Pembenahan ke Dalam: Sebuah Isolasi Strategis

A. Pembenahan ke Dalam: Sebuah Isolasi Strategis

Awal kepemimpinan KHE. Abdurrahman, Persis dihadapkan pada masalah-masalah politik dalam negeri yang carut-marut, sehingga bagaimana mempertahankan eksistensi Persis di tengah gejolak sosial-politik yang tidak menentu. Jihad perjuangan Persis dihadapkan pada masalah-masalah politik yang beragam; pembubaran Partai Masyumi oleh Soekarno karena dianggap kontra revolusi, lepasnya Persis sebagai anggota istimewa Masyumi, serta ancaman akan dibubarkannya Persis oleh pemerintah Orde Lama karena tidak memasukkan asas Nasakom dalam Qanun Asasi Persis, sampai pada meletusnya G. 30 S/PKI 1965, merupakan masalah- masalah politis yang dihadapi pada masa awal kepemimpinan Ustadz Abdurrahman. 1

Seiring dengan awal kepemimpinan Ustadz Abdurrahman, pergeseran besar telah terjadi dalam suhu politik nasional sejak tahun 1965. Apalagi dengan tersingkirnya kelompok-kelompok sayap kiri yang terpenting karena dilarangnya PKI dan dilenyapkannya bekas kepemimpinan sayap kiri PKI di dalam PNI. Dengan demikian harapan baru pun mulai timbul di kalangan Islam. “Perbenturan kekuatan” telah sirna dan berakhir dengan kemenangan suatu

Bagian Pertama: PERJALANAN SEJARAH PERSATUAN ISLAM -- Prof. Dr. H. Dadan wildan Anas, M.Hum.

format politik baru yang menunjukkan awal perkembangan politik pasca G.30-S/PKI tahun 1965 dalam babakan baru sejarah Indonesia. Penindasan dan ancaman telah lenyap, surat kabar dan majalah diperkenankan terbit kembali, umat Islam mulai bernafas lega. Apalagi pada tanggal 16 Desember 1965 dibentuk Badan Koordinasi Amal Muslimin yang mempersatukan 16 organisasi Islam yang ingin mengusahakan rehabilitasi Masyumi.

Setelah Soekarno disisihkan dari kegiatan politik aktif (sejak dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966), para mantan pemimpin Masyumi mengharapkan Masyumi segera diizinkan kembali melakukan kegiatan, dengan anggapan merekalah orangnya yang menentang Demokrasi Terpimpin Soekarno; mereka menaruh harapan besar terhadap tampilnya kembali dalam panggung politik nasional. Namun, sejak bulan Juni 1966 diumumkan suatu pernyataan dari penguasa militer yang terutama diarahkan terhadap Soekarno untuk mencegah kegiatan dan intriknya lebih lanjut. Pernyataan ini juga sekaligus menerangkan bahwa militer “akan mengambil tindakan tegas terhadap siapapun, dari pihak manapun, dan golongan apapun yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945”. Pernyataan ini diduga kuat sebagai antisipasi terhadap para pemimpin Masyumi yang pernah terlibat dalam pemberontakan PRRI di tahun 1958 untuk kembali tampil dalam panggung politik dan sebagai suatu alasan untuk menerapkan larangan itu. Beberapa orang percaya bahwa pemerintah tidak ingin menyaksikan Masyumi direhabilitasi karena adanya kecenderungan partai ini untuk

membentuk negara Islam. 2

Lenyapnya Masyumi dari gelanggang politik menyebabkan terjadinya kekosongan tempat untuk menyalurkan aspirasi politik aliran Islam modernis seperti Muhammadiyah dan Persis. Itulah sebabnya pada tahun 1964 timbul keinginan Muhammadiyah untuk mendirikan Partai Islam Indonesia (PII). Namun, karena semangat rehabilitasi Masyumi masih cukup besar pada waktu itu, maka usaha itu terbengkalai. Pada tahun 1967, juga terdengar berita bahwa

STRATEGI PERSATUAN ISLAM DALAM MEMBANGUN JAMA’AH DAN MENGHINDARI KEKUASAAN ORDE BARU

Bung Hatta dan para alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bermaksud mendirikan partai pengganti Masyumi yang disebut Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII). Akan tetapi, sebagaimana

PII, PDII pun tidak kunjung terlaksana. 3

Setelah lahirnya Orde Baru, dengan anggapan bahwa kepemimpinan Soeharto lebih demokrat daripada Soekarno, ide rehabilitasi Masyumi semakin besar. Namun usaha ini hanya mampu melahirkan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) di bawah kepemimpinan Djarnawi Hadikusuma dan Lukman Harun sebagai

Sekretaris Jendral (1968-1970). 4 Partai Muslimin Indonesia--semula disingkat PMI, kemudian Parmusi--lahir pada tanggal 7 April 1967 merupakan Partai Muslimin Indonesia yang dimaksudkan sebagai kelanjutan Masyumi dengan nama lain. Pemerintah Orde Baru setuju, tetapi beberapa perwira tentara tertentu berkeberatan dengan keikutsertaan para mantan pemimpin Masyumi dalam partai tersebut. Karenanya, bisa dipahami apabila pada tanggal 24 Oktober 1967 Mohammad Natsir, tokoh Masyumi, memutuskan

untuk mengundurkan diri dari kepemimpinan partai tersebut. 5 Sikap Persis terhadap Parmusi menunjukkan sikap yang kurang responsif, dan menolak untuk menjadi anggota Parmusi dengan alasan pimpinannya tidak dipilih oleh umat. Dalam masalah ini Pusat Pimpinan Persis sering menyampaikan pernyataan- pernyataan lisan maupun tulisan kepada badan legislatif dan

eksekutif, walaupun Persis merupakan organisasi non politik. 6 Selain menghadapkan jihadnya kepada masalah-masalah politik, Persis menghadapi pula aliran-aliran yang menyesatkan umat Islam, diantaranya aliran pembaharu Isa Bugis, aliran Islam Jama’ah, Darul Hadits, dan Inkarus Sunnah yang sesat dan menyesatkan. Untuk menghadapi aliran-aliran sesat ini, para mubalig Persis dan mubaligah Persistri serta para da’i muda Pemuda Persis dan Jam’iyyatul Banat terjun ke daerah-daerah secara rutin dengan melaksanakan tablig keliling.

Permasalahan intern organisasi pun dihadapi pada masa

Bagian Pertama: PERJALANAN SEJARAH PERSATUAN ISLAM -- Prof. Dr. H. Dadan wildan Anas, M.Hum.

kepemimpinan Ustadz Abdurrahman ini, terutama setelah terjadinya G. 30 S/PKI, karena adanya anggota-anggota yang diragukan itikad baiknya dalam organisasi Persis. Pengawasan ketat sebagai suatu isolasi strategis untuk kembali ke khittah “terpaksa” dilakukan karena Persis selain menghendaki dan mengutamakan kualitas pelaksanaan pengamalan ajaran agama berdasarkan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, juga menghendaki kualitas pelaksanaan disiplin organisasi yang berdasarkan Qanun Asasi, Qanun Dakhili, peraturan-peraturan, tausiyah, dan seperangkat tata kerja yang berlaku dalam organisasi. Adapun kuantitas, tidak berarti diabaikan, melainkan sangat dikhawatirkan manakala jumlah yang banyak itu hanya menambah beban dan merupakan buih saja, tidak akan memberi manfaat sebagaimana yang diharapkan, bahkan sebaliknya akan mendatangkan madarat bagi keutuhan tegaknya jam’iyah.

Pengawasan yang ketat ini menjadi ciri dari masa kepemimpinan Ustadz Abdurrahman dengan tujuan utama untuk menyelamatkan jam’iyah Persis, hal itu terpaksa dilakukan karena seringnya terjadi pemalsuan nama jam’iyah Persis untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan Persis. Persis dijadikan alat berlindung sekaligus penyelamat bagi mereka yang ingin bersih dari keterlibatannya dalam peristiwa PKI, sebab Persis dianggap sebagai organisasi yang paling menentang komunis, dengan demikian mereka akan aman dari pembersihan yang dilakukan tentara. Isolasi strategis ini pun berdampak pada putusnya hubungan antara Pusat Pimpinan Persis dengan cabang-cabang Persis yang ada di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Jaringan pembinaan dari Pusat Pimpinan terputus oleh peristiwa G.30-S/PKI. Sebagai perbandingan, pada tahun 1964 masih terdapat 63 cabang Persis dengan jumlah anggota 7.173 orang, sedangkan pada tahun 1967 turun menjadi 56 cabang dengan jumlah anggota 4.455 orang, dan pada tahun 1980 terdapat

81 cabang dengan jumlah anggota hanya 3.717 orang. 7 Ini merupakan perbedaan yang cukup mencolok antara jumlah cabang dengan banyaknya anggota. 8

STRATEGI PERSATUAN ISLAM DALAM MEMBANGUN JAMA’AH DAN MENGHINDARI KEKUASAAN ORDE BARU

Jumlah anggota yang merosot tajam bila dilihat secara kasat mata seolah-olah sebuah “kemunduran” kuantitas, namun hakikatnya justru menemukan mutiara-mutiara berkualitas dari lumpur politik, dan ini adalah buah dari strategi isolasi untuk menyelamatkan jam’iyah, suatu strategi yang sangat berani yang dilakukan oleh Ustadz Abdurrahman. Strategi ini semakin bisa dipahami ketika Ustadz Abdurrahman sebagai Ketua Umum Pusat Pimpinan Persis menyampaikan alasan-alasannya dalam Khutbah iftitah pada Muakhat Persis tanggal 16 Januari 1981 pukul 20.30 yang berjudul Kita Sekalian Sebagai Pelengkap. Dalam khutbah itu beliau menyatakan:

“…Bila lahir pertanyaan, kenapa Persatuan Islam ini tidak ada kemajuan, hanya berputar-putar di sana; maka jawabannya, begitulah Persatuan Islam, yang senantiasa thawaf, berputar dalam lingkaran mardlatillah!

Meskipun Persatuan Islam ini anggotanya bisa dihitung dengan jari, tetapi pengaruhnya cukup besar; banyak ajaran Persatuan Islam yang sekarang dilakukan oleh mereka yang tidak akan mengaku bila dikatakan orang Persatuan Islam.

…Maka terimalah segala apa yang telah kita rasakan, janganlah terlalu berangan lebih jauh; tetapi yang pokok bagi kita adalah meningkatkan kerja, untuk membina hari esok yang lebih baik, yakni hari esok di akhirat. Sedangkan dari pembinaan hari esok untuk akhirat itulah akan tercipta pula hari esok dunia yang lebih cerah; perhatikanlah waktu yang tengah kita alami ini, sebab hari esok kita sangat tergantung dengan amal kita pada hari ini.

“…Mâ ’amilat aydîhim li-ya’kulû min tsamarihi”, kita umat manusia hanya menanam, hanya Allah yang akan menumbuhkannya, dan kita akan memakan buahnya, seperti diutusnya para Rasul dan Nabi, yang hanya menanamkan badratul Iman, tetapi karena tumbuh disiram, maka wujudlah Abu Bakar, Umar, Utsman, wujudlah Khalid bin Walid.

Karena itu janganlah mengharapkan pekerjaan yang bukan garapan kita, membangun sekolah ini tidak cukup dengan tukang kayu, tetapi diperlukan tukang tembok; mereka saling menjadi pelengkap untuk menumbuhkan suatu bangunan, menciptakan suatu rumah, suatu sekolah, atau suatu bangunan megah.

Bagian Pertama: PERJALANAN SEJARAH PERSATUAN ISLAM -- Prof. Dr. H. Dadan wildan Anas, M.Hum.

Negara kita lengkapilah dengan sesuatu yang dibutuhkan, rakyat Indonesia di masa yang akan datang apa agamanya, tergantung dengan perjuangan kita sekarang; janganlah mengerjakan sesuatu yang bukan pekerjaan kita, keahlian kita, kita tidak mau untuk melakukan sesuatu yang bukan garapan kita!.

Semua itu jangan menyedihkan kita, menyusahkan kita, zaman sekarang perlu juga mubaligh, da’i, agar agama senantiasa berjalan sesuai dengan jalurnya!

Betul kita sedikit, tetapi pengaruh kita cukup kuat, hampir seluruh Indonesia terpengaruh dengan faham kita, meskipun mereka tidak mau dikatakan Persatuan Islam!

Kalau dahulu ditaqdirkan Persatuan Islam tidak ada, wajah umat Islam di Indonesia tidak akan seperti ini; kalau kebiasaan khutbah Jum’at tetap berbahasa Arab, tidak diubah, bagaimana keadaan umat Islam sekarang ini?

Kitak tidak perlu menepuk dada, bukan maksud kita menepuk dada, tetapi kita menerangkan suatu kenyataan, seperti diterangkan dalam suatu ensiklopedi, bahwa Persatuan Islam itu adalah; “Al- Jam’iyyatul Ittihadul Islamy Mu’adadatun Shagiratun Kabirun Nufus”. Artinya, Persatuan Islam adalah yang tergolong kecil, tetapi memiliki pengaruh yang cukup besar.

Kita harus sabar dan ikhlas dalam berjuang, sebab Rasulullah juga tidak langsung berhasil dalam perjuangannya, memerlukan waktu yang panjang.