Kelayakan Finansial Padi Bt PRG vs Padi non-PRG

64 pangan dapat tercapai dan kerusakan lingkungan berkurang terutama penggunaan insektisida yang berlebihan. Dari rincian biaya pengembangan Padi Bt PRG, diketahui bahwa total biaya yang diperlukan untuk penelitian sampai pengujian sebesar lebih kurang Rp 1.675.000.000,- berdasarkan nilai mata uang pada tahun pelaksanaan penelitian dilakukan. Nilai ini akan semakin bertambah besar jika dikonversikan dengan nilai mata uang sekarang dengan memperhitungkan tingkat kenaikan suku bunga. Analisis ekonomi yang memperhitungkan nilai kembalian dan keuntungan belum dapat diprediksi, karena produk belum tersedia di pasaran. Menurut Soekartawi 1995 analisis kelayakan usaha dapat dilakukan dengan membuat evaluasi dari akibat-akibat yang disebabkan oleh terjadinya perubahan dalam proses teknologi, sedangkan perhitungan ekonomi digunakan jika ingin mengetahui hasil total dari produksi dan nilai ekonomi secara keseluruhan. Analisis yang tepat untuk mengetahui dampak perubahan teknologi pada tanaman Padi Bt PRG adalah analisis anggaran parsial partial budget analysis yang lebih sederhana dan tidak memerlukan data usaha tani keseluruhan khususnya untuk tanaman pertanian. Usaha pertanian dengan penanaman padi di sawah membutuhkan biaya pengelolaan meliputi biaya tenaga kerja dan pembelian pupuk serta obat-obatan yang cukup besar untuk mengatasi serangan hama dan penyakit. Penanaman Padi Bt PRG akan mengurangi biaya saprotan dalam pengelolaan, terutama biaya pembelian pestisida. Data-data primer yang diperoleh dan data secara ex ante, kemudian diolah dan dianalisis untuk mengetahui kelayakan dan keberlanjutan Padi Bt PRG jika akan dilepas atau dikomersialisasikan. Hasil analisis data primer terhadap padi kultivar Rojolele non PRG dibandingkan dengan Padi Bt PRG disajikan pada dua Tabel di bawah, dengan membuat asumsi terhadap harga benih tanam, dan jumlah produksi Padi Bt PRG dibandingkan dengan benih Padi non-PRG, termasuk efisiensi biaya jika produk ini sudah tersedia ditingkat petani. 65 Tabel 3. Analisis anggaran parsial Padi Bt PRG vs Padi non-Bt kultivar Rojolele dengan asumsi harga benih premium 50 Instrumen Padi Bt PRG Padi non-Bt Ratio BC Elemen pendapatan Produksi tonha 4 - 4,9 4 - 4,9 - Biaya-biaya cost Harga per kg Rp 30.000 20.000 - Tenaga kerja 100.000 200.000 - Pemupukan 1.286.875 1.286.875 - Insektisida 10 178.700 1.787.000 1,52 Insektisida 50 893.500 1.787.000 1,50 Tabel 4. Analisis anggaran parsial Padi Bt PRG vs Padi non-Bt kultivar Rojolele dengan asumsi harga benih tidak berubah Instrumen Padi Bt PRG Padi non-Bt Ratio BC Elemen pendapatan Produksi tonha 4 - 4,9 4 - 4,9 - Biaya-biaya cost Harga per kg Rp 20.000 20.000 - Tenaga kerja 100.000 200.000 - Pemupukan 1.286.875 1.286.875 - Insektisida 10 178.700 1.787.000 1,02 Insektisida 50 893.500 1.787.000 1,01 Hasil analisis anggaran parsial disusun berdasarkan asumsi, bahwa padi kultivar Rojolele non-PRG sama dengan Padi Bt PRG, kecuali perubahan yang terjadi akibat introduksi sifat gen Bt yang ditambahkan seperti berkurangnya penggunaan insektisida dengan dua skenario yaitu penggunaan insektisida 10 dan 50. Penggunaan insektisida tetap diperlukan terutama jika terjadi serangan hama lain selain penggerek batang, karena gen Bt yang ditambahkan bersifat 66 spesifik dan efektif hanya terhadap hama penggerek batang dan tidak bersifat toksik terhadap serangga lain non target Tu et al. 2000. Dari hasil analisis parsial yang dilakukan, dengan menggunakan asumsi harga jual benih tanam yang berbeda, diketahui bahwa kisaran manfaat dan biaya ∆ BC yang diperoleh adalah 1,52 untuk aplikasi insektisida 10 dan 1,50 untuk aplikasi insektisida 50. Hasil ini diperoleh untuk harga jual benih tanam Padi Bt PRG sebesar Rp 30.000 dengan harga premium 50 lebih tinggi dibandingkan dengan benih tanam Padi non Bt dari kultivar Rojolele sebesar Rp 20.000. Sedangkan pada Tabel 7, dengan harga jual benih tanam Padi Bt PRG sama dengan benih padi tanam non-Bt sebesar Rp 20.000, hasil kisaran manfaat dan biaya untuk kedua jenis tanaman pangan ini adalah 1,02 untuk aplikasi insektisida 10 dan 1,01 untuk aplikasi insektisida 50. Nilai profitability index menunjukkan angka lebih besar dari 1, hal ini memberi arti bahwa rencana kegiatan penanaman Padi Bt PRG nantinya dapat menghasilkan pendapatan yang lebih besar dari pada biaya-biaya pengelolaan yang diperlukan. Bentuk usaha di bidang pertanian dapat diterima apabila kisaran manfaat dan biaya benefit cost ratio lebih besar dari angka satu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usahatani Padi Bt kultivar Rojolele termasuk kategori layak untuk dilanjutkan, jika Padi Bt tersebut telah tersedia di pasaran. Biaya produksi tanaman pertanian di negara berkembang lebih mahal bila dibandingkan dengan negara maju seperti USA. Contohnya di China untuk biaya cost produksi tanaman padi membutuhkan dana sekitar 40 – 60 dari total produksi, sedangkan di USA dan Kanada hanya memerlukan dana sekitar 6 – 10 Huang et al. 2001. Untuk mengatasi serangan hama dan penyakit pada tanaman padi, petani di China menghabiskan biaya sekitar 4.34 milliar dolar US utk pembelian pestisida per tahunnya. Biaya paling besar terutama berasal dari pengeluaran untuk pembelian insektisida Pray et al. 2001 dan Huang et al. 2001. Penggunaan pestisida per ha untuk tanaman Padi PRG hanya menghabiskan sekitar 2.0 kgha dibandingkan dengan Padi non PRG yang menghabiskan 21.2 kgha Rozelle et al. 2000. Diharapkan dengan dilepasnya Padi Bt PRG tahan serangan hama penggerek batang, akan mengurangi penggunaan pestisida khususnya insektisida pada tanaman padi di lahan pertanian Indonesia. 67

b. Persepsi dan Penerimaan Petani terhadap Keberlanjutan Pemanfaatan Padi Bt PRG

Analisis mengenai persepsi perception atau penerimaan acceptance merupakan kajian yang berhubungan langsung dengan pengguna user, dimana teknologi tidak ada artinya jika tidak memperoleh pengakuan atau penerimaan dari masyarakat. Dalam kasus Padi Bt PRG, upaya untuk memperkenalkan produk bioteknologi baru ini masih menjadi tantangan dan tanggung jawab pemerintah melalui pengembang teknologi, agar produk lebih dikenal dan dipahami oleh masyarakat seperti petani. Beberapa upaya yang perlu dilakukan adalah sosialisasi dan komunikasi terhadap keunggulan dan risiko yang mungkin timbul dari Padi Bt PRG jika nanti diterapkan dan dikomersialisasikan kepada mereka. Komunikasi kepada pengguna dapat dilakukan dengan cara yang lebih sederhana agar produk bioteknologi ini mudah diterima dan dipahami. Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan masyarakat mengenai tanaman PRG akan selalu terjadi jika program sosialisasi dalam bentuk komunikasi risiko tidak intensif dilakukan, sehingga menimbulkan kesalahpahaman karena ketidakmengertian akan PRG. Sebagai produk bioteknologi modern, terdapat kesulitan dalam memberi respon dan implementasi produk kepada masyarakat, karena sangat terkait dengan aturan dan regulasi yang berlaku disetiap negara McCammon 2007. Untuk mengetahui tingkat persepsi, pengetahuan dan partisipasi petani terhadap Padi Bt PRG telah dilakukan survei dengan melakukan wawancara dan pengarahan dalam bentuk pengenalan sederhana tanaman Padi Bt PRG kepada petani serta meminta petani mengisi langsung kuisioner yang telah disiapkan. Responden petani yang disurvei mewakili empat wilayah penelitian, yang berasal dari wilayah sentra produksi padi di Propinsi Jawa Barat. Hasil survei dapat dikelompokkan menjadi dua bagian utama yaitu: a karakteristik petani sebagai responden dan b persepsi serta penerimaan petani terhadap rencana pelepasan Padi Bt PRG berdasarkan informasi yang diperoleh dari isian kuisioner Lampiran 3. 68

a. Karakteristik Petani Padi Sawah

Karakteristik petani padi sawah di wilayah penelitian disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan kelompok usia, kebanyakan petani padi sawah berada pada usia yang tergolong tidak muda lagi yakni antara 41-58 tahun, dimana jumlah mereka lebih dari 50 untuk semua wilayah penelitian, kecuali untuk wilayah Cianjur jumlah responden tertinggi masih tergolong pada usia muda 23- 40 tahun dengan jumlah melebihi 40 dari total responden di wilayah tersebut. Sedangkan usia yang tergolong cukup tua untuk bekerja di lahan pertanian masih cukup banyak di setiap lokasi penelitian dengan kisaran 10 – 30 pada setiap wilayah penelitian. Gambar 2. Distribusi kelompok usia petani di wilayah penelitian Propinsi Jawa Barat. 10 20 30 40 50 60 70 Cianjur Karawang Subang Sukabumi Persen ta se Respo nde n Usia 23-40 th 41-58 th 59-76 th 69 Gambar 3. Distribusi tingkat pendidikan petani di wilayah penelitian Propinsi Jawa Barat Yang cukup menarik dari hasil pendataan terhadap tingkat pendidikan dari responden petani Gambar 3, yakni wilayah Karawang ternyata memiliki tingkat pendidikan SMU keatas lebih banyak mendekati 40 bila dibandingkan dengan wilayah penelitian lain, meskipun yang berpendidikan SD-SMP tetap lebih mendominasi. Hal ini terkait dengan jumlah penghasilan rata-rata yang diperoleh petani dari wilayah Karawang berkisar antara satu juta sampai dengan 5 juta rupiah per bulan, yang merata diantara semua responden dengan jumlah melebihi angka 80 Gambar 4. Umumnya tingkat penghasilan di kalangan petani berdasarkan kuisioner masih kurang dari satu juta rupiah, dengan angka melebihi 50 di setiap wilayah penelitian. Tingkat pendidikan yang lebih merata yaitu SD- SMP berada di wilayah penelitian Sukabumi, kurang dari 10 yang memiliki tingkat pendidikan diatas SMP, dan tidak ada yang lebih tinggi dari SMU, demikian juga dengan penghasilan yang mereka peroleh dengan jumlah kurang dari satu juta sampai satu juta rupiah untuk lebih dari 90 jumlah responden. 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Cianjur Karawang Subang Sukabumi Persen ta se Respo nde n Tingkat Pendidikan Tidak sekolahtidak lulus SD SD-SMP SMU-akademiPT S2 ke atas