Nasionalisme dan Sekulerisme

D. Nasionalisme dan Sekulerisme

Sebagaimana halnya demokrasi, permasalahan politik di Indonesia pada awal kemerdekaan yang mendapat respons serius dari kalangan Islam adalah isu nasionalisme dan sekulerisame. Nasionalisme secara etimologis berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Bangsa memiliki dua pengertian. Yaitu dalam pengertian antropologis-sosiologis, dan pengertian politis. Dalam pengertian antropologis-sosiologis, bangsa diartikan suatu masyarakat yang merupakan persekutuan hidup yang berdiri sendiri yang terikat oleh kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah dan adat istiadat. Adapun bangsa dalam pengertian politis adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dean mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan yang tertinggi ke luar dan ke dalam. 91

Mengenai definisi nasionalisme, banyak rumusan yang dikemukakan, sebagaimaan yang dikutip oleh Badri Yatim dari beberapa literatur ilmu sosial dan politik antara lain sebagai berikut:

1. Encyclopaedia Britannica: Nasionalisme merupakan keadaan jiwa, dimana individu merasa bahwa setiap orang memilki kesetiaan dalam keduniaan (sekuler) tertinggi kepada negara kebangsaan.

2. International Encyclopeidia of the Social Sciences:

RESPON PERSIS TERHADAP IDEOLOGI POLITIK DI INDONESIA

Nasionalisme adalah suatu ikatan politik yang mengikat kesatuan masyarakat modern dan memberi pengabsahan terhadap klaim (tuntutan) kekuasaan

3. Huszer dan stevenson: Nasionalisme adalah menentukan bangsa mempunyai ras cinta secara alami kepada tanah airnya.

4. L. Stoddard: Nasionalisme adalah suatu keadaan jiwa dan suatu kepercayaan di anut oleh sejumlah besar manusia perseorangan sehingga mereka membentuk suatu kebangsaan. Nasionalisme adalah rasa kebersaman segolongan sebagai suatu bangsa.

5. Hans Khon: Nasionalisme menyatakan bahwa negara kebangsaan cita- cita dan satu-satunya bnetuk sah dari organisasi politik, dan bahwa negara adalah sumber dari semua tenaga kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi. 92

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa nasionalisme adalah cita-cita bersama suatu golongan untuk bersatu dalam bidang politik dalam suatu negara kebagsaan.. Adapun dalam sejarah pemikiran politik, istilah nasionalisme kadang-kadang merujuk pada suatu gerakan untuk mengawal kemerdekaan dan kebebasan bangsa terhadap agresi luar, dan kadang-kadang merujuk pula pada penegasan inteklektual, kemandirian dan identitas bangsa atau dalam bentuk ekstrim nasionalisme berbentuk fanatisme bangsa dengan merasa bangsa yang paling unggul dari bangsa lain.

Nasionalisme yang melahirkan konsep negara bangsa atau negara nasional dalam Islam dikenal sejak era imprium Ustsmani, bersamaan dengan lahirnya nasionalisme Turki. Sedangkan nasionalisme Turki merupakan implikasi dari tanzimat (reformasi, modernisasi, restrukturisasi) yang dilakukan penguasa Turki, Sultan Salim III, begitu naik tahta tahun 1792. Kemudian dengan dikembangkannya ilmu-ilmu tentang Turki ( Turkologi), ekspansi

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

literatur seputar Turki pra-Islam dan penetapan bahasa Turki sebagai bahasa resmi pemerintahan Utsmani tahun 1876 mendorong lebih cepat kematangan nasionalisme Turki. Bersamaan dengan itu, maka para pendukung nasionalisme Turki semacam Namik Kemal dan Ziya Gokalp mengembangkan dasar-dasar intelektual dan teoritis lebih tegas tentang nasionalisme Turki. 93

Hampir tidak diragukan, kebangkitan nasionalisme Turki mendorong munculnya nasionalisme Arab. Walaupun sebagian pemikir Arab mengklaim telah muncul sejak zaman salafi, atau lebih moderat sejak kemunculan gerakan Wahabi di Arabia; namun sebagi ideologi dan faktor dalam politik Timur Tengah, ia baru muncul pada awal abad ke-20. Bahwa bisa dikatakan konsep nasionalisme arab terumuskan secara agak terinci baru setelah perang Dunia I dan adanya gejala “Westrenisasi” yang dilakukan imperium Turki Utsmani melahirkan kejengkelan di Dunia Arab yang pada gilirannya mendorong lahirnya solidaritas masyarakat Arab atau menurut Najib Ghadbian solidaritas Bangsa Arab tersebut di sebut Qaumiyah. 94

Di samping nasionalisme Arab ( Qaumiyah) yang pokus pada seluruh dunia Arab, pada saat relatif bersamaan di dunia Arab lahir pula nasionalisme lokal dan lebih terpokus pada kawasan- kawasan tertentu yang dikenal dengan gerakan wathaniyyah atau gerakan fatriotisme/cinta tanah air. Oleh karena itulah menurut intelektual muslim abad kesembilan belas, seperti Thahthawi, Nadim, Marsafi dan Abduh memahami istilah nasionalisme identik dengan patriotisme. Pandangan mereka diilhami oleh sebuah ungkapan populer “Hubb al-Wathan mi al-Iman” konon diduga ungkapan tersebut bersumber dari Nabi Saw. Oleh larena itulah, nasionalisme sebagai paham baru di dunia Islam mendapat tempat di kalangan intelektual muslim dalam rangka membangkitkan emosional kolektif umat Islam untuk membangun suatu bangsa dan negara yang berdaulat sebagaiman terjadi di Mesir, Syiria, Iran dan

Afghanistan. 95 Perkembangan selanjutnya setelah negeri-negeri muslim

RESPON PERSIS TERHADAP IDEOLOGI POLITIK DI INDONESIA

terlepas dari penjajahan Barat, rakyat-rakyat muslim satu demi satu memperoleh status kebangsaan mereka dan akibatnya keberpihakan dan kepedulian kepada kriteria kebangsaan mulai mengalahkan patriotisme, bahkan nasionalisme dijadikan sebuah ideologi politik yang cenderung berlawanan dengan kaum muslimin yang mengusung ideologi Islam. Maka dalam konteks inilah yakni nasionalisme dalam pengertian politik dimulainya perdebatan di kalangan intelektual muslim.

Setidaknya, di kalangan intelektual muslim terbagi kepada dua kelompok dalam mensikapi nasionalisme. Yaitu: Pertama, kelompok yang menerima nasionalisme karena gagasan nasionalisme tidak bertentangan dengan Islam. Seperti yang dikemukakan oleh Rifa’at al-Tahtawi seorang intelektual Mesir bahwa gagasan nasionalisme yang menjadikan tanah air sebagai obyek pengorbanan, dan menegaskan bahwa persaudaraan atas dasar kesamaan tanah air, sama halnya dengan persaudaraan

atas dasar agama. 96 Muhammad Abduh seorang, seorang reformis Islam, menyatakan bahwa wathan merupakan basis bagi kehidupan politik dan mengembangkan gagasan tentang hak dan kewajiban yang membatasi individu dan tanah airnya. Pandangan-pandangan Abduh tentang nasionalisme Mesir (al-Wathaniyyat) tercermin dalam program Partai Nasional yang didukungya, di mana partai tersebut tidak memandang para anggotanya dari segi akidah dan

aliran (keagamaan). 97

Nasionalisme dalam pengertian patriotisme juga didukung oleh Hassan al-Banna seorang pendiri Al-Ikhwan al-Muslimun, bahkan ia menyanggah anggapan orang bahwa al-Ikhwan al- Muslimun anti gerakan nasionalisme Mesir. Tegas Hassan al-Banna, bahwa Islam telah menggariskan ketetapan-ketetapan yang tidak dapat dipungkiri, diantaranya adalah bahwa setiap muslim hendak berbuat untuk kebikan negerinya, dan memberikan kebaikan sebanyak mungkin untuk bangsa yang hidup di dalamnya. Kaum muslimin adalah orang-orang yang paling kuat untuk memberikan

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

yang terbaik untuk negeri dan bangsanya. Dalam memperkuat pendapatnya, Hassan al-Banna merujuk kepada tuntutanan zakat yang harus memprioritaskan penyebaran zakat kepada mustahik yang terdekat atau se-wilayah. Juga merujuk kepada sikap Nabi Saw yang cinta kepada tanah kelahirannya Makkah, walaupun beliau lebih nyaman tinggal di Madinah. 98

Kedua, kelompok yang menolak nasionalisme. Menurut kelompok ini nasionalisme sebagai sebuah ideologi yang didasari oleh rasa kebangsaan yang terikat oleh waktu dan tempat apabila dikaitkan dengan prinsip-prinsip Islam yang universal dan tidak terikat oleh ikatan kebangsaan menjadi hal yang kontradiktif. Karena dalam Islam sama sekali tidak membeda-bedakan para pengikutnya kecuali atas kriteria ketaqwaan. Dan Nasionalisme cenderung mengajak kepada ashabiyyah jahiliyyah (fanatik kesukuan) yang bertentangan dengan ajaran Islam. Termasuk dalam kelompk ini adalah al-Maududi, Nawwab Safawi dan Sayyid Qutb salah seorang

tokoh radikal pergerakan al-Ikhwanul Muslimun di Mesir. 99 Menurut Maududi, bahwa nasionalisme akan menjadi ancaman langsung terhadap norma-norma loyalitas dan tingkah-laku kaum muslimin dan kontradiktif dengan ajaran-ajaran universal Islam. Dan Bagi Maududi, seluruh sistem konseptual nasionalisme merupakan sebuah pendekatan irasional yang merusak ikatan-ikatan kuat antar umat manusia, dengan nasionalisme telah membagi manusia ke dalam kelompok-kelompok ras dan membangun batasan-batasan teritotial yang palsu. Sebaliknya, Islam melihat seluruh planet Bumi sebagai tempat bagi seluruh umat manusia dan ajaran Islam mengajarkan persaudaraan antar manusia. Oleh karena itulah, lanjut Maududi, Nabi memerangi fanatisme kebangsaan untuk menghilangkan dampak-dampak buruknya. 100 Senada dengan Maududi, Sayyid Qutb berpendirian, bahwa nasionalisme merupakan bentuk penyimpangan dari tatanan kesucian Islam. Qutb mengatakan, kalaulah Nabi memang berkeinginan untuk mendasarkan ajarannya di atas nasionalisme Arab, maka niscaya beliau akan lebih mudah

RESPON PERSIS TERHADAP IDEOLOGI POLITIK DI INDONESIA

menyatukan orang-orang Arab dengan dasar ikatan yang bersipat duniawi semacam itu. Akan tetapi, Allah memerintah Nabi Saw untuk mengikuti sebuah jalan lain yakni menyeru manusia di atas tauhid. Dengan demikian, Tuhan telah menetapkan nasionalisme bukanblah sebuah sarana yang layak untuk mengimplementasikan hukum-hukum abadi-Nya. Dalam kesempatan lain, Qutb mengakui sebuah gerakan nasionalisme Arab pada saat itu akan membebaskan masyarakat dari tirani Bezantium dan Persia, hanya saja dengan nasionalisme akan melahirkan tirani baru yakni tirani Arab. 101

Semaraknya Respons terhadap konsep nasionalisme di negeri-negeri muslim seperti Turki, Mesir, Afghanistam, Aljazair dan Maroko juga terjadi di Indonesia. Pengaruh paham kebangsaan (nasionalisme) di Indonesia berawal dari pengaruh pendidikan Barat yang diterima pelajar Indonesia baik di dalam negeri atau di luar negeri (Belanda) dan pengaruh gerakan nasionalisme di negara- negara Asia seperti di India, Turki, dan Cina yang sebagian besar merupakan negara yang senasib dengan bangsa Indonesia. Dan ternyata pemahaman nasionalisme di Indonesia tidaklah seragam antara kalangan nasionalis dan kalangan Islam.

Pada mulanya kalangan Islam yang diwakili SI megkritik keras pemahaman kalangan nasionalis seperti Soekarno, Iskak dan Soetomo, yang seakan-akan Islam bertentangan dengan pemikiran nasionalisme. Bahkan, di kalangan Nasionalis ada yang mengkrtik ajaran Islam yang dianggapnya terlalu ke arab-araban dan merendahkan derajat wanita seperti bolehnya poligami. Sehingga mendorong Tjokroaminoto, Agus Salam dan tokoh-tokoh SI lainnya untuk menepis propaganda mereka dan menjelaskan bagaimana konsepsi Islam yang sebenarnya mengenai nasionalisme. Yang intinya mereka menolak nasionalisme yang mendorong kepada penghambaan manusia kepada berhala “tanah air” dan sikap fanatisme buta sehingga merendahkan bangsa-bangsa lain. Polemik tersebut berlangsung pada tahun 1930-an. 102

Sebenarnya, kalangan nasionalis seperti Soekarno setelah

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

mengalami perdebatan panjang dengan kalangan SI ada pergeseran pandangannya tentang makna nasionalisme. Pada awalnya, ia menyetujui pengertian nasionalisme yang dikemukakan ilmuan Barat seperti Renan dan Otto Baouer yaitu persatuan sekelompok orang yang didasarkan oleh persamaan tempat dan cita-cita. dan akhirnya pada pidato lahirnya Pancasila, ia menyimpulkan bahwa nasionalisme tidak hanya sebatas persatuan karena persamaan tempat dan cita-cita sebagaimana yang dikemukakan oleh para ilmuan Barat seperti Renan dan Otto Bauer. Ia menambahkan dengan unsur Patriotisme. Soekarno mengatakan:

Keinginan untuk bersatu, persamaan nasib, dan patriotisme kemudian bersatu dan melahirkan rasa nasionalistis. Rasa nasionalistis itu menimbulkan suatu kepercayaan akan diri, rasa yang mana perlu sekali untuk mempertahankan diri di dalam perjuangan menempuh keadaan yang mau mengalahkan. 103

Dan dalam kesempatan lain, Soekarno secara kritis megkeritik nasionalisme yang berkembang di Barat. Dalam pandangan soekarno, konsep nasionalisme tidaklah sama antara yang berkembang di Barat dengan nasionalisme di Timur. Soekarno berpendapat bahwa nasionalisme Barat mengandung hal-hal yang negatif, seperti individualisme, demokrasi liberal, kapitalisme, fasisme dan chauvinistis yang serang menyerang, maka nasionalisme Timur, menurut Soekarno, demokrasi timur memilki prinsip-prinsip yang sangat berbeda, bahkan berlawanan dengan nasionalisme Barat. Nasionalisme timur menurutnya, nasionalisme yang menerima rasa hidupnya sebagai wahyu, rasa bakti, cinta kepada perdamaian, cinta pada bangsa-bangsa lain, sadar sebagai bagian dari penduduk dunia dan nasionalisme yang menjungjung-tinggi rasa kemanusiaan. 104

Dalam mengembagkan gagasan nasionalisme agar otentik dengan budaya Indonesia, ia berusaha unruk mensintesis suatu budaya nasional yang akan menghimpun seluruh bangsa tanpa memperdulikan keyakinan agama atau asosiasi etnis. Dan untuk membangkitkan perasaan dan semangat patriotisme rakyat

RESPON PERSIS TERHADAP IDEOLOGI POLITIK DI INDONESIA

Soekarno dalam pidato-pidatonya menyebut kekayaan dan keindahan-keindahan “Ibu Indonesia” yang melahirkan pahlawan- pahlawan seperti Gajah Mada dan ia manyanjung keagungan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dan menganggapnya telah membentuk sebuah bangsa Indonesia dengan kultur Indonesia yang khas. 105 Bahkan, untuk meyakinkan bahwa nasionalisme tidak bertentangan dengan Islam ia memberikan tentang nasionaisme Islam itu sendiri. Ia berkata:

Di mana-mana orang Islam bertempat, bagaimana pun juga jauh-nya dari negeri tempat kelahiranmnya, di dalam negeri yang baru itu, ia menjadi satu bahagian dari pada rakyat Islam, dari pada persatuan Islam. Di mana- mana, di situlah ia harus mencentai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya. Inilah nasionalisme Islam. 106

Walaupun Soekarno berusaha memberikan makna nasionalisme yang otentik dengan karakter budaya Timur (Indonesia) dan Islam yang dikenal dengan “Nasionalisme Indonesia”. Akan tetapi, tetap saja Paham seperti ini dirasakan oleh para tokoh Persis membahayakan karena bertentangan dengan ajaran Islam.

Sebagaimana polemik tentang relasi agama dan negara terjadi antara tokoh-tokoh Persis dengan Soekarno dalam masalah nasionalisme pun, para tokoh persis berpolemik dengan Soekarno. Karena bagaimana pun, Soekarno yang dianggap oleh Persis berhaluan sekuler (netral agama), yang menolak agama (Islam) dijadikan dasar negara maka otomatis nasionalisme yang digagas Soekarno adalah nasionalis-sekuler (netral agama). Dan puncaknya, ketika Soekarno besiskukuh mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara bukan berdasarkan agama (Islam) karena bagi Soekarno dalam negara yang menganut nasionalisme harus netral dari agama.

Respons Persis terhadap ide nasionalisme pertama kali dilontarkan pada tahun 1930-an yang dikemukakan melalui dua orang tokohnya, Hassan dan Natsir. Pendapat ini disebarkan dengan luas oleh media yang terbitkan oleh organisasi ini seperti majalah Pembela Islam dan sebuah buku karangan Hassan yang berjudul

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

“Islam dan Kebangsaan”. Kemudian respons kedua dipertegas oleh Isa Anshary pada tahun 1950-an dalam karyanya “ Islam dan Nasionalisme” dan artikel-artikel-nya yang dimuat dalam majalah “Aliran Islam” dan “Daulah Islamiyyah” dan terakhir dalam pidatonya di Majelis Konstituente pada tahun 1956.

Hassan yang bertindak sebagai guru dari pada sebagai pemimpin organisasi, berpendapat pada dasarnya tidak ada larangan dalam Islam maupun undang-uundang manusia yang melarang seseorang mencintai tanah airnya karena yang demikian itu merupakan tabi’at manusia. Hassan berkata:

“Tidak ada undang-undang manusia dan tidak terdapat di hukum- hukum agama, larangan atas seeorang pada menyintai bangsanya dan tanah airnya, malah tidak dilarang ia cinta kepada kerbau dan sapinya, kambing dan anjingnya, arnab dan kucingnya, ayam dan bebeknya, bahkan boleh ia cinta kepada musuhnya.” 107

Selanjutnya menurut Hassan, janganlah seseorang membawa dalil-dali agama untuk menjadikan cinta tanah air sebagai bagian dari anjuran agama seperti pernyataan “Hubbu al-Wathan mi al- Imaan”. Padahal, tegas Hassan, pernyataan tersebut bukanlah hadis yang bersumber dari Nabi saw. 108

Adapun Hassan megkritik nasionalisme yaitu nasionalisme dalam pengertian sempit dan berlebihan yang berorientasikan fanatik kebangsaan dan nasionalisme yang menyampingkan faktor agama. Hassan memandang sikap ini sebagai penyempitan langkah mempersatukan bangsa Indonesia karena pada hakekatnya menjurus pada benci agama. Ia menenerima sikap netral agama jika diartikan sebagai suatu sikap memberi kesempatan orang mengemukakan pendapat sesuai dengan keyakinan agama masing-masing. Hassan menganggap saat itu menunujukan pergerakan kalangan nasionalis memahami nasionalisme harus terbebas dari unsur hukum- hukum agama, yang nantinya akan melaksanakan hukum-hukum buatan manusia itu sendiri. Sebaliknya pergerakan Islam berusaha mencapai kemerdekaan yang nantinya akan dilaksanakan hukum-

RESPON PERSIS TERHADAP IDEOLOGI POLITIK DI INDONESIA

hukum Islam. 109 Maka dalam pengertian nasionalisme di atas, Hassan menyamakan kebangsaan (nasionalisme) dengan “Ashabiyyah”, yaitu rasa persatuan suku yang sangat mengikat (bisa pula fanatik) sebelum persatuan Arab di bawah Nabi, dan terutamanya diterapkan masa jahiliyyah. Masa ini identik dengan masa kebodohan dan kekacauan. Mengutip dua buah hadis tentang ‘ashabiyyah, yaitu dari Abu Dawud dan Muslim yang berbunyi:

“ Dari Jubair bin Muth’im bahwasanya Rasul Saw bersabda: Bukan termasuk golongan kami orang yang menyeru kepada ashabiyyah, bukan termasuk golongan kami orang yang berperang atas dasar ashabiyyah dan bukan golongan kami orang yang mati karena membela ashabiyyah” (HR. Abu Dawud). 110

“ Dari Abu Musa, bahwasanya Seorang Baduwi datang kepada Rasulullah ia bertanya: “Ya Rasulullah bagaimana yang berperang karena keberaniannya, berperang karena mempertahankan diri dan berperang karena riya. Manakah yang termasuk di jalan Allah? Rasulullah menjawab: “Barang siapa yang berperang untuk menjunjung tinggi Kalimah Allah maka ia di jalan Allah.” (HR. Muslim) 111

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

Hassan mengemukakan pendapat bahwa mendirikan perkumpulan kebangsaan, mengajak orang kepada kebangsaan, menolong partai kebangsaan itu, dilarang oleh agama Islam. 112

Dengan dasar pemikiran di atas, dan melihat realitas orang Islam di Indonesia saat itu, karena kebangsaan, menjadi terpisah dengan umat Islam di negara lain, sedangkan menurut al-Qur’an semua muslimin adalah bersaudara maka Hassan menilai pergerakan faham kebangsan saat itu telah keluar dari Islam, karena sudah tentu azas kebangsaan itu bertentangan dengan Islam, maka orang yang keluar dari partai Islam dipandang keluar dari Islam Hassan selanjutnya berpandangan, sudah tentu partai yang berdasarkan nasionalis tidak akan menjalankan hukum-hukum Islam, karena partai itu harus netral dari agama, yaitu tidak boleh menjadikan suatu agama tertentu dijadikan dasar bagi negara. 113

Hassan berpendirian Orang yang mengambil asas dan hukum lain dari Islam di pandang bukan Islam, ia mengatakan: Islam menyuruh kita bersatu secara Islam dan dengan asas Islam.

Islam mewajibkan kita merdeka, bukan lantaran senang atau susah, tetapi untuk menjalankan perintah-perintah Islam dengan sempurna di sekalian perkara, dunia dan akherat.

Islam tidak mengaku ummatnya akan seseotrang yang berasas kebangsaan, menolong partai kebagsaan, mengajak orang kepada partai kebangsaan, marah karena kebangsaan, tetapi Islam perintah ummatnya (bukan umat Islam) supaya mengejar kemetdekaan dan megerjakan apa- apa yang berhubungan dengan itu, semata-mata karena Islam dan atas nama

Islam. 114 Kemudian Hassan dalam “Islam dan kebangsaan” merumuskan

beberapa sikap nasionalisme yang tidak bertentangan dan yang bertentangan dengan Islam. Sikap-sikap nasionalisme yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam antara lain seorang muslim berusaha (a) ikut aktif memajukan dalam bidang pendidikan (b) maju dalam bidang ekonomi (c) Memajukan kemakmuran dan kesejahteraan kaum muslimin, dan (e) kaum muslimin mau meningkatkan derajat mereka, sekurang-kurangnya tidak di bawah

RESPON PERSIS TERHADAP IDEOLOGI POLITIK DI INDONESIA

derajat negeri-negeri lain dan yang terpenting mau melaksanakan hukum-hukum yang tertera dalam al-Qur’an dan Sunnah. 115

Adapun nasionalisme yang menyimpang menurut Hassan adalah; Pertama, menjalankan hukum-hukum yang bukan dari Allah dan Rasul-Nya, Kedua, memandang muslim di luar negaranya sebagai orang asing atau bukan saudara. Kertiga, Memutuskan hubungan dengan negeri-negeri Islam lainnya dengan alasan bukan sebangsa dan setanah air, padahal dalam Islam semua kaum muslimin bersaudara dan mesti bersatu. 116

Selanjutnya pemimpin Persis yang aktif merespons ide nasionalisme adalah Muhammad Natsir. Sebagaimana Hassan gurunya, Natsir berpendapat bahwa cinta tanah air merupakan thabi’at setiap orang, tapi hendaklah cinta tanah air dihubungkan dengan niat mencari ridha Allah bukan karena ta’assub (fanatisme). Oleh karena itulah, menurut Natsir perbedaan antara kalangan Islam dan kalangan nasionalis yang netral agama (sekuler) terletak pada soal implementasi kebangsaannya. yaitu tercermin pada niat (motivasi), amal (perbuatan) dan syi’ar (slogan, simbol). 117

Tentang syi’ar Natsir menyebut perbedaan cara memberi hormat antara kedua golonngan tadi dan dalam memperingati orang mati. Dalam hal niat dan amal, golongan nasionalis-sekuler tidak peduli akan penyebaran agama lain dalam kalangan umat, padahal seorang muslim hendaklah mempertahankan dan menyebarkan agamanya. Natsir berkata:

Secara tegasnya, pergerakan yang berdasar kebangsaan tidak akan mengambil pusing, apakah penduduk muslimin Indonesia yang banyaknya kurang lebih 85 % dari penduduk yang ada, menjadi murtad, bertukar agama, Kristen boleh, Thesofi bagus, Budha masa bodoh . 118

Dalam kesempatan lain, Natsir mengutip ayat al-Qur’an 49: 13:

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal- mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (al- Hujurat/49:13)

Dan dengan analisa berrbagai teori tentang pembentukan bangsa, ia sampai berkesimpulan bahwa bangsa mempunyai dua sifat yang berhubungan sesamanya:

1. Tetap ada satu ikatan yang mempersatukan manusia yang tidak bisa diputuskan dan diuraikan oleh kekuatan wet, undang- undang atau senjata….

2. Tidak ada kekuatan paksaan yang bisa menggabungkan dua ikatan yang berlainan sifat akan dijadikan satu. 119

Natsir berpendapat bahwa kebangsaan sebagai dasar pembentukan bangsa “kabur pengertiannya” juga tidak memenuhi syarat apa yang dikehendaki Islam., bahkan katanya, wajib untuk mengambil ikatan mana saja dengan nama apapun juga untuk membangun umat dan masyarakat kalau ternyata dengan ikatan itu bisa menyatukan masyarakat. 120 Selanjutnya menurut Natsir, kalaulah, pemahaman nasionalisme sebagai suatu ikatan dan persatuan karena kesamaan cita-cita sebagaimana yang dikemukakan Renan, maka pergerakan Islam-lah seperti Serikat Islam dan Muhammadiyah yang layak sebagai nasionalis sejati karena mereka telah berhasil mempersatukan masyarakat kalangan bawah yang tersebar luas anggotanya di seluruh tanah air dibandingkan organisasi-organisasi kedaerahan seperti Budhi Utomo, Pasundan,

RESPON PERSIS TERHADAP IDEOLOGI POLITIK DI INDONESIA

Jong Sumatranen Bond dan sebagainya. Ia menyatakan: Pergerakan Islamlah yang dulu membuka jalan medan politik

kemerdekaan di tanah ini, yang mula-mula menahan bibit persatuan Indonesia yang menyingkirkan sifat kepulauan dan leprovinsian, yang mula-mula menanamkan persaudaraan dengan kaum yang sama senasib di luar batas Indonesia dengan tali keislaman. 121

Dengan kata lain, nasionalisme kalangan Islam bukanlah karena dan untuk tanah air semata tapi dikarenakan loyalitas bersama, kesediaan berkorban dan untuk menegakkan hukum- hukum Tuhan. Dengan demikian Natsir menilai nasionalisme dilihat dari segi hubungannya dengan Islam itu sendiri, kalaulah nasionalisme itu ujung-ujungnya anti hukum-hukum yang bersumber dari agama (Islam) maka cita-cita nasionalisme tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itulah, Natsir ketika memproyeksikan perkembangan Indonesia di masa depan, Natsir melontar pertanyaan, apakah setelah Indonesia merdeka tujuan golongan Islam sama dengan tujuan orang nasionalis-sekuler. Katanya:

Tujuan kaum muslimin mencari kemerdekaan untuk kemerdekaan Islam, supaya berlaku peraturan dan susunan Islam, untuk keselamatan dan keutamaan umat Islam khususnya dan segala makhluk Allah umumnya.

Adakah ini juga tujuan dan cita-cita mereka itu? Mereka yang dari sekarang sudah menyatakan “netral” kepada agama, yang dari sekarang sudah meremehkan tak mau campur dalam segala urusan yang berbau Islam. 122

Dengan dasar pemikiran tersebut, Natsir menyerukan kepada seluruh umat Islam agar memilih pemimpin yang benar-benar dari kalangan Islam yang memperjuangkan aspirasi Islam dan umat Islam.

Proyeksi Natsir di atas ternyata terbukti setelah Indonesia merdeka dan menyatakan sebagai negara demokrasi golongan nasionalis yang dipelopori oleh Soekarno dan Partai PNI menjadikan nasionalisme sebagai idologi politik mereka dengan memepertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Bahkan Soekarno

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

merasa tidak puas dengan Pancasila ia merumuskan agar tiga aliran politik besar di Indonesia yakni Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme bersatu dengan konsepnya “NASAKOM:”, Karena bagi Soekarno, yang penting “Persatuan dan Kesatuan” rakyat Indonesia di atas segalanya. 123

Tetap saja bagi kalangan Islam apa yang dirumuskan oleh Soekarno dan Kalangan nasionalis adalah suatu konsepsi politik yang tidak sesuai dengan cita-cita Islam. bahkan isunya pun sudah berkembang kepada sekulerisme. Karena bagaimana pun dalam suasana demokrasi liberal yang ditandai dengan perdebatan ideologi maka bagi kalangan Islam merupakan kesempatan untuk memperjuangkan cita-cita politik mereka yakni Islam sebagai dasar negara. Dan puncaknya perdebatan tentang Islam dan nasionalisme terulang lagi ketika menjelang Pemilu 1955 dan tahun 1957 dalam perdebatan dasar negara di Majelis Konstituante. Kalangan Islam seperti Masyumi mengkampanyekan bahayanya pemikiran nasionalisme-sekuler dan lemahnya Pancasila sebagai dasar negara. 124

Isa Anshary pemimpin Persis saat itu yang kebetulan sebagai anggota Konstituante dari fraksi Masyumi. Dalam “ Islam dan Nasionalisme” Isa Anshary menjabarkan bagaimamana pedoman Islam dalam masalah kenegaraan dan memperbandingkan antara ideologi Islam dengan nasionalisme. Dalam awal pembahasannya, ia mengutip al-Qur’an surat al-An’am ayat 153, 161 dan 162:

. َنﻮُﻘﱠـﺘَـﺗ ِﻪِﺑ ْﻢُﻜﱠﻠَﻌَﻟ ْﻢُﻛﺎﱠﺻَو ْﻢُﻜِﻟاَذ ِﻪِﻠﻴِﺒَﺳ “ Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku

yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa. (al-An’am/6:153)

RESPON PERSIS TERHADAP IDEOLOGI POLITIK DI INDONESIA

Katakanlah:”Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar;

agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik”. Katakanlah:”Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, (al-An’am/6: 161-162)

Dengan ayat-ayat tersebut ia menyimpulkan bahwa Islam sebagai Dien, peraturan dan tuntutan telah memberikan dasar hidup dan sandaran hidup kepada umat Islam baik untuk perorangan maupun untuk masyarakat agar jalan dan tujuan hidup mereka lurus dan dalam keridhaan ilahi. Maka tegasnya, Islam tidak membenarkan umatnya berjuang dengan memakai dasar atau ideologi yang sifat, jalan dan tujuannya jauh dari keridaan ilahi dan Islam juga melarang umatnya menempuh jalan yang akan mendatangkan perpesahan dan percerai-beraian. Menurutnya, bagi kaum muslimin ideologi Islam itu merupakan suatu prinsipil dan pandangan hidup. 125

Mengenai bangsa dan kebangsaan (cinta tanah air), Isa Anshary berpendapat bahwasannya dalam al-Qur’an mengakui adanya pluralistik (keberagaman) dalam kebangsaan, bahasa dan kebudayaan. Oleh karena itulah, Islam bukan saja mengakui adanya kebangsaan Indonesia dan paham kebangsaan Indonesia tapi semua itu harus ditujukan kepada “ Lita’arafu” saling mengenal, harga- neghargai, topang-menopang dan bantu membantu bukan untuk saling membanggakan, jatuh-menjatuhkan,sikut-menyikut dan hancur-menghancurkan. 126

Dalam pandangan Isa Anshary, Nasionalisme yang dibenarkan oleh Islam adalah nasionalisme dipakai sebagai “alat” atau “perkakas”

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

untuk mendorong rakyatnya memajukan bangsa, mencerdaskan bangsa dan memakmurkan bangsa. Dan sebaliknya, bukan dijadikan sebagai “tujuan” dan “keyakinan hidup” apalagi bertujuan dijadikan “dasar hukum” dan menolak hukum Islam. maka tegasnya, nasionalisme yang demikian tidak diridhai oleh Islam. 127

Terkait dengan hal di atas, Isa Anshary secara tegas membedakan gerakan kaum nasionalis dengan golongan Islam kepada dua garis besar:

Pertama. Perbedaan langkah, jalan dan haluan. Cara-cara kalangan nasionalis dalam mencapai cita-citanya menyampingkan peran agama dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Melihat dari pernyataan dan sikap politik mereka menolak hukum- Islam, pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah umum, menyerang adanya kementerian agama. Dan mereka megartikan demokrasi ala Barat yakni memisahkan agama dari wilayah politik dan negara. Sedangkan golongan Islam dalam menjalankan cita-cita politiknya menempatkan agama sebagai pedoman dan etika dan golongan Islam memahami demokrasi sebagai jalan konstitusional untuk meyuarakan aspirasi Islam dan dalam pelaksanaan demokrasi tidak melanggar prinsip-prinsip Syariat. 128

Kedua, Perbedaan niat, dasar dan tujuan. Perbedaan yang prinsipil antara golongan nasionalis dan Islam adalah dari segi ideologi. Karena bagimana pun nasionalisme sebagai ideologi politik tidak sama dengan ideologi Islam dalam merumuskan dasar negara, hukum yang diterapkan dan tujuan dalam bernegara. 129

Selanjutnya, Isa Anshary menyangkal kesan kalaulah umat Islam anti cinta-tanah air, justeru menurutnya, pejuang-pejuang Islamlah seperti Sultan Babullah di Ternate, Sultan Hasanuddin di Makassar, Maulana Malik Ibrahim Jawa Timur, Pangeran Diponegoro dan Sultan Agung di Jawa Tengah, Syarif Hidayatullah dan Maulana Hasanuddin di Jawa Barat, Imam Bonjol di Mingakabau dan Cik di Tiro di Aceh mereka semua adalah pahlawan-pahlawan nasional dan patriot-patriot Muslimin pada zaman mereka yang berjuang

RESPON PERSIS TERHADAP IDEOLOGI POLITIK DI INDONESIA

melepaskan penjajah asing dan membela kaum lemah dan tertindas walaupun mereka belum mengenal istilah nasionalisme dalam pengertian dan semboyan seperti sekarang. Oleh karena itulah, menurutnya gerakan nasionalis atau patriotisme tidaklah dimulai dari kelahiran organisasi “Budhi Utomo” (20 Mei 1908) yang selalu diperingati orang. 130

Dari beberapa pendapat tokoh Persis di atas, dapat disimpulkan bahwa keberatan mereka terhadap konsep nasionalisme yang berangkat dari kesadaran etnis dan chauvanistik dan nasionalisme yang mengarah kepada sekulerisme atau dalam bahasa mereka “netral agama”. Faham inilah yang dikecam oleh mereka. Karena bagaimaan pun, bagi Persis, sebagaimana para reformis Islam lainnya seperti Muhammad Iqbal, Maududi, Sayyid Qutb dan Ali Syari’ati berpendiriaan bahwa sekulerisme, nasionalisme dan demokrasi suatu konsep yang lahir dari peradaban Barat yang sebenarnya tidak cocok dengan Islam.

Pernyataan-pernyataan para tokoh Persis mengenai sekulerisme dapat ditemukan bersamaaan ketika polemik mereka dengan Soekarno mengenai relasi agama dan negara. Misalkan, sejak tahun 1930-an, Muhammad Natsir menolak keras paham sekularisme, walaupun saat itu bahaya sekularisme masih terselubung. Natsir menyindir sekularisme dengan istilah “netral agama”. Istilah dan paham ini lebih dipopulerkan lagi ketika beliau mengupas soal dasar negara.

Dalam pidatonya di sidang Konstituante, 12 November 1957, M. Natsir secara panjang lebar mengupas sekularisme. Menurut Natsir, hanya ada dua alternatif untuk meletakkan dasar negara dalam sikap asasnya ( principle attitude), yaitu: (1) paham sekularisme (Ia diniyah), tanpa agama, atau (2) paham agama (dini). 131 Selanjutnya, sekularisme dalam pandangan Natsir adalah paham yang memandang kehidupan manusia ini terbagi menjadi dua “kotak”: yaitu kotak dunia dan kotak spiritual; dan agama mestinya hanya berhak mengatur kotak spiritual. 132

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

Sebenarnya, sekularisme dalam pengertian politis sebagaimana disebutkan di atas, pada intinya ingin memisahkan antara agama dan negara, berarti agama tidak mempunyai kaitan dengan urusan negara. Masing-masing berjalan sesuai dengan tempatnya, yaitu agama untuk urusan spiritual dan negara untuk kepentingan dunia temporal. Keyakinan semacam ini kalau berlaku di negara Barat, bisa dipahamai, karena sejak awal perjalanan hidup mereka sudah tidak mengikutsertakan agama di dalam urusan negara. Hal ini membawa implikasi lebih lanjut dalam urusan negara atau kehidupan duniawi sepenuhnya diserahkan kepada nalar manusia.

Menurut Natsir, paham sekuler yang secara politis ingin memisahkan antara agama dan negara, dipandang sebagai hal yang bertentangan dengan agama. Beliau mengatakan:

“Agama Islam, berbeda dengan agama lain, mempunyai beberapa aturan yang berkenaan dengan hukum-hukum kenegaraan dan pidana (uqubat), dan beberapa peraturan yang berhubungan dengan muamalah. Semuanya itu merupakan bagian –bagina yang tak dapat dipisahkan dari agama Islam itu sendiri.” 133

Senada dengan Natsir, Isa Anshary memandang paham sekuler sebagai mazhab pemikiran serba dunia tidak cocok dengan Islam karena menyampingkan peran Islam dalam negara dan masyarakat dan terlalu mentuhankan rasio manusia. Isa mengatakan:

Kultur imprealisme Barat telah mewariskan semacam “mazhab pikiran” yang amat menyesatkan alam islami, ialah suatu pandangan hidup “serba dunia”, sekulerisme atau la Diniyah! Fahan sekulerisme membawa ajaran, Islam tidak perlu dibawa-bawa mengatur masyarakat; agama adalah soal pribadi dan ukhrawi; persoalan dunia dan negara, persoalan masyarakat dan kehidupan manusia seluruhnya terserah kepada fikiran, otak dan rasio

manusia. 134 Bagi Mohammad Isa Ansary, pemikiran politik sekuler

ini merupakan warisan “cultural imperialism” yang dibawa oleh agen imperialis, yaitu kelompok aliran “kafir” (yang menolak kebenaran dan kenyataan agama), “aliran netral” yaitu kelompok

RESPON PERSIS TERHADAP IDEOLOGI POLITIK DI INDONESIA

paham nasionalisme (yang tidak memedulikan agama), dan “aliran munafik” (yang lebih berbahaya daripada aliran kafir). 135

Isa Anshary melihat sekulerisasi di dunia Islam, seperti sekulerisasi di Turki merupakan suatu malapetaka bagi peradaban Islam. hal tersebut selain karena faktor pengaruh imperalisme Barat di dunia Islam juga adanya kesalahan dari kaum muslimin sendiri. Tegasnya, kalau ada di kalangan Islam yang menyatakan dari mulutnya: “Saya tidak akan mencampuri politik (negara)” nyatalah ia tidak memahami atau bodoh tentang Islam itu sendiri. Padahal, Islam telah mengatur undang-undang peperangan, perdamain dan perjanjian serta aturan-aturan yang bersipat kemasyarakatan. Bagi Isa Anshary, sekulerisme di dunia Islam merupakan a-historis, berlawanan dengan hakikat Islam, perjuangan para nabi dan sahabat- sahabat Nabi saw. Di antara dasar argumentasi beliau adalah dalam al-Qur’an Surat Bani Israil ayat 80:

Dan katakanlah:”Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar

yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong. (al-Isra’/17:80)

Ayat di atas menurutnya, menunjukan dengan tegas lapangan hidup kaum muslimin, filsafat hidup mereka yang selalu di do’a harapannya kepada Allah SWT:

“Tuhanku! Masukanlah aku (menjadi hambamu) dengan sebaik-baiknya masuk; sesudah itu, keluarkanlah aku (kemasyarkat ramai) dengan sebaik-baiknya keluar. Beri apalah kiranya aku kekuatan langsung dari pada Engkau, untuk menolong aku dalam perjuangan”. 136

Sementara itu, Abdurrahman salah seorang pimpinan Persis, sangat yakin bahwa seluruh aspek kehidupan setiap muslim adalah ibadah. Karena itu urusan sosial, ekonomi dan politik diatur oleh

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

agama. Karena Islam adalah al-Dien yang pengertiannya meliputi agama, kebudayaan dan peradaban dan tujuannya adalah kebahagian dan keberuntungan di kehidupan dunia dan akhirat. 137

Mengenai sekulerisme, Abdurrahman berpendapat, sekulerisme sebagai produk kebudayaan Barat merupakan tahapan awal menuju tahap materialisme dan puncaknya komunisme. Walaupun peradaban merupakan anak cucu Islam juga karena adanya pengaruh dari Islam. tapi merupakan anak yang khianat karena perjalanan hidupnya tidak sesuai dengan perjalanan hidup Islam. 138 Ia berpendapat sekulerisme merupakan racun yang berbahaya bagi umat Islam:

“Semenjak Renaisance (kebangkitan ilmu pengetahuan dalam abad 14-15-16 Masehi), maka peradaban Barat itu melalui 3 tahap, yaitu tahap sekulerisme, tahap materialisme, dan tahap komunisme. Dan darah hidup yang mengalir di dalam tubuh kebudayaan materialisme ini adalah penolakan terhadap hukumTuhan dan hidup kejiwaan. Teranglah bahwa darah yang demikian itu bila disuntikan ke dalam tubuh Islam akan menjadi racun, bukan obat” 139

Lebih lanjut. Abdurrahman membagi sekulerisme kepada dua katagori: Pertama, sekulerisme yang mengakui adanya kepercayaan kepada Tuhan dan agama, tetapi memisahkan urusan duniawi dari agama inilah yang menjadi pemikiran demokrasi Barat. Kedua, Sekulerisme yang tidak membenarkan adanya kepercayaan kepada Tuhan dan agama sama sekali, yang mengakibatkan pandangan hidupnya mutlak materialistis. Inilah yang diterapkan oleh idiologi komunis di Uni Soviet dan pembebek-pembebeknya pula. 140

Pembagian tersebut sama halnya dengan pendapat Amien Rais, di mana ia membedakan antara sekulerisme moderat ( al-‘almaniyah) dan sekulerisme ekstrim (la-diniyah). Sekulerisme katagori pertama masih mengakui pentingnya agama sekalipun hanya pada urusan- urusan privat. Adapun terhadap persoalan-persoalan di luar privat, agama dikucilkan. Sementara itu, sekulerisme katagori kedua tidak mengakui agama sama sekali (Atheis). Agama dianggap sesuatu

RESPON PERSIS TERHADAP IDEOLOGI POLITIK DI INDONESIA

masa lalu (something of the past) sehingga tidak perlu lagi menjadi rujukan bagi pembangunan kehidupan modern. 141