Komunisme dan Sosialisme

E. Komunisme dan Sosialisme

Semangat untuk mengisi kemerdekaan bukan saja didominasi oleh kalangan Islam dan nasionalis. Namum, golongan yang berideologi komunis dan sosialis pun ikut ramai memperjuangkan cita-cita politik mereka dalam kehidupan politik dan kenegaraan.

Komunisme dan sosialisme lahir sebagai anti-tesa terhadap kapitalisme dengan tujuan memperjuangkan masyarakat sosialis, yaitu suatu masyarakat kolektif di mana alat-alat produksi dimiliki bersama, pembagian dari penghasilan pun didistribusikan dengan adil. Dengan demikian tidak ada kelas dan nafsu untuk mendapatkan keuntungan perorangan atau kelompok tertentu seperti yang ada dalam sistem kapitalis. 142

Paham komunis merupakan suatu paham yang sangat tua, sejak ratusan tahun yang lalu. Menurut Aristoteles, Komunisme pertama kali diajukan oleh Phaleas dari Chalcedon dan Hippodamus dari Miletus. Dan ide komunisme dalam bentuk sistematis pertama kali disusun dalam buku “republik” karangan Plato. Dalam buku tersebut komunisme dimaksudkan setidaknya kelas pemimpin dan juga mencirikan masyarakat. 143

Menurut Lorens Bagus, istilah komunisme berasal dari bahasa latin “communis” yang berarti umum, sama, publik dan universal. Komunisme mempunyai makna suatu struktur sosial di mana semuanya diurus bersama. 144 Senada dengan rumusan tersebut, Lenin seorang ideolog komunis modern mengemukakan bahwa kata komunis berasal dari kata latin. Komunisme adalah sebuah kata yang menunjukan arti untuk kata “bersama”. Dari pengertian ini Lenin mengemukakan bahwa masyarakat komunis adalah suatu tatanan kemasyarakatan yang di dalamnya semua benda, tanah, pabrik dimiliki bersama dan semua orang bekerja sama.

Dalam Encyclopeidia Britanica disebutkan bahwa komunisme

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukan sistem organisasi kemasyarakatan yang didasarkan kepada kepemilikan atau suatu pembagian pendapatan dan kekayaan yang merata. 145

Dari beberapa rumusan komunisme di atas menunjukan bahwa tujuan dari paham komunis adalah persamaan dalam hal material tidak diperbolehkan adanya milik perorangan. Segala sesuatu harus menjadi milik bersama dan pekerjaan pun harus dilakukan bersama dengan prinsip samarata dan sama rasa.

Selain istilah komunisme, dalam perkembagan selanjutnya muncul pula istilah sosialisme. Istilah sosialisme ini sering muncul bersama-sama dengan komunisme, sehingga sering kali mengaburkan pemahaman kita. Hal tersebut melihat adanya persamaan dalam segi “kehidupan bersama” dalam segala hal. Sosialisme sebagaimana komunisme berasal dari bahasa latin “socius” yang artinya teman atau persahabatan sebagai lawan dari paham individualisme. Maka sosialisme merupakan suatu paham yang mengutamakan persehabatan atau pertemanan. 146

Adapun secara istilah (terminologi) sosialisme didefinisikan sebagai suatu paham yang menghendaki adanya kebahagian di antara semua manusia. Paham ini menghendaki terwujudnya suatu masyarakat yang di dalamnya terdapat keadilan. Tidak ada penindasan dan penghisapan oleh suatu manusia terhadap manusia lain, serta terwujudnya kemakmuran yang merata bagi seluruh anggota masyarakat itu. 147 Defenisi lain dijelaskan bahwa sosialiosme sebagai ajaran atau paham kenegaraan dan ekonomi yang berusaha supaya harta benda, indudtri dan perusahaan menjadi milik Negara. 148

Kata sosialis dan sosialisme muncul di Inggris dan Perancis setelah tahun 1825. Pada mulanya sebutan itu diterapkan kepada ajaran pengarang tertentu yang sedang mengupayakan transformasi landasan ekonomi dan moral masyarakat secara menyeluruh dengan mengganti pengawasan dan kekuatan sosial dalam pergaulan hidup dan pekerjaan. Di Inggris kata sosialis nampaknya digunakan untuk

RESPON PERSIS TERHADAP IDEOLOGI POLITIK DI INDONESIA

menyebut pengikut Robert Owen dan di Perancis mengacu kepada pengikut Saint Simon. Di Inggris para pengikut Owen secara resmi memakai kata sosialis pada tahun 1841. Sedangkan kata sosialisme sebagai lawan (antitesis) dari individualisme dipopulerkan oleh pengarang Perancis P. Leroux dan J. Reynaud dalam encyclopedie Nouvelle dan tulisan-tulisan lainnya. Kemudian pada tahun 1840 kata sosialis digunakan secara bebas untuk menggambarkan dan mengacu kepada pemikiran Saint Simon, Charles Fourier, Robert Owen dan lain-lain. Mereka menyerang adanya sistem persaingan perdagangan.kemudian mereka mengajukan cara hidup baru yang kdidasarkan pada pengawasan kolektif.marx mengkategorikan sosialisme mereka sebagai sosialisme utopia yang berlawanan dengan sosialisme ilmiah. Adapun yang dimaksud sosialisme ilmiah adalah sosialisme yang didasarkan kepada pandangan materialis mengenai sejarah yang dipelopori oleh Karl Marx dan Friedich Engels. 149

Dengan munculnya istilah sosialisme ini, maka pada tahun 1848 istilah komunisme mempunyai makna baru karena istilah tersebut disamakan dengan istilah sosialisme yang dianjurkan oleh Karl Marx dan Friedich Engels dalam Manifesto Komunisnya yang mahsyur itu. Dengan kata lain istilah komunisme dipakai untuk sosialisme yang berdasarkan ajaran Karl Marx dan Friedich Engels. Sedangkan sosilaisme yang diajarkan oleh tokoh lain tidak dapat disebut komunisme. 150

Dalam kata pengantar pada Manifesto Komunis edisi bahasa Inggris tahun 1888, Friedich Engels juga menjelaskan hubungan sosialisme dan komunisme. Menurut Engels sosialisme yang berkembang pada tahun 1847 adalah gerakan kelas menengah (borjuis), sedangkan komunisme adalah gerakan kelas pekerja. Di Eropa daratan, sosialisme setidaknya dihargai, namun komunisme sangat ditentang. Sejak semula, kata Engels, kita menekankan bahwa persamaan ( emancipations) kaum pekerja harus merupakan gerakan kelas pekerja sendiri. Oleh karena itu kita jangan ragu-

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

ragu dalam mengambil nama dari kedua nama tadi (sosialisme dan komunisme). Berkenaan dengan itu maka manifesto yang dicetuskan tidak dinamakan Manifesto Sosialis (tetapi Manifesto Komunis). 151

Dalam menjelaskan hubungan sosialisme dengan komunisme, mungkin penjelasan HOS Tjokroaminoto akan memberi pengertian yang lebih terang. Tjokroaminoto mengemukakan bahwa menurut pendapat umum, “komunisme” adalah suatu “nama penghimpun”, sedangkan “sosialisme” merupakan “nama macam”. Jadi sosialisme adalah bagian dari komunisme dan merupakan bagian terpenting. 152

Perkembangan selanjutnya paham komunis yang berkembang dan diterapkan oleh partai-partai politik komunis di negara-negara Asia seperti China, Viertnam, Pilipina dan Indonesia adalah paham komunis yang diambil dari teori-teori Marx dan Lenin seorang penganut dan penafsir teori-teori Marx yang kemudian dikenal dengan marxisme dan Leninisme yang bertujuan membangun masyarakat yang bukan saja mengandung unsur-unsur komuisme kuno, tetapi juga masyarakat yang didasarkan kepada paham materialisme. Dengan demikian maka lahirlah istilah marxisme sebagai paham yang berasal dari historis-materialisme karl Marx. 153

Perlu diketahui bahwa marxisme yang didasarkan pada konsep historis-materialisme yang dikembangkan Karl Marx menurut Mohammad Hatta harus dibedakan kepada tiga segi. Pertama; historis-materialisme sebagai suatu teori atau metode ilmiah untuk menganalisa kemajuan masyarakat di bawah pengaruh kenyataan- kenyataan (materi-materi) ekonomi. Dalam konteks ini posisi Karl Marx sebagai ilmuan sosial dan ekonomi. Kedua; historis- materialisme sebagai ajaran politik atau ideologi. Dalam konteks ini Marx sebagi ideolog yang memiliki cita-cita membangun masyarakat komunis yaitu masyarakat tanpa kelas maka untuk kearah sana harus ada perjuangan yang revolusioner dari kaum buruh atau proletar. Ketiga; historis-materialisme menjadi suatu pandangan hidup, yang kekuatan dan kepastian pendiriannya sama

RESPON PERSIS TERHADAP IDEOLOGI POLITIK DI INDONESIA

dengan agama. Mereka percaya bahwa sosilaisme itu pasti akan datang dan menang sebagai hasil dari perjalanan sejarah dan proses historika. Dalam konteks inilah Marx menganggap penghalang- penghalang pemikirannya harus dimusnahkan seperti kekuatan agama yang menurutnya sebagai candu yang meninabobokan kaum buruh, bahkan dikalangan marxisme menganggap agama sebagai musuh terbesar perjuangan mereka.. Oleh karena itu mereka dalam memperjuangkan cita-citanya mengabaikan nilai-nilai agama dan susila atau dengan kata lain menghalalkan segala cara. Segi komunis yang bersipat ideologi dan pandangan hidup inilah yang banyak ditentang oleh kalangan Islam di Indonesia. 154

Membicarakan respons kalangan Islam Indonesia terhadap paham komunis hampir dipastikan semua menolaknya, baik dari kalangan Islam modernis atau tradisional. Hanya saja paham komunis masuk ke kalangan Islam melalui penyusupan di tubuh Serikat Islam yang dikenal dengan kelompok SI-Merah (yang berhaluan komunis) sebagai lawan dari SI Hijau (yang setia kepada ideologi Islam). Penolakan terhadap komunisme pada umunya ditujukan kepada Partai Komunisme Indonesia (PKI) sebuah partai yang terang-terangan menyatakan setia kepada ideologi komunis resmi. 155

Di antara kalangan Islam yang secara terang-terangan menolak keras komunisme adalah Persis. Penolakan tersebut dapat dilihat melalui pernyataan-peryataan para tokoh Persis seperti Muhammad Natsir, Isa Anshary, Rusyad Nurdin dan Abdurrahman dan pernyataan resmi organisasi. Penolakan mereka pada umumnya melihat adanya pertentangan yang prinsipil antara komunisme dan Islam dari segi teoritis-ideologis dan praktis (prilaku politik). Bahkan komunis bagi Persis dianggap sebagai musuh agama, bangsa dan negara.

Menurut Muhammad Natsir, komunisme sama halnya dengan kapitalisme keduanya merusak kemanusiaan, walaupun keduanya bertujuan memakmurkan manusia. Natsir berkata:

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

“Komunisme mencapai kemakmuran menekan dan memperkosa tabiat dan hak-hak asasi manusia, sedang Kapitalisme dalam memberikan kebebasan kepada tiap-tiap orang tidak mengindahkan perikemanusiaan dan hidup dari pemerasan keringat orang lain dan membukakan jalan untuk kehancuran kekayaan alam.” 156

Untuk itu, menurut Natsir, umat Islam perlu menjawab soal yang ditimbulkan sebagai akibat dari dua ideologi dunia yang dianggap telah menjajah umat Islam selama berabad-abad itu. Sebagai agama fitrah, Islam memberikan tuntutan hidup yang lengkap, serta memberikan kebebasan dan menyuruh manusi berusaha mencari nafkah dan kekayaan sekuat-kuatnya, baik di laut maupun di darat. 157

Terhadap kepemilikan harta misalnya, Natsir berpendapat bahwa manusia diberi kebebasan untuk berikhtiar secara ihsan, melakukan hak dan kewajuban secara berimbang, dan tidak dipakai sebagai alat pemuas nafsu. Untuk itu, Natsir memandang perlu kewajiban zakat sabagai cara membangun kemakmuran seluruh masyarakat. Dengan mengorganisasi zakat dengan baik, maka dapat dihilangkan kerusakan dan kemelaratan di dalam masyarakat. Dengan cara ini, jelas sangat berbeda dengan Komunisme, “Islam mengakui hak kepribadian dan memberikan kebebasan, bahkan mewajibkan kepada tiap-tiap orang agar mencari rizki sekuat tenaga …” 158 Sebaliknya berbeda dengan Kapitalisme, dalam Islam “… kekayaan yang didapat tidak boleh digunakan untuk kepentingan diri sendiri saja, tetapi harus pula dikeluarkan untuk menolong sesama manusia, guna menciptakan kemakmuran bersama.” 159

Natsir juga berpandangan bahwa komunisme dalam memberikan konsep kemanusiaan berbeda dengan Islam. Misalkan dalam hal kepemilikan, komunisme menolak adanya kepemilikan individu sedangkan Islam mengakui adanya hak milik individu. Natsir berkata:

Komunisme, misalnya, mempuyai konsep kemanusiaan yang berbeda dengan kita. Dalam Negara yang mereka perjuangkan, mereka meletakkan keberadaan hak milik berlawanan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.

RESPON PERSIS TERHADAP IDEOLOGI POLITIK DI INDONESIA

Sementara bagi kita, keberadaan hak milik merupakan syarat mutlak bagi kemanusiaan…agama memberi pedoman hidup seseoarang…hal semacam ini tidak terdapat dalam negara tanpa basis agama. Seoarang penhgikut Marx atau Darwin tidak dapat tempat dalam filsafat hidup seseorang bila ia sendiri mampu memenangkan perjuangan hidup itu. Semua dilihat dari sudut pandang proses alam; apa yang dianggap penting bagi manusia hanyalah perannya dalam kelompok.

Adapun Kritikan akan bahayanya komunisme bagi umat Islam secara tegas dan komprehensip telah dirinci oleh Isa Anshary sebagai berikut: Pertama, bahwa Komunisme dibangun atas filsafat hidup yang belum selesai, yaitu materialisme historis yang sangat bertentangan dengan fitrah kemanusiaan dan aturan alam besar ini. Kedua, materialisme ini pada dasarnya adalah menolak adanya Tuhan, wahyu, dan nabi. Ketiga, implikasi penolakan adanya Tuhan adalah Komunisme menjadi anti agama. Keempat, implikasi materialisme historis adalah berlakunya hukum rimba dengan adagium apa yang kamu rampas itulah hakmu. Kelima, Komunisme dibangun tanpa moral karena moral kesusilaan hanyalah pagar bagi kaum borjuis untuk mengekalkan kekuasaannya. Keenam, marxisme mempergunakan pertentangan antar kelas (perang golongan) yang berbeda untuk mencapai tujuannya, yaitu masyarakat tanpa kelas. Ketujuh, kekuasaan diktator-proletariat pada dasarnya adalah pemerintah teror yang didasarkan pada kekuatan, ancaman, dan ketakutan serta tegak dengan penuh kecurigaan dan kecemburuan antar kelas. Kedelapan, Komunisme merupakan neraka dunia karena hak milik perseorangan ditiadakan dengan jalan paksa-kekerasan, sehingga manusia sebagai pribadi terampas kemerdekaannya. Kesembilan, Komunisme pada dasarnya anti demokrasi karena tidak diakuinya perbedaan tafsir dan kebebasan berpendapat. Kesepuluh, Komunisme adalah anti nasional karena berkiblat dan mengabdi untuk kepentingan Moskow sebagai induk Komunisme dunia. Kesebelas, Komunisme pada dasrnya adlah imperialisme baru karena revolusi dunia yang diidam-idamkan oleh kaum komunis bertujuan untuk melaksanakan penjajahan baru atas

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

aumat manusia dengan cara menggulingkan tiap-tiap kekuasaan bukan komunis. Kedua belas, Komunisme merupakan penjelmaan agama palsu karena komunisme atau marxisme tidak terbatas pada epistomologi materialisme historis dalam persoalan kehidupan dan kemasyarakatan manusia belaka, kaidah-kaidah perekonomian dan pembagian rezeki, tetapi juga berperan seperti agama baru yang memutarbalikkan pandangan manusia. Agama komunisme ini disebut sebagai agama kebencian karena hendak memutarbalikkan wajah dan semangat manusia dari menuhankan Tuhan yang Ghaib kepada menuhankan Tuhan yang nyata (konkret) berupa alam materi. 160

Senada dengan Anshary, Rusyad Nurdin menegaskan bahwa komunisme merupakan musuh bersama bagi penganut agama dan bangsa mana pun karena anti tuhan dan anti bangsa. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan para tokoh komunis seperti Karl Marx, Lenin dan D.N. Aidit. Dan dalam konteks Indonesia tegas Nurdin, sebenarnya kalangan komunis anti Pancasila walaupun mereka menerima Pancasila padahal hanya sebatas politis yakni untuk menyelamatkan posisi mereka. 161

Tokoh Persis lainnya, Abdurrahman berpendapat, komunisme merupakan puncak ideologi yang lahir dari kebudayaan Barat yang bermula dari Materialisme yakni, suatu paham kebendaan. Dan apabila dianalogikan, materialisme bagaikan anak kecil yang bila badannya sudah menjadi dewasa akan menjelma menjadi komunisme. 162

Sebagaimana Muhammad Hatta, Abdurrahman berkeyakinan, komunisme bukan saja doktrin ekonomi semata- mata, tapi merupakan filsafat hidup atau sama saja dengan agama. Karena menurutnya, Karl Marx dalam membahas teori ekonominya, dalam Das Kapitalis, ia tidak memulai dengan masalah-maslalah ekonomi, tapi dengan masalah-masalah filsafat dan kepercayaan yaitu membahas “Materialisme Dialektis”, kemudian diterapkannya filsafat dialektis ini pada gejala-gejala sosial sehingga materialisme

RESPON PERSIS TERHADAP IDEOLOGI POLITIK DI INDONESIA

dijadikan pandangan hidup, cara hidup dan tujuan hidup. 163 Demikianlah pandangan Persis terhadap komunisme di mana keberadaannya sebagai ancaman bagi agama, demokrasi dan bangsa. Berbeda halnya ketika berbicara sosialisme. Bagi Persis, sosialisme sebagai suatu cita-cita dalam politik tidaklah berbahaya selama tidak anti agama dan tujuannya sesuai dengan cita-cita Islam yaitu keadilan sosial dan membela kaum mustad’afin. Pandangan yang positif terhadap sosialisme terlihat dari pernyataan Isa Anshary:

Kini kita harus memberi isi dan arti, didikan dan pengertian, malaksanakan perbaikan dan membuat kebajikan buat rakyat kita. Membasmi dan memusnahkan kekafiran dan kemiskinan, menciptakan sosialisme, membahagiakan si jelata agar mereka ikut merasakan dan menikmati harga dan rasa kemerdekaan yang mereka tebus dengan segala pengorbanan.

Memusnahkan kefakiran dan kemiskinan, menciptakan sosialisme Indonesia yang berKetuhanan, bukan saja tugas para Umara (pemimpin negara), tetapi tugas para ulama, Zu’ama, Sarjana dan para Aghniya (hartawan dan usahawan).

Tenaga dan dana swasta perlu dipimpin dan dimobilisir, agar dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan kebahagiaan dan keadilan. Pemerintahatas nama negara berhak melakukan tindakan, agar dana dan harta swasta itu tidak hanya menyenangkan perseorangan dan golongan, tetapi merata buat seluruh lapisan rakyat. 164

Dalam kesempatan lain, Isa Anshary menilai sosialisme berbeda dengan komunisme yang otoriter dan totaliter. Karena sosialisme menjunjungtinggi kemanusiaan dan nilai-nilai demokrasi. Kemanusiaan yang dimaksud menurutnya adalah hak- hak rakyat, yaitu rinciannya sebagai berikut:

1. Hak tiap orang untuk mempunyai kehidupan pribadi sendiri dengan tiada diganggu oleh negara.

2. Persamaan tiap warga negara untuk hukum, apa pun turunannya, sukunya, laki atau perempuan, apa pun agamanya atau warna kulitnya.

3. Perwakilan rakyat jalan pemilihan merdeka, yang sama dan rahasia.

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

4. Pemerintahan yang dilaukukan oleh mayoritas akan tetapi dengan menjunjung hak-hak minoritas.

5. Pembuatan undang-undang yang dikuasai oleh perwakilan rakyat.

6. Pengadilan yang tidak dipengaruhi oleh pemerintah. 165 Karena adanya kesamaan cita-cita antara sosialisme dengan

Islam, Isa merasa yakin bahwa sosialisme dalah hal memperjuangkan keadilan sosial dan perjuangannya yang anti Feodalisme akan bisa bergandengan dengan Islam dalam melawan komunisme. 166

Pandangan positif kalangan Islam terhadap sosialisme diakui oleh McTuner Kahin dan Jeanne S. Mintz. Mereka dikenal dengan kelompok sosialis religius yang berada dalam tubuh Masyumi yang dipimpin oleh Natsir, Roem dan Syafruddin. Kelompok ini diinsprisai oleh HOS. Cokroaminoto dan Haji Agus Salim. Keduanya sebagai pemimpin Islam yang berhasil merumuskan sebuah filsafat yang mengkombinasikan suatu pandangan yang liberal atau progresif dari al-Qur’an dalam hidup beragama dengan sikap terhadap persoalan-persoalan sosio-ekonomi dan politik. 167

Orang-orang sosilais-religius ini mendefinisikan konsep “keadilan sosial” atau “Sosialisme” mereka sebagai sesuatu yang “tidak memiliki hubungan spiritual dengan sosialisme Marxis” yang mereka anggap berbau kekerasan dan pemaksaan. Menurut mereka sosialisme religius “telah menghapuskan individualisme, inisiatif individu dan tanggung jawab individu.” Sosialisme religius berbeda berbeda dengan penghapusan kelas atau kelompok-kelompok tertentu.” Paham ini justru menjamin kemerdekaan individu atau bangsa yang memberikan peluang bagi usaha-usaha nasionalisasi. 168 Oleh karena itulah, Natsir dan Isa Anshary bisa saja layak dimasukan dalam kelompok ini melihat dari pernyataan dukungan keduanya akan cita-cita sosialisme religius.

RESPON PERSIS TERHADAP IDEOLOGI POLITIK DI INDONESIA

Catatan Kaki:

1 Nurcholish Madjid, Agama dan Negara dalam Islam: Telaah atas Fiqh Siyâsî Sunnî, dalam Kontektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, ed. Budy Munawar-Rachman, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 588-589.

2 M. Din Syamsuddin, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam, dalam Abu Zahro (ed), Politik Demi Tuhan;

Nasionalisme Religius di Indonesia, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 45-46.

3 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), hlm 1, 148.

4 Ibid., hlm. 149-151; Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modermn Menghdapi Abad ke-20, terj.Asep Hikmat,

(Bandung: Pustaka,1988), hlm. 109-110. 5 Syahrin Harahaf, Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Thaha Husein,

(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 108. 6 Munawir Sjdazali, op.cit, hlm. 181, 186-188.

7 Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, (Medan: Dwipa, 1965), hlm. 97-98.

8 Perdebatan mengenai relasi agama dan negara antara Soekarno dengan Natsir dan Hassan telah direkam dalam karya-karya kumpulan mereka

yakni, Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, (Jakarta: Gunung Agung, jlid II, 1965), Muhammad Natsir, Capita Selecta, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), Ahmad Hassan, Islam dan Kebangsaan, (Surabaya: Bangil, 1984). 9 Perdebatan tentang Islam dan Pancasila yang memuat pemikiran Natsir dan Isa Anshary dapat dilihat dalam; Debat Dasar Negara; Islam dan Pancasila Konstitente 1957, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001).

10 Soekarno, Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara dalam Di Bawah Bendera Revolusi. (Jakarta: Gunung Agung, jilid II, 1965), hlm, 411

dan seterusnya. 11 Alî Abd al-Râziq, al-Islâm wa Ushûl al-Hukm, terj. Afif Muhammad,

Khilafah dan Pemerintahan Dalam Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), hlm. 19.

12 Soekarno, op.cit., hlm. 453.; Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 80-87.

13 Artikel Soekarno di tulis dalam Panji Islam No. 20; 20 Mei 1940, No. 21; 27 Mei 1940, No. 23; 10 Juni 1940, No. 24; 17 Juni 1940, No. 25; 24 Juni 1940

dan No. 26; 1 Juli 1941. Lihat Ahmad Suhelmi, op.cit., hlm 135. 14 Muhammad Natsir, op.cit., hlm. 432.

15 Ibid., hlm. 36. 16 Ibid

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

17 Ahmad Hassan, Membudakan Pengertian Islam dalam Islam dan Kebangsaan, (Surabaya: LP3 Bangil, 1984), hlm. 101.

18 Muhammad Natsir, op.cit., hlm. 438. 19 Ibid., hlm. 440. 20 Ahmad Hassan, op.cit., hlm. 101-102. 21 Muhammad Natsir, op.cit., hlm. 442. 22 Ibid., hlm. 434.

23 Ibid., hlm. 441. 24 Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos,

1999), hlm. 141. 25 Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Labirin Ideologi Muslim:

Pencarian dan Pergulatan Persis di Era kemunculan Negara Indonesia (1923- 1957), terj. Ruslani dan Kurniawan Abdullah, (Jakarta: Serambi: 2004), hlm. 345.

26 Ahmad Hassan, Sual-Djawab dalam Pembela Islam No. 3, Mei 1956, hlm. 9-10.

27 Howard M. Federspiel, op.cit., hlm. 345-346. 28 Isa Anshary, Falsafah Perdjuangan Islam, op.cit., hlm. 166. 29 M. Din Syamsuddin, op.cit., hlm. 47. 30 Khalid Ibrahim Jindan, The Islamic Theory of Government According

to Ibn Taimiyah, terj. Masrohin, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), hlm. 57.

31 Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung Pemikir Islam Radikal, (Surabaya:PT. Bina Ilmu, 1979), hlm 102-103.

32 Ahmad Syafi’i Ma’arif mecatat bahwa partai-partai Islam (Masyumi, NU, PSII dan PTII) dalam pemilu 1955 hanaya berhasil meraih suara kurang

dari 45% dan dari pendukun Pancasila (PNI, PKI, PSI, PIR, Paratai katolik, Parkindo dan lain-lainnya hanya mengantongi 50 %) sedangkan berdasarkan Undang-undang Pemilu berdasarkan UUDS 1950 menuntut bahwa suatu UUD baru sah apabila drafnya disetujui paling kurang 2/3 anggota yang hadir dalam rapat. Jadi sejak semula sudah dapat diperhitungkan, Majelis Konstitente tanpa adanya kompromi akan mengalami kebuntuan. Lihat Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Konstituesionalisme: Pengalaman Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1984), dalam Prisma Edisi Ekstra.

33 Syafiq A. Mughni, op.cit., hlm. 109. 34 Thahir Luth, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: GIV, 1999), hlm. 104. 35 M. Natsir, Pidato Komisi II Konstituante tentang Dasar Negara Republik Indonesia, hlm 129. Lihat pula Natsir, “Bertentangankan Pancasila dengan al-Qur’an”, Hikmah, No. 21-22, (29 Mei 1954), hlm. 6-7.

RESPON PERSIS TERHADAP IDEOLOGI POLITIK DI INDONESIA

36 M. Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara, op.cit., hlm 12. 37 Thahir Luth, op.cit., hlm. 106. 38 Deliar Noer, op.cit., hlm. 138. 39 Ibid., hlm. 139.

40 Ibid., hlm. 140-141. 41 Federspiel, op.cit., hlm. 352. 42 Ibid., hlm. 353. 43 Isa Anshary, Falsafah Perdjuangan Islam, (Bandung: Pasifik, 1949), hlm. 164-165. 44 Pernyataan Isa Anshary merujuk pada Q.S. 5: 44, 45 dan 47. Lihat dalam Debat Dasar Negara: Islam dan Pancasila Konstituente 1957, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002), hlm. 195.

45 Ibid., hlm. 205-207. 46 Fedespiel, op.cit., hlm. 353. 47 Pringgodigdo dkk, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), Cet. X, hlm. 260. 48 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia, 1966), Cet. III, hlm. 155. 49 Maskuri Abdillah, Demokrasi Di Persimpangan Makna; Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), (Yogyakarta: PT. Tiara wacana Yogya, 1999), hlm. 71-72.

50 Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democracy, (London: GeorgeAllen & Unwin Ltd.m 1993), hlm. 269. Dan lihat Maskuri Abdillah,

op.cit., hlm. 72. 51 Sidney Hook, Democracy, dalam Ensiklopedia Americana, Vol. 8.

(Danbury dan Connecticut: Grolier Incorparated, 1984), hlm. 683. Dan lihat Maskuri Abdillah, op.cit., hlm. 73.

52 Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, dalam ‘What Democracy is….and not, dalam Journal of Democracy, Vol. 2, No. 3, Musim Panas 1991,

hlm. 76. Dan lihat Maskuri Abdillah, op.cit, hlm. 73. 53 M. Amien Rais, Demokrasi dan Protes Politik, tulisan pengantar untuk

buku berjudul Demokrasi dan Proses Politik, Seri Prisma, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. xvi-xxv.

54 Afan Ghafar, Politik Indonesia: Transasi Menuju Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1999), hlm. 7-9.

55 M. Kusnardi dan Binta R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995), hlm. 170.

56 Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm.

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

57 Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam; Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi, (Yogyakarta: Gelang Press, 2001), hlm. 102.

58 Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought ; The Response of the Syi’i and Sunni Muslims to the Tweintieth Century, Terj. Asep Hikmat, Reaksi

Politik Sunni dan Syi’ah; Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad Ke- 20, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1988), hlm. 195. 59 Kategorisasi fundamentalis-tradisionalis dalam konteks ini didefinidikan sebagai orang-orang yang memegangi pemikiran Islam dari ulama abad pertengahan tanpa melakuakn usaha-usaha untuk mengubah bentuknya secara subtansif dan formalistik, termasuk dalam merespons permasalahan-permasalahan kontemporer.

60 Gerakan Islam yang menolak sepenuhnya demokrasi di Indonesia umumnya adalah kalangan Islam radikal seperti Hizbut Tahrir, Salafi, FPI

(Front Pembela Islam) dan MMI (Majelis Muzahidin Indonesia), lihat Khamami Zada, Islam Radikal; Pergulatan Ormas-ormas Islam garis Keras di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Teraju, 2002), hlm. 130-135.

61 Syukron Kamil, Islam dan Demokrasi; Telaah Konseptual dan Historis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 202), hlm. 47-49.

62 Ibid., hlm. 49-50. 63 Ibid., hlm. 53-54. 64 Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, (Medan: Penerbit Dwipa,

1965), hlm. 141. 65 Ibid., hlm. 143-144.

66 Afan Ghafar, op.cit., hlm. 10-11. 67 Soekarno, “Saja Kurang Dynamis”, Pandji Islam, No. 29, (22 Juli 1940).

Dan lihat Deliar Noer, op.cit., hlm. 142. 68 Deliar Noer, Memperbincangkan Tokoh-Tokoh Bangsa, (Bandung:

Mizan, 2001), hlm. 122-123. 69 Menurut Roeslan Abdul Ghani juru bicara Soekarno, demokrasi

terpimpim yang dimaksud Soekarno adalah lawan demokrasi liberal, bukan diktator, demokrasi karya untuk melaksanakan pembangunan. Demokrasi terpimpin termasuk demokrasi politik, ekonomi dan sosial, atau demokrasi total yang sesuai dengan UUD 1945. Lihat: Ibid., hlm. 249.

70 Ibid., hlm. 150-151. 71 M. Natsir, op.cit., hlm. 452. 72 Dikutip oleh Kahin, “Mohamad Natsir”, dalam Yusuf Abdullah Puar

(ed). Muhammad Natsir 70 Tahun: Kenang-kenangan dan Perjuangan, (Jakarta: Pustaka Antara, 1978), hlm. 333.

73 M. Natsir, op.cit., hlm. 452-453. 74 Yusril Ihza Mahendra, Modersme Islam dan Demokrasi: Pandangan

RESPON PERSIS TERHADAP IDEOLOGI POLITIK DI INDONESIA

Politik Muhammad Natsir, Islamika, No. 3 1994, (Bandung: Mizan & Missi, 1994), hlm. 70.

75 M. Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara, (Jakarta: Media Dakwah, 2000), hlm. 89.

76 Ahmad Hassan, Pemerintahan Cara Islam, (Surabaya: LP3B, 1984), Cet. V, hlm 2.

77 Ibid., hlm 4. Dan Lihat al-Suyûthî, Tarîkh al-Khulafâ, (Beirut: Dâr al- Fikr, t.th.), hlm. 161.

78 Ibid., hlm. 5. Dan lihat Hassan al-Banna, Majmuah al-Rasâil al-Imâm al-Syâhid al-Banna (Beirut: al-Muaassah al-Islâmiyah, 1983), hlm. 139.

79 Ibid. 139. 80 Rusyad Nurdin, “Bagaimana Islam Membnagun Negara”, Majalah

Aliran Islam: Suara Kaum Progresif Berhaluan Radikal, Tahun ke-7, No. 61, (Juni 1954), hlm. 8.

81 Ibid., hlm. 9-10. 82 Isa Anshary, “Perdjuangan Kita”, Majalah Aliran Islam: Suara Kaum

Progresif Berhaluan Radikal, Tahun ke VII, No. 60, (Mei 1954),. Hlm. 6. Dan lihat Isa Anshary, Umat Islam Menghadapi Pemilihan Umum, (Surabaya: Penerbit Hassan Aidit, 1953), hlm. 7.

83 Isa Anshary, Beberapa Fakta PKI Membela Negara Asing, (Bandung: Penerbit Front Anti Komunis, 1955), hlm. 10.

84 Isa Anshary, Umat Islam Menghadapi Pemilihan Umum, op.cit., hlm. 19.

85 Ibid., hlm. 18. 86 Ibid., hlm. 10. 87 Ibid., hlm. 24. 88 Pemikiran Isa Anshary tersebut didukung oleh fatwa alim ulama

dalam Mukhtamar Alim Ulama dan Muballig Islam se- Indonesia pada tanggal 11-15 April 1953 di Medan. Lihat: Ibid., hlm. 84-85.

89 Ibid., hlm. 26-27. 90 Ibid., hlm. 58. 91 Badri Yatim, Soekarno, Islam Dan Demokrasi, (Jakarta: Logos, 1999),

hlm. 57. 92 Ibid., hlm. 58-59.

93 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 12.

94 Najib Ghadbian, Democratization and The Islamist Challenge in The Arab World, (USA: Wsetview Press Colorado, 1998) Dan lihat Ahmad A.

Sopyan & M. Roychan Madjid, Gagasan Caknur Tentang Negara dan Islam, (Yogyakarta: Titihan Ilahi Press, 2003), hlm. 28.

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

95 Ibid., hlm. 29 96 Hamid Enayat, op.cit., hlm. 174. 97 Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,

(Jakarta: PT. Raja Graeindo Pustaka, 1993), hlm. 288. 98 Yusuf Qaradhawi, 70 Tahun al-Ikhwan al-Muslimun: Kilas Balik

Dakwah Tarbuyah dan Jihad, terj. Mustalah Maufur & Abdurrahman Husain, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999), hlm. 129.

99 Hamid Enayat, op.cit., hlm. 179-180. 100 Youssef M. Chouiri, Islam Garis Keras: Melacak Akar Gerakan Fundamentalisme, terj. Humaidi Syuhud & M. Maufur, (Yogyakarta: Qanun, 2003), hlm. 196-197.

101 Ibid., hlm. 201-202. 102 eliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES,

1996), cet VIII, hlm. 274-275. 103 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, (Jakarta: gunung Agung,

1965), hlm. 4. 104 Badri Yatim, op.cit., hlm. 75.

Deliar Noer, op.cit., hlm. 274.

Soekarno, op.cit., hlm. 7.

A. Hassan, Islam Dan Kebangsaan, (Surabaya: LP3B, 1984), cet V, hlm. 42. 108 Ibid. 109 Ibid., hlm. 37. Dan lihat Syafiq Mughni, Hassan Bandung Pemikir

Islam Radikal, op.cit., hlm. 32. 110 Abu Daud, Sunan AbîDaud, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz IV, hlm.

332 111 Muslim, Shahîh Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-’Araby, t.th.),

Juz III, hlm. 1512 112 Lihat Pembela Islam, No. 6 (Maret 1930), hlm. 39-40. Dan lihat Deliar

Noer, op.cit., hlm. 280.

Ibid., hlm. 41 114 Ibid., hlm. 280-281.

A. Hassan, op.cit., hlm. 43. 116 Ibid., hlm. 43.

117 Deliar Noer, op.cit., hlm. 297. 118 Ibid., hlm. 297-298. 119 Ibid., hlm. 282. 120 Ibid. 121 Ibid., hlm. 281. 122 Ibid.

RESPON PERSIS TERHADAP IDEOLOGI POLITIK DI INDONESIA

123 Badri Yatim, op.cit., hlm. 99-100. 124 Faishal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana

Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, (Yogyakarta: Penertbit Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm. 62.

125 Isa Anshary, Islam dan Nasionalisme, (Bandung: Pustaka Djihad, 1954), hlm. 11. Dan lihat, Isa Anshary, Debat Dasar Negara Islam Dan Pancasila

Konstituente 1957, op.cit., hlm. 220. 126 Isa Anshary, Islam dan Nasionalisme, op.cit., hlm. 13.

127 Ibid., hlm. 14. 128 Ibid., hlm. 11-13. 129 Ibid., hlm. 30. 130 Isa Anshary, Debat Dasar Negara: Islam dan Pancasila Konstitente

1957, op.cit., hlm. 206-207. 131 Ibid., hlm. 15.

132 Thahir Luth, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani Pres, 1999), hlm. 116.

M. Natsir, Capita Selecta, op.cit., hlm. 490. 134 Isa Anshary, Muzahid Dakwah, (Bandung: CV. Dipenogoro, 1961),

hlm. 117. 135 Ibid., hlm. 118.

136 Isa Anshary, Falsafah Perdjuangan, op.cit., hlm. 83.

E. Abdurrahman, Recik-Recik Dakwah, (Bandung: Sinar Baru, 1999), hlm. 12. 138 Ibid., hlm. 4. 139 Ibid., hlm. 2. 140 Ibid., hlm. 6-7. 141 M. Amien Rais, Tauhid Sosial; Doktrin Perjuangan Muhammadiyah,

(Bandung: Mizan, 1988), hlm. 66. 142 A.M. Romli, Agama Menentang Komunisme, (Jakarta: PT. Bina Tina

Parawira, 1997), 30-31. 143 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 472.

144 Ibid., hlm. 473. 145 A.M. Romli, op.cit., hlm. 12-13. 146 HOS Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, (Jakarta: Bulan-Bintang,

2003), Cet V, hlm.1. 147 J.K. Tumakaka, Sosialisme Indonesia, (Jakrta: Departemen Penerangan

RI, 1961), hlm. 3. 148 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 958. 149 A.M. Romli, op.cit., hlm. 31-32.

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

150 Tim, Encycloosedia Britanica, (London: E.B. LTD, t.th.), Vol. 6, hlm.134.

Lewis s. Feuer (ed), Mark & Engels: Basic Writing on Politics an Philosophy, (Fontana/Collins: Alys-bury, 1984), hlm.45. 152 HOS Tjokroaminoto, op.cit., hlm 3-4. 153 Jeanne S. Mintz, Mohammed, Marx and Marhaen: The Roots of

Indonesian Sosialism. Terj. Zulhimiyasari, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 9.

154 Mohammad Hatta, Pengantar ke Jalan Sosiologi Ekonomi, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1967), hlm. 117-121.

155 Jeanne S. Mintz, op.cit., hlm. 31-33. 156 Mohammad Natsir, “Djawab Kita”, Suara Partai Masyumi, No. 1 th

ke-7 (Januari 1952), hlm. 5. Dan Lihat Samsuri, Politik Islam Anti Komunis: Pergumulan Masyumi dan PKI di Arena Demokrasi Liberal, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), 20.

157 Mohammad Natsir, “Djawab Kita”, op,cit., hlm. 5. 158 Ibid., hlm. 5. 159

Ibid.

Diringkaskan dari M. Isa Anshary, Islam Menentang Komunisme Dalam Bahaya Merah di Indonesia , (Bandung; Pront Anti Komunis, 1954), hlm. 4-24.

161 Rusyad Nurdin, Komunisme Musuh Agama, Bangsa dan Negara dalam KH M. Rusyad Nurdin, Profil Seorang Muballig, (Bandung: Yayasan

Corps Muballig Bandung, 1988), hlm. 105-108.

E. Abdurrahman, Recik-Recik Dakwah, op.cit, hlm. 8-9. 163 Ibid., hlm. 7.

164 Isa Anshary, op.cit., hlm. 183. 165 Ibid. 166

Ibid., hlm. 184. 167 George Mc Turnan, Nationalism and Revolution, (Itacha: Cornel

University Press, 1996), cet. Ke-7, hlm. 309-311. Dan lihat Jeanne S. Mintz, op.cit., hlm. 118-121.

168 Jeanne S. Mintz, op.cit., hlm. 119.

Bab