Penafsiran M. Quraish Shihab atas ayat-ayat al-Balad Tiga tema yang terdapat pada penafsiran ayat-ayat al-Balad,

2. Penafsiran M. Quraish Shihab atas ayat-ayat al-Balad Tiga tema yang terdapat pada penafsiran ayat-ayat al-Balad,

sebagaimana pada penafsiran Sayyid Quthb sebelumnya, merupakan arah dalam penafsiran ayat-ayat al-Balad dalam Tafsir al-Mishbâh .

a. Tafsir pada ayat-ayat yang bertemakan wilayah atau negeri yang bersifat umum.

Kata-kata yang dipergunakan dalam enam ayat tema ini adalah baldah, balad dan al-Balad. Kata baldah terdapat pada Qs Qâf 50 : 11; Qs al-Furqan 25 : 49; Qs al-Zukhruf 43 : 11. Kata balad terdapat pada Qs al-Fathir 35 : 9 dan Qs al- A’raf 7 : 57. Sedangkan kata al-Balad terdapat pada Qs al-A’raf 7 : 58.

Qur’an’ apalagi ‘al-Qur’an dan terjemahannya’. Menurut M. Quraish Shihab, hal itu lebih tepat disebut atau dipahami sebagai terjemahan makna-makna al-Qur’an. Lihat ‘sekapur sirih’ M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbâh…, vol I hal. X.

83 . Kadang-kadang M. Quraish Shihab melakukan kritik atas salah satu bentuk terjemahan dan sekaligus mengutarakan bentuk terjemahan (terjemahan makan-makna al-Qur’an dalam istilah

Quraish Shihab) yang lain. Contohnya ketika beliau menterjemahkan kalimat ‘Aqîmu al-Salâh’ yang biasa diterjemahkan dengan ‘dirikanlah shalat’, beliau katakana bahwa terjemahan itu keliru, karena kata aqîm bukan terambil dari akar kata qâma yang berarti ‘berdiri’, tetapi dari kata qawama yang berarti ‘melaksanakan sesuatu dengan sempurna dan berkesinambungan berdasarkan hak-haknya’. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, vol I, hal 90.

Kata ( ﺓﺩـﻠﺒ ) baldah ditafsirkan oleh M. Quraish Shihab dalam al-Mishbâh dengan bumi, negeri atau tanah yang dapat ditumbuhi sesuatu sehingga hidup. Tanah atau tempat dalam ayat diatas sifatnya sangat umum, artinya ia dapat ditafsirkan pada setiap wilayah yang ada dipermukaan bumi. Tidak terikat dengan wilayah tertentu atau wilayah yang khusus.

Pada penafsiran ayat-ayat dengan kata baldah dalam redaksional ayatnya, M. Quraish Shihab secara umum menerangkan aspek ketauhidan,

kultur kehidupan, dan hukum alam berupa siklus kehidupan. Beliau menyatakan bahwa Kekuasaan Allah merupakan sumber kehidupan. Menurutnya QS Qâf 50 : 11 merupakan lanjutan dari paparan bukti-bukti kuasa Allah swt. Kali ini yang diuraikannya adalah beberapa dampak yang diperoleh dari penciptaan langit dan bumi. Dampak pertama yang disebutkan adalah apa yang dihasilkan bersama oleh langit dan bumi yakni air hujan yang bersumber dari laut dan sungai yang terhampar di bumi, lalu air itu menguap ke angkasa akibat panas yang memancar dari matahari yang berada di langit. Di sini Allah menyebutkan karunia-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya dengan menurunkan air yang merupakan sumber kehidupan mereka di pentas bumi, yang tadinya berupa tanah yang mati karena kering dan gersang

menjadi hidup karena air hujan yang diturunkan. 84

84 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh...,Vol 13, Hal 286.

Terdapat pesan dari tafsiran ayat baldah yang penting yaitu : Tauhid, kultur kehidupan, dan saling membutuhkan dalam siklus kehidupan. Pesan tauhid terlihat dari kekuasaan Allah mengirim angin guna menggiring awam, menurunkan hujan, air yang sangat suci, amat bersih dan dapat digunakan untuk mensucikan agar dengan air itu negeri yang gersang yang mati karena tanpa ditumbuhi sesuatu dapat hidup, dengan air itu juga binatang-binatang ternak, manusia yang banyak dapat minum. Merupakan bukti bahwa Allah

wajar untuk disembah. 85

Kultur kehidupan dapat diambil dari penjelasan kata ( ﺍﺭـﻴﺜﻜ ) katsîran yang dikaitkan dengan manusia yang mengisyaratkan bahwa tidak semua manusia minum dari air hujan. Situasi dan kondisi membentuk pola hidup manusia, seperti kebiasaan Masyarakat Arab –apalagi di jazirah Arab- dikenal

dengan nama ‘putra langit’ dalam arti mereka sangat mengandalkan air hujan, antara lain untuk minuman mereka. Berbeda dengan penduduk Mesir yang mengandalkan sungai Nil. Dengan demikian, ayat ini secara tidak langsung mengingatkan kaum musyrikin Mekkah tentang nikmat Allah kepada

mereka. 86 Perurutan penyebutan makhluk di atas dari segi kebutuhan kepada air, sungguh sangat serasi. Ayat-ayat di atas memulai menyebutkan turunnya air

85 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, Juz 9, Hal 491. 86 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, Juz 9, Hal 492.

ke bumi, lalu pemberian minum binatang, selanjutnya manusia. Ini karena tanah sangat membutuhkan air agar tumbuhan dapat muncul dan hidup. Tumbuh-tumbuhan amat dibutuhkan oleh binatang di samping kebutuhannya kepada air, karena itu binatang disebutkan sesudahnya. Terakhir adalah

manusia yang membutuhkan air, tumbuhan dan binatang. 87 Itulah siklus kehidupan yang saling membutuhkan satu sama lain.

fa ansyarnâ /kami hidupkan dengannya. dalam surah al- Zukhruf 43 : 11 mengisyaratkan bahwa penumbuhan tumbuhan dan menghidupkan yang mati sungguh jauh lebih hebat daripada menurunkan hujan, dan bahwa hal itu hendaknya menjadi perhatian dan renungan setiap

Kata ( ﺎﻨﺭﺸـﻨﺎﻓ )

orang. 88 Penegasan ayat diatas bahwa Allah menurunkan hujan secara bertahap dan dengan kadar tertentu, mengisyaratkan bahwa turunnya hujan bukanlah secara otomatis tanpa pengaturan Allah swt. Tetapi dia yang mengatur turunnya dan dengan kadar yang ditetapkan-Nya. Ini melalui hukum-hukum alam yang ditetapkan-Nya, dan juga atas dasar do’a dan shalat Istisqâ’ yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.

Ayat diatas juga menguraikan kuasa-Nya mencipta kembali dan membangkitkan manusia sesudah kematiannya. Hal ini dijelaskan melalui uraian tentang hujan, yang bermula dari laut dan sungai, lalu menguap ke

87 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, Juz 9, Hal 492. 88 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 11, Hal 544.

udara dan kembali lagi ke bumi. Dengan air yang turun itu juga Allah

menghidupkan tanah yang tadinya tandus. 89

Kata ( ﺩـﻠﺒ ) balad ditafsirkan oleh M. Quraish Shihab dengan negeri yang artinya tanah. Dalam ayat-ayat dengan kata balad dalam redaksionalnya, M. Quraish Shihab menerangkan hukum alam dalam siklus kehidupan secara detail, dengan diungkapkannya partikel-partikel alam yang menyusun sebuah

siklus. Realitas yang nyata ini kemudian dianggap sebagai sebuah perumpamaan bagi kebangkitan manusia.

M. Quraish Shihab menjelaskan surah Fathir 35 : 11 dengan menyatakan bahwa janji Allah pasti benar, karena Dia Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana dan hanya Allah yang kuasa mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan yang terbentuk dari sekumpulan uap air, kemudian menghalau awan itu ke suatu negeri yang gersang dan mati. Lalu dengan air itu dihidupkan bumi setelah matinya yakni tanah yang gersang itu. Demikianlah kebangkitan, yakni adanya tumbuh-tumbuhan di tanah yang mati dan gersang itu merupakan

tamsil bagi kebangkitan manusia dari tanah. 90

Ayat di atas menggunakan bentuk kerja masa lampau ketika menguraikan pengiriman angin , tetapi kata kerja masa kini dan datang ketika membicarakan

ini bertujuan

89 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 11, Hal 544. 90 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, Juz 11, hal 435-436.

menggambarkan peristiwa itu dalam benak mitra bicara, bagaikan dia sedang melihatnya dengan segala kehebatan dan keajaibannya yang menunjukkan kuasa Allah swt. Memang salah satu fungsi penggunaan bentuk mudhâri’ (kata kerja masa kini dan datang) adalah menghadirkan ke benak mitra bicara/ pendengar keindahan dan kehebatan atau keburukan peristiwa yang dibicarakan.

Sisi lain dari persamaan penggerakan awan dengan hari kebangkitan, adalah bahwa pada penggerakan awan itu terjadi penghimpunan partikel-

partikel air yang kemudian menjadi hujan, pada hari kebangkitan nanti pun terjadi penghimpunan manusia dan Allah menggiring dan menggerakkan manusia menuju padang mahsyar, untuk kemudian masing-masing di tempatkan di surga atau di neraka. Tidak ubahnya dengan penghimpunan partikel-partikel air itu yang disusul dengan turunnya hujan di lokasi yang

ditetapkan Allah swt. 91 Ini menandakan bahwa ada kesamaan proses dalam turunnya hujan dan kehidupan dari kematian. Yaitu tersusunnya partikel- partikel hingga munculnya kehidupan. Demikian juga dalam kehidupan ini, supaya dapat hidup dengan baik maka berbagai partiklel harus dapat dikumpulkan menjadi satu kesatuan yang sistemik, sehingga tercipta kehidupan yang ideal.

91 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, Juz 11, hal 436.

M. Quraish Shihab menafsirkan kata balad dalam Qs al-A’raf 7 : 57 dengan tanah, kata baladin mayyitin ditafsirkan dengan tanah yang tandus. 92 Pesan yang penting dari ayat ini terlihat dari penjelasan kata al-Riyâh. K ata ( ﺡﺎــﻴﺭﻟﺍ ) al-Riyâh dalam ayat diatas berbentuk jamak, M. Quraish Shihab menterjemahkannya dengan aneka angin. Memang angin bermacam-macam, bukan saja arah datangnya, tetapi juga waktu-waktunya. Biasanya, jika al- Qur’an menggunakan bentuk jamak, maka angin yang dimaksud adalah angin yang membawa rahmat, dalam pengertian umum, baik hujan, maupun

kesegaran. Tetapi bila menggunakan bentuk tunggal ( ﺢـﻴﺭ ) Rîh, maka ia mengandung makna bencana. Ini agaknya, karena bila angin beragam dan banyak lalu menyatu, maka tentu saja kekuatannya akan sangat besar sehingga dapat menimbulkan kerusakan.

Ayat di atas mengisyaratkan, bahwa sebelum hujan turun, angin beraneka ragam atau banyak. Namun sedikit demi sedikit Allah mengarak dengan perlahan partikel-partikel awan, kemudian digabungkan-Nya partikel- partikel itu, sehingga ia tindih menindih dan menyatu, lalu turunlah hujan. Ayat diatas mulanya menggunakan kata angin dalam bentuk jamak, tetapi setelah ia terhimpun dan menyatu menjadi satu kesatuan, bentuk yang dipilih bukan lagi bentuk jamak, tetapi tunggal, karena itu kata yang digunakan

92 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 5, hal 127.

adalah ( ﻩﺎﻨﻘـﺴ ) Suqnâhu/kami halau ia, yakni dalam bentuk mudzakkar, padahal sebelumnya kata ( ﺕﹼﻠﻗﺍ ) aqallat dalam bentuk mu’annas. Bentuk mu’annas antara lain menunjukkan kepada makna jamak, sedang bentuk mudzakkar kepada makna tunggal. Sungguh amat teliti redaksi ayat-ayat al-Qur’an yang sejalan

dengan hakikat ilmiah. 93

Di sisi lain, ketika aneka angin itu belum mengandung partikel-partikel

air, kata yang digunakan adalah kami mengutus, untuk menggambarkan bahwa angin ketika itu masih ringan dan seakan-akan dapat berjalan sendiri tanpa diarak atau didorong, tetapi ketika ia telah menyatu maka keadaannya menjadi berat, sehingga gerakannya menjadi lambat, maka untuk itu

digunakan kata ( ﻩﺎﻨﻘـﺴ ) suqnâhu/ kami halau ia, sekaligus untuk menunjukkan bahwa Allah swt. yang menentukan di mana arah turunnya hujan itu. 94

Pada ayat berikutnya yaitu Qs al-A’raf 7 : 58, kata balad mendapat tambahan al ( لﺍ ). Tanah sebagai makna yang dimaksudkan dalam ayat ini, dengan tambahan al penjelasannya menjadi lebih spesifik. M. Quraish Shihab menerangkan bahwa sebagaimana ada perbedaan antara tanah dengan tanah, demikian juga ada perbedaan antara kecenderungan dan potensi jiwa manusia dengan jiwa manusia lain. Tanah yang baik ditafsirkan dengan tanah yang subur dan selalu dipelihara, sehingga tanaman-tanamannya tumbuh dengan

93 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 5, Hal 127. 94 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 5, Hal 128.

subur. Tanah yang buruk ditafsirkan dengan tanah yang tidak subur, sehingga tidak ada potensi untuk menumbuhkan buah yang baik, tanaman-tanamannya

hanya tumbuh merana, hasilnya sedikit dan kualitasnya rendah. 95 Kata ( ﻪـﺒﺭ ﻥﺫﺈﺒ ) bi idzni rabbihi/ dengan seizin Allah dapat juga dipahami

dalam arti, tanaman itu tumbuh dengan sangat mengagumkan, karena mendapat anugerah khusus dari Allah serta diizinkan untuk meraih yang

terbaik. Berbeda dengan yang lain, hanya diperlakukan dengan perlakuan umum yang berkaitan dengan hukum-hukum alam yang menyeluruh. Kalau

makna ini dialihkan kepada perlakuan Allah terhadap manusia, maka dapat dikatakan bahwa ada manusia-manusia istimewa di sisi Allah yang mendapat perlakuan khusus, yaitu mereka yang hatinya bersih, berusaha mendekatkan diri kepada Allah melalui kewajiban agama dan sunnah-sunnahnya, mereka mendapat perlakuan khusus, sehingga seperti bunyi sebuah hadits qudsi ; Telinga yang digunakannya mendengar adalah “ pendengaran” Allah, mata yang digunakannya melihat adalah “ penglihatan” Allah, tangan yang digunakannya menggenggam adalah “ Tangan” Allah. (HR Bukhâri melalui Abû Hurairah). Ini berarti, bahwa yang bersangkutan telah mendapat izin

Allah untuk menggunakan sekelumit dari sifat-sifat Allah itu. 96

b. Tafsir pada ayat-ayat yang bertema kota atau negeri kota yang tertentu.

95 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 5, Hal 128. 96 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 5, Hal 128-129.

Kata-kata yang dipergunakan dalam tema ini adalah al-Bilâd, baldah, dan balad. Kata al-Bilâd terdapat pada Qs al-Fajr 89 : 8, 11; Qs Qâf 50 : 36; Qs al- Mu’min 40 : 4; dan Qs Ali Imran 3 : 196. kata baldah terdapat pada Qs Saba’ 34 :

15. Dan kata balad terdapat pada Qs al-Nahl 16 : 7.

Kata ( ﺩﻼﺒـﻟﺍ ) al-Bilâd ditafsirkan oleh M. Quraish Shihab dengan negeri- negeri atau kota-kota. Negeri di sini adalah negerinya kaum tertentu, yaitu

umat-umat terdahulu seperti kaum Nuh, penduduk Rass, 97 yaitu kaum Nabi Syu’aib yang dihancurkan dengan gempa bumi sehingga tertimbun dalam sumur mereka, Tsamud umat Nabi Shalih yang dibinaskan setelah menyembelih unta yang dianugerahkan kepada mereka sebagai bukti kebenaran rasul. Kemudian kaum Tsamud, kaum ‘Âd kaumnya Nabi Hud, Fir’aun tirannnya yang terbesar di kalangan umat Nabi Musa, kaum Luth yaitu saudara-saudara sebangsa Nabi Luth yang dijungkirbalikan pemukimannya

97 . Kata ( ﺱﺭﻟﺍ ) al-Rass ada yang memahaminya dalam arti lembah atau sumur yang besar. Sementara ulama yang memahami Ashab ar Rass (Penduduk ar-Rass) yang disebutkan ayat diatas

adalah sisa-sisa kaum Tsamud. Mereka berada di And, Yaman. Lalu Allah mengutus kepada mereka rasul bernama Hanzhalah Ibn Shafwan. Ada juga yang menduga mereka adalah penduduk satu lembah di Azerbeijan. Ada lagi yang menyatakan mereka adalah penduduk Antakia. Namun banyak ulama yang menduga bahwa mereka adalah kaum NaBi Syu’aib as. Di dalam al-qur’an, kaum Syu’aib terkadang disebut sebagai penduduk Aikah yang berarti tempat yang dipenuhi pepohonan rindang. Terkadang disebut dengan penduduk ar Rass. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 13, hal 288.

karena perbuatan homoseksual di kalangan mereka, penduduk Aikah serta kaum Tubba. 98

Ayat-ayat dengan kata ( ﺩﻼﺒــﻟﺍ ) al-Bilâd oleh M. Quraish Shihab ditafsirkan dengan mengungkapkan sejarah negeri-negeri itu, berdasarkan bukti-bukti ilmiah hasil penelitian arkeologis. Sifat-sifat dan karakter bangsanya, serta akhir dari perjalanan kehidupan mereka juga beliau rinci.

M. Quraish Shihab menerangkan : Kata Iram dipahami juga dalam arti perkampungan. Kaum Âd dinamai Dzat al-Imad karena mereka memiliki bangunan-bangunan yang tinggi, atau karena mereka adalah kelompok nomaden yang selalu berpindah-pindah dan memasang tenda-tenda untuk kediaman mereka. Bisa juga kata ini dipahami dalam arti majazi yang berarti kekuatan atau yang diandalkan karena kaum Âd sangat kuat lagi merupakan

andalan 99 . Memang kaum Âd pada masa itu telah mencapai satu tingkat kemajuan

dan kekuasaan yang sangat mengagumkan daerah sekitarnya, sehingga mereka angkuh dan bergelimang dalam pemenuhan sisi material semata-mata. Bangunan-bangunan di tempat tinggi yang dimaksud adalah rambu-rambu perjalanan. Mereka juga membuat kolam-kolam tempat penampungan air

98 . Tubba adalah Himyar yaitu penduduk Yaman tepatnya Hadramaut dan Saba. Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa Nabi bersabda : “Jangan mencerca Tubba karena dia telah memeluk

Islam”. (HR Ahmad). M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 13, hal 288. 99 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 247.

hujan. Semua itu untuk kepentingan para musafir atau siapa pun yang membutuhkan air, khususnya pada musim kemarau, di samping itu mereka juga membangun istana-istana dan benteng-benteng, yang sebenarnya dapat dinilai bertujuan baik dan bermanfaat. Tetapi mereka berbangga-bangga, mengabaikan petunjuk agama sehingga sirna tujuan utama pembangunan sarana-sarana itu dan karena itulah ia dinilai oleh Nabi Hud as sia-sia dan

tidak bermanfaat. 100 Nabi Hud as tidak melarang mereka membangun bangunan tinggi dan

besar, beliau hanya mengecam perlombaan yang bertujuan berbangga-bangga. Bangunan yang dibuat untuk memenuhi kepentingan umum, yang tidak mengakibatkan pemborosan, tidak juga untuk tujuan maksiat, tidak akan pernah dikecam agama. Bahkan membangun yang baik dan indah untuk kepentingan pribadi dan keluarga pun tidak terlarang selama tidak melengahkan seseorang dari nilai-nilai agama. 101

Dalam buku Mukjizat al-Qur’an dikemukakan pendapat arkeolog tentang informasi yang berhubungan dengan informasi diatas. Pada tahun 1834 ditemukan di dalam tanah yang berlokasi di Hishn al-Ghurhab dekat kota ‘Adn di Yaman, sebuah Naskah bertuliskan aksara Arab lama (Himyar) yang menyebut nama Nabi Hud as. dalam naskah itu antara lain tertulis : “ Kami

100 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 10, hal 102. 101 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 10, hal 102.

memerintah dengan menggunakan hukum Hud” . Selanjutnya pada tahun 1964-1969 dilakukan penggalian arkeologis dan dari hasil-hasil analisis pada tahun 1980 ditemukan informasi dari salah satu lempeng tentang adanya kota yang bernama Shamutu, Âd dan Iram. Prof Pettinanto mengidentifikasikan nama-nama tersebut dengan apa yang disebut oleh surah al-Fajr ini. Dalam konteks ini wajar pula untuk dikutip pendapat Father Dahood yang mengatakan bahwa antara Ebla (2.500 SM) dan al-Qur’an (625 M) tidak ada referensi lain mengenai kota-kota tersebut. 102

Bukti arkeologis lain tentang kota Iram adalah hasil ekspedisi Nicholas Clapp di gurun Arabia Selatan. Nicholas menemukan bukti dari seorang penjelajah tentang jalan kuno ke kota Iram, kota yang juga dikenal dengan nama Ubhur. Atas bantuan dua orang ahli lainnya, yaitu penjelajah Inggris, Sir Ranulph Fiennes, mereka berusaha mencari kota yang hilang itu bersama ahli hukum Geoge Hedges. Mereka menggunakan jasa pesawat ulang alik Challengger dengan sistem Satellite Imaging Radar (SIR) untuk mengintip bagian bawah gurun Arabia yang diduga sebagai tempat tenggelamnya kota yang terkena longsor itu. Untuk lebih meyakinkan, mereka meminta bantuan jasa satelit Perancis yang menggunakan sistem pengindraan optik. Akhirnya mereka menemukan citra digital berupa garis putih pucat yang menandai

102 . M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an, ditinjau dari aspek kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung : Mizan, 2006, cet-XV, hal 198.

beratus-ratus kilometer rute kafilah yang ditinggalkan. Sebagian berada di bawah tumpukan pasir yang telah menimbun selama berabad-abad hingga mencapai ketinggian seratus delapan puluh tiga meter. Berdasarkan data ini, Nicholas Clapp dan rekan-rekan meneliti tanah tersebut dan melakukan pencarian pada akhir tahun 1991. pada bulan Februari 1992, mereka menemukan bangunan segi delapan dengan dinding-dinding dan menara- menara yang tinggi mencapai sekitar sembilan meter. Agaknya itulah yang dimaksud dengan Iram ; mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. 103

Tsamud juga merupakan salah satu suku bangsa Arab terbesar yang telah punah. Mereka adalah keturunan Tsamud Ibn Jatsar, Ibn Iram, Ibn Sam, Ibn Nuh. Dengan demikian silsilah keturunan mereka bertemu dengan Âd pada kakek yang sama yaitu Iram. Mereka bermukim disatu wilayah bernama al-Hijr yaitu satu daerah di Hijaz (Saudi Arabia sekarang). Ia juga dikenal sampai sekarang dengan nama Madain Shalih. Disana hingga kini terdapat banyak peninggalan, antara lain berupa reruntuhan bangunan kota lama, yang merupakan sisa-sisa dari kaum Tsamud itu. Ditemukan juga pahatan-pahatan indah serta kuburan-kuburan, dan aneka tulisan dengan berbagai aksara Arab, Aramiya, Yunani dan Romawi.

103 . Ibid, hal 199. lihat juga M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 247-248.

Kaum Tsamud umat Nabi Hûd as. pada mulanya menarik pelajaran berharga dari pengalaman buruk kaum Âd, karena itu mereka beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada masa itulah mereka pun berhasil membangun peradaban yang cukup megah, dengan memotong batu-batu besar di lembah guna menjadikannya istana-istana tempat tinggal dan memahatnya sehingga menghasilkan relief-relief di dinding-dinding istana kediaman mereka, 104 tetapi keberhasilan itu menjadikan mereka lengah sehingga mereka kembali menyembah berhala serupa dengan berhala yang disembah kaum Âd. Ketika itulah Allah swt. mengutus Nabi Shalih as mengingatkan mereka agar tidak mempersekutukan Allah swt. Tetapi tuntunan dan peringatan beliau tidak disambut baik oleh mayoritas kaum Tsamud. 105

Kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak yakni piramid-piramid yang terdiri dari batu-batu yang tersusun rapi dan kokoh tertancap di bumi, atau tentara-tentara yang dijadikannya bagaikan pasak guna mengukuhkan kekuasaannya. Mereka melampaui batas dalam penganiyaan dan berlaku sewenang-wenang dalam negeri tempat tinggal mereka. Ini berarti bahwa para penguasa dan orang-orang kuat menindas masyarakat dan kaum lemah, dan

104 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 249. 105 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 6, hal 284.

ini pada gilirannya menghasilkan aneka kerusakan dan kebejatan serta

pengabaian nilai-nilai agama dan moral. 106

Dari satu sisi tokoh-tokoh itu memberi contoh buruk sehingga diteladani oleh yang lain, dan dari sisi lain penganiyayaan itu melahirkan kebencian dalam hati dan pikiran masyarakat sehingga mereka tidak menaruh simpati pada penguasa. Ini pun pada gilirannya menimbulkan kecurigaan

penguasa dan rezimnya, kecurigaan memperlemah sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan tidak menimbulkan kecuali kerusakan kerusakan dan

kebejatan. Kerusakan itu tidak hanya menyentuh sasaran kesewenangan, tetapi

juga pelaku kesewenangan. Para pelaku semakin dijungkirbalikan nilai-nilai luhur karena ingin memepertahankan diri dan kekuasaan, dan ini semakin memperkejam penganiyaan yang menimbulkan semakin dalamnya dendam pada anggota masyarakat yang teraniyaya sehingga akhirnya meledak. Bila itu terjadi, akan lahir aneka kegiatan yang memporak-porandakan negeri dengan nilai-nilai kemanusiaan. Memang revolusi sosial sering kali menghasilkan pengrusakan dan kekejaman yang berada di luar nilai-nilai kemanusian dan

106 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 249-250.

menghancur-leburkan hasil pembangunan bahkan meruntuhkan peradaban suatu bangsa. Kenyataan sejarah selalu membuktikan hal tersebut. 107

Kata ( ﺩﻼﺒﻟﺍ ﻲﻓ ﺍﻭﺒﻘﻨﻓ ) yang terdapat pada Qs Qâf 50 : 36 diartikan dengan menggali yang ditafsirkannya dengan menjelajah, melakukan penelitian dan pencarian di beberapa negeri. 108

Pada Qs al-Mu’min 40 : 4 M. Quraish Shihab menafsirkan kata Bilâd

dengan kota-kota. Ayat ini mengecam siapapun yang menolak sifat-sifat Allah yang sempurna dan ayat-ayat-Nya yang sangat mengagumkan. Setelah dengan jelas disebutkan sifat-sifat-Nya yang mengundang kekaguman dan rasa takut. Pulang baliknya kaum musyrikin secara giat dari satu kota ke kota lain baik untuk berdagang, berperang maupun untuk bertetirah yang kesemuanya berdampak menyenangkan mereka. Atau perpindahan mereka dari satu keadaan yang menyenangkan ke keadaan lain yang menyenangkan pula. 109

Ayat ini mengingatkan Nabi dan semua kaum muslimin untuk tidak terperdaya oleh kemampuan kaum musyrikin atau kesenangan hidup yang mereka alami, sehingga menduga mereka dalam kebenaran akibat kemampuan dan kesenangan itu, atau karena mereka belum dijatuhi

107 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 250. 108 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 13, Hal 312. 109 . M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 12, hal 286.

hukuman, atau bahwa itu menunjukkan adanya kekuatan yang membela mereka. Yakinlah bahwa pada waktunya mereka akan mendapat balasan, dan pada waktunya akan terbukti bahwa apa yang mereka alami sebenarnya adalah pangkal bencana. 110

Kondisi diatas bukanlah sebuah himbauan semata, tetapi memang peristiwa yang juga terjadi pada masa Nabi. Kemampuan kaum musyrikin

yang jauh dari keimanan ternyata mampu mengarungi kehidupan dengan penuh kesenangan sedangkan kaum muslimin yang beriman justru jauh dari

kesenangan, sehingga kondisi ini membuat kaum muslimin bertanya, mengapa kaum yang dekat dengan Allah harus jauh dari kesenangan berupa kemampuan untuk pulang dan pergi dari satu kota ke kota lain? Tetapi justru kaum musyrikin yang jauh dari Allah yang mampu melakukan hal itu? Ini dipertanyakan bukan sebatas bahwa aktivitas pulang dan perginya dari satu daerah ke daerah lain, tetapi aktivitas itu juga menyiratkan kemampuan secara finasial juga. Tanpa finansial yang cukup sangatlah sulit untuk melakukan aktivitas ini, tidak bedanya dengan hari ini, siapa pun tidak akan mampu pulang dan pergi ke luar negeri tanpa punya dana yang banyak.

Dalam Qs Ali Imrân 3 : 196 M. Quraish Shihab mengartikan Bilâd dengan negeri-negeri, bukan dengan kota-kota sebagaimana pada surah al-

110 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 12, hal 286-287.

Ghafir 40 : 4. Ayat ini menyampaikan larangannya kepada Rasul saw. dalam kedudukan beliau sebagai pemimpin umat, untuk disampaikan kepada seluruh umat. Ia bukan ditujukan kepada Rasul saw., karena tidak mungkin beliau yang sangat memahami hakikat hidup ini, akan terperdaya oleh keadaan orang-orang kafir itu. Bisa juga, kita berkata bahwa yang dituju oleh larangan ini adalah siapapun tanpa harus menetapkan seseorang. 111

Kebebasan bergerak mengharuskan adanya kemampuan fisik dan materi, lebih-lebih kalau kebebasan bergerak itu berupa perpindahan dari satu

tempat ke tempat lain, dari satu kota atau negeri ke kota atau negeri yang lain. Karena itu ayat ini juga dapat berarti jangan terperdaya oleh kekuatan dan kekuasaan harta benda dan kesenangan duniawi yang diperoleh orang-orang kafir, karena semua itu hanya bersifat sementara dan melengahkan mereka. Dunia dan hiasannya, walau telah berumur jutaan tahun dan boleh jadi masih akan bertahan jutaan tahun lagi, tetapi dunia bagi setiap individu terbatas pada usianya. 112

Kata ( ﺓﺩـﻠﺒ ) baldah ditafsirkan M. Quraish Shihab dengan negeri, yaitu Negeri Saba. Saba’ adalah satu kerajaan di Yaman, Arab Selatan pada abad

VIII SM. Terkenal dengan peradabannya yang tinggi. Salah satu penguasanya

111 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 2, Hal 318. 112 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 2, hal 318-319.

adalah Ratu Balqis yang semasa dengan Nabi Sulaiman as. Di Yaman Saba dikenal juga dengan nama al-Arab as-Sa’idah (Negeri Arab yang Bahagia). Al- Qur’an melukiskannya sebagai Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur . Lokasinya yang strategis menghubungkan negeri ini dengan dataran India, Ethiopia, Somalia, Suriah dan Irak. Kerajaan ini dipunahkan Allah, bendungan Ma’rib yang mengairi kebun-kebun mereka, jeblos sehinggga penduduknya

terpencar ke mana-mana dan mereka menjadi buah bibir masyarakat lain. 113 Kata ( ﺔﺒﻴﻁ ) Thayyibah dalam surah Saba diatas terambil dari kata ( ﺏﺎـﻁ )

Thaba yaitu sesuatu yang sesuai, baik dan menyenangkan bagi subjeknya. Negeri yang baik antara lain adalah yang aman sentosa, melimpah rezekinya dapat diperoleh secara mudah oleh penduduknya serta terjalin pula hubungan harmonis kesatuan dan persatuan antara anggota masyarakatnya. 114

Kendati Allah selalu melimpahkan aneka anugerah kepada mereka, dan senantiasa pula membuka pintu taubat, namun mereka tidak acuh lalu mereka berpaling mendurhakai Allah dan tidak mensyukuri nikmat-Nya itu, maka kami datangkan kepada mereka banjir yang besar yang merobohkan bendungan dan memusnahkan perkebunan mereka dan kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi pepohonan yang berbuah

113 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 10, hal 211. 114 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 11, hal 363.

pahit, pohon Atsl yakni yang tidak berbuah atau penuh duri dan sedikit dari pohon Sidr semacam seroja yang sedikit kegunaannya.

Kaum Saba pada waktu itu membuat banyak bendungan untuk menampung curah hujan, yang kemudian di musim kering bendungan itu mengairi lahan pertanian mereka. Kemudian datang banjir yang besar melanda negeri Saba sehingga mengakibatkan musnahnya pertanian dan berpencarnya

suku yang besar itu ke berbagai negeri.

Bendungan yang dimaksud itu adalah bendungan Ma’rib, yang merupakan salah satu bendungan terbesar di Yaman saat itu. Kota Ma’rib terletak antara San’a dan Hadhramaut. Berkat bendungan ini kawasan seluas 300 mil persegi yang kering dan tandus dapat berubah menjadi lahan subur dan produktif. Kemakmuran dan kesuburan negeri Yaman waktu inilah yang dilukiskan oleh ayat di atas dengan dua kebun yang berada di sebelah kanan dan kiri dalam arti mengelilingi kota mereka. Sangat disayangkan, bahwa para ahli sejarah tidak memiliki pendapat yang sama menyangkut siapa yang membangun bendungan itu dan faktor apa yang menjadi penyebab kehancurannya.

Semua ini menunjukkan bahwa pembangunan jalan dan penyediaan sarana transportasi, serta penciptaan rasa aman merupakan syarat-syarat bagi kesejahteraan satu masyarakat. Disisi lain ia juga menunjukkan petingnya Semua ini menunjukkan bahwa pembangunan jalan dan penyediaan sarana transportasi, serta penciptaan rasa aman merupakan syarat-syarat bagi kesejahteraan satu masyarakat. Disisi lain ia juga menunjukkan petingnya

Al-Qur'an menceritakan kepada kita bahwa Ratu Saba dan kaumnya ’menyembah matahari selain menyembah Allah’ sebelum ia mengikuti

Sulaiman. Informasi yang didapat dari prasasti membenarkan kenyataan ini dan menunjukkan bahwa mereka menyembah matahari dan rembulan dalam

kuil-kuil mereka. Kata balad diartikan dengan negeri tertentu. Hal ini dapat dipahami dari

kata penafsiran M. Quraish Shihab tentang nikmat yang diperoleh dari penciptaan binatang ternak, ketika binatang ternak itu mampu memikul beban yang berat ke suatu negeri-negeri, -tidak ada penjelasan rincinya, tetapi maksudnya adalah wilayah tertentu yang berkonotasi geografis- yang akan dikunjungi dengan jarak yang begitu jauh. Arah yang jauh itu tidak dapat dicapai kecuali dengan menggunakan unta sebagai binatang ternak dan mampu menjadi alat transportasi darat. Unta sangat cepat dan mampu mengarungi padang pasir berhari-hari tanpa harus menyiapkan untuknya

115 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 11, hal 364-368.

minuman, karena unta sendiri telah memiliki dalam tubuhnya persediaan

minuman untuk waktu yang relatif lama. 116

c. Tafsir pada ayat-ayat yang bertema kota atau negeri kota Makkah. Kata-kata yang dipergunakan dalam tema ini adalah al-Balad, al-Baldah

dan balad. Kata al-Balad terdapat pada Qs al-Tin 95 : 3; Qs al-Balad 90 : 1-2 dan Qs Ibrahim 14 : 35. Kata al-Baldah terdapat pada Qs al-Naml 27 : 91 dan kata

balad terdapat pada Qs al-Baqarah 2 : 126. Kata al-Balad, al-Baldah dan balad ditafsirkan oleh M. Quraish Shihab

dalam al-Mishbâh semuanya dengan negeri yang maksudnya adalah kota Makkah, baitullah al-Haram . Kata itu bergandeng dengan kata ( ﺍﺬـﻫ ) hadza / ini

yang jika demikian selalu yang dimaksud adalah kota Mekah. Al-Balad adalah Mekkah, Baitullah al-Haram, rumah pertama di bumi yang dibangun untuk

manusia, supaya manusia merasa nyaman dan aman. Kata ( ﺍﺬ ــﻫ ) hadza digunakan untuk menunjuk sesuatu yang dekat. Kedekatan itu baik dari segi

jarak maupun kedekatan hati. Akibat adanya faktor-faktor yang menjadikan hati cenderung kepada-Nya. 117

116 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 7, hal 188-189. 117 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 264.

Kata ( ﻩﺪـﻠﺒﻟﺍ ) al-Baldah yang biasa diartikan negeri adalah kota Mekkah

dan sekitarnya. Kata ( ﻩﺬـﻫ ) Hadzihi yang digunakan menunjuk negeri itu, disamping menghadirkan kota suci tersebut dalam benak mitra bicara, juga

mengandung makna kedekatan dan penghormatan kepadanya, apalagi disertai dengan penyebutan kalimat Tuhan negeri ini serta menyifatinya sebagai yang telah diharamkan Allah yang disucikan oleh-Nya. Kata ( ﻡﺮـﺣ )

Harrama terambil dari kata ( ﻡﺍﺮـﺣ ) haram yang pada mulanya berarti terlarang. Kata hormat lahir dari akar kata serupa dengan haram. 118

Penggunaan kata Hadza yang menunjuk Mekah, bertujuan menggambarkan bahwa kota tersebut selalu dekat di hati kaum muslimin, sehingga betapa pun seseorang telah berkali-kali berkunjung ke sana. Hatinya masih selalu dekat dan berpaut dengan kota itu. Betapa pun seseorang mengalami kesulitan dan penderitaan fisik dalam kunjungannya ke sana, namun itu tidak menjadikannya jera, bahkan selalu ingin datang berkali-kali ke sana. Mengapa demikian? Karena hatinya terpaut dengan kota itu, jiwanya merasakan ketentraman di sana. Bukankah ia dinamai Allah al-Balad al-Amin

118 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 10, hal 293.

(QS. At-Tin 95 : 3), dan bukankah Nabi Ibrahim as. telah pernah berdo’a agar

hati manusia terpaut dengan kota itu dan penduduknya? 119

M. Quraish Shihab menafsirkan kata al-balad al-amin dalam Qs al-Tin 95 : 3 sebagai salah satu kata yang dijadikan sumpah oleh Allah di antara tiga kata yang lainnya, yaitu Tin, Zaitun dan Thur Sinin . Menurutnya, kata-kata tersebut dipakai sumpah oleh Allah karena di sanalah Allah pernah

menurunkan wahyunya. Dalam memahami maksud kata al-Balad , nabi Muhammad saw. menjelaskan arti aman dan sejahteranya kota ini dengan

sabda : “ Sesungguhnya kota ini telah diharamkan (dalam ilmu) Allah sejak diciptakannya langit dan bumi, karenanya ia haram (terhormat, suci) dengan ketetapan Allah itu sampai hari Kiamat. Tidak dibenarkan bagi orang sebelumku untuk melakukan peperangan di sana, tidak dibenarkan bagiku kecuali beberapa saat pada suatu siang hari” (HR. Muslim dari sahabat Nabi saw., Ibn Abbas ra.). 120

Pada Qs al-Balad 90 : 2 kata ( ﻞﺣ ) hill berakar dari makna melepas ikatan dan dari makna ini berkembang makna-makna lain, seperti bermukim di satu

tempat , karena yang bersangkutan ketika bermukim itu melepaskan ikatan-ikatan yang selama dalam perjalanannya mengikat barang-barang bawaannya. Kata

119 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 264. 120 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 376-377.

halal yang merupakan antonim dari kata haram juga berakar dari makna itu, karena dengan kehalalan sesuatu atau izin melakukannya, yang bersangkutan tidak terikat lagi, sebagaimana keterikatannya katika hal tersebut haram. Kata itu apabila dirangkaikan dengan suatu tempat, maka ia akan bermakna bertempat tinggal di sana dan apabila tidak dirangkaikan dengan tempat , maka maknanya dapat beraneka ragam, seperti menghalalkan atau terbebaskan dari

sesuatu , dan juga dapat berarti tidak dalam keadaan berihram . 121 Ada tiga pendapat menyangkut kata ( ﻞـﺣ ) hill pertama berarti halal

(tidak haram). Maksudnya penduduk kota Mekah telah menghalalkan atau membolehkan untuk melakukan penganiayaan terhadap Rasul saw. mereka telah melecehkan kehormatan beliau dan tidak lagi menghormati kota ini. Namun demikian kota Mekah tetap agung disisi Allah. Allah dalam ayat ini seakan-akan berfirman: “ Aku benar-benar bersumpah dengan kota Mekah, walaupun engkau wahai Nabi Muhammad dalam keadaan diperlakukan tidak wajar. Kaum musyrikin menghalalkan kepadamu segala bentuk pelanggaran dan aniaya. Perlakuan tidak wajar itu tidak mengurangi kebesaran dan keagungan kota ini disisi-Ku.” Huruf wauw yang mendahului kata hill

121 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 265.

dipahami sebagai berfungsi menggambarkan keadaan. Pendapat ini menekankan tentang agungnya kota Mekah di sisi Allah swt. 122

Pendapat kedua, memahami kata hill juga dalam arti halal, hanya saja kehalalan dan kebolehan yang dimaksud bukan tertuju kepada kaum musyrikin sebagaimana pendapat pertama, tetapi tertuju kepada nabi Muhammad saw. Allah seakan-akan berfirman: “ Saya benar-benar bersumpah

dengan kota Mekah, yang akan halal bagimu –hai Muhammad- untuk melakukan apa saja yang engkau ingini. 123 ” Atau menurut al-Biqa’i juga

bermakna : Yang halal bagimu wahai Nabi Muhammad, apa yang tidak bagi selainmu, sehingga engkau dapat menghalalkan seseorang yang wajar dibunuh di sana – seperti Ibbn Khathal – walau dia bergantung pada selubung Ka’bah, dan boleh juga engkau mengharamkan pembunuhan siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan – pada hari penaklukan kota Mekah. Ayat ini turun ketika Rasul saw. masih berada di kota Mekah dalam keadaan teraniaya, sehingga ayat-ayat di atas menurut penganut pendapat ini, menjanjikan bahwa suatu ketika kota Mekah yang agung itu, akan dikuasai oleh nabi Muhammad saw. 124

122 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 265. 123 . Ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayyi al-Qur’an…, juz 30, hal 212. 124 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 266.

Pendapat ketiga, memahami kata ( ﻞﺣ ) hill dalam arti bertempat tinggal,

sambil memahami huruf wauw yang mendahuluinya sebagai kata penghubung yang berarti dan sehingga menurut mereka, Allah bersumpah dengan nama kota Mekah yang mulia itu, dan Allah bersumpah juga dengan kehadiran Nabi Muhammad di sana.

Dalam al-Qur’an kata ( لـــﺤ ) hill terulang sebanyak empat kali,

kesemuanya berarti menghalalkan atau membolehkan. Perhatikan misalnya Qs. al-Ma’idah 5 : 5 atau Qs. al-Mumtahanah 60 : 10 dan Qs. ali-Imran 3 : 93, demikian pula pada ayat kedua surah ini. Atas dasar itu, agaknya tidaklah keliru bila kita menetapkan bahwa kata hill pada ayat yang ditafsirkan ini pun berarti halal, dalam arti memperbolehkan yakni kaum musyrikin di Mekah telah membolehkan untuk memperlakukan Nabi Muhammad saw. dengan perlakukan tidak wajar. Dan karena itulah maka ayat-ayat tersebut mengecam mereka. Dengan demikian ayat pertama dan kedua di atas bermaksud menjelaskan betapa agung dan mulia kota Mekah di sisi Allah dan bahwa apapun yang terjadi di sana –walaupun terjadi pelanggaran dan penganiayaan atas Nabi Nya yang agung itu– namun kota Mekah tetap mulia, sehingga setiap orang yang berkunjung atau berada di sana berkewajiban untuk menghormatinya. 125

125 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 266.

Memang terkadang perlakukan tidak wajar yang diterima oleh seseorang dari satu penduduk kota atau negara, menjadikan ia enggan berkunjung lagi ke negara itu bahkan mungkin meremehkan kota dan negara itu. Seharusnya tidak demikian sikap terhadap kota Mekah, walaupun penghinaan telah mencapai puncakanya seperti penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw. Kota Mekah tetap harus dihormati, karena kota Mekah telah dijadikan Allah sebagai kota Haram, satu kota suci dan agung. Keberadaan Ka’bah di sana menjadikan kota Mekah lebih mulia lagi. 126

Kata harrama merupakan larangan, yaitu larangan terhadap sesuatu yang boleh jadi lahir karena kekotoran, kenajisan dan kekejiannya. Seperti terlarangnya meminum khamar, berzina dan lain-lain. Dapat juga karena kehormatan, keistimewaan atau kesuciannya. Bukankah anda terlarang melakukan sesuatu misalnya berpakaian sembarangan ketika menghadap Kepala Negara? Ini karena kedudukan kepala negera sangat istimewa. Kota Mekkah sangat istimewa, disana terdapat rumah peribadatan pertama yang dibangun umat manusia, dan yang dinamai Baitullah/ Rumah Allah. Wilayah Mekkah adalah wilayah suci. Sekian banyak hal yang anda tidak boleh lakukan disana, walau boleh anda lakukan di mana saja selainnya. Ada

126 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 264-266.

pakaian khusus yang harus dipakai oleh yang berkunjung ke Mekkah, sampai dia selesai melaksanakan umrah, dan masih banyak ketentuan yang lain. 127

M. Quraish Shihab menyatakan Nabi Ibrahim sebagai bapak para Nabi, kepribadiannya menandai uraian surah Ibrahim 14 : 35, ia memohon keamanan kota Mekkah, di mana anak dan istrinya bertempat tinggal serta kesejahteraan penduduknya dan keterhindaran dari penyembahan berhala.

Selain ayat 35 diatas, terdapat juga doa yang diabadikan dalam QS. al-Baqarah

2 : 126 yang berbunyi : Tuhanku, jadikanlah negeri ini (negeri yang) aman sentosa, dan berikanlah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka, kepada Allah dan hari kemudian. Agaknya doa sebelumnya dipanjatkan pada waktu yang berbeda dengan doa ini. Disana beliau berdoa kiranya lokasi di mana beliau meninggalkan anak dan istri beliau (Isma’il dan Hajar) dijadikan satu kota yang aman dan sejahtera. Selanjutnya setelah beberapa tahun, beliau berdoa sekali lagi tetapi kali ini lokasi tersebut telah ramai dikunjungi –khususnya setelah ditemukan sumur zam-zam-. Karena itu

ayat al-Baqarah menggunakan kata ( ﺩـﻠﺒ ) balada dalam bentuk nakirah/indifinit sedang pada ayat ini digunakan bentuk ma’rifah/ difinit ( ﺩﻠﺒﻟﺍ ) al-Balad. 128

127 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 10, hal 293-294. 128 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 7, hal 66.

Do’a Nabi Ibrahim as. untuk menjadikan kota Mekkah dan sekitarnya sebagai kota yang aman adalah doa untuk menjadikan keamanan yang ada di sana berkesinambungan hinggga akhir masa, atau menganuggerahkan kepada penduduk dan pengunjungnya kemampuan untuk menjadikannya aman dan tentram. Permohonan ini menurut banyak ulama bukan berarti menjadikannya aman secara terus menerus tanpa peranan manusia. Allah mengabulkan doa beliau tetapi sekali lagi harus diingat bahwa yang Maha Kuasa tidak menjadikan Kota Mekkah aman dalam arti diciptakan dalam keadaan aman terus menerus serupa dengan penciptaan matahari yang terus menerus serupa dengan penciptaan matahari yang terus menerus memancarkan cahaya, atau cairan yang diciptakan terus menerus mencari tempat yang rendah.

Manusia pada umumnya sejak dahulu hingga kini memang menghormati kota Makkah baik secara tulus dan didorong oleh ketaatan beragama, maupun melalui adat kebiasaan yang berlaku pada penduduknya atau peraturan yang ditetapkan oleh penguasanya yang melarang non muslim melakukannya. Ayat ini bukan saja mengajarkan agar berdoa untuk keamanan dan kesejahteraan kota Mekkah, tetapi juga mengandung isyarat tentang perlunya setiap muslim berdoa untuk keselamatan dan keamanan wilayah Manusia pada umumnya sejak dahulu hingga kini memang menghormati kota Makkah baik secara tulus dan didorong oleh ketaatan beragama, maupun melalui adat kebiasaan yang berlaku pada penduduknya atau peraturan yang ditetapkan oleh penguasanya yang melarang non muslim melakukannya. Ayat ini bukan saja mengajarkan agar berdoa untuk keamanan dan kesejahteraan kota Mekkah, tetapi juga mengandung isyarat tentang perlunya setiap muslim berdoa untuk keselamatan dan keamanan wilayah

Dalam tafsir M. Quraish Shihab dijelaskan bahwa ayat ini masih merupakan lanjutan dari uraian tentang keutamaan yang dianugrahkan Allah kepada Nabi Ibrahim as. kali ini perintah untuk mengingat dan merenungkan masih dilanjutkan ; “ Dan disamping yang lalu yang hendaknya engkau ingat,

ingatlah pula ketika Ibrahim berdoa: Tuhanku, demikian beliau tidak menggunakan panggilan ya’/wahai sebagaimana layaknya orang-orang yang

dekat kepada Allah. Jadikanlah negeri ini di mana Ka’bah berada dan di mana aku dan keluargaku tinggal, jadikanlah ia negeri yang aman sentosa , yakni penduduknya hidup damai dan harmonis dan berikanlah rezeki berupa buah- buahan kepada penduduknya yang beriman saja di antara mereka kepada Allah dan hari Kemudian. Allah berfirman meluruskan doa Nabi Ibrahim sekaligus mengabulkan bahwa “ kepada yang beriman akan kuberikan rezeki dan juga kepada siapa yang kafir Dia Kesenangan sedikit yakni sebentar dalam kehidupan dunia saja bahkan boleh jadi lebih senang dari yang beriman, kemudian Aku paksa ia menuju ke yakni menjalani siksa neraka, dan itulah seburuk-buruknya tempat kembali.”

129 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 7, hal 66-67.

Doa Nabi Ibrahim as. untuk menjadikan kota Mekkah dan sekitarnya sebagai kota yang aman, do’a ini merupakan penegasan sifat aman bagi rumah Allah (baitullah). 130 Do’a ini juga untuk menjadikan keamanan yang ada di sana berkesinambungan hingga akhir massa, atau menganugrahkan kepada penduduk dan pengunjungnya kemampuan untuk menjadikannya aman dan tentram. Bukankah dalam ayat yang lalu, ketika berbicara tentang Ka’bah

sebagai amnan, telah diuraikan bahwa itu adalah perintah Allah untuk menjadikannya aman dan tentram dalam bentuk sesempurna mungkin, sehingga Ka’bah sendiri dilukiskan sebagai “ aman” , bukan sekedar tempat yang aman? 131

Ayat ini bukan saja mengajarkan agar berdoa untuk keamanan dan kesejahteraan kota Makah, tetapi juga mengandung isyarat tentang perlunya setiap muslim berdoa untuk keselamatan dan keamanan wilayah tempat tinggalnya, dan agar penduduknya memperoleh rezeki yang melimpah.

Dua hal diatas, rasa aman dari segala yang menggelisahkan, dan limpahan rezeki, merupakan syarat utama bagi suatu kota atau wilayah. Bahkan, stabilitas keamanan dan kecukupan ekonomi, merupakan nikmat

130 . Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, juz 1, hal 113 131 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 1, hal 322.

yang menjadikan seseorang berkewajiban mengabdi kepada Allah,

sebagaimana ditegaskan dalam QS. Quraisy 106 : 3-4. 132

Ayat diatas juga memerintahkan untuk mengingat dan merenungkan bagaimana Nabi Ibrahim as. mencamkan firman Allah pada ayat 124 lalu. Di mana ketika itu Nabi Ibrahim bermohon agar kepemimpinan dianugrahkan pula kepada keturunannya, tetapi Allah menjawab bahwa kepemimpinan

tidak akan menyentuh orang-orang yang berlaku aniaya. Menghayati jawaban Allah itu, ketika berdoa kali ini, beliau hanya mendoakan penduduk Mekah

yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, “ Berikanlah rezeki berupa buah- buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari Kemudian.”

Ingatlah doa beliau itu sambil merenungkan bagaimana doa tersebut disambut Allah dengan berfirman, Siapa yang kafir akan Ku-senangkan sedikit dan sifatnya sementara, kemudian dihari Kemudian nanti Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruknya tempat kembali.” Bukan hanya yang beriman, tetapi kafir pun akan Dia berikan walau hanya sedikit; sedikit dalam waktu dan kuantitasnya jika dibanding dengan apa yang kelak akan dianugrahkan-Nya kepada yang beriman kepada-Nya dan hari kemudian. 133

132 . Ibid, hal 322-323. 133 . Ibid, hal 323.

Memang, Allah tidak membeda-bedakan. Udara, air, kehangatan dan cahaya matahari, serta masih banyak yang lain, diberikan-Nya untuk semua, baik yang muslim maupun yang kafir. Hukum-hukum-Nya berlaku sama. Dalam kehidupan di dunia menyangkut rezeki, semua diberi sesuai dengan hukum-hukum duniawi. Ganjaran ketaatan beragama, bukan di dunia tetapi di akhirat. Perolehan rezeki di dunia tidak berkaitan dengan kuat dan lemahnya iman seseorang. Orang-orang kafir pun wajar diberi kesenangan, bila mereka menyesuaikan diri dengan hukum-hukum duniawi yang ditetapkan-Nya.

Namun, kesenangan yang diperolehnya itu, betapa pun banyak dan lamanya, hanya sedikit kadar dan waktunya dibanding dengan keadaanya kelak. Karena itu akherat nanti mereka akan mendapat siksa yang pedih. Jangan diduga dia dapat mengelak, karena sebagaimana firman-Nya di atas, Aku paksa ia setelah dia hidup di dunia. Ini memberi isyarat, bahwa semua

orang di dunia termasuk orang kafir, diberi pilihan dan kebebasan. Tetapi di akhirat nanti orang-orang kafir itu tidak lagi memiliki kebebasan. Mereka dipaksa oleh Allah untuk menerima ketetapan-Nya, yaitu menjalani siksa neraka, dan itulah seburuk-buruknya tempat kembali. 134

134 . Ibid, hal 323.

BAB IV

ANALISA PERBANDINGAN PENAFSIRAN SAYYID QUTHB DENGAN

M. QURAISH SHIHAB PADA AYAT-AYAT AL-BALAD

Termaktubnya ayat-ayat al-Balad dan sinonim-sinonimnya dalam al- Qur'an telah memberikan isyarat bahwa ayat-ayat al-Balad merupakan sesuatu yang penting bagi kehidupan manusia di bumi. Pentingnya ayat-ayat al-Balad dan sinonimnya terlihat dari kandungan maksud ayat-ayatnya dalam penafsiran yang dilakukan oleh dua mufassir kontemporer, yaitu penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân dan penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbâh .

Dua mufassir yang berbeda karakter ini, menjadi sumber untuk menemukan orientasi penafsiran dari ayat-ayat al-Balad . Dari hasil penafsiran keduanya pada bab sebelumnya, maka apakah keduanya menafsirkan ayat- ayat al-Balad dengan tafsiran yang sama, ataukah berbeda. Jika sama di manakah letak kesamaannya serta mengapa sama, dan ketika berbeda seperti apakah perbedaannya serta mengapa berbeda.

Untuk menganalisis penafsiran ayat-ayat al-Balad oleh kedua mufassir, terlebih dahulu ayat-ayat al-Balad diletakkan pada tema yang sama, sebagaimana dijelaskan pada bab terdahulu, tema-tema pada ayat-ayat al-Balad terbagi menjadi tiga, yaitu ; Tema pertama tentang wilayah atau negeri yang Untuk menganalisis penafsiran ayat-ayat al-Balad oleh kedua mufassir, terlebih dahulu ayat-ayat al-Balad diletakkan pada tema yang sama, sebagaimana dijelaskan pada bab terdahulu, tema-tema pada ayat-ayat al-Balad terbagi menjadi tiga, yaitu ; Tema pertama tentang wilayah atau negeri yang

Pada analisis perbandingan kedua mufassir kontemporer ini, terdapat persamaan dan perbedaan. Untuk melihat sisi persamaan dan perbedaan, penulis susun analisisnya berdasarkan tema dari ayat-ayat al-Balad . Hal ini

sebagai proses untuk menyusun berbagai elemen yang terkandung dalam penafsiran ayat-ayat al-Balad . Sehingga dapat terlihat mengapa ada kesamaan

di antara keduanya dan mengapa keduanya memiliki perbedaan dalam penafsiran.