Dorongan Akulturasi Komunikasi Pribadi Dalam Akulturasi Pada Kesenian Gambang

hubungan budaya antara kedua etnik ini, sehingga sering kali orang-orang Tionghoa dianggap sama seperti orang-orang Betawi. Dalam kunjungan peneliti di Perkampungan Budaya Betawi. tepatnya di saat berlangsungnya kegiatan latihan rutin anak-anak kesenian Gambang Kromong, peneliti mendapat kesempatan untuk mewawancarai tokoh Betawi sekaligus pengelola Perkampungan Budaya Betawi, Indra Sutisna. Menurutnya, yang namanya budaya tidak ada polisi budaya. Ketika terjadi perpaduan suatu budaya dengan budaya yang lainnya, proses ini akan sulit dihambat bila terdapat sifat akomodatif di antara budaya-budaya tersebut. Dalam konteks perpaduan budaya Tionghoa dengan Betawi, selama budaya itu bisa diterima oleh masyarakat Betawi, tidak merugikan dan secara terus-menerus digunakan oleh masyarakat, maka pada akhirnya budaya tersebut akan diakui oleh masyarakat Betawi. 92 Masyarakat Betawi cederung menerima perpaduan itu karena sifatnya yang terbuka dengan budaya-budaya luar. Hal ini membantu pembentukan gambaran diri peranakan Tionghoa terhadap orang Betawi yang pada gilirannya memudahkan keduanya dalam proses-proses akulturasi.

3. Dorongan Akulturasi

Dorongan akulturasi merupakan kemauan atau motif orang Tionghoa untuk belajar tentang pola-pola, aturan-aturan, serta sistem komunikasi Pribumi serta keinginan untuk berpartisipasi dalam sistem sosio-budaya Betawi. Adanya orientasi positif orang-orang Tionghoa untuk dapat tinggal di Indonesia, khususnya di Batavia, membuat mereka terdorong untuk berhubungan langsung 92 Wawancara dengan Indra Sutisna, Seorang Tokoh Betawi dan Pengelola Perkampungan Budaya Betawi, Serengseng Sawah, Jakarta Selatan, pada 18 Mei 2008. dengan masyarakat Betawi. Untuk membangun hubungan ini, mereka dituntut agar lebih dapat melebur, dalam arti ikut berpartisipasi dalam jaringan-jaringan komunikasi masyarakat Pribumi. Jaringan komunikasi terbentuk dari proses yang saling membutuhkan di mana satu sama lainnya saling mengerti dan bergantung. Ini kemudian memungkinkan terjadinya komunikasi. Dalam kesenianpun demikian halnya, yaitu adanya rasa saling membutuhkan. Misalnya, Tehyan kurang enak kalau tidak diiringi alat musik lainnya. Gambang juga kurang asyik kalau tidak diiringi dengan alat lainnya. Di sini ada kondisisituasi saling melengkapi sehingga menjadi kesatuan yang utuh. Dari proses saling membutuhkan tersebut, mereka berkumpul bersama, berimprovisasi dan membentuk kesenian yang sama meskipun dengan memainkan alat musik yang berbeda-beda. 93 Motivasi akulturasi orang Tionghoa terlihat dari perpaduan kesenian Gambang Kromong. Di waktu senggang mereka memainkan lagu-lagu Tionghoa dari kampung halaman moyang mereka di Cina dengan instrumen gesek Tionghoa su-kong, the-hian, dan kong-a-hian, bangsing suling, kecrèk, dan ningning, dipadukan dengan gambang. Gambang diambil dari khazanah instrumen Indonesia yang digunakan untuk menggantikan fungsi iang-khim, yakni semacam kecapi Tionghoa, tetapi dimainkan dengan semacam alat pengetuk yang dibuat dari bambu pipih. Ini jelas memperlihatkan dorongan dan keinginan orang-orang Tionghoa untuk mempelajari pola-pola, aturan-aturan, dan sistem komunikasi orang-orang Betawi. Mereka terus berinteraksi dan saling bertukar pengalaman. Pembauranpun 93 Wawancara dengan Yahya Andi Saputra, Seorang Budayawan Betawi, juga Menjabat sebagai Sub. Bidang Pertunjukan di LKB Lembaga Kebudayaan Betawi, Kuningan, 24 Juni 2008. terus berlanjut hingga pada akhirnya orang-orang Tionghoa yang sering memainkan lagu-lagu Tionghoa termotivasi untuk menggabungkan beberapa alat musiknya dengan alat-alat musik khas Pribumi. Dalam perkembangannya, sekitar tahun 1880-an barulah orkestra gambang ditambah dengan kromong, kendang, kempul, goong, dan kecrèk. Dengan demikian terciptalah gambang kromong yang akulturatif. 94 Lewat musik yang awalnya mungkin sebatas main-main, kemudian setelah adanya orientasi positif orang Tionghoa terhadap Pribumi, musik itu diterima oleh masyarakat Betawi. Ketika berkembang sedemikian rupa menjadi satu kelompok baru dengan hasil perpaduan tadi, masyarakat kemudian melihatnya sebagai satu kesenian yang utuh yang telah maju karena tuntutan zaman yang setiap waktu berubah. Dari penjelasan di ats jelas terlihat bagaimana dorongan akulturasi itu terjadi dan kemudian diaktualkan dalam kesenian Gambang Kromong. Ini sekaligus memperlihatkan realitas orang Tionghoa yang ingin hidup dan berjalan bersama-sama dengan masyarakat Pribumi dan memiliki keinginan untuk terus meningkatkan partisipasinya dalam hubungan sosio-budaya. Berubahnya cara pandang peranakan Tionghoa tentang komunitas lokal Betawi membantu mereka berbaur bersama orang-orang Betawi. Gambang Kromong merupakan hasil penting dari proses pembauran tersebut.

B. Komunikasi Sosial dalam Akulturasi pada Kesenian Gambang Kromong