1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Menurut data statistik Indonesia tahun 2005, jumlah remaja usia 15-19 tahun mencapai 20,329,673 juta jiwa. Jumlah ini termasuk cukup besar, karena berada
pada peringkat ketiga terbanyak setelah kelompok usia 5-9 tahun dan 10-14 tahun Statistics Indonesia, 2008. Melihat kondisi ini, wajar saja bila pembahasan
mengenai remaja seolah tidak pernah henti. Kasus-kasus yang menimpa remaja pun sering diberitakan. Ini terbukti dengan adanya artikel yang memuat sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Direktur PKPA Pusat Kajian Perlindungan Anak pada tahun 2007, Ahmad Sofian. Penelitian itu menunjukkan bahwa ratusan
remaja putri di Medan terjun ke dunia pelacuran. Selama proses penelitian, ada seorang responden yang menuturkan bahwa di kelasnya saja ada 15 temannya
yang sudah biasa berkencan dengan pria dewasa, bahkan yang tua bangka alias tubang istilah yang biasa digunakan mereka untuk menyebut pelanggan yang
berusia rata-rata 30-50 tahun. Ternyata, para pelajar itu banyak yang melakukan kegiatan pelacuran pada siang hari Ikhwan, 2007.
Tidak hanya kasus di atas, akhir-akhir ini isu moral di kalangan remaja juga semakin merebak, seperti penggunaan narkoba, tawuran pelajar, perkosaaan,
pengrusakan milik orang lain, perampasan, penipuan, hamil di luar nikah, aborsi, penganiayaan, perjudian, pelacuran, pembunuhan dan lain-lain. Kondisi ini sangat
memprihatinkan masyarakat, khususnya para orang tua dan para pendidik, sebab
Universitas Sumatera Utara
2 pelaku-pelaku beserta korbannya adalah para remaja Willis, 2005. Belakangan
ini tampak fenomena HIVAIDS yang merebak di kalangan remaja. Dalam sebuah harian surat kabar, Pengurus Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia PKBI,
Purwadi mengatakan bahwa perkembangan peningkatan temuan kasus HIV-AIDS di sejumlah daerah di Indonesia, hingga Maret 2008 menunjukkan kondisi yang
kian mengkhawatirkan, dan yang lebih memprihatinkan lagi, data HIVAIDS dari Ditjen PPL dan PM Depkes menunjukkan bahwa kelompok usia remajalah yang
merupakan kelompok yang paling banyak terkena HIVAIDS. Melihat fenomena yang ada, dunia remaja seolah-olah menjadi momok yang
mengkhawatirkan karena sangat rawan dengan pengaruh-pengaruh negatif. Secara
psikologis, masa remaja merupakan usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-
orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang- kurangnya dalam masalah hak. Selama masa remaja, terjadi berbagai perubahan
pada individu, baik itu perubahan fisik, sosial, minat, moral, sikap, bahkan perilaku. Berbagai perubahan itu membutuhkan proses penyesuaian diri.
Penyesuaian diri tersebut dapat dilakukan dengan menjalani tugas-tugas perkembangan selama masa periode ini Hurlock, 1980.
Salah satu tugas perkembangan penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan kelompok darinya dan kemudian membentuk
perilaku agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak. Remaja
diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku khusus di masa kanak-
Universitas Sumatera Utara
3 kanak dengan prinsip moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam
kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Remaja harus bisa mengendalikan perilakunya sendiri. Bagi kebanyakan remaja, tugas-tugas
tersebut merupakan tugas yang sulit. Dalam kenyataannya, ada yang berhasil menjalaninya dan ada juga yang tidak berhasil Hurlock, 1980. Oleh karena itu,
Medinnus dan Dusek menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang menentukan bagi perkembangan moral seseorang Martani, 1995.
Moral merupakan suatu dimensi dasar dalam penyesuaian seseorang dengan lingkungannya dan merupakan salah satu komponen dasar bagi kelangsungan
bermasyarakat. Menurut Rogers dan Baron, moral merupakan suatu standar salah atau benar bagi seseorang Martani, 1995. Hal ini sejalan dengan definisi dari
kamus Webster edisi ketujuh yang menyatakan bahwa moralitas adalah seperangkat aturan, dogma, dan pelajaran yang memuat prinsip-prinsip benar dan
salah pada perilaku manusia Geyer Baumeister, 2005. Gibbs dan neo- Kohlbergian lainnya mengemukakan bahwa aspek penting dari moralitas adalah
bagaimana penalaran moral seseorang Papalia dkk, 2007. Menurut Kohlberg, penalaran moral merupakan penilaian terhadap nilai, penilaian sosial yang
mengikat individu dalam melakukan suatu tindakan. Kematangan penalaran moral dapat dijadikan prediktor yang baik terhadap dilakukannya tindakan tertentu pada
situasi yang melibatkan moral. Penalaran moral itu dipengaruhi oleh level perkembangan kognitif yang tinggi dan pengalaman sosiomoral Glover, 1997.
Pernyataan ini diperkuat oleh Rest yang menyatakan bahwa pendidikan dan IQ memiliki hubungan yang konsisten terhadap penalaran moral, dimana pendidikan
Universitas Sumatera Utara
4 dan IQ merupakan indikator tak langsung dari perkembangan kognitif Rest,
1979. Ada faktor lain yang mempengaruhi penalaran moral yaitu sifat dasar manusia
yang memiliki kemampuan untuk menahan dan mengontrol dirinya, sehingga cenderung melakukan tindakan yang bermoral. Kemampuan ini disebut dengan
kontrol diri. Dengan adanya kontrol diri, orang memiliki standar mengenai apa yang harus dilakukannya sehingga ia akan berusaha memonitor perilakunya dan
melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan standarnya itu. Namun, bila tidak ada kontrol diri maka seseorang cenderung akan melakukan tindakan amoral. Hal ini
dapat dilihat dari kasus yang menimpa seorang remaja yang hamil di luar nikah. Peneliti menemukan kasus ini dari hasil wawancara yang dilakukan dengan DY,
seorang pelajar di sekolah X, berikut penuturannya : ”ee..iya, kak. Anak-anak kelas tiganya model pacarannya yang begitu-
begituan kak...bahkan sekarang ada yang lagi hamil karena melakukan begituan dengan pacarnya..itu kak si A. DY taunya karena di sekolah lagi
heboh. Hebohnya, gini kak...ada abang-abang yang kenal dengan si A ke sekolah, terus nyari-nyari si B mantan pacarnya si A. Di situlah kak, baru
ketauan kalo si A lagi hamil sekarang, dan mau minta pertanggungjawaban si B. Tapi si Bnya gak mau la kak, kan belum tentu dia bapaknya. Soalnya
pacarnya si A banyak sich” Komunikasi personal, Maret 2008.
Kasus yang sama juga peneliti temukan dari hasil wawancara dengan L, pelajar di sekolah Y, berikut penuturannya :
”L punya teman yang hamil di luar nikah dan dia terpaksa berhenti dari sekolah, mbak. L juga awalnya gak nyangka, soalnya selama ini kami sering
jalan bareng. Trus, tiba-tiba L nerima undangan dari dia kalo dia mau nikah, padahal saat itu kami baru mau naik kelas 3, mbak” Komunikasi personal,
November 2008. Berdasarkan kasus yang ada, tampak bahwa ternyata penalaran moral dan
kontrol diri itu sangat diperlukan. Kontrol diri dapat dijadikan sebagai sumber
Universitas Sumatera Utara
5 kebijakan, yang dapat mengarahkan seseorang pada perbuatan baik dan
menghindari dosa. Kontrol diri ini dapat dipengaruhi oleh religiusitas pada berbagai cara, dan kebanyakan memberi hasil yang positif. Religiusitas
merupakan sumber standar moral yang penting untuk mengarahkan usaha-usaha kontrol diri seseorang Geyer Baumeister, 2005. Ini diperkuat dengan hasil
penelitian Ancok dkk yang menunjukkan bahwa religiusitas remaja dan kegiatan mereka dalam aktivitas keagamaan memiliki pengaruh yang cukup berarti
terhadap kepribadiannya. Makin tinggi religiusitas dan makin aktif dalam kegiatan keagamaan makin baik pula kepribadiannya, dan begitu pula sebaliknya Astuti,
1999. Menurut Glock Stark, agama merupakan sistem simbol, sistem keyakinan,
sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi Ancok
Suroso, 1994. Setiap agama pasti mengandung ajaran-ajaran kebenaran, begitu juga dalam Islam. Dalam Islam, moral akhlak mulia adalah tujuan utama dari
risalah Islam, seperti yang tertera dalam Q.S. Al-Hajj [22] : 41, yang berbunyi : ”Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka
bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf, dan mencegah dari perbuatan yang munkar; dan kepada
Allah-lah kembali segala urusan”
Moral akhlak mulia merupakan bukti dan buah keimanan yang benar, dan implementasi berbagai bentuk ibadah dalam Islam, karena tanpa moral akhlak
ibadah hanya menjadi ritual dan gerakan yang tidak memiliki nilai dan manfaat. Orang yang memeluk Islam dengan sungguh-sungguh, memandang dunia sebagai
arena perlombaan untuk melakukan ketaatan kepada Allah dan mencapai ridha-
Universitas Sumatera Utara
6 Nya. Seluruh hidupnya, baik aktivitas, perniagaan, harta, rumah, waktu, maupun
pikiran mereka digunakan untuk mencapai tujuan itu. Mereka berbeda dengan kaum materialis yang menggunakan segala sesuatu untuk memuaskan nafsu dan
syahwatnya Yakan, 2007. Pandangan di atas diperkuat oleh pernyataan Gladding, Lewis dan Adkins,
bahwa individu yang religiusitasnya tinggi cenderung lebih berorientasi internal, melihat tujuan akhir dari kehidupan mereka. Religiusitas yang tinggi tampak pada
adanya penempatan terhadap konsep-konsep nilai yang lebih tinggi. Sementara itu, individu yang memiliki religiusitas yang lebih rendah, melihat harapan dan
makna yang lebih sedikit dari kehidupan mereka, yang membedakan diri mereka dari masyarakat. Mereka cenderung menempatkan nilai-nilai ”hedonistik” seperti,
kesenangan, kenyamanan, dan kegembiraan, karena penundaan kepuasan dianggap tidak bernilai dan kehidupan dipandang sebagai kesempatan untuk
memuaskan hasratkeinginan dasar pada saat tertentu. Pada dasarnya, mereka lebih berorientasi individualis dan sering berprasangka pada orang lain Glover,
1997. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada korelasi positif
antara religiusitas dengan penalaran moral, dimana bila semakin tinggi religiusitas seseorang maka penalaran moralnya juga semakin, dan begitu sebaliknya. Hal ini
dikarenakan orang yang religiusitasnya tinggi cenderung memunculkan dan menempatkan konsep-konsep nilai yang lebih tinggi yang dilakukannya dalam
melakukan penalaran terhadap situasi yang memerlukan pertimbangan moral. Namun, tidak sepenuhnya religiusitas berkorelasi positif dengan penalaran moral.
Universitas Sumatera Utara
7 Hal ini didasarkan pada penelitian Sapp dan Gladding yang memperoleh nilai
korelasi r = -0.26 dengan p 0.05, yang berarti bahwa ada korelasi negatif antara religiusitas dan penalaran moral. Penelitian Glover terhadap 210 partisipan juga
menunjukkan hasil yang sama bahwa ada korelasi signifikan antara religiusitas dan penalaran moral, dimana nilai korelasi r adalah sebesar -0.2 Glover, 1997.
Bertentangan dengan pernyataan di atas, Kohlberg menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang jelas diantara penalaran moral dan religiusitas, karena
moralitas dan religiusitas merupakan dua area yang berbeda pada diri manusia dan keduanya tidak bisa disatukan. Dalam pembuatan suatu keputusan moral yang
berperan adalah argumen rasional terhadap prinsip keadilan, sementara penalaran religius didasarkan pada wahyu yang ada. Sementara itu, Richards dan Davison
menyatakan bahwa ada hubungan yang lemah antara religiusitas dengan penalaran moral. Menurut Wahrman, hubungan antara penalaran moral dan religiusitas itu
tergantung pada tingkat dogmatisme dan afiliasi seseorang. Dari penelitian yang dilakukannya terhadap kelompok-kelompok religius, dia menemukan bahwa ada
hubungan yang lemah antara penalaran moral dengan dogmatisme Glover, 1997. Berdasarkan hasil penelitian dan pernyataan-pernyataan dari para tokoh yang
telah dikemukakan sebelumnya, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Pengaruh Religiusitas terhadap Penalaran Moral Remaja yang
Beragama Islam”.
Universitas Sumatera Utara
8
B. PERUMUSAN MASALAH