Konsepsi tentang Khurafat dan Tahayul.

C. Konsepsi tentang Khurafat dan Tahayul.

Khurafat ialah, “Satu ketentuan, caranya seperti cara upacara agama, ada ketentuan waktu dan tempatnya yang tidak diatur oleh akal, seperti membuat sesajen setiap malam Selasa atau Jum’at, tidak ada yang mengatakan hukumnya itu sunnat atau wajib, pelakunya tidak mengharapkan ganjaran atau menghindarkan adzab Tuhan,

Bagian Ketiga: PEMIKIRAN KEAGAMAAN PERSATUAN ISLAM -- Oleh Dr. Badri Khaeruman, M.Ag

tetapi takut dari sesuatu yang ghaib, tidak berdasarkan akal atau dalil dari al-Qur’an dan Hadîts”.

Sedangkan yang dimaksud dengan tahayyul atau hayyal ialah, “Gambaran dalam pikiran yang dasarnya kira-kira atau sudah menjadi kebiasaan nenek moyang. Khurafat, nama satu orang yang mahir mendongengkan yang bukan-bukan terutama lelakon Jin. Dan di kalangan orang Islam, di negeri kita, dimaksudkan sesuatu yang menyangkut yang ghaib, dasarnya kira-kira atau kebiasaan

nenek moyang”. 13 Kritik terhadap prilaku khurafat dan takhayul yang

berdimensi syirk itu, Persatuan Islam menyatakan bahwa perbuatan atau keyakinan yang demikian bertentangan dengan tauhid, yang seharusnya hanya tertuju kepada Allah semata-mata. Dan dalam soal tauhid, Islam tidak mengenal kompromi dengan kepercayaan lain. Misalnya kepercayaan terhadap benda-benda keramat (jimat) yang konon dihuni oleh roh dan makhluk halus, jika tidak dipuja melalui sesajen, akan mendatangkan bahaya. Atau kepercayaan lainnya yang sejenis dan masih banyak diyakini oleh umat Islam di Indonesia. Karena kepercayaan-kepercayaan demikian, sesungguhnya merupakan kepercayaan Animis, yakni kepercayaan

kuno bangsa Indonesia. 14 Nurcholish Madjid, dalam kapasitasnya sebagai intelektual

muslim, memberikan ilustrasi bagaimana tindakan seorang Animis ketika berhadapan dengan suatu penyakit dan pengobatannya. Dalam pandangan seorang Animis, suatu penyakit tidaklah dilihat apa sebenarnya penyakit itu, sebab-sebabnya, dan kemungkinan cara penyembuhannya. Penyakit, baginya, langsung dihubungkan dengan roh, atau sukma. Penyakit adalah pengaruh roh jahat. Oleh karena itu, pengobatan satu-satunya untuk segala penyakit ialah yang bersifat ruhani, baik untuk mengusir roh jahat tersebut atau membujuknya supaya pergi, atau meminta pertolongan roh lainnya yang baik. Jadi, mengobati penyakit pun merupakan praktik keagamaan. Sungguh, tidak ada satu kegiatan manusia pun yang

PEMIKIRAN DI BIDANG AKIDAH DAN SYARI’AH

lepas dari lingkaran keagamaan. Tingkah laku manusia selalu dirangkaikan dengan ritual atau upacara keagamaan: umpamanya, memulai bercocok tanam, membuka saluran air, mengetam, dan seterusnya. Sisa praktik itu – sebagaimana disinggung di muka

masih kita saksikan sampai sekarang ini. 15 Bahkan pelakunya bukan masyarakat yang awam dan tinggal di pinggir-pinggir

hutan, melainkan orang-orang yang berlatar belakang pendidikan tinggi dan tinggal di kota-kota besar. Karena itu bentuk-bentuk ritualnya pun bergeser, misalnya ketika memulai pembangunan gedung-gedung, membuka usaha agar selalu sukses, maka diadakan selametan meminta izin kepada roh dan nenek moyang melalui bacaan-bacaan berdimensi Agama. Demikian pula tergambar, bagaimana rikuhnya seorang pejabat tinggi berhadapan dengan dukun, sang penakluk roh, meminta petunjuk agar jabatannya naik, minimal tidak dipindahkan kepada orang lain.

Kaitannya dengan kepercayaan Animis tersebut yang masih terus yakini oleh sebagian umat Islam itu, selanjutnya Nurcholish

Madjid 16 menyatakan bahwa yang penting kita perhatikan dalam sikap Animis itu ialah bahwa, baginya, tidak ada benda sebagai

benda murni. Karena it, seorang Animis tidak mungkin mendekati benda sebagai benda. Di balik bentuk lahir benda itu, dia akan mencari arti spiritualnya: apakah benda itu mendatangkan kutukan atau membawa keber-untungan. Maka ia tidak akan mengerti benda itu menurut hakikat materialnya, apalagi menaklukkan dan menggunakannya, sebagaimana kelaziman abad sekarang ini. Jadi sebenarnya, bagi seorang Animis, semua benda dan kegiatan keseharian ditentukan oleh resep-resep keagamaan. Tidak satu bagian pun yang dibiarkan dipecahkan oleh manusia sendiri dengan kreativitas berpikirnya.

Sekarang Islam datang dengan ajaran tauhidnya yang tidak kenal kompromi itu. Dengan tauhid, seorang Animis diajari untuk melihat benda-benda ini sebagaimana adanya, dia dapat mendekatinya sebagai benda obyektif, dapat memahaminya, dapat

Bagian Ketiga: PEMIKIRAN KEAGAMAAN PERSATUAN ISLAM -- Oleh Dr. Badri Khaeruman, M.Ag

menggunakan dan menguasainya. Bagaimana dia mendekati benda itu, sangat banyak bergantung kepada kecerdasannya, tidak kepada ketekunannya melakukan upacara-upacara keagamaan. Maka dengan tauhid itu, terjadi proses sekularisasi besar-besaran pada diri seorang Animis. Semua benda yang semula dipuja, dan karenanya mengandung nilai akhirat, spiritual atau agama, sekarang ia campakkan ke bumi, dan dipandangnya sebagai tidak lebih daripada benda duniawi belaka. Benda-benda itu, dengan demikian, diduniawikan atau disekularisasikan. Sekarang ia mendekati benda tersebut dengan kapasitasnya sendiri selaku manusia, makhluk berpikir. Ia memikirkan benda tersebut: kejadiannya, hukum- hukumnya, dan cara menguasai atau menggunakannya. Dalam kegiatan berpikir itu, ia tidak bergantung kepada upacara-upacara keagamaan lagi: ia bebas. Dan pengetahuannya tentang benda itu pun adalah pengetahuan bebas, berdiri sendiri, di luar masalah- masalah spiritual.

Kritik-kritik Persatuan Islam di sekitar kepercayaan yang dinilai khurafat dan tahayul tersebut, seperti dalam upacara-upacara sosial yang berdimensi spiritual keagamaan, adalah dalam upacara kematian.

Salah seorang ulama Persatuan Islam menulis: “Selamatan waktu terjadinya kematian, di kalangan umat Islam hingga saat ini masih sangat kuat. Tradisi ini dikenal dengan nama selamatan Nyusur Tanah, selamatan Niga Hari, selamatan Empatpuluh Hari, selamatan Seratus Hari, dan selanjutnya diteruskan dengan selamatan ulang tahun kematian. Tradisi upacara kematian seperti ini, menurut para ahli sejarah berasal dari agama Hindu.”17

Di kalangan orang yang beragama Hindu, sesuai dengan kepercayaannya, bila ada yang mati,mayatnya dibakar atau dibuang ke hutan. Di samping itu oleh keluarganya dilepaskan seekor Sapi atau kerbau ke hutan.

Kepercayaan mereka sewaktu-waktu dapat berubah menurut jalan pikiran mereka penganut Hindu, misalnya, kerbau yang biasa

PEMIKIRAN DI BIDANG AKIDAH DAN SYARI’AH

untuk korban itu dilepas hidup-hidup ke hutan dirubah menjadi disembelih dahulu dan dilempar bersama-sama ke hutan atau ke laut untuk menolak bahaya, seperti dalam upacara ruatan dan lain sebaginya.