Sikap Terhadap Kelompok Nasionalis-Sekuler

C. Sikap Terhadap Kelompok Nasionalis-Sekuler

Ketegangan antara kalangan Islam dengan nasionalis sekuler merupakan salah satu persoalan yang krusial dalam percaturan politik di Indonesia. Bahkan, ketegangan antara Islam dan Nasionalis Sekuler (netral agama) selain konflik ideologis juga berujung pada konflik kepentingan. Lebih jauh, Ketegangan ini muncul sebelum berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam sejarah panjang negara ini, setidaknya tercatat tiga isu ketegangan yang terjadi Semenjak sebelum kemerdekaan sampai masa demokrasi terpimpin. Pertama, isu tentang nasionalisme dan Islam, kedua, relasi agama dan negara, dan ketiga, isu tentang dasar negara.

Dalam ketegangan tersebut, Persis selalu terlibat untuk membela Islam sebagai suatu ideologi yang berbeda dengan pemahaman dan cita-cita golongan nasionalis sekuler dalam membentuk dan membangun negara Indonesia. Sebelumnya dalam bab terdahulu disebutkan bahwa respons Persis terhadap nasionalisme menolak keras. Yaitu, nasionalisme yang anti agama dan nasionalisme yang chauvanistik karena identik dengan Ashabiyyah Jahiliiyah yang dilarang keras oleh Islam. Adapun sikap politik Persis terhadap praktik politik kalangan nasionalis sekuler dapat terlihat dalam sikap mereka menghadapi ketiga isu di atas. Dan perlu juga di sini disinggung hubungan antara tokoh- tokoh Persis seperti Hassan, Natsir dan Isa Anshary dengan tokoh nasionalis sekuler Soekarno karena bagaimana pun di antara tokoh-tokoh Persis dengan Soekarno terjalin hubungan yang berkesan dan juga penuh ketegangan.

Ketegangan pertama, terjadi sekitar tahun 1920 sampai tahun 1930 di mana pada saat itu kalangan nasionalis sekuler yakni kalangan terdidik Muslim yang cara berpikir dan pandangan

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

hidupnya tak berbeda dengan orang-orang Belanda megkritik bahkan cenderung melecehkan kalangan Santri dan persoalan- persoalan hukum Islam yang dianggapnya kuno dan diskriminatif. Bila hanya berbeda tidak masalah, persoalan muncul ketika mereka, dalam pandangan Natsir mulai bersikap phobia, kalau bukan anti Islam. Mereka memperolok-olokan santri dan kyai dengan sebutan kaum “Sarungan”, tidak mengerti semangat zaman, anti kemoderenan dan sebagainya.. Ajaran poligami Islam seperti dikatakan Soewarni Pringgodigdo tahun 1923, harus ditentang karena diskriminatif dan merendahkan hak-hak wanita. Pergi Haji ke Mekkah dinilai sebagai pemborosan uang di luar negeri dan untuk kepentingan ekonomi Arab. Bahkan, Homo Sum menulis bahwa tahanan-tahanan politik yang di buang ke Degol jauh lebih layak dihormati dari pada mereka yang poergi ke haji ke Mekkah. 94

Kaum nasionalis sekuler juga dinilai Natsir mendiskreditkan tokoh-tokoh pergerakan Islam seperti yang terjadi dalam insiden Timbolel, 1927. Timbolel, nama majalah kaum nasionalis sekuler dalam salah satu artikelnya menuduh H. Agus Salim seorang tokoh SI sebagai petualang dan antek procurer general (Jaksa Agung) kolonial serta melakukan aksi Pan Islamisme yang akan membahayakan persatuan nasional. Tjipto Mangunkusomo ketika dalam pembuangan menulis sepucuk surat pada Soekarno, Maret 1928, berisi peringatan kepada Soekarno akan bahaya pan- Islamisme dan kemungkinan Agus Salim dan Tkoroaminoto menguasai PPKI. Bila mereka berhasil, menurut Tjipto, akan mengakibatkan hancurnya pergerakan nasionalis yang dipimpin Soekarno. Tjipto juga menginginkan Soekarno tentang “ulah penghianatan” Tjokroaminoto dengan PSII. 95

Pada dekade 1920-1930-an merupakan ujian berat bagi tokoh-tokoh Persis seperti Natsir dan Hassan dalam menghadapi propaganda kalangan nasionalis sekuler yang dipimpin Soekarno. Ia, dalam usaha membangkitkan semanagat cinta tanah air,

SIKAP POLITIK PERSIS TERHADAP PRAKTEK POLITIK DI INDONESIA

menekankan pentingnya persatuan yang menurutnya tidak dapat didasarkan pada sukuisme, agama atau ras. Persatuan bangsa menurut Soekarno, mengutif Ernest Renan, hanya bisa dibangun oleh kehendak bersatu (la desire d’etre emsemble) dan rasa

pengabdian kepada tanah air. 96 Persatuan harus mengabaikan kepentingan golongan yang sempit sekalipun berupa kepentingan Islam.

Natsir dan Hassan menolak pandangan nasionalisme Soekarno itu, Natsir dengan nama samaran IS menulis bahwa Islam-lah yang menjadi warisan pusaka sejarah dan pelopor perjuangan nasionalisme di Indonesia jauh sebelum Boedi Utomo, Pasundan, Jong Sumatranen Bond yang merupakan cikal bakal organisasi kaum nasionalis sekuler terbentuk. Natsir mengkritik Soekarno yang tidak peduli “apakah penduduk muslim Indonesia yang berjunlah lebih kurang 85 % dari penduduk yang ada, menjadi murtad, bertukar agama, Kristen boleh, teosofi bugis, Budha masa bodoh. Ia juga menegaskan cita-cita tujuan perjuangan dirinya dan tokoh-tokoh pergerakan Islam untuk merdeka berbeda dengan kaum nasionalis sekuler seperti Soekarno. Tjipto mangunkusumo dan lain-lain. Kemerdekaan bagi umat Islam adalah kemerdekaan Islam agar di Indonesia berlaku aturan-aturan Islam, jaminan keselamatan bagi umat Islam dan non-Muslim serta segala mahluk Allah lainnya. Kemerderkaan bukanlah tujuan akhir, sebab menurut Natsir, “Umat Islam harus terus berjuang tanpa henti selama negara belum berdasarkan dan diatur oleh hukum

kenegaraan Islam”. 97 Senada dengan Natsir, Hassan berpendapat apa yang diperjuangkan oleh kalangan nasionalis sekuler sudah keluar dari Islam karena jelas meeka tidak akan menjalankan hukum Islam. Bagi Hassan nasionalisme harus merujuk kepada Islamisme dan kemajuan bangsa bukan menyampingkan agama dan melecehkannya. 98

Pada masa ini hubungan antara kaum muslimin umumnya dengan kalangan nasionalis sekuler ditandai dengan sikap saling

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

kompetetif dalam merebut massa dan dalam kepemimpinan pergerakan Indonesia yang akhirnya saling curiga dan sakit hati terhadap sesamanya.

Kedua, ketegangan mengenai isu hubungan agama dan negara. Ketegangan ini masih terjadi pada masa sebelum kemerdekaan. Soekarno sebagaimana juga kawan-kawanya dari kalangan nasionalis sekuler memperlihatkan persamaan pendapatnya dengan pendapat umum yang berlaku di Barat. Ia tidak setuju dengan kalangan Islam Modernis bahwa urusan negara juga uirusan agama. Sebaliknya ia berpendirian agama adalah urusan manusia secara pribadi sedangkan urusan negara

adalah urusan bersama dan rasional. 99 Oleh karena itulah Soekarno tidak senang campur tangan Islam di luar bidang agama. Inilah yng tidak bisa diterima kalanhgan Persis. Karena bagaimana pun bagi Persis, Islam adalah agama yang totalitas mengenai segala segi hidup termasuk dalam urusan negara Islam harus dilibatkan. Sebagai dasar konstitusi negara.

Ketiga, ketegangan tentang dasar negara yang merupakan puncak ketegangan antara kalangan Islam termasuk Persis dengan kalangan nasionalis sekuler yang mendukung Pancasila sebagai dasar negara. Ketegangan ini terjadi pada masa menghadapi Pemilu pertama pada tahun 1956 dan puncaknya perdebatan dasar negara di Majelis Konstituente pada tahun 1957.

Dalam menghadapi Pemilihan Umum pertama 1955 kalangan Islam harus bersaing dengan partai politik yang berideologi Sosialisme, komunisme dan nasionalisme sekuler. Umat Islam sebelum mengalami perpecahan tahun 1952 mempunyai peluang yang menguntungkan jika pemilu itu segera dilaksanakan tanpa ditunda-tunda. Berbeda halnya dengan kalangan nasionalis sekuler yang pada tahun 1950 merasa kurang yakin akan mendapatkan dukungan dari masyarakat, maka dengan di tundanya pemilu akan memperkuat posisi mereka. Oleh karena pemerintah sekuler telah terwujud dan partisipasi Partai Nasional Indonesia

SIKAP POLITIK PERSIS TERHADAP PRAKTEK POLITIK DI INDONESIA

pada awal pemerintahan telah menjamin golongan nasonalis sekuler itu akan tetap mendapatkan posisi-posisi penting, maka kelompok nasionalis sekuler memandang pemilu tidak perlu cepat-cepat dilaksanakan. Pemisahan Nadhatul Ulama dari Masyumi pada tahun 1952 dan kerjasamanya dengan PNI, sehingga PNI menyusun kabinet tanpa dukungan Masyumi, ikut sertanya presiden Soekarno mendukung golongan sekuler pada tahun 1953, benar-benar memperkuat posisi PNI. Partai yang akhir ini sebagai pelopor sekularis memperkuat kesan pada masa menjelang pemilu bahwa dengan menonjolkan nasionalisme chauvinistic maupun usaha-usahanya membebaskan Irian Barat dengan kekuatan senjata berhasil menyapu bersih sisa-sisa Belanda di Indonesia. 100

Anggota-anggota Persatuan Islam sangat aktif dalam polemik dengan PNI, terutama mereka yang mengikuti garis Isa Ansary yang “radikal revolusioner”. Pada saat fikiran-fikiran Isa Ansary tidak banyak berbeda dengan kelompok moderat Natsir dalam Masyumi, mereka menggunakan cara-cara yang radikal tanpa toleransi dibanding dengan cara-cara kelompok moderat. Kelompok “radikal revolusioner” mengemukakan bahwa umat Islam diizinkan oleh agama mewarisi bangsa dan tanah air; oleh karena itu umat Islam Indonesia menghormati negaranya sebagaimana halnya orang-orang sekuler. Isa Ansary menyatakan bahwa Islam menuntut agar umat Islam menunjukan dukungannya terhadap tanah air, tempat mereka hidup, dengan jihad, perjuangan dan pengorbanan. Dia menyatakan bahwa golongan Nasionalis Sekuler dan umat Islam mempunyai kesamaan pandangan menuju keadilan sosial, kesejahteraan masyarakat dan kestabilan nasional, tetapi diantara keduanya terdapat perbedaan jalan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Perbedaan antara Nasionalis Sekuler dengan muslim, kata Isa Ansary, adalah terletak pada bentuk hukum yang akan berlaku di negara Indonesia. Sebagaimana A. Hassan, Isa Ansary menekankan bahwa hukum Islam harus dilaksanakan dalam masyarakat, dan umat Islam harus

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

menentang setiap usaha yang menolak hukum Islam dan setiap pergerakan yang membela hukum sekuler di Indonesia. 101

Pada tahun 1953, presiden Soekarno yang sampai saat itu tidak memberikan sikap tentang negara Islam, akhirnya menyatakan dalam salah satu pidatonya di Amuntai bahwa “apabila kita mendirikan negara berdasar Islam, beberapa daerah yang penduduknya bukan Islam … akan memisahkan diri”. Dia juga membuat pernyataan-pernyataan senada yaitu menolak negara Islam. kebanyakan tokoh-tokoh Islam tidak menganggapi pernyataan itu, tetapi beberapa tokoh masyumi, termasuk Isa Ansary memberikan kritik yang tajam. Meskipun ada usaha-usaha dari pimpinan Masyumi untuk memperlunak sikapnya, namun Isa Ansary menyatakan bahwa saat ini ‘sedang terjadi perang dingin antara Islam di satu pihak dan di pihak lain adalah orang- orang yang mengaku Islam tetapi sebenarnya bukan Islam”. dalam satu argumentasi yang ditafsirkan secara panjang lebar ditujukan kepada Soekarno, Isa Ansary menyatakan bahwa negara Islam sebagaimana yang didirikan oleh nabi di Madinah, menjamin hak- hak warga negara yang beragama selain agama Islam, tetapi tidak memberikan perlindungan kepada orang Islam munafik. Tentu saja kritik semacam ini tidak bisa diterima oleh Soekarno maupun PNI, dan ada juga beberapa orang Islam yang menganggap Isa Ansary telah melebihi batas. Sementara beberapa unsur dalam Masyumi menghendaki agar Isa Ansary diberikan teguran sehubungan dengan statemen itu, ada juga sekelompok besar yang menyalahkan Soekarno; tetapi semua itu tidak dilakukan secara terbuka untuk menjaga keutuhan partai. Pernyataan keras Isa Ansary mendapat serangan dari PNI dan PKI, serta dianggapnya sebagai suatu bukti bahwa orang-orang Islam tidak mengenal toleransi dalam bidang politik maupun agama. Walaupun pada dasarnya kalangan Islam hampir seluruhnya menolak termasuk NU terhadap pernyataan- pernyataan Soekarno yang mendeskriditkan Islam. Namun mereka tidak bersikap keras sebagaimana yang dilakukan Isa Anshary. 102

SIKAP POLITIK PERSIS TERHADAP PRAKTEK POLITIK DI INDONESIA

Sebab lain timbulnya pertentangan antara golongan Islam dan Nasionmalis Sekularis terletak pada konsep Pancasilanya Soekarno. Semua golongan termasuk umat Islam, telah menerima Pancasila sebagai lambang persatuan di antara seluruh warga negara Indonesia dan sebagai pernyataan cita-citanya selama revolusi. Konsekuensinya, setelah revolusi timbul satu pemikiran untuk mempertahankannya sebagai motto negara atau pernyataan cita-cita nasional. Muhammad Natsir, misalnya, berbicara tentang Pancasila dalam salah satu pidatonya di Lahore Pakistan tahun 1953 dan menyatakan bahwa prinsip-prinsip lahirnya bangsa Indonesia. 103

Masalah krusial besar yang menghadang faksi Nasionalis Sekuler dan kubu Nasionalis Muslim dalam gonjang ganjing pertarungan keras ideologis-politis dalam sidang-sidang Majelis Konstituante adalah persoalan dasar falsafah negara. Lamanya sidang (1956-1959) mengisyaratkan secara jelas bahwa gonjang ganjing perdebatan dan pertarungan di seputar persoalan dasar negara berjalan alot, tegang, keras, dan panas. Kedua belah pihak, seperti halnya dalam sidang-sidang BPUPKI terdahulu (sebelum proklamasi kemerdekaan) tetapi dalam suasana dan suhu politik yang lebih keras, menggebu-gebu dan berkepanjangan, sama- sama keras bersikukuh dengan usulnya masing-masing. Walaupun suasana petarungan ideologis dalam sidang-sidang Majelis konstituante berlangsung seru dan sengit, namun permainan politik antara para elite Nasionalis Sekuler dan para elite Nasionalis Muslim tetap berjalan cantik dan elegan. 104

Di satu pihak, para pemimpin kaum Nasionalis Sekuler tetap bersikeras pada sikap mereka dengan mengusulkan Pancasila sebagai dasar falsafah negara. Sementara di pihak lain, kubu faksi Nasionalis Muslim tetap bersikukuh dengan pendapat mereka dengan mengajukan Islam sebagai dasar negara. Dalam pandangan para tokoh kaum Nasionalis Muslim, Pancasila tidak tepat untuk dijadikan sebagai dasar negara karena ia, dilihat dari perspeltif

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

doktrinal-teologis, tidak bersumber dari ajaran-ajaran wahyu Tuhan yang transenden. Mohammad Natsir dari partai Masyumi, misalnya, memberikan label pada Pancasila sebagai sekuler (la diniyah), netral, kosong, dan tak bisa berkata apa-apa terhadap jiwa umat Islam. 105

Dalam pendirian Persis yang disebut Kelompok “ radikal revolusioner” percaya bahwa perjuangan untuk mencapai kemerdekaan tidak akan sempurna dan revolusi tidak akan berakhir hingga kaum muslim menegakkan jenis kekuasaan tertentu atas negara. Dalam Revolusi Islam, misalnya, Isa Ansary menyatakan bahwa “Revolusi Islam” bukanlah revolusi nasional, yang terpaku pada batas-batas wilayah negara, tetapi lebih sebagai sebuah revolusi “untuk embebaskan umat manusia dari eksploitasi fisik dan spiritual … Teori, karakter, sifat, ciri-ciri-, dan filisofi dari revolusi ini, “ tandasnya, ditetapkan oleh Tuhan melalui wahyu dalam sunah!” Isa Ansary menegaskan bahwa revolusi Indonesia telah berhenti sebelum ia menyelesaikan tugasnya, karena ia telah jatuh ke tangan “orang-orang tak beriman” dan “orang-orang munafik”. Dia mendesak agar revolusi Indonesia dilanjutkan, tetapi ia harus diberi muatan spiritual agar dapat mencapai tujuannya dan dapat menegakkan Islam serta hukum-hukumnya dalam masyarakat dan negara. Ungakapan kasar yang mencap para pesaing-pesaing politik dengan nama-nama bernaada menghina ini juga digunakan dalam manifesto tahun 1956, yang menunjukkkan tingkat kebencian tertentu dari para aktivis Persis terhadap kelompok-kelompok nasionalis. 106

Pancasila, yang didukung kuat oleh kelompok nasionalis sebagai falsafah negara, juga menjadi target serangan kelompok muslim “radikal revolusioner”. Mereka yakin, seperti kebanyakan aktivis politik muslim, bahwa Pancasila terlalu kabur, dan bahwa praktik membiarkan tiap-tiap faksi menafsirkan sila-silanya menurut cara-cara mereka sendiri sama sekali tidak menawarkan cara yang riil untuk membangun konsensus tentang falsafah

SIKAP POLITIK PERSIS TERHADAP PRAKTEK POLITIK DI INDONESIA

negara. Dalam umat Islam menghadapi pemilihan umum, Isa Ansary menuduh bahwa Pancasila merupakan ideologi yang hambar tanpa substansi, yang hanya berguna sebagai slogan. Untuk mencontohkan ketidakjelasan tersebut, dia menyebut prinsip “demokrasi” dan menanyakan apakah demokrasi itu harus menjadi “demokrasi Barat ataukah sentralisme demokrasi Eropa Timur, dan apakah ia akan berjalan di atas prinsip kekuasan mayoritas”. Dia menolak dua kemungkinan tersebut, dengan menyebut keduanya sebagai sistem yang tidak sempurna, dan mengklaim bahwa Islam lebih luas daripada gagasan-gagasan demokrasi yang sederhana itu. 107

Dalam pidatonya di hadapan Majelis Konstituante, Isa Ansary mengungkapkan bahwa pandangan-pandangan kaum nasionalis tentang perjuangan kemerdekaan adalah tidak akurat, karena mereka tidak melihat kekuatan Islam sebagai penggerak dalam perjuangan teersebut. Dia menunjuk terutama pada perjuangan- perjuangan para pahlawan Islam yang telah dengan sekuat tenaga melawan Belanda: Dipenogoro, Imam Bonjol, Tengku Cik Ditiro, Maulana Hasanudin, dan Sultan Babullah. Dia menandaskan bahwa pahlawan-pahlawan ini melakukan aksi-aksi mereka untuk melawan dan mengusir Belanda bukan karena komitmen terhadap nasionalisme, melainkan karena inspirasi agama dan komitmen mereka terhadap agama. Situasinya tidak jauh berbeda dengan situasi di era revolusi, ketika semangat yang mendorong para pejuang lebih dari sekedar komitmen terhadap wilayah Indonesia. Semangat tersebut jauh lebih mendalam dan bersandar pada idealisme serta kesediaan untuk berkorban yang bersumber dari keyakinan terhadap Tuhan. Karenanya, semangat keagamaan yang memungkinkan terjadinya revolusi itu, bukan sekadar kecintaan terhadap negara sebagaimana yang selalu dikatakan presiden Soekarno. 108

Pengakuan bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa dan sebuah kreasi yang bermanfaat merupakan pengakuan luar

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

biasa terhadap pandangan kaum nasionalis yang belum mampu dilakukan oleh para aktivis Persis selama akhir periode kolonial. Jadi, ada beberapa kemajuan yang dicapai Persis dalam ahal ini. Isa Ansary bahkan mengungkapkan bahwa kelompok-kelompok muslim dan nasionalis dapat dipersatukan dengan cara-cara tertentu. Misalnya, dia mengatakan bahwa Islam memerintahkan umatnya untuk memberikan dukungan mereka pada tanah air dengan tindakan-tindakan tertentu, “dengan kerja keras, dengan perjuangan dan pengorbanan”, dengan cara yang dilakukan kelompok-kelompok nasionalis. Dia mengungkapkan bahwa kelompok-kelompok nasionalis dan muslim memiliki pandangan yang sama “terhadap keadailan sosial, kesejahteraan masyarakat, dan keamanan nasional”, tetapi keduanya memiliki pendekatan yang berbeda untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Menurutnya, titik perbedaan antara kelompok muslim dan kelompok nasionalis adalah pad jenis hukum yang harus diterapkan di negara Indonesia. Seperti halnya Ahmad Hassan di akhir periode kolonial, Isa Ansary berhujah bahwa hukum Islam harus diterapkan dan bahwa kaum muslim menentang setiap gerakan yang menolak hukum agama dan mendukung standar-standar hukum buatan manusia untuk Indonesia. 109

Dalam majelis konstituante, Isa Ansary mengkritisi Pancasila dari sudut pandang yang berbeda dengan menegaskan bahwa Pancasila seharusnya tidak dicampuradukan dengan Proklamasi kemerdekaan, sebagaimana yang sering muncul di benak masyarakat. Keduanya merupakan pernyataan-pernyataan yang berbeda dengan tujuan-tujuan yang berbeda pula. Keduanya singkat, dan Proklamasi mengumumkan persoalan penting tentang pemisahan Indonesia dari penjajah Belanda. Pancasila, di sisis lain, hanya sekedar slogan revolusioner yang dirancang untuk masa revolusi, yang mengekspresikan sebuah sentimen politik, yang menggambarkan beragam alasan dari seluruh kelompok kerja sama untuk berpartisipasi dlam perjuangn. 110

SIKAP POLITIK PERSIS TERHADAP PRAKTEK POLITIK DI INDONESIA

Bagi Isa Ansary, Piagam Jakarta merupakan pernyataan yang lebih substantif, karena ia mengungkapkan esensi dari keprihatinan komunitas muslim dan cara-cara untuk memenuhi aspirasi- aspirasi politik mereka. Sayangnya, dia melanjutkan, pernyataan piagam tersebut tidak resmi tidak sepenuhnya diterima, meskipun penggalan-penggalannya dimasukkan dalan UUD 1945 mapupun UU yang dibuat pada tahun 1949. Yang penting, ia menyimpulkan, ada kecenderungan di kalangan partai-partai politik non muslim untuk berusaha mengesampingkan persoalan-persoalan yang dianggap penting oleh komunitas muslim. Semua itu semata-mata demi mencapai kemenangan politik yang telak. Penghancuran total program kaum muslim merupakan tujuan kelompok- kelompok nasionalis. 111

Demikianlah pandangan Persis terhadap gerak dan sikap politik kalangan nasionalis sekuler yang intinya selalu menghantam dan menolak keras karena bertentangan dengan ideologi dan cita-cita mereka bahkan konflik di antara mereka terlihat saling menjatuhkan. Suatu suasana yang di anggap wajar dalam alam demokrasi saat itu. Namun, hubungan di antara mereka tidak sebatas polemik yang bersifat politis karena dalam kenyataannya secara hubungan kemanusian yang sama-sama anak bangsa mereka sangat dewasa dan akrab.. Dalam tulisan Tamar Djaya seorang penulis produktif dan sekaligus anggota Masyumi yang rajin menulis biografi tokoh-tokoh Masyumi, ia mencatatat, bahwa Soekarno yang dikenal tokoh nasionalis sekuler sebenarnya telah menjalin persahabatan dengan baik dengan tokoh-tokoh Persis seperti Ahmad Hassan dan Natsir. Perkenalan Soekarno dengan Hassan bermula di Bandung di mana keduanya saling bertemu dan berdiskusi tentang persoalan-persoalan Islam kontemporer. Pertemuan keduanya terasa akrab ketika Soekarno di tahan dan dipenjarakan di Sukamiskin Bandung, Hassan dan teman-temannya dari Persis yang pailng rajin menjenguknya dan memberikan buku-buku bacaan, sedangkan kaum nasionalisme teman-teman

Bagian Keempat: PERSIS VIS A VIS IDEOLOGI POLITIK NEGARA -- Latif Awaludin, MA

Soekarno sendiri kurang sekali memperhatikannya selama dalam penjara. Apalagi ketika Soekarno dibuang oleh Pemerintah Kolonial Belanda ke Endeh, ia dan Hassan selalu berdiskusi melalui tulisan. Hassan selalu memgirimkan buku-buku kepadanya begitupun Soekarno selalu membalasnya. Persahabatan di antara keduanya terekam dalam sebuah buku (risalah) berjudul Surat-surat Islam dari Endeh. Dalam risalah tersebut, Soekarno mengakui bahwa setelah berdiskusi dengan Hassan pemahamannya tentang Islam terasa berbeda dari sebelumnya, ia yakin bahwa Islamlah agama yang rasional, progressif dan revolusioner dan Hassan dianggapnya sebagai gurunya yang telah mengajarkan Islam. 112

Hubungan Natsir dengan Soekarno pun sangat unik. Ia tidak disukai Soekarno, antara lain karena bantahannya pada 1930-an kedudukan agama dan negara. Soekarno memang kurang senang kepada orang yang tidak sependapat dengannya. Tetapi di masa revolusi dan pada tahun 1950 ketika Natsir diangkat menjadi Perdana Mentri mereka berdua termasuk rapat. Tetapi, menjelang akhir masa kabinet ini, Natsir berbeda pendapat dengan Soekarno dalam penyelesaian Irian Barat maka semenjak itu hubungan mereka berdua tidak mesra lagi. Apalagi menolak gagasan Demokrasi Terpimpin dan Peristiwa PRRI memutuskan sama sekali hubungan dengan Soekarno. 113

Sedangkan tokoh Persis lainnya Isa Anshary, ia pada mulanya seorang pengagum Soekarno tapi setelah aktif di Persis dan terpengaruh oleh Hassan dan Natsir, ia berubah haluan menjadi seorang musuh politik Soekarno yang paling radikal. Ketika masa demokrasi terpimpin Isa menjadi korban politik rezim “Demokrasi Terpimpin” ia dipenjarakan bersama musuh-musuh politik Soekarno lainnya seperti Sutan Sahrir, Yunan Nasution, Prawoto Mangkusamito, Mohammad Roem dan E.Z. Mutaqin. 114

SIKAP POLITIK PERSIS TERHADAP PRAKTEK POLITIK DI INDONESIA