PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP PENALARAN MORAL REMAJA YANG BERAGAMA ISLAM

34 atau kebutuhan individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum dan aturan harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan dan fungsi sosial. Remaja sudah mulai memilih prinsip moral untuk hidup. Individu melakukan tingkah laku moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri. Pada tahap ini, remaja mulai menyadari bahwa keyakinan religius penting bagi mereka. Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa usia remaja terbagi atas tiga tahap, yaitu remaja awal, madya, dan akhir dimana masing-masing tahap memiliki karakteristik tersendiri.

D. PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP PENALARAN MORAL REMAJA YANG BERAGAMA ISLAM

Banyak perubahan yang terjadi pada masa remaja. Berbagai perubahan itu membutuhkan proses penyesuaian diri. Penyesuaian diri tersebut dapat dilakukan dengan menjalani tugas-tugas perkembangan selama masa periode ini. Salah satu tugas perkembangan penting yang harus dikuasai remaja adalah mengganti konsep-konsep moral yang berlaku khusus di masa kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Remaja harus bisa mengendalikan perilakunya sendiri. Bagi kebanyakan remaja, tugas-tugas tersebut merupakan tugas yang sulit. Dalam kenyataannya, ada yang berhasil menjalaninya dan ada juga yang tidak berhasil Hurlock, 1980. Oleh karena itu, Medinnus dan Dusek menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang menentukan bagi perkembangan moral seseorang Martani, 1995. Universitas Sumatera Utara 35 Moral merupakan suatu standar salah atau benar bagi seseorang. Gibbs dan neo-Kohlbergian lainnya mengemukakan bahwa aspek penting dari moralitas adalah bagaimana penalaran moral seseorang Papalia dkk, 2007. Menurut Kohlberg, penalaran moral merupakan penilaian terhadap nilai, penilaian sosial yang mengikat individu dalam melakukan suatu tindakan. Kematangan penalaran moral dapat dijadikan prediktor yang baik terhadap dilakukannya tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral. Penalaran moral itu dipengaruhi oleh sifat dasar manusia yang disebut dengan kontrol diri. Dengan adanya kontrol diri, orang memiliki standar mengenai apa yang harus dilakukannya sehingga ia akan berusaha memonitor perilakunya dan melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan standarnya itu. Kontrol diri ini dapat dipengaruhi oleh religiusitas pada berbagai cara, dan kebanyakan memberi hasil yang positif. Religiusitas merupakan sumber standar moral yang penting untuk mengarahkan usaha-usaha kontrol diri seseorang Geyer Baumeister, 2005. Hasil penelitian Ancok dkk menunjukkan bahwa religiusitas remaja dan kegiatan mereka dalam aktivitas keagamaan memiliki pengaruh yang cukup berarti terhadap kepribadiannya. Makin tinggi religiusitas dan makin aktif dalam kegiatan keagamaan makin baik pula kepribadiannya, dan begitu pula sebaliknya Astuti, 1999. Agama merupakan sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan Ancok Suroso, 1994. Setiap agama pasti mengandung ajaran-ajaran kebenaran, begitu juga dalam Islam. Dalam Islam, moral akhlak mulia adalah tujuan utama dari risalah Islam. Universitas Sumatera Utara 36 Moral akhlak mulia merupakan bukti dan buah keimanan yang benar, dan implementasi berbagai bentuk ibadah dalam Islam, karena tanpa moral akhlak ibadah hanya menjadi ritual dan gerakan yang tidak memiliki nilai dan manfaat Yakan, 2007. Pandangan ini diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Gladding, Lewis dan Adkins. Penelitian ini menggunakan 210 partisipan dan hasilnya menunjukkan ada korelasi signifikan antara penalaran moral dan religiusitas, dimana p 0.01. Penelitian ini mengindikasikan bahwa individu yang religiusitasnya tinggi cenderung lebih berorientasi internal, melihat tujuan akhir dari kehidupan mereka. Religiusitas yang tinggi tampak pada adanya penempatan terhadap konsep-konsep nilai yang lebih tinggi. Sementara itu, individu yang memiliki religiusitas yang lebih rendah, melihat harapan dan makna yang lebih sedikit dari kehidupan mereka, yang membedakan diri mereka dari masyarakat. Mereka cenderung menempatkan nilai-nilai ”hedonistik” seperti, kesenangan, kenyamanan, dan kegembiraan, karena penundaan kepuasan dianggap tidak bernilai dan kehidupan dipandang sebagai kesempatan untuk memuaskan hasratkeinginan dasar pada saat tertentu. Pada dasarnya, mereka lebih berorientasi individualis dan sering berprasangka pada orang lain Glover, 1997. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada korelasi positif antara religiusitas dengan penalaran moral, dimana bila semakin tinggi religiusitas seseorang maka penalaran moralnya juga semakin, dan begitu sebaliknya. Namun, tidak sepenuhnya religiusitas berkorelasi positif dengan penalaran moral. Hal ini didasarkan pada penelitian Sapp dan Gladding yang memperoleh nilai korelasi r = Universitas Sumatera Utara 37 -0.26 dengan p 0.05, yang berarti bahwa ada korelasi negatif antara religiusitas dan penalaran moral. Penelitian Glover terhadap 210 partisipan juga menunjukkan hasil yang sama bahwa ada korelasi signifikan antara religiusitas dan penalaran moral, dimana nilai korelasi r adalah sebesar -0.2 Glover, 1997. Bertentangan dengan pernyataan di atas, Kohlberg menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang jelas diantara penalaran moral dan religiusitas, karena moralitas dan religiusitas merupakan dua area yang berbeda pada diri manusia dan keduanya tidak bisa disatukan. Dalam pembuatan suatu keputusan moral yang berperan adalah argumen rasional terhadap prinsip keadilan, sementara penalaran religius didasarkan pada wahyu yang ada. Sementara itu, Richards dan Davison menyatakan bahwa ada hubungan yang lemah antara religiusitas dengan penalaran moral. Menurut Wahrman, hubungan antara penalaran moral dan religiusitas itu tergantung pada tingkat dogmatisme dan afiliasi seseorang. Dari penelitian yang dilakukannya terhadap kelompok-kelompok religius, dia menemukan bahwa ada hubungan yang lemah antara penalaran moral dengan dogmatisme Glover, 1997.

E. Hipotesa Penelitian