diterimanya pada masa yang akan datang, semakin lama kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat resikonya, sehingga dengan adanya unsur resiko ini
maka timbul jaminan dalam pemberian kredit, dan 4 prestasi atau obyek kredit
tidak saja diberikan dalam bentuk uang tetapi juga dapat berbentuk barang atau jasa.
Untuk dapat melaksanakan kegiatan perkreditan secara sehat, dikenal adanya prinsip C6
, prinsip ini adalah: 1 character adalah suatu pemberian kredit
atas dasar kepercayaan dan keyakinan dari pihak bank bahwa si peminjam mempunyai moral, watak ataupun sifat-sifat pribadi yang positif dan juga
mempunyai rasa tanggung jawab baik dalam kehidupan pribadi, sebagai anggota masyarakat, ataupun dalam menjalankan kegiatan usahanya, 2 c
apacity adalah penilaian kepada calon debitur mengenai kemampuan melunasi kewajibannya
dari kegiatan usaha yang akan dibiayai dengan kredit bank, 3 c apital yaitu
jumlah dana atau modal sendiri yang dimiliki calon debitur, semakin kaya seseorang maka semakin dipercaya untuk memperoleh kredit, 4 c
ollateral yaitu barang jaminan yang diserahkan oleh peminjam sebagai jaminan atas kredit
yang diterimanya, 5 c ondition of Economy yaitu situasi dan kondisi politik, sosial
ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi keadaan perekonomian pada suatu saat, atau kurun waktu tertentu yang kemungkinannya akan dapat
mempengaruhi kelancaran usaha dari perusahaan yang memperoleh kredit, dan 6 c
onstraint yaitu batasan-batasan atau hambatan-hambatan yang tidak memungkinkan seseorang melakukan usaha di suatu tempat Suyatno, 1997.
2.2. Sejarah dan Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat di Indonesia
Istilah BPR mengacu kepada lembaga-lembaga keuangan bank yang sejak awal perkembangannya memprioritaskan pelayanan pada skala mikro,
dalam arti kepada individu dan pengusaha kecil dengan pinjaman yang juga
bernilai relatif kecil. BPR merupakan lembaga keuangan mikro yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Perkembangan BPR tidak terlepas dari
perkembangan kehidupan ekonomi masyarakat yang pada masa penjajahan Belanda mengalami kemerosotan, terutama sejak diberlakukannya tanam paksa,
antara 1830-1870. Seorang tokoh yang berperan dalam pendirian BPR adalah R. Bei Aria Wirjaatmadja, seorang pejabat pemerintah golongan pribumi.
Wirjaatmadja menggunakan iuran mesjid di Purwokerto untuk membantu pegawai-pegawai yang terjerat hutang pada rentenir. Namun kemudian, pihak
mesjid mengambil keputusan untuk melarang uang kas tersebut diluar kegiatan- kegiatan mesjid dan meminta Wirjaatmadja mengembalikan uang kas yang telah
terpakai sebesar Rp. 4 000,- sementara Wirjaatmadja tidak sanggup untuk mengembalikannya. Pihak elite dalam masyarakat dan seorang Belanda yang
mengetahui kejujuran Wirjaatmadja mengumpulkan uang dan membayar uang kas mesjid. Peristiwa ini merupakan pencetus didirikannya sebuah bank yang
berorientasi kepada rakyat kecil yang dinamakan Bank Pegawai atau Bank
Priyayi Manurung dan Rahardja, 2004. Perkembangan kehidupan ekonomi rakyat kemudian secara alami
mendorong pembentukan lembaga-lembaga keuangan. Beberapa lembaga keuangan yang muncul dari masyarakat antara lain Bank Kredit Rakyat,
Lumbung Desa, Bank Desa, Lumbung Pitih Nagari, dan sebagainya. Walaupun bank-bank tersebut secara ekonomis sulit mencapai efisiensi yang tinggi, namun
perannya dirasakan sangat berarti. Kendala utama dari perkembangan BPR pada masa sebelum kemerdekaan adalah salah pengelolaan dan penekanan
pemupukan laba kurang diprioritaskan, sehingga tidak memacu peningkatan efisiensi dan inovasi keuangan Manurung dan Rahardja, 2004.
Setelah kemerdekaan, BPR masih dihadapkan pada kendala manajemen dan fondasi hukum, serta masalah-masalah internal seperti rendahnya kualitas
sumberdaya manusia pengelola, keterbatasan modal dan percekcokan internal. Jenis-jenis BPR yang masih sangat beragam menyebabkan sulit menentukan
kriteria kinerjanya. Dengan dikeluarkannya kebijakan deregulasi yang dikenal dengan Pakto 27 Tahun 1988, maka diperkenankan membuka BPR baru.
Peluang ini dimanfaatkan oleh seluruh lapisan yang ada dalam masyarakat untuk mendirikan BPR. Hanya saja masalah yang timbul adalah perkembangan
kuantitas bank belum diimbangi dengan perkembangan kualitasnya. Akhirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang
kemudian diubah disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, telah memberikan dasar hukum yang lebih kuat dan lebih baik tentang
BPR. Berdasarkkan undang-undang tersebut, BPR diakui sebagai bank sama halnya dengan bank umum, sekalipun ada batasan-batasan dalam hal ruang
lingkup kegiatan usaha dan wilayah operasional. Keberadaan BPR di Indonesia semakin penting sejalan dengan
meningkatnya kebutuhan pelayanan akan jasa-jasa perbankan bagi masyarakat pedesaan. Pengertian BPR ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 pasal 1 yang berbunyi Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan,
danatau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Usaha-usaha BPR menurut pasal 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 adalah: 1
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, danatau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, 2
memberikan kredit, 3 menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan
pemerintah, dan 4 menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia SBI, deposito berjangka, sertifikat deposito, danatau tabungan pada
bank lain. Sedangkan dalam pasal 14 menyatakan BPR dilarang menerima
simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran, melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, melakukan penyertaan modal, melakukan
usaha perasuransian, melakukan usaha lain diluar usaha yang telah ditentukan. Dilihat dari skala usaha, BPR kurang efisien dibandingkan bank-bank
umum, namun BPR memiliki kekuatan dalam hal likuiditas dibandingkan bank umum. BPR memiliki keunggulan dalam hal LDR dan CAR. Keunggulan ini
mempunyai makna yang penting. Besarnya angka LDR menunjukkan bahwa BPR tetap menjalankan fungsi intermediasinya secara seimbang, sekalipun
perekonomian Indonesia dalam kondisi krisis. Angka CAR yang dimiliki BPR lebih dari dua kali lipat CAR bank umum. Ini menunjukkan bahwa dari segi
permodalan BPR jauh lebih sehat dibandingkan bank umum. 2.3. Arah Kebijakan Perbankan ke Depan
Keberadaan BPR dalam peta perbankan di Indonesia semakin jelas diakui dengan dikeluarkannya Arsitektur Perbankan Indonesia API. API
merupakan suatu blueprint mengenai arah dan tatanan perbankan nasional ke
depan atau dapat dikatakan merupakan policy direction dan policy
recommendation untuk industri perbankan nasional dalam jangka panjang yaitu untuk jangka waktu sepuluh tahun kedepan.
Struktur perbankan yang kuat dibangun dengan meningkatkan peran serta BPR dalam peta perbankan nasional. BPR yang kuat dan kokoh sangat
dibutuhkan agar mampu melayani lapisan masyarakat di daerah pedesaan atau daerah terpencil khususnya yang tidak terjangkau oleh pelayanan bank-bank
umum. Untuk itu daya saing dari BPR harus diperkuat, sehingga BPR tidak hanya mampu bersaing dengan BPR lainnya, tetapi juga mampu bersaing
dengan bank-bank umum yang memiliki cabang-cabang di wilayah pedesaan Bank Indonesia, 2006a.
Salah satu program API adalah penguatan struktur perbankan nasional. Implementasi dari program ini dilaksanakan secara bertahap dengan beberapa
kegiatan, yaitu: 1 memperkuat permodalan bank, 2 memperkuat daya saing dan kelembagaan BPR dan BPRS, dan 3 meningkatkan akses kredit dan
pembiayaan UMKM. Untuk memperkuat daya saing dan kelembagaan BPR dan BPRS dilakukan kegiatan-kegiatan yaitu: 1 meningkatkan
linkage program antara bank umum dengan BPR, 2 implementasi program aliansi strategis
lembaga keuangan syariah dengan BPRS melalui kemitraan strategis dalam rangka pengembangan UMKM, 3 mendorong pendirian BPR dan BPRS di luar
Pulau Jawa dan Bali, 4 mempermudah pembukaan kantor cabang BPR dan BPRS bagi yang telah memenuhi persyaratan, dan 5 memfasilitasi
pembentukan fasilitas jasa bersama untuk BPR dan BPRS termasuk apex bank
Bank Indonesia, 2006a. BPR sebagai bagian dari industri perbankan secara keseluruhan juga
memiliki peranan yang sangat signifikan untuk membantu meningkatkan akses perbankan. Untuk itu BPR harus mampu beroperasi secara efisien dalam rangka
meningkatkan penyediaan kredit dengan biaya yang lebih murah kepada sektor riil. Upaya yang harus dilakukan oleh BPR adalah dengan membentuk fasilitas
jasa bersama diantara BPR-BPR sehingga dapat menciptakan efisiensi dalam beberapa kegiatan operasional BPR seperti biaya
overhead, biaya pemasaran, dan penghematan untuk investasi pada teknologi informasi.
2.4. Penilaian Kinerja Bank Perkreditan Rakyat