Pengembangan Wisata Alam TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Pengembangan Wisata Alam

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 menyatakan pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan asas manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kemandirian, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan, demokratis, kesetaraan dan kesatuan yang diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan, kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 48 Tahun 2006, pengembangan pariwisata alam adalah rencana yang memuat kebijakan pengembangan kepariwisataan Jawa Barat dari aspek perwilayahan pariwisata, aspek pengembangan produk wisata, pengembangan pasar dan pemasaran, pengembangan sumberdaya manusia SDM kepariwisataan, dan pengembangan kelembagaan pariwisata. Pengembangan adalah suatu usaha perubahan yang dilakukan untuk meningkatkan keuntungan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. Muntasib et al. 2004 menyebutkan ada tujuh prinsip pengembangan wisata alam, yaitu: 1. Berhubungan langsung dengan alam touch the nature. 2. Pengalaman yang bermanfaat, baik secara pribadi ataupun secara sosial. 3. Wisata alam bukan wisata massal. 4. Interaksi dengan masyarakat dan budaya setempat. 5. Adaptif sesuai dengan akomodasi pedesaan. 6. Pengalaman lebih utama dari kenyamanan. Ditjen PHKA 2003, dasar penilaian potensi pengembangan wisata alam adalah sebagai berikut: 1. Berorientasi kepada kepentingan konservasi kawasan. 2. Memberikan pemahaman pendidikan konservasi bagi kawasan. 3. Memberdayakan atau meningkatkan peran masyarakat. 4. Memberikan nilai ekonomi dan kesinambungan usaha kepada pihak ketiga dan pemerintah. 5. Memberikan nilai rekreasi kenyamanan, refreshing, kesehatan dan lain-lain. Ditjen PHKA 2001 memaparkan beberapa tahapan pengembangan pariwisata alam yang bisa dilakukan di suatu lokasi, adalah sebagai berikut: 1. Perencanaan, meliputi identifikasi, inventarisasi dan analisis data, identifikasi konflik sumberdaya, analisis data, penetapan posisi perkembangan, pengelolaan pengunjung, pemasaran dan promosi, sumberdaya manusia, pengelolaan dampak, pembangunan sarana dan prasarana, pengusahaan pariwisata alam dan kelembagaan. 2. Pelaksanaan, meliputi koordinasi, sosialisasi dan kerjasama. 3. Monitoring dan evaluasi. Menurut Ditjen PHKA 2003, pengembangan obyek wisata alam dilakukan berdasarkan skala prioritas dan rekomendasi. Pengembangan dikatagorikan dalam beberapa katagori, yaitu sebagai berikut: 1. Sangat potensial, yaitu daerah yang memiliki ODTWA layak untuk dikembangkan berdasarkan hasil penilaian ADO-ODTWA melalui urutan prioritas. 2. Potensial, yaitu daerah yang memiliki potensi, namun memiliki hambatan dan kendala untuk dikembangkan dengan persyaratan-persyaratan tertentu yang memerlukan pembinaan lebih lanjut berdasarkan hasil penilaian ADO- ODTWA. 3. Kurang potensial, yaitu daerah yang tidak dapat dikembangkan atas dasar hasil penilaian ADO-ODTWA. Berasarkan Ditjen PHKA 2002, program pengembangan wisata alam secara berkelanjutan bisa dilakukan dengan melihat beberapa faktor diantaranya: 1. Pengembangan lokasi obyek Potensi ODTWA, yaitu rencana kegiatan pengembangan obyek sesuai analisis, dengan urutan prioritas baik yang menyangkut lokasi obyek maupun jenis-jenis kegiatan yang dikaitkan dengan rencana pengelola kawasan tersebut. 2. Fasilitas penunjang, yaitu kegiatan pengembangan sarana dan prasarana di dalam dan di luar obyek dengan prioritas pengembangan lokasi obyek. 3. Keadaan Pengunjung, yaitu jumlah pengunjung, perilaku pengunjung yang terdiri dari wisatawan luar negeri dan wisatawan dalam negeri. 4. Pengelolaan dan pelayanan, yaitu pengelolaan obyek dan pelayanan pengunjung merupakan hal yang perlu ditingkatkan dalam pemanfaatan suatu ODTWA, karena berpengaruh secara langsung dengan kepuasan pengunjung dan pelestarian obyek itu sendiri. Selain itu dalam implementasinya perlu ditunjang oleh tenaga yang professional di bidang pariwisata alam, bahasa dan mampu melakukan pelayanan terhadap pengunjung. 5. Kegiatan wisata alam, yaitu: rencana dan realisasi pengembangan kegiatan wisata alam, baik oleh pengelola, masyarakat maupun pemerintah. Menurut Hakim 2004, strategi dalam pengembangan wisata alam harus mendorong tindakan konservasi sehingga tujuan dari wisata berkelanjutan tetap tercapai dalam industri pariwisata yang terus berkembang. Pariwisata yang terjadi di kawasan lindung harus dikelola dengan benar dan menjunjung tinggi prinsip- prinsip pembangunan berkelanjutan. Selain itu, tidak boleh dilupakan bahwa tujuan keseluruhan dari kawasan lindung adalah konservasi dan perlindungan. Pada pengembangan pengelolaan wisata alam, keanekaragaman hayati dapat dieksplorasi sampai batas tertentu daya dukung lingkungan hubungan antara pariwisata dan kawasan lindung IUCN 2009. Menurut The International Ecotourism Society 2004 dan Pemerintah Propinsi Jawa Barat 2007 pelayanan terhadap pelanggan wisata alam dapat dilakukan dengan cara mengembangkan potensi wisata alam dengan indikator: 1 Keadaan fisik kawasan luas, ketinggian. 2 Potensi biotik kawasan flora fauna. 3 Potensi wisata yang meliputi: a wisata alam dengan kegiatannya berupa hiking, berkemah, berkuda, bersepeda; wisata santai sambil berolahraga berenang air panas, lintas alam dan lain-lain; b wisata konvensi dengan kegiatan berupa wisata sambil melakukan seminar, rapat, konferensi; c wisata budaya dengan kegiatan berupa pergelaran seni tradisional. 4 Sarana prasarana seperti pembuatan pusat informasi, pondok kerja, sarana olahraga, camping ground, tempat bermain anak anak, sarana pemandian air panas, shelter, fasilitas penginapan, tempat ibadah, ruang pertemuan. 5 Aksesibilitas kemudahan mencapai tempat wisata. Pengembangan Wisata Alam Berbentuk Pantai Pengembangan ekowista bahari yang hanya terfokus pada pengembangan wilayah pantai dan lautan sudah mulai tergeser, karena banyak hal lain yang bisa dikembangkan dari wisata bahari selain pantai dan laut. Salah satunya adalah konsep ekowisata bahari yang berbasis pada pemadangan dan keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya dan karakteristik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Selanjutnya kegiatan ekowisata lain yang juga dapat dikembangkan, antara lain: berperahu, berenang, snorkling, menyelam, memancing, kegiatan olahraga pantai dan piknik menikmati atmosfer laut Satria 2009. Orientasi pemanfaatan pesisir dan lautan serta berbagai elemen pendukung lingkungannya merupakan suatu bentuk perencanaan dan pengelolaan kawasan merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi dan saling mendukung sebagai suatu kawasan wisata bahari. Suatu kawasan wisata yang baik dan berhasil bila secara optimal didasarkan pada empat aspek, antara lain: b. Mempertahankan kelestarian lingkungan. c. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut. d. Menjamin kepuasan pengunjung. e. Meningkatkan keterpaduan dan kesatuan pembangunan masyarakat di sekitar kawasan dan zona pengembangannya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk pengembangan ekowisata bahari Satria 2009, antara lain: a. Aspek ekologis, daya dukung ekologis merupakan tingkat penggunaan maksimal suatu kawasan. b. Aspek fisik, daya dukung fisik merupakan kawasan wisata yang menunjukkan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang diakomodasikan dalam area tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas. c. Aspek sosial, daya dukung sosial adalah kawasan wisata yang dinyatakan sebagai batas tingkat maksimum dalam jumlah dan tingkat penggunaan dimana apabila melampaui batas akan menimbulkan penurunanan dalam tingkat kualitas pengalaman atau kepuasan. d. Aspek rekreasi, daya dukung reakreasi merupakan konsep pengelolaan yang menempatkan kegiatan rekreasi dalam berbagai obyek yang terkait dengan kemampuan kawasan.

BAB III METODE PENELITIAN