disampaikan media bukanlah pemahaman pluralisme yang sebenarnya, malainkan potret yang ditampilkan oleh media tentang pemahaman pluralisme yang
berkembang dalam konteks kehidupan masyarakat di mana media itu berada. Pada ruang dan waktunya.
Teks majalah Sabili hadir sebagai representasi dari konteks kelompok masyarakat santri di Indonesia yang lebih memahami Islam sebagai institusi,
sistem yang mengatur keyakinan, ritual dan norma yang dibingkai dengan klaim kebenaran bahwa Islam adalah satu - satunya agama yang benar. Sedangkan
Syirah lahir dari konteks kehidupan intelektual muda muslim yang mencoba berkarya dengan semangat pembaharuan dan perubahan dalam memahami Islam,
semangat pencarian nilai Islam yang sebenarnya yang menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.
C. Media Massa dan Konstruksi Realitas
Realitas dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu hal yang dibentuk dari proses interaksi antara satu individu dengan individu lainnya. Realitas adalah
hal yang sebenarnya diinternalisasikan oleh atau melalui suatu proses sosial
12
. Selanjutnya Berger dan Luckman menjelaskan dua jenis realitas. Yaitu realitas
obyektif dan realitas subyektif. Realitas obyektif dibentuk dengan institusionalisasi dan legitimasi. Sedangkan realitas subyektif terjadi melalui
internalisasi.
12
Peter L. Berger dan Thomas, The Social Contruction of Reality,Penguin Books, New York: 1966, h. 169
Realitas obyektif adalah realitas yang memuat berbagai kesadaran, pengetahuan dan pengalaman tentang tatanan kehidupan yang dibentuk melalui
interaksi sosial yang dibangun dengan pembiasaan, pengendapan, tradisi, pelembagaan, universum - universum simbolis yang kemudian seolah menjadi
kesepakatan bersama tentang suatu realitas. Sedangkan realitas subyektif adalah realitas yang dibentuk melalui internalisasi individu tehadap berbagai peristiwa,
pengalaman dan pengetahuan pribadi yang didapatnya melalui interaksi sosial. Media memiliki peranan penting dalam membangun realitas yang ada
dalam masyarakat. Baik dalam membangun realitas obyektif maupun realitas subyektif. Salah satu peranan tersebut adalah berbentuk sosialisasi.
Socialization is the process where by we learn and internalize the values, beliefs, and norms of our culture and in so doing develop a sense of self
13
. Sosialisasi adalah suatu proses belajar dan menginternalisasikan nilai-nilai,
kepercayaan, dan norma dalam budaya. Sosialisasi dapat dilakukan melalui keluarga, pergaulan kawan, bekerja, masyarakat, dan tentu saja media massa.
Sebagaimana dikatakan Graber yang dikutip Croteau dan Hoyness, bahwa pada masyarakat kontemporer, media berperan sebagai agen terkuat dari
sosialisasi. Dalam masyarakat kontemporer, media massa berperan sebagai agen yang berkuasa untuk melakukan sosialisasi
14
. Dari isi hasil produksi media massa, pemirsa belajar dan menginternalisasikan suatu nilai, kepercayaan, dan norma dari
13
Hoyness David Croteau dan William, Media SocietyIndustries Images and Audiens, Pine Forge Press, London: 2000, h. 14
14
Ibid, h. 15
hasil produksi media, hal itulah yang menggambarkan media sebagai agen sosialisasi
Sosialisasi adalah induksi secara komprehenship dan konsisten oleh suatu individu kepada dunia obyektif atau kepada salah satu sektornya
15
. Sosialisasi adalah proses internalisasi atau penerjemahan terhadap suatu objek peristiwa,
informasi atau pengetahuan yang kemudian menjadi suatu makna yang dipahami oleh individu yang bersangkuatan tentang suatu peristiwa, realitas atau
pengetahuan. Lebih lanjut Berger dan Luckman membagi sosialisasi kepada dua bagian
yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer adalah proses internalisasi yang dilakukan oleh individu dalam memahami dunia sekitarnya dan
membentuk pemahaman pribadinya tentang dunia. Sedangkan sosialisasi sekunder adalah proses internalisasi yang terjadi dengan interaksi dengan masyarakat di
sekitarnya. Sebagai komponen penting dari komunikasi massa, media massa sangat berperan penting dalam proses interaksi masyarakat dan tentu saja proses
sosialisasi sekunder. Masih dalam buku yang berjudul The Social Construction of Reality yang
ditulis oleh Peter Berger dan Thomas Luckmann, diulas bahwa pertama kali manusia kehilangan kemerdekaan pribadinya ketika membangun hubungan
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Mereka hams hidup berdampingan satu sama lain, memberikan ruang bagi orang lain dan membangun suatu sistem yang
mengatur pola kehidupan dan hubungan antar individu dalam masyarakat.
15
Peter L. Berger dan Thomas, The Social Contruction of Reality,Penguin Books, New York: 1966, h. 150
Pola kehidupan dan hubungan dalam masyarakat dibangun atas suatu kesadaran untuk mendirikan suatu tatanan yang berfungsi menjaga keutuhan dan
stabilitas suatu komunitas atau masyarakat sehingga anggota masyarakat dengan kesadaran itu hidup, beraktivitas, berkeluarga, dan bergaul dengan berbagai aturan
dan norma yang mereka jalani dengan kesadaran. Tiap individu dalam masyarakat melalui seluruh hidupnya dalam koridor
aturan dan norma tersebut dengan penuh kesadaran anggota masyarakat menjalaninya sebagai sesuatu yang disebut lazim sehingga bentuk kehidupan
yang di luar hal tersebut menjadi tidak lazim. Predikat lazim dan tak lazim tersebut bukanlah suatu hal yang muncul
dengan sendirinya, tapi telah melalui proses pembiasaan, pengendapan, tradisi yang kemudian menjadi institusionalisasi dalam tatanan dan aturan masyarakat
dan legitimasi. Reran media massa dalam membangun realitas melalui institusionalisasi
dan legitimasi adalah dengan melakukan peran sosialisasi. Dengan kata lain, media menjadi wahana untuk mensosialisasikan realitas kepada anggota
masyarakat. Tentu saja itu juga sangat tergantung dengan keberpihakan media terhadap
realitas tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan berbagai pandangan konstruksionis tentang media berkaitan dengan konstruksi realitas.
Tonny Bennet sebagaimana dikutip oleh Eriyanto, menyatakan bahwa media bukan sarana yang netral. Media bukanlah saluran yang bebas, ia juga
subyek yang mengkonstruksi realitas. Disini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas.
16
Lebih lanjut Eriyanto mengulas hal tersebut dan menjadi beberapa hal. Pertama, realitas yang disampaikan media berupa fakta, peristiwa, pengetahuan
adalah hasil konstruksi. Kedua, Media adalah agen Konstruksi. Ketiga, isi media berupa berita bukanlah refleksi dari realitas, ia hanyalah konstruksi dari realitas.
Keempat, berita dan realitas yang disampaikan media bersifat subyektif atas realitas. Kelima, wartawan atau pekerja media bukanlah pelapor, la adalah agen
konstruksi realitas. Beberapa hal tersebut menunjukan bahwa media, termasuk didalamnya isi, proses kerja, organisasi dan pekerja media berperan penting
sebagai agen konstruksi realitas. Media melaksanakan perannya sebagai agen konstruksi realitas dengan
cara memilih realitas mana yang disampaikan kepada khalayak dan realitas mana yang tidak disampaikan kepada khalayak. Media menentukan sumber rujukan
suatu realitas yang disampaikan. Nara sumber, subyek wawancara, kajian penelitian ilmiah, semuanya dipilih berdasarkan kecendrungan atau keberpihakan
media terhadap suatu isu tertentu. Dalam penelitian ini, media sebagai agen konstruksi relitas, dipahami
bahwa media massa dalam menyampaikan tentang paham pluralisme dalam Islam bukanlah sebagai penyampai informasi yang netral. Media melakukan pemilihan
tentang rujukan, nara sumber, kajian penelitian ilmiah, ayat suci yang mendukung keberpihakan mereka terhadap satu paham tertentu dalam kajian pluralisme dalam
16
Eriyanto, Analisis Framing Konstrusi, Ideologi, dan Politik Media, LKiS, Jakarta: 2002, h. 23
Islam untuk kemudian ditampilkan dengan bingkai tertentu yang menunjukan suatu konstruksi tentang pemahaman pluralisme dalam Islam yang paling benar
menurut media tersebut.
D. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Media Massa