Masa Revolusi (1945-1949)

1. Masa Revolusi (1945-1949)

Masa revolusi merupakan suatu kisah sentral bagi bangsa Indonesia dalam mencari identitas dan karakter bangsa. Semua elemen bangsa berusaha bersatu dalam menghadapi kekuasaan asing dan berusaha menciptakan tatanan sosial yang lebih adil. Akhirnya, sesudah Perang Dunia II untuk pertama kalinya kebanyakan rakyat Indonesia bisa melepaskan diri dari segala

paksaan dan kekuatan asing yakni Belanda dan sekutu. 1 Walaupun

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

sebelumnya, pada tanggal 17 Agustus bangsa Indonesia di bawah pimpinan Soekarno dan Hatta sudah menyatakan kemerdekaannya. Barulah, pada akhir 1949 pihak penjajah mengakui kedaulatan Indonesia. 2

Selama masa empat tahun masa revolusi ini, Republik Indonesia mengembangkan sebuah sistem pemerintahan yang secara umum telah memenuhi syarat-syarat fungsional sebuah negara bangsa, meskipun kemampuan administratifnya masih terbatas dan berbagai kekurangan di bidang ekonomi menyebabkan pemerintahnya berfungsi pada tingkat efesiensi yang minimum. Adapun sistem pemerintahan yang diberlakukan secara resmi

adalah sistem kabinet presidensil yang mengacu pada UUD 1945. 3 Pada masa ini juga, Indonesia mengalami kemajuan penting dalam penegakkan “Demokrasi” yang ditandai oleh beberapa peristiwa penting. Antara lain, pada 22 Agustus 1945, pembubaran Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNPI) karena sistem kepartaian tunggal dianggap berbau otorianisme. Pada awal Oktober 1945, rencana pengubahan untuk pemerintahan sistem presidensil menjadi sistem parlementer oleh anggota KNPI di mana Sutan Syahrir diangkat menjadi Perdana Mentri. Perkembangan ke arah sistem politik Demokrasi juga

didukung oleh kondisi struktural. 4

Sebagai negara yang baru berdiri, Indonesia sangat membutuhkan dukungan dunia Internasional, khususnya negara- negara demokrasi Barat, untuk menghilangkan tuduhan bahwa Indonesia bagian dari negara fasis. Pada 1949, antara Agustus dan November, Konfrensi Meja Bundar (KMB) diselenggarakan di Den Haag, Belanda, yang menyetujui untuk dihentikan tuntutannya atas kedaulatan Indonesia, kecuali Irian Barat dan mendukung berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS), yakni sebagai bentuk negara federasi dengan 15 negara kecil yang dibikin Belanda sebagai anggotanya, sedangkan kekuasaan yang lebih besar ditangan negara anggota yang ke-16, yaitu Republik Indonesia. RIS berdiri

SIKAP POLITIK PERSIS TERHADAP PRAKTEK POLITIK DI INDONESIA

pada 27 Desember 1949. 5 Walaupun kondisi pemerintahan masa revolusi tidak menentu, pemerintahan Soekarno-Hatta telah mengeluarkan beberapa kebijakan penting dalam pembangunan negara kesatuan dan republik dan ditanggapi secara serius oleh kalangan Islam. Ada dua kebijakan pemerintah yang didukung oleh hampir semua kalangan, terutama kalangan Islam, yaitu; (1) Anjuran pemerintah tentang pembentukan-pembentukan partai politik, dan (2) Pembentukan negara RIS (Republik Indonesia Serikat)

Di antara kalangan Islam yang aktif merespons kedua kebijakan pemerintah atau peristiwa politik tersebuat adalah Persis. Persis yang berdiri semenjak 1923 dan secara resmi dan diakui oleh pemerintah RI pada tahun 1948 sudah sejak lama bercita-cita akan kemerdekaan Indonesia dan terbebas dari pihak asing dan dari pihak kaum komunis yang diduga sebagai musuh dalam selimut. Oleh karena itulah, akan digambarkan bagaimana sikap politik Persis terhadap kedua kebijakan pemerintah atau kedua peristiwa politik tersebut di mana Persis terlihat mendukung segala kebijakan pemerintah yang mengarah kepada pemebentukan

negara kesatuan dan republik dan penerapan demokrasi .

a. Anjuran Pembentukan Partai Partai politik

Ketika pemerintah mengeluarkan Maklumat yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta yang menganjurkan pembentukan partai-partai politik disambut baik oleh kalangan Islam termasuk Persis. Isi maklumat pemerintah tersebut adalah:

…..Anjuran Pemerintah tentang pembentukan partai-partai politik berhubung dengan usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat kepada pemerintah, supaya diberikan kesempatan kepada rakyat seluas-luasnya untuk mendirikan partai-partai politik dengan restriksi bahwa partai-partai politik itu hendaknya memperkuat perjuangan yang kita pertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat. Pemerintah menegaskan pendirian yang telah diambil beberapa waktu

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

yang lalu bahwa: a. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena adanya partai politik itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.

b. Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah disusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota-anggota Badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946… 6

Menyambut seruan pemerintah ini, umat Islam sebagai golongan mayoritas terpanggil untuk mengorganisasikan kekuatan dalam suatu wadah politik, sehingga dapat melaksanakan tugasnya dalam bidang politik. Pada tanggal 7 dan 8 November 1945 di Yogyakartya, umat Islam Indonesia menyelenggarakan muktamar. Muktamar ini dihadiri semua tokoh-tokoh organisasi Islam pada waktu itu. Akhirnya muktamar memutuskan untuk mendirikan Majelis Syuro pusat bagi umat Islam Indonesia yang disebut Masyumi. Dan Masyumi dianggap satu-satunya partai politik Islam satu-satunya. 7

Tokoh-tokoh Persis ikut serta dalam konferensi umat Islam itu. Ketika Persis secara resmi berdiri kembali pada tahun 1948, Persis kemudian tercatat sebagai anggota istimewa Partai Masyumi, sebagaimana halnya Muhammadiyah dan NU. Anggota- anggota Persis secara pribadi dianjurkan memasuki partai Masyumi, bahkan beberapa tokohnya, seperti Mohammad Natsir dan Isa Anshary terpilih sebagai pimpinan Masyumi dipimpinan Pusat. Dalam hal ketertiban Persis di Masyumi, Persis menegaskan bahwa semua orang Islam wajib aktif dalam kegiatan politik sebagai

salah satu kewajiban agama. 8 Hal ini tampak dalam tulisan-tulisan Hassan, Isa Anshary serta Muhammad Natsir, tertuang pula dalam manifesto organisasi, dan secara panjang lebar dalam fatwa-fatwa ulama Persis. Dalam Manifes perjuangan Persis hasil Muktamar ke 15-18 Desember 1956 dinyatakan bahwa:

Persatuan Islam (Persis) semenjak berdirinya bersemboyan hendak mengembalikan umat Islam kepada pimpinan al-Qur’an dan al- Sunnah, maka isi semboyan dan inti dakwah itu bukan saja terbatas dalam

SIKAP POLITIK PERSIS TERHADAP PRAKTEK POLITIK DI INDONESIA

lapangan aqidah dan ibadah, tetapi lebih luas daripada itu, ialah berjuang menegakan keyakinan dengan al-Qur’an dan Sunnah berjuang dalam politik memenangkan ideologi Islam. 9

Demikian pula pidato Mohammad Natsir pada Muktamar Persis ini menegaskan bahwa:

“Persatuan Islam sebagai satu perkumpulan yang hendak membawakan kepada umat yang banyak, ajaran-ajaran Islam yang syah diambil dari al-Qur’an dan hadits yang mengerjakan ma’ruf min munkar, terlepas dari apa yang dinamakan politik. Persatuan Islam yang banyak melakukan pekerjaan dakwah mempunyai satu fungsi yang paling besar. Apa yang tidak tercapai oleh partai politik seperti masyumi atai PSII harus dilakukan oleh Persatuan islam, dimana orang sudah ngeri mendengarkan politik, kalau mendengar nama Masyumi. Tetapi kalau Persatuan Islam sebagai satu perkumpulan dakwah saja masih terbuka jalan yang luas untuk memperkokoh barisan umat Islam untuk memberikan perasaan tanggung jawab untuk menyusun kekuatan umat. Tetapi politik kita tergantung pada dakwahnya….” 10

Dalam berbagai tulisannya pun, Natsir mewajibkan kegiatan politik bagi setiap umat Islam, dengan alasan bahwa Islam adalah filsafat hidup untuk menuntun perilaku muslim dalam setiap usaha dan tidak bisa dipisahkan dalam setiap tingkah laku manusia, termasuk politik. Umat Islam tidak bisa memisahkan diri dari politik, dan sebagai aktivis politik, umat Islam tidak bisa memisahkan diri dari ideologi politiknya yaitu Islam. Buat kaum muslimin, menegakkan agama Islam tidak bisa dipisahkan dari menegakkan masyarakat, bangsa, dan kemerdekaan. 11

Tentang keharusan berpolitik bagi seorang Muslim, Isa Anshary menyatakannya sebagai sebagai Fardhu kifayah dan Fardhu A’in. Fardhu kifayah menunjukan kewajiban agama yang cukup dilaksanakan oleh beberapa orang dan karena itu orang Islam lainnya bebas dari kewajiban melaksanakannya. Fardhu A’in berarti kewajiban agama yang prinsif dan umum; karena itu setiap muslim harus melaksanakannya. Isa Anshary menyatakan bahwa usaha mewujudkan hukum dan cita-cita Islam di dalam masyarakat dan bangsa tidak bisa dilaksanakan hanya oleh beberapa orang

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

saja, bahkan dengan usaha seluruh umat sekalipun. Hal itu tidak mudah dicapai. Dia menyimpulkan bahwa kegiatan politik adalah “ fardhu a’in” bagi setiap muslim, apapun kedudukannya. 12

Atas dasar-dasar itulah, hampir seluruh anggota Persis nampaknya memasuki Masyumi, dan bahkan beberapa orang di antaranya menjadi pimpinan. Seperti Natsir, sejak tahun 1949 setelah beberapa kali duduk dalam kabinet pemerintahan Republik, menjadi ketua umum Masyumi. Demikian pula Isa Anshary, menjadi anggota Dewan Pimpinan Masyumi, pimpinan wilayah partai di Jawa Barat, dan tokoh kelompok kecil “fundamentalis” Masyumi. Sementara Hassan tidak memainkan peranan politiknya yang menonjol, mungkin karena alasan kesehatan atau mungkin sibuk membangun kembali lembaga pendidikan pesantren Persatuan Islam. Meskipun demikian, ia menulis beberapa artikel dan fatwa tentang masalah politik yang sifatnya menunjang posisi Isa Anshary, dan kemudian ia sendiri duduk sebagai anggota Majelis Syura Masyumi. 13

Keterlibatan Persis secara total di Masyumi karena Masyumi mempunyai target dan agenda politik yang jelas yakni memperjuangkan ideologi Islam. Dalam Manifes Perjuangan Persis menyatakan bahwa perjuangan total dan frontal persis dalam bidang politik mengandung harapan dan idaman kemenangan dalam tiga lapangan dan perjuangan, yaitu:

Pertama, kemenangan dalam lapangan hukum, konstitusi negara yang berdasar al-Qur’an dan Sunnah: lahirnya Republik Indonesia yang berkejayaan dan berkebijakan diliputi oleh keampuhan Ilahi.

Kedua, kemenagan di lapangan hukumah, lapangan pemerintahan dan kekuasaan negara, baik legislatif maupun eksekutif, sehingga umat Islam berkuasa penuh dalam mengendalikan kekuasaan dan pemerintahan: dan

Ketiga, kemenangan di lapangan mahkum’alaih, lapangan masyarakat dan pergaulan hidup bersama, yang berintikan

SIKAP POLITIK PERSIS TERHADAP PRAKTEK POLITIK DI INDONESIA

masyarakat Islamiyah di atas kasih sayang persaudaraan dan kemanusiaan yang murni dan asli. 14

b. Pembentukan RIS (Republik Indonesia Serikat)

Proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 tidak serta merta menjamin negara RI ini lancar tanpa gannguan. Belanda dengan NICA-nya masih ingin menguasai Indonesia dengan membonceng tentara sekutu yang memperoleh kemenangan dari Jepang. Pada tanggal 15 dan 16 September 1945 dua kapal perang sekutu, yaitu kapal penjelajah Inggris Cumberland dan kapal penjelajah Belanda Tromp, tiba di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Berada di dalam kapal perang tersebut, Laksamana Pettersons dan pejabat NICA, R. Abdul Kadir, yang sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi di Indonesia dan perkembangannya pada zaman pendudukan Jepang, dan ia masih bertemu dengan Belanda yang akan kembali menjajah rakyat Indonesia. Ia berpandangan, nasionaliisme Soekarno tidak mempunyai pengaruh terhadap kaum terpelajar Indonesia, juga terhadap rakyat awam. Pusat-pusat terpenting kebudayaan jawa tidak akan pernah mau menerima Soekarno sebagai pemimpin, kendati di beberapa bagian Hindia-Belanda terdapat keinginan memilki pemerintahan sendiri. Namun, terdapat kemungkinan menciptakan negara-negara yang harmonis dari Negara Serikat Indonesia dalam kerangka Kerajaan Belanda. 15

Untuk mewujudkan keinginan tersebut, pihak Belanda pada tahun 1948 antara lain mendirikan sebuah negara di Jawa Barat, yang diberi nama Negara Pasundan, dalam upayanya untuk memilki pemerintahan di wilayah tersebut yang akan bertanggung jawab terhadap kepentingan-kepentingan Belanda, alih-alih terhadap kepentingan RI. Negara Pasundan bermula dari perjanjian Renville di awal tahun 1948 yang menuntut diselenggarakannya plibesit (pemungutan suara untuk menentukan status daerah) di wilayah Jawa Barat, tapi pihak Belanda menafsirkan persetujuan ini dengan caranya sendiri, dengan mengangkat beberapa perwakilan rakyat

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

yang dipilih oleh kelompok nasionalis Sunda untuk mendirikan negara Pasundan tanpa adanya plebisit seperti yang tertera dalam perjanjian tersebut. 16

Negara Pasundan dianggap sebagai boneka Belanda bahkan oeh sebagian besar penduduknya sendiri, bertahan hingga tahun 1950, ketika ia membubarkan dirinya dan bergabung ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Meski mungkin banyak orang Sunda di antara anggota Persis yang telah lama bersimpati dengan negara Pasundan, tetapi sebagian aktivis Persis tetap memilih mendukung perjuangan RI. Bahkan, pada awalnya Hassan pun menerima jabatan sebagai Menteri Agama Negara Pasundan dengan alasan memanfaatkan jabatan tersebut untuk

menyebarkan ide-ide pembaharuan keagamaannya di Jawa Barat. 17 Namun, pada tanggal 13 April 1948, Persis berpartisipasi dalam sebuah konferensi organisasi-organisasi keagamaan di wilayah Bandung untuk mendiskusikan negara Pasundan dan persoalan- persoalan lainnya, dan menyerukan pemisahan elemen-elemen komunitas muslim dari negara Pasundan tersebut. Gerakan ini dipimpin oleh aktivis Persis Isa Ansary, yang bekerja untuk mendukung perjuangan republik di Jawa Barat hingga Pasundan bergabung ke dalam RI. 18

Melalui terbitan berkalanya, Aliran Islam, yang dimulai pada 1948 dan diterbitkan di Bandung yang dikuasai Belanda, Isa Ansary menertbitkan artikel-ertikel yang secara terbuka mendukung gerakan republik. Artikel-artikelnya merefleksikan ketidaksenangan rakyat Jawa Barat terhadap “aksi militer Belanda kedua” pada tahun 1948, yang telah menangkap Soekarno, Hatta, dan para pemimpin penting republik lainnya, dan menentang pernyataan Belanda berikutnya bahwa RI sudah tidak ada lagi. Ketika Belanda melanjutkan rencana-rencana untuk menegakkan kekuasaan tidak langsung atas kepulauan nusantara dengan membentuk republik Indonesia Serikat yang terdiri atas lima belas negara bagian dan daerah-daerah khusus yang diakui oleh

SIKAP POLITIK PERSIS TERHADAP PRAKTEK POLITIK DI INDONESIA

Belanda, Isa Ansary menyatakan bahwa federasi semacam ini seharusnya tidak dibentuk tanpa keikutsertaan para pemimpin republik yang dipenjara. “… harus diketahui,” ungkapnya dalam “Sketsa perjuangan kami”, “bahwa rakyat Indonesia mendukung Republik Indonesia, mendukung Soekarno dan Hatta.” Sikap serupa diantara para delegasi yang bertemu untuk membentuk Republik Indonesia Serikat, dipadukan dengan perjuangan baru oleh kekuatan-kekuatan republik di Jawa tengah, dan tekanan internasional oleh pelbagai negara melalui Perserikatan Bangsa- bangsa, akhirnya berhasil memaksa Belanda untuk melepaskan para pemimpin tersebut. 19

Meskipun mendukung para pemimpin sekularis RI, Isa Ansary, seperti halnya Hassan, tidak kehilangan tujuan untuk menegakkan sebuah negara Indonesia yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam. Dalam Falsafah Perjuangan Islam, yang ditulis pada 1949, dia mengungkapkan bahwa kelompok- kelompok muslim berpartisipasi dalam perjuangan kemerdekaan untuk “menegakkan sebuah negara yang dilindungi Tuhan sebagai menuhan tanggung jawab mereka sebagai muslim.” Tujuan tersebut oleh Isa Anshary disimpulkan: “Mengatur serta memberikan tuntunan dan perikehidupan yang memerhatikan kebenaran- kebenaran mendasar tentang komunitas manusia, baik di bidang

politik, ekonomi, maupun sosial.”. 20 Hal ini merupakan penegasan ulang dari pendirian politik muslim yang dibuat pada akhir era kolonial dan merupakan petunjuk bahwa isu negara Islam tetap menjadi bagian penting dari ideologi politik kelompok-kelompok muslim, terutama ideologi politik Persis.

Kemudian pada 3 April 1950, beberapa tahun setelah terjadi penyerahan kedaulatan dari mahkota Kerajaan Belanda ke Republik Indonesia, umat Islam melalui Natsir mengajukan revolusi penyatuan kembali seluruh wilayah Indonesia di sudang parlemen RIS. Natsir dan kalangan Islam lainnya melontarkan sebuah “mosi” atau ‘Resolusi integrasi”, yang menuntut dibentuknya Negara

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berkat “mosi” dan “resolusi” itu, pembentukan dan Pemerintahan RI tidak terelakan, yang dijamin dalam payung dan menggunakan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 sebagai landasan konstitusinya. 21