66
BAB VI PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara persepsi jenis pola asuh orang tua terhadap risiko perilaku bullying siswa di SMA
Triguna Utama Ciputat. Penelitian ini dilakukan pada bulan juni 2013. Penelitian dilakukan dengan sampel sebanyak 71 siswasiswi SMA Triguna Utama Ciputat.
Pengumupulan data menggunakan satu data demografi dan dua macam kuisioner yang terdiri dari kuisioner persepsi jenis pola asuh orang tua dan kuisioner risiko
perilaku bullying. Berikut ini dijelaskan mengenai hasil penelitian yang terdiri dari analisa univariat, bivariat, dan keterbatasan penelitian.
A. Analisa Univariat 1. Gambaran Persepsi Jenis Pola Asuh Orang Tua Siswa di SMA Triguna
Utama ciputat
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 71 siswa di SMA Triguna Utama Ciputat didapatkan untuk siswa yang mempersepsikan pola
asuh orang tuanya demokratis berjumlah 31 orang 43,7, diikuti pola asuh otoriter 28 orang 39,4, campuran 6 orang 8,4, dan permisif 6 orang
8,4. Disini terlihat bahwa persepsi pola asuh yang paling dominan adalah demokratis dan otoriter.
Hurlock 2005 menyatakan bahwa persepsi individu dapat memotivasi perilakunya lebih lanjut. objek persepsi yang dinilai tidak menyenangkan maka
perilakunya negatif, sebaliknya individu yang mempersepsikan suatu objek secara positif akan mengkondisikan individu secara psikologis sebagai motivasi
67
untuk berperilaku positif. Persepsi pola asuh orang tua yang positif akan membuat dampak yang positif juga. Penyebabnya adalah orang tua dapat
memberikan dasar pembentukan sikap, watak, tingkah laku, moral dan pendidikan pada anak, yang semua itu mampu di persepsi remaja secara positif,
sehingga berdampak positif pula pada kualitas kepribadian remaja, dalam hal ini pada perilaku disiplinya Rahman, 2008.
Pola asuh sendiri adalah aktivitas kompleks termasuk banyak perilaku spesifik yang dikerjakan secara individu dan bersama-sama untuk
mempengaruhi pembentukan karakter anak Santrock, 2004. Hasil penelitian menunjukan bahwa persepsi pola asuh demokratis dan
otoriter adalah yang paling mendominasi. Remaja mempersepsikan pola asuh demokratis, karena remaja oleh orang tuanya didorong untuk mandiri namun
masih dibatasi dan dikendalikan aksi-aksinya, diberikan komunikasi terbuka dan kehangatan dalam pengasuhanya. Ciri yang kental pada pola pengasuhan
ini adalah adanya diskusi antara anak dan orang tua, kerja sama yang berjalan baik antara anak dan orang tua, anak diakui eksistensinya, dan kebebasan
berekspresi diberikan kepada anak dengan tetap berada dibawah pengawasan orang tua Baumrind, 1971 dalam Fathi, 2011.
Pola pengasuhan demokratis memiliki banyak manfaat. Surbakti 2009 menjelaskan tentang manfaat pola asuh demokratis yaitu : dapat menghargai
pendapat orang lain, menghormati perbedaan pendapat, membangun dan membina dialog, menghindarkan sikap mau menang sendiri, memupuk
persaudaraan dan persahabatan, mengedepankan sikap tenggang rasa, membangun kerja sama, kepemimpinan kolektif, menumbuhkan sikap kritis,
68
menghormati kesetaraan peran, menumbuhkan semangat gotong royong, mengembangkan potensi diri.
Pola asuh yang paling dominan berikutnya adalah pola asuh ototiter yaitu sebanyak 28 orang 39,4. Pola asuh ini bersifat menghukum dan membatasi
dimana orang tua sangat memaksakan remaja mengikuti dan menghormati usaha-usaha yang dilakukan oleh orang tuanya, serta komunikasi tertutup,
sehingga tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk berkomunikasi secara verbal Baumrind, 1971 dalam Fathi, 2011. Widyarini 2009
mengemukakan bahwa pola asuh otoroter memiliki ciri pokok tidak demokratis dan menerapkan kontrol yang kuat, maka tidak mengherankan
pola asuh otoriter memiliki banyak akibat negatif terhadap anak. Berdasarkan ciri-ciri tersebut diatas, kita dapat menyimpulkan orang tua
dengan pola asuh otoriter tidak menyadari bahwa dengan pola yang lebih banyak menuntut terhadap anak ini telah mengikis kehangatan hubungan
dengan anak. Anak tidak menemukan suasana yang memungkinkan untuk mengekspresikan pikiran atau perasaanya. Padahal kehangatan dalam
hubungan orang tua dan anak merupakan prasyarat bagi kesejahteraan psikologis bagi anak maupun orang tua Widyarini, 2009.
Pola asuh campuran didapatkan peneliti yaitu sebanyak 6 orang 8,4 , yang terdiri campuran semua jenis pola asuh demokratis, otoriter, dan
permisif sebanyak 2 orang 33,3 dan pola asuh campuran yang terdiri dari pola asuh otoriter dan demokratis ada 4 siswa 66,6, dan tidak ditemukan
pada penelitian ini pola asuh demokratis dan permsif atau otoriter dan permisif.
69
Pola asuh permisif yang peneliti temukan adalah sebanyak 6 orang 8,4, ini merupakan persepsi pola asuh paling sedikit dibandingkan dengan persepsi
siswa tentang pola asuh lainya. hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Annisa 2012 yang dilakukan di SMK Cikini, yang mana pola asuh ibu
permisifnya cukup besar, yaitu 21 orang 23,1 dari 91 orang responden. Pola asuh permisif adalah gaya pengasuhan orang tua yang memberikan
kebebasan penuh kepada anaknya. Cirinya orang tua bersifat longgar, tidak terlalu memberikan bimbingan dan kontrol, perhatian pun terkesan kurang.
Kendali anak sepenuhnya terdapat pada anak itu sendri. Baumrind, 1971 dalam Santrock, 2011.
Surbakti 2009 menjelaskan akibat penerapan pola asuh permisif remaja akan merasa bebas melakukan apa saja sesuai keinginan mereka, pola asuh
permisif juga merupakan metode yang paling cepat menghancurkan masa depan remaja. Selain itu menurut Palupi dan Puspita 2013 pola asuh permisif
menyebabkan dampak yang lebih buruk daripada pola asuh otoriter dalam hal prestasi belajar.
Pada masa remaja juga seseorang akan mengalami perubahan hubungan dengan orang tua, yaitu akan mengalami kerenggangan. Kerenggangan ini
semakin lama semakin terasa antara kedua belah pihak, hubungan dalam bentuk percakapan semakin jarang. Akhirnya hubungan mereka mengesankan
usaha melepaskan diri karena ingin berdiri sendiri. Disini mulailah masa penuh kontraindikasi antara orang tua dan remaja. Disatu pihak remaja merasa
tidak dimengerti oleh orang tua. Sebaliknya orang tua tidak mengetahui isi hatinya para remaja. Kesimpangsiuran dalam hal pandangan dan pendapat ini
70
menyebabkan kehidupan yang berbeda Gunarsa, 2012. Maka dari itu penting bagi orang tua untuk melakukan komunikasi yang terbuka dengan
remajanya agar remaja merasa lebih dimengerti dan didengarkan, namun tetap memberikan kontrol yang baik.
Dalam hubungan orang tua dan remaja yang perlu dicatat dan dijadikan pegangan utama adalah persepsi remaja itu sendiri, bukan pandangan orang
tua atau orang dewasa lainya karena jika remaja memandang suatu hal sebagai ketidakadilan, maka dia akan bereaksi sesuai dengan pandanganya itu sendiri,
walaupun semua orang mengatakanya sebagai hal yang biasa saja dan adil Sarwono, 2012.
Setiap orang tua tentunya memiliki gaya pengasuhan yang berbeda beda, namun dalam kehidupan sehari-hari orang tua mungkin melakukan kombinasi
dari gaya pengasuhan, akan tetapi hanya satu gaya pengasuhan yang dominan Baumrind 1991, dalam Santrock, 2007. Perbedaan pola asuh terjadi karena
banyak faktor, menurut Hurlock 2012 menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua yaitu : pola asuh yang diterima orang tua
ketika masih kecil, pendidikan orang tua, kelas sosial, konsep tentang peran orang tua, kepribadian orang tua, kepribadian anak, faktor nilai yang dianut
orang tua, dan usia anak.
2. Gambaran Risiko Perilaku Bullying Siswa di SMA Triguna Utama Ciputat