1
BAB I PENDAHULUAN
I. A. Latar Belakang
Manusia selain makhluk sosial juga merupakan makhluk yang bebas yang terlepas dari paksaan fisik, orang yang tidak dirampas hak-haknya, orang yang
terlepas dari tekanan batin atau psikis, dan orang yang terlepas dari paksaan moral. Kebebasan manusia bukanlah kebebasan yang mutlak tetapi kebebasan
yang bertanggungjawab Bertens, 1993. Kebebasan manusia memiliki batasan-
batasan, seperti faktor dari luar dan faktor dari dalam. Faktor yang membatasi kebebasan manusia dari luar adalah lingkungan dan pendidikan, sedangkan faktor
yang membatasi dari dalam adalah bakat, watak, dan sikap. Kebebasan manusia juga memiliki aturan dalam berbagai norma, seperti norma kesopanan, norma
etiket, norma sosial, norma moral, norma agama, norma adat istiadat dan norma hukum. Setiap manusia jika melanggar aturan dari norma-norma ini, maka akan
ada hukum yang mengatur, misalnya saja pada norma hukum. Manusia atau ndividu yang melanggar segala peraturan yang terdapat di dalam norma hukum,
maka akan diberi sanksi pidana Bertens, 1993. Sanksi pidana itu merupakan peraturan yang menentukan perbuatan-
perbuatan yang dapat dihukum dan bentuk hukuman yang dapat diberikan. Pemberian sanksi pidana ini bertujuan untuk menyadarkan perilaku menyimpang
dari diri pelanggar. Seorang pelanggar hukum setelah melewati prosedur
Universitas Sumatera Utara
2 pemeriksaan dan telah mendapat kepastian hukum, maka akan resmi menyandang
status sebagai narapidana Panjaitan dan Simorangkir, 1995. Menurut UU no. 12 tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang
menjalani pidana hilang kebebasan di penjara, sedangkan Wilson 2005 menjelaskan bahwa narapidana adalah manusia yang bermasalah yang harus
dipisahkan dari masyarakat untuk belajar bermasyarakat dengan baik, dan menurut Harsono 1995 narapidana adalah manusia yang sedang berada di
persimpangan jalan karena harus memilih akan meninggalkan atau tetap pada perilakunya yang dahulu dan tengah mengalami krisis disosialisasi merasa takut
diasingkan di dalam masyarakat dan keluarga, tidak mampu bersosialisasi dengan baik akibat rasa minder dan putus harapan. Berdasarkan penjelasan mengenai
narapidana di atas, maka ada sebuah anggapan yang menyatakan bahwa seorang narapidana hanya dapat dibina jika diasingkan dari lingkungan sosialnya dan
seorang narapidana merupakan individu yang telah rusak dalam segala-galanya Panjaitan dan Simorangkir, 1995.
Panjaitan dan Simorangkir 1995 menjelaskan bahwa tindak pidana yang diberikan kepada narapidana selalu direalisasikan dengan membina mereka di
lembaga pemasyarakatan, sehingga hampir semua orang berpendapat bahwa lembaga pemasyarakatan merupakan tempat penyiksaan dan tempat
berkumpulnya para penjahat. Bangunan lembaga pemasyarakatan dirancang secara khusus sebagai tempat untuk membuat jera para narapidana baik secara
fisik dan psikologis, dan dirancang agar seseorang tidak kerasan di dalamnya. Lembaga pemasyarakatan ini mendasarkan mekanismenya pada bentuk
Universitas Sumatera Utara
3 perampasan kebebasan sehingga narapidana akan kehilangan kebebasannya, yang
artinya narapidana hanya dapat bergerak di dalam lembaga pemasyarakatan saja. Kebebasan ini dirampas untuk jangka waktu tertentu atau seumur hidup, dan tidak
hanya kebebasan bergerak yang terampas tetapi juga berbagai kebebasan lainnya. Selama menjalani hukuman, narapidana tidak hanya akan mengalami pidana
secara fisik seperti makanan dijatah dan sebagainya, tetapi juga mengalami pidana secara psikologis seperti kehilangan kebebasan dan kasih sayang dari anak atau
pasangannya. Dampak psikologis ini jauh lebih berat dibandingkan dengan pidana penjara itu sendiri Harsono, 1995.
Menurut Harsono 1995, dampak psikologis hukuman penjara antara lain: lost of personality yaitu seorang narapidana akan kehilangan kepribadian diri,
identitas diri akibat peraturan dan tata cara hidup di lembaga pemasyarakatan; lost of security yaitu hilangnya rasa aman karena narapidana selalu dalam
pengawasan petugas; lost of liberty yaitu kehilangan berbagai kemerdekaan individual; lost of personal communication yaitu kehilangan kebebasan untuk
berkomunikasi karena komunikasi terhadap siapapun dibatasi; lost of good and service yaitu kehilangan akan pelayanan karena narapidana harus mampu
mengurus dirinya sendiri; lost of heterosexsual yaitu kehilangan naluri seks, kasih sayang dan rasa aman bersama keluarga; lost of prestige yaitu kehilangan harga
diri akibat perlakuan dan peraturan dari petugas; lost of belief yaitu kehilangan rasa percaya diri akibat tidak adanya rasa aman, dan yang terakhir lost of
creativity yaitu hilangnya kreatifitas bahkan impian dan cita-cita narapidana.
Universitas Sumatera Utara
4 Kehilangan hak-hak tersebut menyebabkan terjadinya perubahan dalam kehidupan
para narapidana. Menurut Frankl dalam Bastaman, 2007, dampak fisik dan psikologis
yang dialami narapidana dapat membuat narapidana merasakan perasaan tidak bermakna meaningless yang ditandai dengan perasaan hampa, gersang, bosan,
penuh dengan keputusasaan, serta tidak memiliki tujuan hidup yang di dalamnya juga terkandung makna hidup. Schultz 1991 mengatakan seorang individu bisa
saja tidak melihat adanya makna di dalam hidupnya, tetapi makna hidup itu akan tetap ada, dan kehidupan baru terkadang dapat mengandung suatu arti ketika kita
berhadapan dengan situasi yang dipenuhi dengan penderitaan. Penderitaan sebenarnya dapat memberikan makna dan kegunaan jika kita dapat mengubah
sikap terhadap penderitaan itu menjadi lebih baik, ini berarti bahwa dalam berbagai keadaan sakit, nista, dosa, bahkan maut arti makna hidup tetap dapat
ditemukan Frankl, dalam Bastaman 1996. Menurut Battista Almond 1973, individu yang menganggap dirinya
telah menemukan makna hidup adalah individu yang mempunyai kerangka kerja yang dapat melihat hidup mereka dengan beberapa perspektif atau konteks,
individu yang telah memperoleh tujuan hidup, individu yang telah berkomitmen secara positif terhadap suatu konsep yang memberikannya suatu kerangka
acuan atau tujuan untuk memandang kehidupannya, dan individu yang mempersepsikan hidupnya berkaitan dengan, atau memenuhi konsep hidupnya.
Battista Almond 1973 juga mengatakan bahwa dalam dewasa muda, pengalaman hidup yang meaningfull sebagian besar banyak diperoleh dari
Universitas Sumatera Utara
5 pendidikan. Individu yang dicukupi dengan pilihan karir dan studi telah
membuktikan bahwa hidupnya lebih penuh arti meaningfull dibandingkan dengan individu yang tidak dicukupi dengan pilihan karir dan studi.
Tokoh lain seperti Frankl 1996 mengatakan bahwa makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, berharga, dan memberikan nilai
khusus bagi seseorang sehingga layak dijadikan tujuan di dalam kehidupan the purpose in life. Menurutnya makna hidup jika berhasil ditemukan akan
memperoleh kehidupan yang bahagia dan makna hidup itu berbeda antara manusia yang satu dengan yang lainnya, bahkan berbeda setiap hari dan setiap
jam. Frankl sendiri menemukan makna hidupnya ketika menjadi seorang tahanan di kamp konsentrasi. Keberhasilannya bertahan hidup adalah dengan tetap
menjaga keimanan, memiliki harapan akan adanya perubahan, selalu mengingat istrinya dengan penuh cinta, kedua orang tuanya yang juga ditahan, dan
diam-diam ia membantu sesama tahanan yang putus asa. Frankl mengamati bahwa tahanan-tahanan yang berhasil menemukan dan mengembangkan makna dalam
hidup mereka ternyata mampu bertahan dalam menjalani penderitaan, sehingga ia menyimpulkan bahwa makna hidup dapat ditemukan dalam setiap keadaan, tidak
saja dalam keadaan normal dan menyenangkan, tetapi juga dalam penderitaan. Makna hidup ketika di dalam penderitaan penjara juga ditemukan oleh
Anton Medan Tan Hok Liang. Anton yang dijuluki seorang penjahat kaliber kakap dan penjahat kambuhan yang hobinya keluar masuk penjara, akhirnya
menemukan makna hidupnya. Anton Medan setelah keluar dari penjara telah
Universitas Sumatera Utara
6 menjadi seorang muslim yang taat beragama dan telah banyak membangun
tempat-tempat ibadah, seperti musholla dan mesjid Anton, 2005. Fenomena-fenomena lain di dalam penjara juga peneliti dapatkan
berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber. Berikut kutipan hasil wawancara dengan beberapa subjek penelitian di lembaga pemasyarakatan
Tanjung Gusta Medan: Subjek 1 Lapas kelas 1
“Em…kehidupan disini awalnya pahit bagi saya, saya tertekan dan tidak bebas. Tapi lama kelamaan saya mulai bisa menerima keadaan ini.
Disini saya mulai membangun hubungan baik dengan Tuhan. Saya sering mengikuti kebaktian membaca alkitab dan menceritakan firman-firman
Tuhan kepada teman-teman yang lainnya, sehingga pegawai lapas menyebut saya hamba Tuhan. Ketenangan mulai saya rasakan.
Saya senang karena hidup saya masih berguna buat teman-teman disini. Saat mereka putus asa, saya dapat menghibur mereka dengan
firman-firman yang saya kuasai. Ketakutan dengan hukuman seumur hidup lama-lama nggak menjadi masalah bagi saya. Bisa dikatakan saya
seharusnya bersyukur karena setelah berada di penjara, hati saya terbuka untuk Tuhan dan menjadi hambanya. Dulu ke gereja saja saya jarang.
Masalah hubungan saya dengan keluarga terutama istri saya, setahu saya baik-baik saja. Hanya saja kesedihan saya tentang anak-anak saya. Yang
mereka tahu, saya sedang bekerja di luar kota. Saya sangat merindukan mereka. Tapi ini sudah takdir saya, saya hanya bisa pasrah dan berdoa..”
Komunikasi Personal, 25 September 2007.
Subjek 2 Lapas kelas 1 “Saat pertama kali saya berada disini, hati saya sangat sedih karena
kehilangan kehidupan bersama keluarga terutama istri dan anak saya. Penyesalan terus menerus datang. Kebebasan juga hilang. Apa-apa tidak
bisa dilakukan. Yang biasanya setiap hari saya bekerja di kantor, ini jadi bingung mau ngapain. Yang membuat saya masih bertahan adalah
dukungan istri, terutama anak-anak saya. Mereka sering mengunjungi saya disini. Untungnya anak-anak saya bisa mengerti tentang keadaan
saya, mereka terus memberi support dan intinya masi menyayangi saya. Padahal mereka masih terlalu kecil. Saya ingin cepat bebas karena saya
masih punya tanggung jawab. Saya ingin istri dan anak-anak saya dapat hidup normal kembali, kumpul bersama. Bahagia Apalagi saya punya
Universitas Sumatera Utara
7 keinginan untuk menyekolahkan anak saya sampai ke luar negeri.
Jadi setelah bebas nanti, saya harus bekerja keras. Tanggapan masyarakat nantinya setelah saya bebas dari sini tidak akan saya
hiraukan, karena ini demi kehidupan keluarga saya.” Komunikasi Personal, 25 September 2007.
Subjek 3 Lapas kelas II “Berada dalam penjara ini sangat memuakkan, sakit. Orang yang dilihat
itu-itu terus. Stress Lebih enak di kamar aja, itupun kerjaku nangis. Sedih kali hidupku.. Apalagi aku belum menikah, entah sapalah yang
mau... Belum lagi sedih rasanya memikirkan kek mana kalau keluar dari sini. Entah apalah yang mau kulakukan.” Komunikasi Personal, 20
Oktober 2007.
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya sesuatu yang positif dapat ditemukan apabila
meningkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan ke arah kondisi yang lebih baik. Sikap menerima dengan
penuh ikhlas dan tabah hal-hal tragis yang tidak mungkin dielakkan lagi dapat mengubah pandangan kita dari yang semula diwarnai penderitaan menjadi
pandangan yang mampu melihat makna dan hikmah dari penderitaan itu Frankl, dalam Bastaman 1996.
Menurut Harsono 1995, hidup adalah sebuah kesempatan untuk berbuat sesuatu, baik membentuk nasib dan menentukan sikap terhadap nasib.
Hanya dengan kemauan dan hasrat yang besar seseorang dapat berhasil dan sukses dalam kehidupannya, dan saat yang menentukan bagi seseorang untuk sukses dan
berhasil adalah pada saat seseorang mengalami krisis. Battista Almond 1973 menjelaskan bahwa ketika seorang individu merasa dirinya sebagai individu yang
mampu, penting, sukses dan berharga, maka individu tersebut dapat dikatakan
Universitas Sumatera Utara
8 telah memiliki penghayatan hidup yang bermakna, yang dicapai individu setelah
ia memiliki tingkat harga diri tertentu, dan menurut Maslow dalam Tjahningsih Nuryoto, 1994, kebutuhan akan harga diri merupakan kebutuhan yang sangat
penting bagi setiap individu. Menurut Frey Carlock 1987, harga diri merupakan penilaian negatif
dan positif yang merupakan bagian dari konsep diri. Hal ini sejalan dengan Rosenberg dalam Taylor, dkk, 2000 yang mengatakan bahwa harga diri adalah
penilaian yang dibuat oleh individu mengenai dirinya sendiri, baik secara positif maupun negatif. Frey Carlock 1987 menjelaskan bahwa perilaku yang
ditampilkan seseorang dapat mencerminkan harga diri yang dimilikinya, yaitu harga diri positif atau harga diri negatif. Harga diri positif itu seperti menghargai
diri sendiri, merasa diri berguna, memandang diri sama seperti orang lain, tidak menganggap diri sebagai orang yang sempurna, mengenal keterbatasan diri, dan
mengharapkan diri tumbuh dan berkembang, sedangkan harga diri negatif, seperti petunjuk verbal yang sering menunjukkan seseorang menilai dirinya negatif,
seseorang yang sangat takut akan pengalaman baru, reaksi yang berlebihan terhadap kegagalan, terlalu banyak membual tentang diri sendiri, memiliki
kebutuhan yang sangat kuat akan dukungan, ketertarikan yang sangat dalam terhadap kepemilikan suatu benda, enggan mengemukakan pendapat, melepaskan
tanggung jawab, memiliki energi yang rendah, kesadaran diri yang kurang, kecemasan yang berlebihan, sangat sensitif terhadap kritikan, memiliki keluhan
psikosomatis, seringkali mengkritik orang lain, dan sering minta maaf.
Universitas Sumatera Utara
9 Berikut hasil wawancara peneliti mengenai harga diri dengan beberapa
subjek penelitian di lembaga pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan: Subjek 1 Lapas kelas 1
“Harga diri… Awalnya itu sudah hilang. Tetapi setelah saya mulai bisa menerima keadaan saya, saya mulai bangkit. Saya rasa harga diri tidak
akan hilang, ya mungkin tidak sebaik sebelum semua ini terjadi.. Disini banyak yang membuat harga diri saya muncul lagi, misalnya kedekatan
saya dengan Tuhan dan dengan kegiatan-kegiatan disini yang saya kerjakan dengan baik...” Komunikasi Personal, 07 februari 2008.
Subjek 2 Lapas kelas 1 “Harga diri itu relatif dan semua orang pasti punya. Walaupun saya
begini, saya tetap memiliki harga diri terutama ketika saya berada di depan teman-teman saya disini. Harga diri saya tetap saya jaga. Menurut
saya banyak hal yang dapat dilakukan disini untuk memperoleh harga diri, misalnya berbuat baik, dan sebagainyalah. Walaupun saya nggak
tahu bagaimana nantinya di luar sana..” Komunikasi Personal, 07 Februari 2008.
Subjek 3 Lapas kelas II “Mana ada lagi harga diri, yang ada hanya aib.. Bukan hanya aku yang
malu, tapi juga keluarga. Aku sudah pasrah bagaimana tanggapan orang padaku, nggak ada lagi yang bisa aku banggakan” Komunikasi
Personal, 07 Februari 2008.
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber di atas, maka dapat disimpulkan bahwa harga diri dapat juga diperoleh melalui proses pengalaman
yang terus menerus terjadi dalam diri seseorang Branden, 1981, dan harga diri individu terbentuk berdasarkan pada pandangan orang lain terhadap dirinya dan
bagaimana individu itu sendiri mempersepsikan pengalaman hidupnya Baron Byrne, 1997. Hubungan individu dengan pengalaman hidupnya dapat dikaitkan
dengan bagaimana makna hidup individu tersebut. Frankl dalam Bastaman 1996.
Universitas Sumatera Utara
10 Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti berasumsi bahwa harga diri
berhubungan positif dengan makna hidup. Oleh karena itu, pada penelitian ini peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara harga diri dengan makna
hidup pada narapidana.
I. B. Tujuan Penelitian