Konsepsi tentang Wali dalam Kaitannya dengan Tawasul

A. Konsepsi tentang Wali dalam Kaitannya dengan Tawasul

Secara kebahasaan, seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an, Hadîts pembicaraan orang Arab, tawassul artinya mendekat ( taqarub) kepada yang dituju dan mencapainya dengan keimanan yang kuat.

Dalam praktiknya, tawassul itu adalah berdoa dengan meng- gunakan perantara ( wasilah), baik berupa orang maupun benda. Yang dipersoalkan oleh Persatuan Islam dalam ber tawassul ini adalah penggunaan perantara misalnya Nabi, wali atau orang-orang ‘alim yang telah meninggal dunia. Karena yang telah meninggal itu sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa bahkan telah hilang ditelan bumi. Apalagi ber tawasul dengan memakai benda, hal ini sama sekali tidak bisa dimengerti oleh akal sehat. Lain persoalannya jika orang yang dijadikan perantara itu masih hidup.

Itu sebabnya, dengan menggunakan gaya bahasa fiqh, A. Hassan menyatakan bahwa pada zaman shahabat memang pernah ada tawassul, tetapi dilakukan kepada orang yang masih hidup supaya mendoakan atau ia diajak berdoa bersama-sama, seperti pernah terjadi pada saat Umar Ibn Khaththab bertanya kepada Abbas paman Nabi, maka Abbas pun berdoa kepada Allah agar

diturunkan hujan. 3 Jika seseorang boleh minta kepada Allah dengan perantaraan orang lain karena berkahnya, maka berarti boleh

ber tawassul kepada ka’bah atau barang lain karena ia mempunyai berkah. Dengan demikian apa bedanya dengan cara berdoa orang-

orang Jahiliyah yang meyakini keberkatan berhala-berhala. 4 Sebagai bandingan, pandangan A. Hassan di atas tampak

berkesesuaian yang dikemukakan oleh Muhammad Nashîr al-Dîn al-Albani, 5 yang menyatakan bahwa dalam persoalan tawassul

ini kebenaran berada pada pihak yang melarang tawassul dengan

PEMIKIRAN DI BIDANG AKIDAH DAN SYARI’AH

makhluk. Kami tidak melihat adanya dalil yang shahih yang dapat dijadikan dasar bagi orang-orang yang membolehkannya. Dan untuk itu kami minta agar mendatangkan nash yang shahih dan tegas dari al-Qur’an maupun al-Sunnah yang menyebutkan dibolehkannya tawassul dengan makhluk. Mereka sama sekali tidak akan mendapatkan satu pun dalil shahih yang menguatkan pendapat mereka, kecuali beberapa syubûhat dan rekaan-rekaan belaka. Semua doa yang disebutkan dalam al-Qur’an, tidak ada satu pun yang menyebutkan tentang tawassul dengan kemuliaan, kehormatan, hak atau kedudukan suatu makhluk.

Lebih lanjut, Muhammad Nashîr al-Dîn al-Albani mengemukakan contoh ayat, antara lain Allah SWT berfirman, mengajarkan dan membimbing umat Islam dalam berdoa, sebagai berikut:

“ Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami apabila kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagai mana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir” (QS. al-Baqarah: 286).

Dan banyak lagi berbagai ayat doa Qur’ani lainnya yang senada dengan ayat di atas. 6 Sebagian di antaranya adalah doa-doa

yang memang diajarkan Allah, yang seharusnya umat Islam berdoa dengannya, dan sebagian lainnya mengisahkan tentang doa-doa

Bagian Ketiga: PEMIKIRAN KEAGAMAAN PERSATUAN ISLAM -- Oleh Dr. Badri Khaeruman, M.Ag

yang dipanjatkan oleh sebagian para Nabi dan Rasul atau sebagian hamba Allah. Di dalam doa-doa tersebut tampak jelas tidak adanya tawassul yang bid’ah itu.

Nashîr al-Dîn al-Albani7 kemudian mengeritik penggunaan dalil yang salah mengenai kebolehan tawassul ini. Seperti penggunaan riwayat ‘Umar Ibn al-Khaththâb ketika berdoa dalam shalat Istisqa yang ber- tawassul dengan kemuliaan ‘Abbas Ibn ‘Abd al-Muthalib. Dalam ucapan Umar: “ Kami dahulu bertawassul kepadaMu dengan Nabi kami ... Dan sekarang kami bertawassul kepadaMu dengan paman Nabi kami”, terdapat perkataan yang dibuang (makhdzûf) yang harus ditentukan. Untuk menentukan perkataan yang dibuang ini terdapat dua kemungkinan:

a. Kami dahulu ber tawassul kepada-Mu dengan (kehormatan) Nabi kami, dan sekarang kami ber tawassul kepada-Mu dengan (kehormatan) paman Nabi kami. Pendapat ini sesuai dengan pendapat yang membolehkan ber ta-wassul.

b. Kami dahulu ber tawassul kepada-Mu dengan (doa) Nabi kami, dan sekarang kami ber tawassul kepada-Mu dengan (doa) paman Nabi kami.

Pendapat ini dipegangi oleh Nashîr al-Dîn al-Albani, yang berpegang kepada cara-cara para shahabat ber tawassul dengan melalui Nabi SAW. Misalnya, dalam riwayat disebutkan bahwa jika terjadi kemarau para shahabat berkumpul tanpa Nabi SAW kemudian mereka berdoa kepada Allah dengan mengucapkan: “ Ya Allah, dengan NabiMu Muhammad, dan dengan kehormatannya di sisiMu serta kedudukannya di sisi-Mu, turunkanlah hujan kepada kami”. Atau mereka mendatangi Nabi SAW dan meminta kepada beliau agar sudi berdoa kepada Allah untuk mereka. Lalu atas permintaan itu Nabi SAW mengabulkan, kemudian beliau berdoa kepada Allah dan merendah dihadapan-Nya sehingga diturunkanlah hujan untuk mereka.

PEMIKIRAN DI BIDANG AKIDAH DAN SYARI’AH

Sedangkan mengenai yang pertama tidak pernah ada sama sekali dalam Sunnah Nabi dan tidak termasuk dalam perbuatan para shahabat tak seorang pun dapat mendatangkan dalil yang menjelaskan bahwa cara ber tawassul para shahabat adalah dengan menyebutkan di dalam doa mereka nama Nabi SAW, meminta kepada Allah dengan hak dan kemuliannya di sisiNya. Bahkan yang banyak ditemukan dalam kitab-kitab Hadits adalah cara yang kedua. Disebutkan bahwa cara para shahabat ber tawassul dengan Nabi SAW adalah dengan mendatanginya dan meminta kepada beliau secara langsung agar berdoa untuk mereka kepada Allah. Mereka ber tawassul kepada Allah dengan Rasulullah SAW, bukan dengan lainnya. Ini sesuai dengan petunjuk al-Qur’an:

“ Sesungguhnya apabila mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentu mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. al- Nisa: 64).

Pandangan dan keyakinan inilah yang diyakini benarnya oleh paham keagamaan Persatuan Islam. Sehingga dalam sekian banyak fatwanya, ulama Persatuan Islam menganggap musyrik hukumnya bagi siapa saja yang meminta kepada siapapun orangnya, setingkat Nabi atau Wali yang telah meninggal dunia. Tawassul hanya bisa dibenarkan kepada yang diminta sebagai perantara itu dikala masih hidup.