Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah

A. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah

Sejak paradigma dikotomis tradisional-modernis Islam di Indonesia muncul ke permukaan, maka secara tidak langsung jargon-jargon penting dari istilah keagamaan keakan menjadi trade mark kalangan Islam tertentu. Istilah Ahl al-Sunnah wa al- Jama’ah, misalnya, disebut oleh sementara pengamat sebagai milik kaum tradisional. Bahkan kalangan umat ini, akan sangat marah jika dikatakan keluar dari garis keagamaan Ahl al-Sunnah, sehingga istilah ini dijadikan semboyan dengan tanpa pengertian yang jelas oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. Tidak adanya pengertian tentang istilah itu, menyebabkan umat Islam telah disesatkan.

Menurut KHE. Abdurrahman, umat Islam marah bila dikatakan keluar dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, walaupun ia tidak tahu- menahu tentang Sunnah Nabi, bahkan banyak yang membelakangi Sunnah, pembela dan penegak bid’ah, tetapi dengan tidak ragu-ragu ia mengakui bahwa dirinya itu adalah Ahl al-Sunnah, bahkan pula Kyai pembela Moskow dan PKI ketika partai ini masuk dan hidup di Indonesia, juga mengaku dirinya golongan Ahl al-Sunnah wa al- Jama’ah.

Sungguh istilah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dijadikan alat dan modal untuk menarik orang ramai dan awam, dan orang serta golongan yang tidak sepaham sependirian dengan mereka, mendapat

Bagian Ketiga: PEMIKIRAN KEAGAMAAN PERSATUAN ISLAM -- Oleh Dr. Badri Khaeruman, M.Ag

cap keluar dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Padahal gelaran ini tidak menjadi jaminan untuk masuk surga; nama tetap nama yang hampa tiada harganya, seperti halnya gelar akademis, Dr. Ir, atau gelar haji sekalipun, sama sekali tidak ada artinya, kalau hanya sekedar gelar belaka. Tapi yang berharga itu ialah amal perbuatan, tingkah laku, kecakapan dan kegiatan yang cocok dengan penyandangan gelar itu.

Dengan demikian, apa sebenarnya yang dinamakan Ahl al- Sunnah wa al-Jama’ah itu? Ahl al-Sunnah adalah sebalik dari Ahl al- Bid’ah.Ahl al-Sunnah, ialah umat Islam yang iman dan aqidahnya berdasarkan Sunnah Nabi, berdasarkan al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Mereka yang menganut aliran teologi ini tidak menjadikan akal sebagai hakim, yang menetapkan hukum halal dan haram, wajib atau sunnat, akan tetapi akal dijadikan penafsir dan penguat bagi apa yang telah ditetapkan hukumnya oleh al-Qur’an dan Hadîts.

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda kepada seorang shahabat: Ashbatas Sunnata! (Perbuatan) kamu cocok dengan sunnah, yakni cocok dengan apa yang ditetapkan oleh al-Qur’an dan Hadîts. Ini adalah satu dalil bahasa sunnah dalam istilah agama, terutama dalam istilah Hadîts, ialah sabda Rasulullah, perbuatannya, ucapannya serta perbuatan shahabat yang dibenarkan oleh Rasulullah SAW.

Karena itu bisa dikatakan bahwa Ahli al-Sunnah itu ialah orang yang mengutamakan keterangan al-Qur’an dan Hadîts, menyusun hujjah dan alasan berdasarkan kedua sumber hukum Islam ini, menyesuaikan gerak amalnya, iman dan i’tiqadnya, aqidah dan ibadahnya, semuanya berdasarkan Sunnah Nabi.

Washil Ibn Atha’ (lahir tahun 80 H) adalah seorang pembangun madzhab Mu’tazilah, yang bertentangan dengan Ahl al-Sunnah. Ia asalnya murid Hasan al-Asy’ari, seorang tokoh Ahl al-Sunnah. Sewaktu ia berpisah dari gurunya itu, maka dikomentari: I’tazala ‘anna Washil, yakni Washil telah berpisah dari kita.

Dan orang yang “ i’tazala” atau berpisah itu dikatakan kaum Mu’tazilah, bukan berpisah dari orang ramai, atau berpisah dari cara-

PEMIKIRAN DI SEKITAR PAHAM KEAGAMAAN

cara yang sudah biasa, akan tetapi dalam kenyataannya berpisah dari gurunya, yang penganut Ahl al-Sunnah.Washil berendapat berdasarkan pikirannya sendiri, bahwa orang yang berdosa besar itu tempatnya tidak di neraka atau di surga, akan tetapi di tempat antara dua tempat itu, antara surga dan neraka.

Mu’tazilah tidak dikatakan Ahl al-Sunnah sebab mereka berhakim dan berhukum kepada pikiran semata-mata, bukan kepada keputusan al-Qur’an dan Hadîts. Oleh karenanya tidak salah jika dikatakan bahwa Ahl al-Sunnah itu bukan sebalik dari Mu’tazilah saja, tetapi yang lebih umum adalah sebalik dari Ahl Bid’ah.

Dalam sebuah riwayat diterangkan: Jauhi oleh kamu Ahl al- Ra’yi, yaitu orang-orang yang menetapkan hukum tidak beralaskan al-Qur’an dan Hadîts, tetapi berdasarkan pendapat pikirannya semata-mata.

‘Ali Ibn Abî Thâlib pernah menyatakan, kalau sekiranya agama itu berdasarkan pikiran, (bukan berdasarkan dalil-dalil), maka soal menyapu sepatu dalam wudhu pun lebih layak agaknya disapu bagian bawahnya daripada atasnya.

Demikian pula telah diketahui bahwa orang yang memakai khufi atau sepatu dalam keadaan bersih, baginya diperbolehkan tidak membuka sepatunya. Cukup kalau orang itu menyapu sepatunya dengan air pada bagian atasnya, dan bukan pada bagian bawahnya ketika ia berwudhu. Padahal, pada umumnya bagian bawah jauh lebih kotor daripada bagian atasnya. Hal ini menunjukkan, bahwa agama itu harus berdasarkan dalil dari Rasulullah atau al-Qur’an, dan bukan berdasarkan buah pikiran, pendapat dan perkiraan orang.

Islam memberikan kemerdekaan berpikir, Islam menghargai akal dan melin-dunginya dari tindakan-tindakan yang mungkin dilakukan orang pada nikmat akal yang tak ternilai itu. Islam mengharamkan taqlid dalam urusan agama. Islam mengharamkan takhayul dan khurafat. Islam melarang orang-orang mengekor (taqlid) dalam urusan-urusan yang tidak atau belum dimengertinya. Orang Islam sangat menghormati ibu bapak, tetapi apabila mereka

Bagian Ketiga: PEMIKIRAN KEAGAMAAN PERSATUAN ISLAM -- Oleh Dr. Badri Khaeruman, M.Ag

memaksa anaknya menjadi orang-orang musyrik, dalam pengertian tak dapat dipahami oleh akal yang waras, maka mereka itu pun tidak boleh dipatuhi.

Akal ialah salah satu alat untuk ma’rifat dan iman kepada Allah. Besar kecilnya ganjaran yang diterima oleh umat Islam itu tergantung pada kecerdasan dan kebekuan akalnya, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Aisyah. Bahkan satu riwayat (bukan Hadits) menerangkan pula:

Agama itu ialah akal. Maka tak ada agama itu bagi mereka yang

1 tidak berakal.

Akan tetapi kemerdekaan itu ada batasnya, karena kemerdekaan yang tiada berbatas ialah kebebasan binatang. Kecerdasan dan kemerdekaan akal dapat menciptakan bermacam- macam alat modern yang berguna dan menyusun bermacam-macam ilmu. Akan tetapi dengan akal yang merdeka pula dan pikiran yang bebas orang memungkiri akan adanya Tuhan. Dan dengan pikiran yang bebas pula timbulnya madzhab Mu’tazilah.

Ahl al-Sunnah pada zaman Abu al-Hasan al-Asy’ari menganggap al-Qur’an dan Hadits itu ialah dalil nomor satu dan berdasarkan kedua sumber ini orang menetapkan hukum agama. Sedangkan akal hanyalah sebagai penguat dan penafsir, sebab tak ada suatu ketetapan dan keterangan yang sah dalam agama yang bertentangan dengan hukum akal.

Dua ditambah dua -- berdasarkan akal -- tentu hasilnya empat. Dalam hal ini agama tak usah dibawa-bawa. Menetapkan hasilnya empat tak perlu berdalilkan al-Qur’an dan Hadits. akan tetapi dalam hal-hal seperti: mengapa shalat dhuhur empat rakaat sedangkan maghrib tiga rakaat? Mengapa menyapu khuf atau sepatu dalam wudhu itu sebelah atas dan bukan sebelah bawahnya dan sebagainya. dalam hal ini sebagai hakimnya bukanlah akal akan

PEMIKIRAN DI SEKITAR PAHAM KEAGAMAAN

tetapi Syar’i, yakni al-Qur’an dan Hadits yang kesemuanya ini tidak bertentangan dengan hukum akal.

Sedangkan Ahli al-Haq menurut definisinya, sebagaimana diterangkan oleh al-Jurjani:

“ Ialah golongan yang menyandarkan dirinya pada hak (kebenaran) pada sisi Tuhan mereka dengan alasan dan keterangan-keterangan (jadi bukan atas dasar taqlid) Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah”. 2

Yang ditaati oleh Ahl al-Sunnah bukanlah apa yang dipandang benar oleh khalayak ramai, bukan pula yang dibenarkan oleh ulama dan diakui kebenarannya oleh dirinya sendiri, tapi apa yang hak dan benar itu menurut Tuhan mereka ( ‘inda rabbihim), yakni berdasarkan al-Qur’an dan Hadits yang shahih.

Ahl al-Sunnah tidak menyia-nyiakan akal atau meninggalkan pikiran dan pendapat. Hal ini terlihat nyata dalam suatu perdebatan antara Abu al-Hasan al-Asy’ari (Ahl al-Sunnah) dengan al-Jubba’i (Mu’tazilah). Abu al-Hasan menggunakan dalil-dalil sebagai pokok dan menambah penjelasan-penguat sebagai syahîd (saksi) buah pikirannya yang berpedoman kepada al-Qur’an dan Hadits.

Karena itu yang disebut al-Jama’ah, sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Baihaqi dalam Sya’b al-Iman, sebagai berikut:

“ Yang dimaksud dengan istilah jama’ah itu ialah Ahli fiqh dan

Ahli ilmu yang sepakat bersatu mengikuti jejak Rasulullah dalam urusan besar dan kecil dan tidak berbuat bid’ah dalam agama, dengan jalan mengubah atau merombak dalil-dalil”.

Bagian Ketiga: PEMIKIRAN KEAGAMAAN PERSATUAN ISLAM -- Oleh Dr. Badri Khaeruman, M.Ag

Selanjutnya dinyatakan pula:

“ Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang yang (tegak) di atas kebenaran, walaupun hanya seorang (dalam arti tidak mempunyai kawan sepaham). Sesungguhnya yang dikatakan hak itu ialah apa-apa yang dilakukan oleh jama’ah Islam pada abad pertama (zaman Rasul dan para shahabatnya) dan tidak usah menghiraukan jumlah Ahl kebatilan yang sekian banyaknya, walau sebanyak penghuni dunia jumlah mereka”.

Abu Syamah, dalam kitab al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’i wa al- Hawadits, menerangkan:

“ Telah datang perintah agar sejalan dan seiring dengan al- Jama’ah. Adapun yang dimaksud dengan al-Jama’ah itu ialah tidak terlepas dari hak dan mematuhinya walau pemegang hak itu sedikit, dan yang menentang atasnya banyak jumlahnya, karena hak itu ialah yang dijalankan oleh golongan Islam yang pertama (zaman Rasul dan para shahabatnya) dan tidak perlu memandang atau terpengaruh dengan banyaknya Ahli kebatilan”.

Abdullah Ibn Mas’ud pernah berkata kepada Amr Ibn Maimun:

PEMIKIRAN DI SEKITAR PAHAM KEAGAMAAN

“ Tahukah kamu apa yang dinamakan al-Jama’ah itu? Amr menjawab: “tidak”. Kemudian Ibn Mas’ud berkata: Sesungguhnya jumhurnya al-Jama’ah ialah yang bertentangan (berpisah) dengan orang ramai. Al-Jama’ah itu ialah yang cocok dengan hak, walaupun kamu hanya seorang diri”.

Kemudian Ibn Mas’ud menegaskan:

“ Barangsiapa atas hak (memegang dan mempertahankan hak) maka ia itulah Jama’ah walaupun ia sendirian”.

Karena itu, Ahl al-Sunnah adalah Ahli Sunnah Rasul, yang dalam amal ibadahnya, iman-i’tikadnya, cocok dengan Sunnah Nabi, cocok dengan perjalanan Rasulullah SAW.

Ahl al-Sunnah tentu dan pasti bukan Ahli Bid’ah. Ahli Bid’ah yang bebas dan merdeka menetapkan hukum halal dan haram, hanya berpedoman kepada yang sudah umum, ghalib dan biasa. Merasa besar hati dan lega perasaan, merasa benar dan hak karena banyak kawan dan pengikut, walaupun bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadits, atau sama sekali tidak beralasan dengan dalil yang shahih, tetapi hanya ketetapan pikiran, perkiraan dan sangkaan belaka.

Dari berbagai analisis dan pengertian yang dikemukakan di atas, terang golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah itu bukan golongan yang bermadzhab. Tuduhan kepada orang yang tidak bermadzhab itu keluar dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah itu terang tidak beralasan sama sekali. Tuduhan itu hanyalah semata-mata untuk kepentingan siasat dan politik, politik sesat dan menyesatkan, sesat pendirian, menyesatkan diri sendiri dan orang banyak.

Jika hanya bermadzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, dan selain dari madzhab ini dianggap salah dan sesat, sebagaimana

Bagian Ketiga: PEMIKIRAN KEAGAMAAN PERSATUAN ISLAM -- Oleh Dr. Badri Khaeruman, M.Ag

umumnya dituduhkan beberapa kyai tradisional, bagaimana nasib umat Islam yang hidup sebelum munculnya para imam madzhab yang empat itu, apakah mereka termasuk umat yang sesat?

Jika setelah kemunculan imam yang empat baru wajib bermadzhab, maka hendaklah yang mewajibkan itu memberi dalil dan keterangan, menyusun hujjah dan alasan dengan nash yang nyata, kalau betul mengaku Ahl al-Sunnah, pengikut Sunnah Rasul dan jama’ah shahabat.

Tuduhan para tokoh ulama tradisional yang mereka lemparkan kepada Persatuan Islam, Muhammadiyyah dan al-Irsyad keluar madzhab, yakni keluar dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, tidak lebih dan tidak kurang hanyalah berdasarkan kepada pendapat pikiran, kira-kira dan sangka semata-mata, timbul dari sentimen perasaan dengki dan hasud, memecah kesatuan dan kesaudaraan umat Islam, melemahkan perjuangan kaum muslimin.

Umat Islam perlu bertanya kepada golongan yang mengaku bermadzhab, mengaku pengikut dan pembela para imam yang empat; apakah paham, pengertian dan pendirian mereka sekarang itu sesuai dan bersamaan dengan paham dan ajaran imam yang empat? Persoalannya, karena ke empat imam itu terang-terangan mengatakan bahwa kalau ada pendapatnya yang bertentangan dengan Hadîts Nabi, maka Hadîts Nabi yang wajib dipakai dan pendapatnya wajib dibuang.

Dengan demikian, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah yang tulen dan asli itu ialah bukan ahli bid’ah tetapi anti bid’ah. 3