Kerumitan Kognitif Imigran Komunikasi Pribadi Dalam Akulturasi Pada Kesenian Gambang

dalam kesenian cokek, lenong, gambang kromong, dan lain-lain. Hasil akulturasi budaya Tionghoa dan Betawi ini kemudian diklaim sebagai kesenian Betawi. 83 Dalam perkembangannya, orang-orang Tionghoa sangat merespon sekali keadaan sosio-budaya Indonesia. Mereka layaknya orang pribumi, telah bercampurbaur dengan masyarakat pribumi. Mereka saling bergotong royong dalam hubungan kemasyarakatan. Proses komunikasi ini secara potensial memudahkan aspek-aspek akulturasi.

1. Kerumitan Kognitif Imigran

Kerumitan kognitif seorang imigran dapat dimudahkan dengan kemampuan mempersepsikan lingkungan Pribumi sehingga mengetahui budaya Pribumi lebih jauh. 84 Pada fase-fase awal akulturasi, orang-orang Tionghoa mengamati lingkungan sekitarnya secara sederhana, sehingga mereka masih belum dapat beradaptasi dengan lingkungan asing tersebut dengan baik. Pada awal mula datang ke Batavia, mereka masih menutup diri terhadap lingkungan di sekitar mereka. Para migran Tionghoa ini hanya melihat, mendengar, tanpa merespon secara mendalam lingkungan sekitarnya dikarenakan persepsi mereka saat itu masih awam dan belum banyak mengetahui pola-pola maupun aturan sistem komunikasi pribumi. 85 Pada mulanya orang-orang Tionghoa hanya mengadu nasib di Batavia dengan mencoba mencari untung melalui perdagangan dengan orang-orang Belanda. Setelah berimigrasi dan menetap di Batavia, mereka kemudian mulai 83 Jejak-jejak Akulturasi Budaya Tionghoa dan Jawa, artikel diakses pada 4 Juni 2008 dari http:kompas.comkompas-cetak000831dikbudakul09.htm 84 Deddy dan Jalaluddin, Komunikasi Antarbudaya, …, h. 141. 85 Ibid, h. 141. terlibat dalam sistem komunikasi masyarakat setempat. Pengetahuan yang telah didapat orang-orang Tionghoa kemudian sangat membantu mereka dalam meningkatkan partisipasinya dalam jaringan-jaringan komunikasi pribadi dan komunikasi massa yang terdapat pada masyarakat pribumi. 86 Artinya, partisipasi yang dimaksud tidak terbatas pada masyarakat Betawi saja, melainkan juga pada berbagai etnis. Banyaknya pengetahuan yang didapat oleh orang-orang Tionghoa tentang berbagai hal yang berkaitan dengan orang-orang Pribumi, membuat persepsi mereka menjadi lebih halus dan kompleks. Ini memungkinkan mereka menemukan banyak variasi dalam lingkungan Pribumi. Bukti nyata yang sangat berpengaruh dalam proses akulturasi ini adalah pengetahuan tentang bahasa Pribumi. Bahasa merupakan hal yang sangat mendasar, dan harus dimiliki oleh setiap orang atau kelompok yang ingin berkomunikasi dengan komunitas lain. Seperti disinyalir oleh Lusiana Andriani Lubis dari Edward Sapiur dan Benyamin Whorf, bahwa bahasa tidak saja berperan sebagai suatu mekanisme untuk berlangsungnya komunikasi, tetapi juga sebagai pedoman ke arah kenyataan sosial. 87 Dengan kata lain, bahasa tidak saja menggambarkan persepsi, pemikiran dan pengalaman, tetapi juga dapat menentukan dan membentuknya. Hubungan itu dapat dilihat sebagai berikut: 1 Bahasa dan cara berujar speech merupakan indikator atau petunjuk atau pencerminan ciri-ciri struktur sosial. Misalnya status sosial atau posisi kelas sosial dapat ditunjukkan dari penggunaan kata-kata dalam bahasa. 86 Clockener Brousson, Batavia Awal Abab 20, Gedenkschriften van een oud-kolonial, Jakarta, Komunitas Bambu, 2004, h. 75. 87 Lusiana Andriani Lubis, Penerapan Komunikasi Lintas Budaya di antara Perbedaan Kebudayaan, Sumatra Utara, FISIP, h. 11. Dengan cara analisis demikian kita dapat menentukan kedudukan individu dalam struktur sosial. 2 Struktur sosial yang menentukan cara berujar atau perilaku bahasa. Dalam hal ini terjadi perubahan-perubahan pada standar bahasa baku dan dialek dengan berubahnya konteks dan topik pembicaraan Grimshaw, 1973:49. 88 Jadi dengan kemampuan menggunakan bahasa kaum pribimi, secara perlahan- lahan orang-orang Tionghoa mulai terintegrasi dalam struktur sosial komunitas lokal. Ini memudahkan mereka dalam mengatasi berbgai kerumitan dan hambatan akibat berbedaan-berbedaan sosial-budaya antara mereka dan orang Betawi.

2. Gambaran Diri