Al-Balad dengan tema wilayah atau negeri yang bersifat umum.

A. Al-Balad dengan tema wilayah atau negeri yang bersifat umum.

Pada penafsiran ayat-ayat al-Balad yang penulis kategorikan pada tema wilayah atau negeri yang bersifat umum, secara umum ayat-ayatnya termasuk dalam ayat-ayat Makiyyah. Kata-kata yang dipergunakan pada tema ini adalah balad, al-Balad, dan baldah .

Kata ( ﺓﺩـﻠﺒ ) baldah ditafsirkan oleh Sayyid Quthb dalam Fî Zhilâl al- Qur’ân dengan ( ﺽﺭﻻﺍ ) bumi, sebagaimana Al-Hâfizh Ibn Katsîr menafsirkan Baldatan Mayyitan dengan Bumi (tanah) yang diam/padam ( ﺓﺩـﻤﺎﻫ ). 1 Disebutnya

1 . Abî al-Fidâ’ Ismâ’il bin ‘Umar bin Katsîr, Tafsîr al-Qur’an al-‘Adhîm, Riyadh : Dâr al- Thayyibah, 1999, cet2, juz 7, Hal 396.

kata mayyitan karena adanya al-Baldah yang berarti negeri atau tempat. 2 Bumi di sini maksudnya adalah tanah, sebab bumi menurut Sayyid Quthb merupakan tempat tumbuhnya biji buah, benih dan pohon kurma. 3 Seperti

ketika para Mufassir terdahulu manafsirkan kata baldah pada kalimat ﻪﺒ ﺎﻨﻴﻴﺤﺍﻭ

ﺎـﺘﻴﻤ ﺓﺩـﻠﺒ ditafsirkan dengan kami (Allah) hidupkan dengan air yang kami turunkan dari langit (air hujan) negeri yang mati karena kering dan kemarau

( ﺕﻁﺤﻗﻭ ﺕﺒﺩﺠﺍ ), sehingga tidak ada tanaman dan tumbuhan. 4

Kata ( ﺩـﻠﺒ ) balad ditafsirkan oleh Sayyid Quthb dengan tempat atau daerah, bahkan dicontohkan dengan padang pasir. 5 Kata baladin Mayyitin oleh Sayyid Quthb ditafsirkan dengan Shahrâ’ (padang sahara) dan Jadbân (Tempat/ tanah yang tandus). 6 Dan Kata ( ﺩـﻠﺒﻟﺍ ) al-Balad ditafsirkan dengan bumi atau tanah. Seperti ﺏﻴﻁﻟﺍ ﺩﻠﺒﻟﺍ (tanah atau daerah yang baik) dan ﺙﺒﺨﻟﺍ ﺩﻠﺒﻟﺍ (tanah atau daerah yang buruk). 7 Dari penafsiran Sayyid Quthb ini terlihat kesatuan makna satu sama lain, yang pada dasarnya kata balad, al-Balad, dan baldah

2 . Abi al-Su’ûd Muhammad bin Muhammad al-‘Ammâdî, Tafsîr Abî al-Su’ûd al-Musamma Irsyâd al-‘Aql al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Qur’an al-Karîm, Beirut : Dâr al-Ahyâ al-Turâts al-‘Arabî, 1990,

cet 2, Juz 8, Hal 127. 3 . Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, ... juz 6, hal 3361.

4 . Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayyi al-Qur’ân, Beirut : Dâr al- Fikr, 2001, cet-1, Juz 26, Hal 7955. lihat juga Muhammah al-Syaukanî, Fath al-Qadîr: AlJâmi’ Bain

Fannî al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Beirut : al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1999, cet-3, juz 5, hal 89. lihat juga al-Qasimi kata Baldatan Mayyitan ditafsirkan dengan Ardhan Jadbah ( Bumi yang kering) Muhammad Jamâluddin al-Qâsimî, Tafsîr al-Qâsim al-Musamma Mahâsin al-Ta’wîl, Beirut : Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997, cet-1, juz 9, hal 7

5 . Sayyid Quthb, Fi Zhilâl al-Qur’ân …,Juz 5, hal 2929. 6 . Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, …Juz 3, Hal 1299. 7 . Ibid, juz 3, hal 1300.

mengandung makna sama, yaitu menunjukkan pada tempat , khususnya tanah

tempat tumbuhnya tanaman.

Kata ( ﺓﺩـﻠﺒ ) baldah ditafsirkan oleh M. Quraish Shihab dalam al-Mishbâh dengan bumi, negeri atau tanah yang dapat ditumbuhi sesuatu sehingga hidup. Tanah atau tempat dalam ayat diatas sifatnya sangat umum, artinya ia dapat ditafsirkan pada setiap wilayah yang ada dipermukaan bumi. Tidak

terikat dengan wilayah tertentu atau wilayah yang khusus. Hal ini sesuai dengan makna yang disebutkan oleh ensiklopedi al-Qur’an bahwa kata baldah meliputi wilayah yang relatif luas, juga menunjuk kepada wilayah tertentu

walaupun tidak dapat ditafsirkan secara pasti di wilayah mana ia berada. 8 Kata baldah lebih condong digunakan untuk menyebut suatu wilayah yang relatif

lebih sempit. 9 Penafsiran M. Quraish Shihab pada kata baldah dengan bumi, negeri atau tanah yang ketiga-tiganya ini merupakan istilah untuk menyebutkan sebuah tempat, sejalan dengan penafsiran mufassir terdahulu yang

menafsirkan kata baldah pada kalimat ﺎﺘﻴﻤ ﺓﺩﻠﺒ ﻪﺒ ﺊﺤﻨﻟ dengan ﺕ ﺒﻨﺘﻻ ﺔﻴﺫﻋ ﺔﻁﺤﻗ ﺎﻀﺭﺍ ( bumi yang kemarau, jauh dari air, tidak sehat karena banyak penyakit dan wabah menular sehingga tidak dapat menumbuhkan), kata baldatan mayyitan tidak dengan

kata mayyitatun ( ﺔـﺘﻴﻤ ) karena itu dimaksudkan untuk menghidupkan tempat

8 . Penyusun Ensiklopedi al-Qur’an, Ensiklopedi al-Qur’an : Dunia Islam Modern, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2003, cet-I, Hal 280-282.

9 . Penyusun Ensiklopedi al-Qur’an, Ensiklopedi al-Qur’an…, Hal 282.

yang mati. 10 Imam al-Qurthubî menafsirkan ( ﺎﺘﻴﻤ ﺓﺩﻠﺒ ) dengan ( لـﺤﻤﻟﺍﻭ ﺔﺒﻭﺩﺠﻟﺎﺒ

ﺕﺎـﺒﻨﻟﺍ ﻡﺩﻋﻭ ) tempat yang kering, tidak subur dan tidak ada tumbuh-tumbuhan. Karena itu air hujan adalah ruhnya bumi, dengan air itu Allah menghidupkan bumi. Kata mayitan ( ﺎﺘﻴﻤ ) tidak ditulis dengan mayitatun ( ﺔﺘﻴﻤ ) karena makna al-

Baldah adalah al-Balad , dan maksud al-Balad di sini adalah al-Makan ( ﻥﺎـﻜﻤﻟﺍ ) tempat. 11 Tempat dalam ayat ini disimbolkan dengan kata baldah ( ﺓﺩـﻠﺒ ) yang memiliki makna wilayah yang relatif lebih sempit. 12 Kata baldah mayyitah dalam ayat ini ditafsirkan dengan bumi/ tanah yang mati. 13 Atau tempat yang

sunyi dari tumbuh-tumbuhan ( ﺕﺎﺒﻨﻟﺍ ﻥﻤ ﺓﺭﻔﻘﻤ ). 14

Kata ( ﺩـﻠﺒ ) balad ditafsirkan oleh M. Quraish Shihab dengan negeri yang artinya tanah. Kata al- balad dengan tambahan al ( لﺍ ) ditafsirkan dengan tanah. tambahan al disini penjelasannya menjadi lebih spesifik. Penafsiran itu sesuai dengan penafsiran Imam Zamakhsyari yang menafsirkan kata al-Balad pada

10 . Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayyi al-Qur’ân, Juz 19, Hal 6505.

11 . Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthûbî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Beirut : Dâr al-Kitâb al-‘Ârabî, 2000, cet 3, Juz13, Hal 57.

12 . Penyusun Ensiklopedi al-Qur’an, Ensiklopedi al-Qur’an…, Hal 282. 13 . Abî al-Fidâ’ Ismâ’il bin ‘Umar bin Katsîr, Tafsîr al-Qur’an al-‘Adhîm, Juz 7, Hal 220. 14 . Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthûbî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz 16, Hal

surah al-A’raf ayat 58 dengan ( ﺔـﺒﺭ ﺘﻟﺍ ) tanah, 15 kata ( ﺏـﻴﻁﻟﺍ ﺩـﻠﺒﻟﺍ ) lebih lengkap

ditafsirkan dengan ( ﺔﺒﺭﺘﻟﺍ ﺔﻤﻴﺭﻜﻟﺍ ﺽﺭﻻﺍ ). 16

Makna-makna yang dikemukakan oleh Sayyid Quthb, M. Quraish Shihab dan para mufassir terdahulu di atas, pada dasarnya adalah sama, yaitu tempat dengan spesifikasi tanah sebagai media tumbuhnya berbagai tanaman.

Ayat-ayat di atas adalah ayat-ayat yang mengandung redaksi baldah,

balad dan al-Balad di dalamnya. Dalam al-Qur’an juga terdapat ayat-ayat lain dengan kandungan makna sama tetapi menggunakan kata selain itu tetapi

dengan kata al-Ardhu (yang maknanya bumi/ tanah) dengan redaksional yang berbeda-beda, yaitu pertama ﺎـﻬِﺘﻭﻤ ﺩـﻌﺒ ﺽﺭﹶﻻﺍ ِﻪـِﺒﹶﺎﻴﺤﺄﻓ ( Lalu dengan air itu Allah hidupkan (suburkan) bumi (tanah) sesudah mati (kering)-nya) . Redaksional ini terdapat pada surah al-Baqarah 2 : 164, al-Nahl 16 : 65, al-Ankabut 29 : 63.

Kedua ﺎـﻬِﺘﻭﻤ ﺩـﻌﺒ ﺽﺭﻻﺍ ﻰـﺤﻴ ( Dan menghidupkan bumi (tanah) sesudah matinya ), redaksional ini terdapat pada surah Rûm 30 : 19, 24, 50 dan al-Hadid 57: 17.

Ketiga ﺎـﻬﻨﻴﻴﺤَﺃُ ﺔـﹶﺘﻴﻤﻟﺍ ﺽﺭﻻﺍ ( Bumi (tanah) yang mati, kami yang menghidupkannya ) terdapat pada surah Yasin 36 : 33. Keempat ﺽﺭﻻﺍ ﹸﺕـِﺒﹾﻨﹸﺘ ﺎـﻤ ِﻤ ( Baik dari apa yang ditumbuhkan oleh Bumi /tanah ) yang terdapat pada surah Yasin 36 : 36.

15 . Zamakhsyari, al-Kasysyâf an Haqâiq al-Tanjil wa Uyûn al-Aqâwil, Dâr al-Fikr, 1983, cet.2, Juz.2, hal 84.

16 . Abi al-Su’ûd Muhammad bin Muhammad al-‘Ammâdî, Tafsîr Abî al-Su’ûd …, Juz 3, Hal 234.

Sayyid Quthb maupun M. Quraish Shihab tidak berbeda pendapat dengan tafsiran pada tema ini, bahkan ini seiring dengan penafsir-penafsir sebelumnya. Kesamaan ini terjadi karena tata bahasa yang sama, tetapi dalam pengembangan makna Sayyid Quthb menjelaskan kawasan atau tanah dengan mencontohkannya pada padang sahara, berbeda dengan M. Quraish Shihab yang tidak memberikan contohnya. Sayyid Quthb melakukan itu dalam rangka mempertegas maksud ayat, contoh yang diambil sesuai dengan situasi lingkungannya yang banyak dikelilingi padang sahara. Berbeda dengan M. Quraish Shihab yang jauh dari kehidupan gurun atau padang sahara.

Dalam penafsiran Sayyid Quthb atas ayat-ayat ini, pada dasarnya beliau memfokuskan pada dua pokok bahasan, yaitu pembahasan pada pengetahuan alam dan pemahaman tauhid. Pengetahuan alam ini beliau jelaskan dalam bentuk fenomena alam. Fenomena alam yang diungkapkan bukanlah sebuah kiasan, tetapi sesuatu yang nyata dan tanpak di hadapan pandangan manusia. Dalam penjelasannya, beliau ungkapkan sifat-sifat alam, walaupun dengan penjelasan yang sangat sederhana. Sifat-sifat alam ini kemudian dihubungkan dengan nilai-nilai ketauhidan, dengan tujuan utama manusia menyadari

hakekat dirinya. 17 Lebih jauh lagi, dapat saja Sayyid Quthb mengharapkan, jika

17 . Hal ini dapat terlihat pada substansi penafsiran Sayyid Quthb pada ayat-ayat al-Balad, khususnya ayat-ayat pada tema wilayah atau negeri yang bersifat umum, salah satunya dapat dilihat

dari penafsiran pada Qs Qâf 50 : 11 pada tesis ini.

tiap individu menyadari akan hakekat dirinya, maka individu itu diharapkan akan menjadi manusia pada derajat kesempurnaan (insan kamil). Dengan demikian al-Qur’an di sini menjadi sarana bagi manusia untuk mencapai pada manusia yang sempurna itu.

Hal yang menonjol dari penafsiran Sayyid Quthb dalam ayat-ayat al- Balad adalah beliau selalu menyertai keterangan penafsiran al-Balad dengan

Qalb (hati), bahkan kata balad sendiri ditafsirkan dengan Qalb (hati) sebagai

sebuah perumpamaan. 18

M. Quraish Shihab dalam penafsiran atas ayat-ayat yang sama memfokuskan penafsirannya pada penjelasan tugas, fungsi, sifat dan karakteristik dari masing-masing subjek dan objek dalam peristiwa alam. Hal itu dinyatakan atas penjelasan beliau pada tanah, air hujan, angin, jiwa,

manusia yang banyak dan kultur dari sebuah daerah. 19

Aneka penjelasan itu semuanya ditujukan agar pembaca paham, bahwa semua itu merupakan kuasa Allah. Manusia diharuskan sadar dan kembali kepada alur yang diciptakan Allah. Sehingga diharapkan manusia di bumi ini menjadi perwujudan Allah, nilai ketauhidan ini menjadi point yang menonjol dalam ayat ini.

18 . Lihat pada penafsiran beliau pada Qs al-A’raf 7 : 58 19 . Lihat pada penafsiran M. Quraish Shihab pada Qs Qâf 50 : 11; Qs al-Zukhruf 43 : 11 ; Qs

al-Fathir 35 : 9 dan Qs al-A’raf 7 : 57-58 pada bab III tesis ini.

Dengan demikian penafsiran antara Sayyid Quthb dan Quraish Shihab pada ayat-ayat di atas tidaklah berbeda secara substantif, yang membedakannya adalah gaya penyampaiannya saja. Dari penafsiran Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab pada bab III tesis ini, ayat-ayat di atas berkisah tentang proses kehidupan yang terjadi di bumi. Sepintas kilas tidak ada yang istimewa dalam proses-proses itu, tetapi bagi umat yang mau merenungi proses-proses itu, terdapat keistimewaan dan kandungan nilai yang banyak. Semua kehidupan di muka bumi berasal dari air (air hujan), ia menjadi benda yang sangat penting peranannya sebagai sumber kehidupan.

Tanah atau daerah yang subur, hidup dan suci menjadi satu faktor dari rahmat Allah kepada makhluk hidup, khususnya bagi umat manusia. Tanpa adanya tanah yang subur dalam satu daerah, maka daerah itu tidak akan banyak memberikan manfaat, sebab tidak ada tumbuh-tumbuhan yang akan hidup dan menghasilkan di atasnya. Karenanya tanah atau daerah yang subur, hidup dan suci merupakan embrio bagi kehidupan di bumi. Oleh sebab itu kehidupan, kesuburan dan kesucian suatu tanah atau daerah perlu dijaga, dipelihara dan dilestarikan, supaya komunitas kehidupan yang ada di atasnya dapat hidup dan berkembang dari manfaat yang dihasilkan darinya dengan nuansa yang penuh dengan rasa syukur dan keberkahan. Sebaliknya jika tanah atau daerah tidak dijaga, dipelihara dan dilestarikan maka bumi akan rusak, Tanah atau daerah yang subur, hidup dan suci menjadi satu faktor dari rahmat Allah kepada makhluk hidup, khususnya bagi umat manusia. Tanpa adanya tanah yang subur dalam satu daerah, maka daerah itu tidak akan banyak memberikan manfaat, sebab tidak ada tumbuh-tumbuhan yang akan hidup dan menghasilkan di atasnya. Karenanya tanah atau daerah yang subur, hidup dan suci merupakan embrio bagi kehidupan di bumi. Oleh sebab itu kehidupan, kesuburan dan kesucian suatu tanah atau daerah perlu dijaga, dipelihara dan dilestarikan, supaya komunitas kehidupan yang ada di atasnya dapat hidup dan berkembang dari manfaat yang dihasilkan darinya dengan nuansa yang penuh dengan rasa syukur dan keberkahan. Sebaliknya jika tanah atau daerah tidak dijaga, dipelihara dan dilestarikan maka bumi akan rusak,

Dalam posisi ini manusia merupakan faktor penentu, apakah ia akan berbuat baik atau sebaliknya, jika manusia mau belajar dan merenungi semua peristiwa alam tersebut sehingga ia menyadarinya dan bersyukur pada Allah

sang pencipta, maka tidak ada lagi penderitaan dan kerusakan di atas bumi. Bumi dalam genggaman manusia yang mau mengambil pelajaran dan mau

bersyukur akan menjadi bumi dengan kualitas tanahnya yang baik, sehingga kesuburannya dapat terpelihara dan akhirnya mampu mendatangkan berbagai macam tumbuhan yang dapat bermanfaat bagi makhluk hidup.

Selain menjaga kesuburannya manusia juga secara tidak langsung diperintahkan untuk menjaga, mengatur kandungan yang ada di dalamnya seperti alam, lingkungan hutan, sumber energi maupun barang tambangnya seperti minyak bumi, gas, batu bara, emas, timah, dan lain-lain. Jika ini tidak diperhatikan dan diatur sedemikian rupa akan menimbulkan dampak yang tidak kecil bagi manusia.

Apa yang ditumbuhkan oleh bumi berupa segala tumbuhan dan menumbuhkan buah-buahan tercipta karena unsur keberpasangan. Dalam ayat ini juga kita dapat membuktikan bahwa makna al-Ardh sebagaimana Apa yang ditumbuhkan oleh bumi berupa segala tumbuhan dan menumbuhkan buah-buahan tercipta karena unsur keberpasangan. Dalam ayat ini juga kita dapat membuktikan bahwa makna al-Ardh sebagaimana

Makna balad, baldah dan al-balad dalam ayat-ayat di atas menunjukkan dasar sebuah kehidupan, berawal dari daerah yang tandus, mati dan tak berpenghuni menuju daerah yang subur, hidup dan berpenghuni, sangat alamiah sekali. Itulah yang direfresentasikan dengan jelas oleh kata balad,

baldah dan al-Balad . Jika ditinjau dari aspek sebuah negeri yang berdiri menjadi sebuah negara dengan pemerintahan yang modern, maka kondisi alamiah di

atas adalah prasyarat awal dan pasti akan dilewati oleh negara semodern apapun negara itu.

Karakter-karakter yang dapat diambil dari penafsiran ayat-ayat di atas, dan merupakan karakter yang tidak dapat dilepaskan dari tempat, tanah, daerah, padang sahara, bumi, maupun negeri sebagai sarananya. Karakter- karakter itu antara lain : Tidak ingkar, al-Qur’an sebagai terapi pengobatan, tamsil sebagai sebuah metode pendidikan, suci dan bersih dalam kehidupan, keterkaitan satu sama lain dalam menjalankan kehidupan, kehidupan dilalui dengan; beraturan dalam pola hidup, syukur dalam kehidupan. Semua karakter itu merupakan fondasi utama dalam menjalankan kehidupan di masyarakat.

Dari penjelasan penafsiran Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab pada ayat-ayat al-Balad dalam tema ini, penulis menangkap satu garis pemahaman Dari penjelasan penafsiran Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab pada ayat-ayat al-Balad dalam tema ini, penulis menangkap satu garis pemahaman

Alam yang terjadi karena fenomena alam maupun hasil andil tangan manusia, merupakan embrio bagi kehidupan manusia untuk mencapai posisi manusia yang sadar dan menyadari keberadaan dirinya, untuk mampu mencapai derajat manusia sempurna. Yaitu dengan memulai pada alam lingkungan tempat tinggalnya, karena dari lingkungan yang kecil itulah kemudian lahir kehidupan yang lebih besar lagi, yaitu kehidupan negeri dan negara.

Dengan demikian dalam kehidupan bermasyarakat dalam satu negeri atau negara, manusia dengan fenomena alam yang terjadi setiap saat dalam kehidupan itu, hendaklah mampu menjaga dan mengembangkan alam sekitar menjadi bermanfaat bagi sesamanya, sebagai proses awal bahwa ia paham dan mengerti hakekat keberadaannya di sana. Kemampuan mengelola lingkungan Dengan demikian dalam kehidupan bermasyarakat dalam satu negeri atau negara, manusia dengan fenomena alam yang terjadi setiap saat dalam kehidupan itu, hendaklah mampu menjaga dan mengembangkan alam sekitar menjadi bermanfaat bagi sesamanya, sebagai proses awal bahwa ia paham dan mengerti hakekat keberadaannya di sana. Kemampuan mengelola lingkungan