya. Syarat pada standar mutu untuk umbi cacat yaitu per 50 umbi maksimal tidak terdapat umbi cacat untuk mutu I, terdapat 3 umbi untuk mutu II, dan 5 umbi untuk mutu III.

Ubi jalar tanpa kemasan yang disimpan dalam suhu ruang hingga penyimpanan hari ke-14 masih memenuhi baik syarat kadar air maupun kadar pati. Dilihat dari kemunculan tunas dan poyo, untuk memenuhi mutu I, ubi jalar tanpa kemasan dalam suhu ruang mampu bertahan hingga penyimpanan hari ke-2 (Gambar 16 dan 18). Namun, kemunculan tunas dan poyo yang masih dibawah 10% pada penyimpanan hari ke-4 (Gambar 16 dan 18) menunjukkan bahwa ubi jalar tanpa kemasan yang disimpan dalam suhu ruang masih memenuhi syarat untuk mutu III. Dengan demikian, diduga bahwa umur simpan terlama untuk ubi jalar yang disimpan tanpa kemasan adalah 10 hari apabila penyimpanan dilakukan


(1)

The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test forrespon

Means with the same letter are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N perlakuan

A 7.507 3 Tanpa kemasan, suhu dingin, hari ke-8 A

B A 6.668 3 LDPE, suhu dingin, hari ke-14

B A

B A 6.668 3 LDPE, suhu ruang, hari ke-14

B

B C 6.540 3 HDPE, suhu dingin, hari ke-4

B C

B C D 6.508 3 HDPE, suhu dingin, hari ke-14

B C D

B C D 6.437 3 HDPE, suhu ruang, hari ke-14

B C D

B E C D 6.390 3 LDPE, suhu ruang, hari ke-12

B E C D

B E C D 6.357 3 PP, suhu ruang, hari ke-14

B E C D

B E C D 6.330 3 LDPE, suhu dingin, hari ke-8

B E C D

B E C D 6.315 3 LDPE, suhu dingin, hari ke-10

B E C D

F B E C D 6.265 3 PP, suhu dingin, hari ke-14

F B E C D

F B E C D 6.250 3 HDPE, suhu dingin, hari ke-10

F B E C D

F B E C D 6.248 3 HDPE, suhu dingin, hari ke-6

F B E C D

F B E C D 6.242 3 PP, suhu dingin, hari ke-10

F B E C D

F B E C D G 6.225 3 HDPE, suhu ruang, hari ke-6

F B E C D G

F B E C D G 6.208 3 LDPE, suhu ruang, hari ke-6

F B E C D G

F B E C D G 6.200 3 HDPE, suhu dingin, hari ke-2

F B E C D G

F B E C H D G 6.190 3 HDPE, suhu dingin, hari ke-12

F B E C H D G

F B E C H D G 6.162 3 PP, suhu ruang, hari ke-4

F B E C H D G

F B E C H D G 6.145 3 PP, suhu ruang, hari ke-10

F B E C H D G

F B E C H D G 6.135 3 HDPE, suhu dingin, hari ke-8


(2)

77

Duncan Grouping Mean N perlakuan

F B E I C H D G 6.103 3 HDPE, suhu ruang, hari ke-10

F B E I C H D G

F B E I C H D G 6.038 3 PP, suhu dingin, hari ke-4

F B E I C H D G

F B E I C H D G 6.025 3 HDPE, suhu ruang, hari ke-2

F B E I C H D G

F B E I C H D G 6.023 3 LDPE, suhu dingin, hari ke-6

F B E I C H D G

F B E I C H D G 6.020 3 LDPE, suhu ruang, hari ke-8

F B E I C H D G

F B E I C H D G 6.017 3 PP, suhu dingin, hari ke-6

F B E I C H D G

F B J E I C H D G 5.993 3 LDPE, suhu ruang, hari ke-4

F B J E I C H D G

F B J E I C H D G 5.988 3 LDPE, suhu dingin, hari ke-12

F B J E I C H D G

F B J E I C H D G 5.987 3 Tanpa kemasan, suhu ruang, hari ke-10

F B J E I C H D G

F B J E I C H D G 5.967 3 PP, suhu ruang, hari ke-8

F B J E I C H D G

F B J E I C H D G 5.927 3 LDPE, suhu ruang, hari ke-2

F B J E I C H D G

F B J E I C H D G 5.890 3 Tanpa kemasan, suhu ruang, hari ke-8

F B J E I C H D G

F B J E I C H D G 5.887 3 LDPE, suhu dingin, hari ke-2

F B J E I C H D G

F B J E I C H D G 5.863 3 PP, suhu dingin, hari ke-12

F B J E I C H D G

F B J E I C H D G 5.838 3 HDPE, suhu ruang, hari ke-12

F B J E I C H D G

F B J E I C H D G 5.825 3 Tanpa kemasan, suhu ruang, hari ke-14

F B J E I C H D G

F B J E I C H D G 5.823 3 LDPE, suhu ruang, hari ke-10

F B J E I C H D G

F B J E I C H D G 5.802 3 PP, suhu ruang, hari ke-2

F B J E I C H D G

F B J E I C H D G 5.797 3 PP, suhu ruang, hari ke-6

F B J E I C H D G

F K B J E I C H D G 5.737 3 LDPE, suhu dingin, hari ke-4

F K B J E I C H D G

F K B J E I C H D G 5.710 3 PP, suhu ruang, hari ke-12

F K B J E I C H D G

F K B J E I C H D G 5.672 3 HDPE, suhu ruang, hari ke-8

F K B J E I C H D G

F K B J E I C H D G 5.638 3 HDPE, suhu ruang, hari ke-4

F K J E I C H D G

F K J E I C H D G 5.540 3 PP, suhu dingin, hari ke-8


(3)

Duncan Grouping Mean N perlakuan

F K J E I C H D G 5.523 3 Tanpa kemasan, suhu ruang, hari ke-12

F K J E I H D G

F K J E I H D G 5.420 3 Tanpa kemasan, suhu ruang, hari ke-2

F K J E I H G

F K J E I H G 5.315 3 Tanpa kemasan, suhu dingin, hari ke-2

F K J I H G

F K J I L H G 5.202 3 Tanpa kemasan, suhu ruang, hari ke-6

K J I L H G

K J I L H G 5.135 3 Tanpa kemasan, suhu ruang, hari ke-4

K J I L H

K J I L H 5.107 3 Tanpa kemasan, suhu dingin, hari ke-12

K J I L

K J I L 5.021 3 Tanpa kemasan, suhu dingin, hari ke-14

K J L

K J L 4.927 3 PP, suhu dingin, hari ke-2

K L

K M L 4.707 3 Tanpa kemasan, suhu dingin, hari ke-6

M L

M L 4.280 3 Tanpa kemasan, suhu dingin, hari ke-4 M


(4)

79 Lampiran 14. Gambar sampel ubi jalar putih setelah penyimpanan 14 hari

LDPE, suhu ruang, ulangan 1 LDPE, suhu ruang, ulangan 2 LDPE, suhu ruang, ulangan 3

HDPE, suhu ruang, ulangan 1 HDPE, suhu ruang, ulangan 2 HDPE, suhu ruang, ulangan 3

PP, suhu ruang, ulangan 1 PP, suhu ruang, ulangan 2 PP, suhu ruang, ulangan 3

Tanpa kemasan, suhu ruang, ulangan 1

Tanpa kemasan, suhu ruang, ulangan 2

Tanpa kemasan, suhu ruang, ulangan 3


(5)

Lampiran 14. Gambar sampel ubi jalar putih setelah penyimpanan 14 hari (lanjutan)

LDPE, suhu dingin, ulangan 1 LDPE, suhu dingin, ulangan 2 LDPE, suhu dingin, ulangan 3I

HDPE, suhu dingin, ulangan 1 HDPE, suhu dingin, ulangan 2 HDPE, suhu dingin, ulangan 3

PP, suhu dingin, ulangan 1 PP, suhu dingin, ulangan 2 PP, suhu dingin, ulangan 3

Tanpa kemasan, suhu dingin, ulangan 1

Tanpa kemasan, suhu dingin, ulangan 2

Tanpa kemasan, suhu dingin, ulangan 3


(6)

JALAR PUTIH (Ipomoea batatasL.) DALAM KEMASAN PLASTIK PADA BERBAGAI SUHU PENYIMPANAN. Di bawah bimbingan: Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr. 2009.

RINGKASAN

Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang banyak diminati oleh pasar karena potensinya sebagai bahan pangan, bahan baku industri, dan pakan ternak. Untuk dapat memenuhi kebutuhan pasar, diperlukan produk ubi jalar yang bermutu baik. Perhatian pada kegiatan pascapanen diperlukan agar mutu ubi jalar segar tetap terjaga seperti pada saat dipanen. Salah satu kegiatan pascapanen yang penting pada produksi ubi jalar adalah penyimpanan. Kadar air yang tinggi dalam ubi jalar segar menyebabkan ubi jalar tidak tahan disimpan lama. Oleh karena itu, penyimpanan ubi jalar segar harus dilakukan dengan benar untuk mendapatkan ubi jalar dengan mutu yang terjaga. Penggunaan kemasan plastik selama penyimpanan dapat dipertimbangkan sebagai cara untuk mempertahankan mutu ubi jalar dan memperpanjang umur simpannya. Kemasan plastik dapat melindungi produk dari perubahan kadar air karena dapat menghambat terjadinya penyerapan uap air dari udara.

Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari mutu ubi jalar dalam kemasan plastik selama penyimpanan, mengamati pengaruh jenis kemasan dan suhu terhadap mutu ubi jalar selama penyimpanan, dan menduga umur simpan ubi jalar. Penelitian dilakukan pada bulan April 2009 hingga Mei 2009 di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Departemen Teknik Pertanian, Fateta, IPB.

Penelitian dilakukan melalui tahapan persiapan bahan, penyimpanan dengan kemasan plastik, analisis parameter mutu ubi jalar, dan pendugaan umur simpan. Ubi jalar yang disimpan diberi perlakuan berupa pengemasan dengan plastik dan suhu penyimpanan. Selama penyimpanan, terdapat ubi jalar yang dikemas dengan plastik dan ubi jalar yang tidak dikemas sebagai pembanding. Kemasan plastik yang digunakan terdiri atas tiga jenis plastik yaitu low density polyethylene (LDPE), high density polyethylene (HDPE), dan polipropilen (PP). Penyimpanan dilakukan selama 14 hari pada dua tingkat suhu yaitu suhu ruang (27-29oC) dan suhu dingin (15oC). Parameter mutu ubi jalar yang dianalisis antara lain susut bobot, kadar air, kadar pati, kekerasan, dan kemunculan cacat pada umbi yang meliputi pertunasan, kepoyoan, dan pembusukan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemasan plastik mampu menekan susut bobot dan mempertahankan kadar air, kadar pati, dan kekerasan ubi jalar. Kemasan plastik juga memperlambat terbentuknya poyo, namun mempercepat pertumbuhan tunas pada umbi. Pengaruh jenis kemasan adalah nyata terhadap susut bobot, kadar air, kadar pati, dan kekerasan ubi jalar, sedangkan pengaruh suhu penyimpanan adalah nyata terhadap susut bobot dan kadar pati, namun tidak nyata terhadap kadar air dan kekerasan ubi jalar, Umur simpan ubi jalar tanpa kemasan dan ubi jalar dalam kemasan PP adalah 10 hari apabila disimpan dalam suhu ruang. Umur simpan ubi jalar dalam kedua perlakuan penyimpanan tersebut merupakan umur simpan terlama dibandingkan dengan perlakuan penyimpanan lainnya.