berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara dan oleh karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya,
para pedagang Tionghoa akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk
menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang. Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di
Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatra Utara,
Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat.
66
D. Asal-usul Kesenian Gambang Kromong
Sebutan gambang kromong diambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Bilahan gambangnya yang biasa berjumlah 18 buah,
terbuat dari kayu suangking, huru kayu atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Kromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah
sepuluh buah. Satuan kromong disebut pencon. Alas untuk bilahan gambang dan kromong disebut ancak, biasanya berkaki cukup tinggi sehingga alat musik itu
dapat dimainkan sambil berdiri atau duduk dikursi.
67
Kesenian gambang kromong merupakan perpaduan yang cukup harmonis antara unsur-unsur Pribumi dan unsur Cina atau Tionghoa. Secara fisik unsur
Cinanya tampak pada alat musik geseknya, yaitu tehyan, kongahyan, dan sukong, sedangkan alat musik lainnya yaitu gambang, kromong, gendang, kecrek dan gong
66
Ibid.
67
Rachmat dan Dahlan, Petunjuk Praktis Latihan Dasar Bermain Musik Gambang Kromong, …, 1996, h. 5.
merupakan unsur Pribumi. Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tampak pula pada perbendaharaan lagu-lagunya. Lagu-lagu yang menunjukkan unsur
Pribumi, Jali-jali, seperti Lenggang-lenggang Kangkung dan sebagainya, terdapat pula lagu-lagu yang jelas bercorak Cina, baik nama, melodi, maupun liriknya
seperti Sipatmo, Kong Jilok, dan lain sebagainya. Seperti yang dikutip oleh Rachmat Syamsudin dan Dahlan dari tulisan Phoa Kian Sioe, Orkes gambang,
hasil kesenian Tionghoa peranakan di Djakarta, orkes gambang kromong merupakan perkembangan dari orkes yang-khimyang terdiri atas yang-khim,
sukong, hosian, thehian, kongahian, sambian, suling, pan kecrek dan ningnong.
68
Oleh karena yang-khim sulit diperoleh, maka digantilah dengan gambang yang larasnya disesuaikan dengan notasi yamh diciptakan oleh orang-orang
Hokian. Sukong, tehian dan kongahian tidak begitu sulit untuk dibuat di sini. Sebangkan sambian dan hosiang ditiadakan tanpa terlalu banyak mengurangi nilai
penyajian musik.
69
Orkes gambang yang semula hanya disenangi oleh kaum peranakan Cina saja lama kelamaan disenangi juga oleh golongan Pribumi karena berlangsung
proses perbauran. Proses perbauran itu paling banyak terjadi setelah pemberontakan orang-orang Cina melawan Belanda pada tahun 1740, yang timbul
karena mereka terlalu ditekan oleh pejabat-pejabat VOC. Pada waktu terjadi pemberontakan itu banyak orang-orang Cina yang meloloskan diri menyingkir
keluar kota Batavia. Diantaranya banyak yang terus menetap di berbagai daerah sekitar Batavia, seperti Babelan, Tambun, Bekasi, Lemahabang, Jonggol dan
Tangerang. Mereka hidup berbaur dalam lingkungan penduduk Pribumi. Kecuali
68
Ibid. h. 5-6.
69
Ibid. h. 6.
yang kemudian memeluk Agama Islam, pada umumnya mereka tetap menganut adat istiadat serta kepercayaan leluhurnya. Musik yang mereka gemari adalah
gambang, baik sebagai pengiring rancak atau cerita, maupun wayang cokek.
70
Menurut Pelaku Seni kebudayaan Betawi, Pok Nori, persebaran Gambang Kromong hingga saat ini sudah meluas keluar daerah Jakarta, di antara
persebaranya itu di daerah Bogor, Tangerang, hingga ke Bekasi.
71
Pernyataan Pok Nori diperjelas lagi oleh David Kwa, dalam artikelnya, Mengenal Gambang
Kromong. Jadi awalnya memang dari pusat kota Batavia ketika itu, musik gambang kromong kemudian tersebar ke seluruh penjuru kota, hingga ia tidak
hanya dikenal di Jakarta, tetapi juga sampai ke bagian utara Bogor, Tangerang dan Bekasi Jabotabek sekarang ini. Kawasan-kawasan tersebut memang merupakan
area budaya Betawi.
72
Pada awal perkembangannya lagu-lagu yang biasa dibawakan dengan iringan Gambang Kromong adalah lagu-lagu Cina. Menurut istilah setempat lagu
semacam itu biasa disebut Gambang Cina. Gambang Cina itu berupa lagu-lagu instrumentalia dan lagu-lagu bersyair. Lagu-lagu instrumentalia sering disebut
dengan nama Pobian atau Phobian. Lagu bersyair antara lain adalah Sipatmo dan Silitan. Lagu Gambang Cina dewasa ini sudah jarang dinyayikan orang.
73
Nada dan Laras
70
Ibid. h. 6.
71
Wawancara dengan Pok Nori, Seorang Pelaku Kesenian Budaya Betawi, Kantor Perkampungan Budaya Betawi, pada 6 Juni 2008.
72
David Kwa, Mengenal Gambang Kromong, artikel diakses pada 15 Juli 2008 dari http:kampungbetawi.Comhtm.
73
Rachmat dan Dahlan, Petunjuk Praktis Latihan Dasar Bermain Musik Gambang Kromong, ………………, 1996, h. 10.
Seperti halnya musik Tionghoa dan kebanyakan musik Timur lainnya, gambang kromong hanya memakai lima nada pentatonis yang semuanya
mempunyai nama dalam bahasa Tionghoa: sol liuh, la u, do siang, re che dan mi kong. Tidak ada nada fa dan si seperti dalam musik diatonis, yakni musik
Barat utamanya.
Larasnya adalah salèndro yang khas Tionghoa sehingga disebut Salèndro Cina atau ada pula yang menyebutnya Salèndro Mandalungan. Dengan demikian
semua instrumen dalam orkestra gambang kromong dilaras sesuai dengan laras musik Tionghoa, mengikuti laras Salèndro Cina tadi.
Untuk memainkan lagu-lagu pobin utamanya, para pemusik panjak gambang kromong pada awalnya harus mampu membaca noot-noot yang ditulis
dalam aksara Tionghoa tersebut, namun akhirnya banyak panjak yang mahir memainkan lagu-lagu tersebut tanpa melihat noot-nya lagi karena sudah hafal.
74
Lagu Pobin Lagu-lagu yang dibawakan oleh orkestra gambang kromong pada awalnya
hanya lagu-lagu instrumentalia yang disebut lagu-lagu pobin. Lagu-lagu pobin dapat ditelusuri kepada lagu-lagu tradisional Tionghoa di bagian barat propinsi
Hokkian Fujian di Cina selatan. Lagu-lagu pobin inilah yang kini merupakan lagu tertua dalam repertoar gambang kromong. Di antara lagu-lagu pobin yang
kini masih ada yang mampu memainkannya, meskipun sudah sangat langka, adalah pobin Khong Ji Liok, Peh Pan Thau, Cu Te Pan, Cai Cu Siu, Cai Cu Teng,
Seng Kiok, serta beberapa pobin lain yang khusus dimainkan untuk mengiringi berbagai upacara dalam pernikahan dan kematian Tionghoa tradisional.
75
Lagu Dalem
Setelah lagu-lagu pobin, mulai diciptakan lagu-lagu yang dinyanyikan. Lagu-lagu ini disebut lagu dalem. Lagu-lagu dalem ini dinyanyikan dalam bentuk
pantun-pantun dalam bahasa Melayu Betawi. Di antara lagu-lagu dalem yang kini tinggal Masnah dan Ating sebagian yang masih mampu menyanyikannya antara
lain: Poa Si Li Tan, Peca Piring, Semar Gunem, Mawar Tumpa, Mas Nona, Gula Ganting, Tanjung Burung, Nori Kocok Burung Nori, dan Centé Manis Berdiri.
Lagu dalem berirama tenang dan jernih. Lagu dalem diciptakan bukan untuk ngibing Sunda, menari, tetapi untuk mengetahui kualitas vokal seorang
penyanyi. Dinyanyikan dalam suatu perhelatan untuk menghibur tamu-tamu yang tengah menikmati hidangan yang disuguhkan.
76
Wayang Cokèk Penyanyi lagu-lagu dalem yang pada umumnya perempuan dikenal dengan
istilah wayang cokèk. Menurut etimologinya istilah wayang singkatan dari istilah Melayu anak wayang, artinya ‘aktris,’ sedangkan cokèk berasal dari istilah
74
David Kwa, Mengenal Gambang Kromong, artikel diakses pada 15 Juli 2008 dari http:kampungbetawi.Comhtm.
75
Ibid.
76
Ibid.
Tionghoa dialek Hokkian chioun-khek yang artinya ‘menyanyi’ to sing a song. Jadi, wayang cokèk mulanya hanya berprofesi sebagai penyanyi lagu-lagu dalem,
bukan penari. Istilah wayang cokèk ini hingga kini masih digunakan di kalangan masyarakat pendukung kesenian gambang kromong di kawasan Teluk Naga,
Tangerang, dan sekitarnya. Tidak dikenal istilah penari cokèk, sebab cokèk bukan tarian nomina, tetapi menyanyi verba.
Kostum yang dikenakan wayang cokèk aslinya adalah baju kurung yang panjangnya melampaui lutut, dengan bawahan celana panjang, terbuat dari dari
bahan satin berwarna-warni ceria: merah, hijau dan lain-lain. Rambut mereka yang dikepang diikat dengan tali merah, lalu dilibatkan di kepala. Baru kemudian
sekitar tahun 1960-an mereka memakai kebaya dan kain batik. Rambut mereka mulai dipotong pendek dan dikeriting.
77
Lagu Sayur Setelah generasi lagu dalem yang kini telah menjadi lagu klasik gambang
kromong, generasi selanjutnya adalah lagu-lagu yang disebut lagu sayur. Berbeda dengan lagu dalem, lagu sayur memang diciptakan untuk ngibing. Saat itu wayang
cokèk bukan lagi hanya menyanyi menghibur para tamu, namun juga ngibing bersama tamu. Fungsi wayang cokèk telah meluas dari sekadar penyanyi menjadi
penyanyi plus penari. Oleh sebab itu lagu sayur terdengar lebih riuh ditingkah oleh hentakan-hentakan kendang.
Kata kerja menari yang dilakukan baik oleh wayang cokèk maupun pasangannya disebut ngibing, dengan sejenis selendang yang disebut cukin Hok.
atau sodèr Sunda. Ngibing bersama wayang cokèk disebut ngibing cokèk. Gejala mulai maraknya ngibing ini mengindikasikan semakin kuatnya pengaruh budaya
setempat dalam hal ini Melayu dan SundaJawa di kalangan etnik Tionghoa peranakan, sebab jogèt dan nayuban bersama ronggèng juga dikenal dalam budaya
Melayu dan SundaJawa Lagu-lagu sayur sampai sekarang masih banyak yang mampu memainkannya, terutama di daerah Tangerang. Di antaranya adalah:
Kramat Karem Pantun dan Biasa, Ondé-ondé, Glatik Ngunguk, Surilang, Jali- jali dalam berbagai versi: Ujung Mèntèng, Kembang Siantan, Pasar Malem,
Kacang Buncis, Cengkarèng, dan Jago, Stambul Satu, Dua, Serè Wangi, Rusak, dan Jalan, Pèrsi Rusak, Jalan, dan Kocok, Centè Manis, Kodèhèl, Balo-balo,
Rènggong Manis, Kakang Haji, Rènggong Buyut, Jeprèt Payung, Lènggang Kangkung, Kicir-kicir, dan Siri Kuning.
78
E. Alat-alat Instrumen Kesenian Gambang Kromong