keluarga dapat memberikan dasar pembentukan sikap, watak, tingkah laku, moral dan pendidikan pada anak, yang semua itu mampu di persepsi remaja secara
positif, sehingga berdampak positif pula pada kualitas kepribadian remaja, dalam hal ini pada perilaku disiplinya. Hal ini menunjukan bahwa persepsi dapat
mempengaruhi perilaku. Hurlock 2005 menyatakan bahwa persepsi individu dapat memotivasi
perilakunya lebih lanjut. objek persepsi yang dinilai tidak menyenangkan maka perilakunya negatif, sebaliknya individu yang mempersepsikan suatu objek secara
positif, maka akan mengkondisikan individu secara psikologis sebagai motivasi untuk berperilaku positif.
C. Pola Asuh Orang Tua 1.
Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat berinteraksi. Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan
kepribadian sangatlah besar artinya. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai
tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat.
Setiap anak sangat membutuhkan lingkungan keluarga, rasa aman yang diperoleh dari ibu dan rasa terlindung dari ayah. Rasa aman dalam keluarga
merupakan salah satu syarat bagi kelancaran proses perkembangan anak, kekhawatiran dan kecemasan yang terlihat pada orang dewasa dan remaja bila
ditelusuri ternyata merupakan akibat peristiwa-peristiwa yang berkaitan
dengan hilangnya rasa aman pada usia muda Gunarsa, 2004. Dalam mengasuh anaknya, orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada di
lingkungannya. Di samping itu, orang tua juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putra-putrinya.
Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan kepada anaknya yang berbeda-beda, karena setiap masing-masing orang tua mempunyai pola
pengasuhan tertentu yang beda pula. Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara orang tua dengan anak. Selama proses pengasuhan orang tua itulah
yang memiliki peranan penting dalam pembentukan kepribadian anak. Menurut Santrock 2004, mendefinisikan pengasuhan orang tua adalah
aktivitas kompleks termasuk banyak perilaku spesifik yang dikerjakan secara individu dan bersama-sama untuk mempengaruhi pembentukan karakter anak.
Sedangkan menurut Wahyuningsih dkk 2003, menjelaskan pola asuh sebagai seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak.
Dalam mengasuh anaknya, orang tua cenderung menggunakan pola asuh tertentu. Penggunaan pola asuh tertentu ini memberikan sumbangan dalam
mewarnai perkembangan terhadap bentuk- bentuk perilaku sosial tertentu pada anaknya. Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua
selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk
mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat Santrock, 2004. Jadi pola asuh orang tua adalah perlakuan orang
tua yang di terapkan pada anaknya, untuk membentuk karakter anak dan
dalam mencapai kedewasaan anaknya. 2.
Jenis Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh terbentuk karena adanya dua hal yaitu demandignes dan responsivnes. Demandignes standar yang berkaitan dengan kontrol perilaku
yang ditetapkan oleh orang tua kepada anaknya, sedangkan responsiveness adalah respon orang tua kepada anaknya yang berkaitan dengan kehangatan
dan dukungan Baumrind, 1991 dalam Santrock, 2007. Pendapat Baumrind menjelaskan bahwa orang tua sebaiknya tidak bersikap menghukum maupun
bersikap menjauh namun sebaiknya orang tua mengembangkan aturan-aturan dan hangat terhadap mereka. Dalam hal ini Baumrind 1971 dalam Fathi
2011 menjelaskan 3 gaya pola asuh yaitu : authoritative, authoritarian, dan permissive.
a. Authoritative Demokratis Gaya pengasuhan orang tua yang bergaya otoratif. Mendorong remaja
untuk mandiri namun masih membatasi dan mengendalikan aksi-aksi mereka. Memberikan komunikasi terbuka dan kehangatan dalam mengasuh. Ciri yang
kental pada pola pengasuhan ini adalah diskusi antara anak dan orang tua. Kerja sama yang berjalan baik antara anak dan orang tua. Anak diakui
eksistensinya. Kebebasan berekspresi diberikan kepada anak dengan tetap berada dibawah pengawasan orang tua. Pola asuh ini biasa juga disebut pola
asuh demokratis.
Menurut Cole dan Hall 1970 dalam Rahman 2008, mengemukakan bahwa suasana terbuka dan kondusif yang ada pada pola asuh demokratis
menyebabkan remaja menjadi lebih berkembang serta memiliki kemampuan menghadapi konflik yang terjadi dengan orang lain. Hal tersebut dipertegas
oleh Shapiro 2001 yang menjelaskan bahwa ayah dan ibu dengan pola asuh demokratis menyebabkan anak tidak tergantung dan tidak berperilaku
kekanak-kanakan, mendorong untuk berprestasi, kreatif dan disukai banyak orang serta responsif Rahman, 2008.
b. Authoritarian Otoriter Pola asuh ototiter ini bersifat menghukum dan membatasi dimana orang
tua sangat memaksakan remaja mengikuti dan menghormati usaha-usaha yang dilakukan oleh orang tuanya, serta komunikasi tertutup, sehingga tidak
memberikan kesempatan kepada anak untuk berkomunikasi secara verbal. Ciri khas pola asuh ini diantaranya kekuasaan orang tua dominan jika tidak boleh
dikatakan mutlak, anak yang tidak mematuhi orang tua akan mendapatkan hukuman yang keras, pendapat anak tidak didengarkan sehingga anak tidak
memiliki eksistensi dirumah, tingkah laku anak dikontrol degan sangat ketat. Berdasarkan ciri-ciri tersebut diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa pola
asuh otoriter memiliki ciri pokok tidak demokratis dan menerapkan kontrol yang kuat. Hal ini berbeda dengan pola asuh otorotatif demokratis yang
berciri demokrasi dan menerapkan kontrol. Berbeda pula dengan pola asuh permisif yang berciri demokratis, tetapi tanpa memberikan kontrol. Dengan
pendekatan yang tidak demoratis dan pemberian kontrol yang ketat dalam pola
asuh otoriter, maka tidak mengherankan pola asuh otoriter memiliki banyak akibat negatif terhadap anak Widyarini, 2009
Penelitian yang dilkukan oleh Anggaraningtyas dkk 2010 menunjukan hasil bahwa remaja yang mempersepsikan orang tuanya memberikan pola asuh
otoriter mempunyai hubungan yang signifikan dengan kecenderungan perilaku agresi. Hal ini sejalan dengan pendapat Steinberg 1993 dalam Hasugian
2012 menjelaskan bahwa remaja yang tumbuh dalam keluarga dengan pola asuh Otoriter Authoritarian cenderung menjadi individu yang bergantung
pada orang lain, pasif, kurang mampu bersosialisasi, kurang percaya diri, dan kurang berminat pada hal-hal yang menyangkut inteletualitas.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Asmaliah 2008 menunjukan hasil semakin positif persepsi remaja awal terhadap pola asuh orang tua ototrier
maka semakin rendah motivasi berprestasinya, dan semakin negatif persepsi remaja awal terhadap pola asuh. Artinya jika remaja awal ini semakin
mempersepsikan bahwa pola asuh yang diterapkan kepadanya adalah otoriter, makan akan semakin rendah motivasi untuk berprestasi dari remaja tersebut.
Orang tua dengan pola asuh otoriter tidak menyadari bahwa dengan pola yang lebih banyak menuntut terhadap anak ini telah mengikis kehangatan
hubungan dengan anak. Anak tidak menemukan suasana yang memungkinkan untuk mengekspresikan pikiran atau perasaanya. Padahal kehangatan dalam
hubungan orang tua dan anak merupakan prasyarat bagi kesejahteraan psikologis bagi anak maupun orang tua Widyarini, 2009
c. Permissive permisif Mengabaikan Gaya pengasuhan orang tua dimana orang tua memberikan kebebasan
penuh kepada anaknya. Cirinya orang tua bersifat longgar, tidak terlalu memberikan bimbingan dan kontrol, perhatian pun terkesan kurang. Kendali
anak sepenuhnya terdapat pada anak itu sendri. Pola asuh permisif juga memiliki dampak yang tidak baik juga bagi anak.
Menurut Surbakti 2009 Akibat penerapan pola asuh permisif adalah anak akan bertindak sekehendak hati, tidak mampu mengendalikan diri, tingkat
kesadaran mereka rendah, menganut pola hidup bebas, nyaris tanpa aturan, selalu memaksakan kehendak, tidak mampu membedakan baik dan buruk,
kemampuan berkompetensi yang rendah, tidak mampu menghargai prestasi dan kerja keras, mudah putus asa, daya juang rendah, tidak produktif, dan
kemampuan mengambil keputusan rendah. Patterson Stouthamer 1984 dalam Santrock 2007 menjelaskan bahwa
kurangnya pengawasan yang memadai dari orang tua merupakan aspek pengasuhan yang paling sering berkaitan dengan kenakalan remaja. Pendapat
ini didukung oleh Surbakti 2009 yaitu akibat penerapan pola asuh permisif remaja akan merasa bebas melakukan apa yang saja sesuai keinginan mereka,
pola asuh permisif juga merupakan metode yang paling cepat menghancurkan masa depan remaja. Tipe pola asuh permisif juga membawa dampak lebih
buruk dalam hal prestasi belajar dari pada pola asuh otoriter Palupi dan Wrasasti, 2013.
Setelah dijelaskan mengenai berbagai jenis pola asuh, maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoritatif demokrasi adalah yang paling efektif,
seperti pendapat yang diungkapkan oleh Steinberg Silk 2002 dalam Santrock 2007 pola pengasuhan otoritatif demokratis merupakan pola
pengasuhan yang paling efektif, karena ; a. Orang tua otoritatif mencapai keseimbangan yang baik antara
pengendalian dan otonomi, memberikan peluang kepada anak-anak dan remaja untuk mengembangkan kemandirian sambil memberika standar,
batasan dan bimbingan yang diperlukan oleh anak-anak Rauter Conger, 1995.
b. Orang tua otoritatif cenderung lebih banyak melibatkan anak-anaknya dalam dialog verbal dan membiarkan mereka mengeksprsikan pandangan-
pandanganya Kuczynski Lollis, 2002. Jenis diskusi keluarga seperti ini dapat membantu anak-anak memahami relasi sosial dan hal-hal yang
dibutuhkan untuk menjadi seorang yang kompeten. c. Kehangatan dan keteribatan yang diberikan oleh orang tua yang otoritattif
membuat anak lebih bersedia menerima pendidikan orang tua Sim, 2000 Setiap orang tua tentunya memiliki gaya pengasuhan yang berbeda beda,
namun dalam kehidupan sehari-hari orang tua mungkin melakukan kombinasi dari gaya pengasuhan, akan tetapi hanya satu gaya pengasuhan yang dominan
Baumrind 1991, dalam Santrock, 2007
3. Faktor – faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua