Analisis Data Foto 2 TEMUAN DAN ANALISIS DATA

melakukan proses jual beli. Terlihat dari gerak gerik penjual dan pembeli yang sedang berinteraksi. 2.3. Object Berbeda dengan foto 1, penempatan POI pada foto 2 berada di tengah gambar. Objek utama berupa kedua lelaki yang ditempatkan pada bagian tengah komposisi tampak stabil dan secara jelas menunjukkan maksud sang fotografer. Warna putih yang merupakan baju dari salah satu lelaki yang menjadi POI tersebut menjadi tanda bahwa itu adalah pusat perhatian pada foto 2. Sebab, kedua lelaki yang menjadi POI terlihat sebagai objek yang paling menonjol dan menarik mata, sementara sayur- mayur yang dalam foto berperan sebagai background dan foreground terlihat blur atau tidak fokus. 2.4. Photogenia Photogenia ialah seni memotret sehingga foto yang dihasilkan telah menggunakan beberapa teknik-teknik memotret, seperti teknik lighting, exposure, blurring, angle atau cara pengambilan foto, panning maupun moving. Foto ini diambil dengan menggunakan diafragma atau bukaan lensa sempit sekitar f2,8 hingga f5,1. Dengan posisi diafragma tersebut maka kecepatan rana speed untuk menghasilkan pencahayaan yang nampak dalam data foto2 berkisar antara S: 130 sampai 160. Atau juga dapat dikompensasi dengan menggunakan ISO 400 sampai 800., hal itu membuat hanya bagian tengah yang terlihat tajam dan fokus, sementara foreground dan background terlihat blur. Objek dalam keseluruhan bingkai berada di tempat yang sejajar dengan fotografer, sehingga fotografer menggunakan eye level. Penggunaan jenis angle yang dipakai oleh seorang fotografer dalam memotret suatu objek dapat terjadi atas beberapa kemungkinan, bisa karena keinginan sang fotografer guna menimbulkan kesan tertentu ataupun karena keadaan situasi lokasi di mana ia memotret. Pada data foto 2, penulis tidak menemukan kesan lain terhadap penggunaan eye level yang dilakukan oleh fotografer dalam memotret keseluruhan objek dalam satu bingkai foto. Dari sisi pencahayaan, penulis melihat objek berada di luar ruangan outdoor dengan kondisi cahaya yang cukup terang, maka sang fotografer tidak perlu menggunakan bantuan flash lampu kilat internal kamera. Hal ini dapat diamati dari keseluruhan objek yang mendapat porsi cahaya yang sama, baik di bagian si penjual, si pembeli, maupun sayuran yang dijajakan. 2.5. Aestheticism Pada sampel foto 2, format gambar dalam bentuk berwarna-warni, memberi kesan suasana yang hidup. Dari segi estetika, foto 2 menggunakan metode framing. Framing merupakan suatu tahapan dimana fotografer membingkai suatu detil peristiwa yang telah dipilih. Fase ini mengantar seorang foto jurnalis mengenal arti suatu komposisi, pola, tekstur, dan bentuk subjek pemotretan dengan akurat. Rasa artistik semakin penting dalam tahap ini. Inilah yang makin membuat foto ini terlihat menarik. Sang fotografer mengambil komposisi dengan timing yang tepat, yaitu saat penjual dan pembeli sedang berinteraksi. Timing merupakan salah satu metode dalam fotografi yang yang tergabung dalam EDFAT Entire, Detail, Framming, Angle, dan Timing. Time merupakan tahap penentuan penyinaran dengan kombinasi yang tepat antara diafragma dan kecepatan atas empat tingkat yang telah disebutkan sebelumnya. Pengetahuan teknis atas keinginan membekukan gerakan atau memilih ketajaman ruang adalah satu prasyarat dasar yang sangat diperlukan. 2.6. Syntax Sintaxis dalam foto jurnalistik biasanya dapat kita lihat lewat teks yang ada pada judul atau caption foto. Dalam foto 2, caption yang tertulis adalah warga yang sedang berbelanja sayur-mayur di Pasar Senen, Jakarta Pusat pada hari Rabu, 10 Juli 2013. Lebih lanjut, caption tersebut menerangkan bahwa pemerintah sebaiknya menstabilkan harga kebutuhan pokok. Jika dilihat dari tampilan layout pada headline, data foto 2 meupakan sebuah foto ilustrasi dari sebuah berita yang mengiringinya. Perlu diketahui, sebuah foto ilustrasi pada hakikatnya merupakan hasil visualisasi dari suatu tulisan dengan teknik fotografi yang lebih menekankan hubungan subjek dengan tulisan daripada bentuk, dengan tujuan untuk menerangkan atau menghiasi suatu cerita, tulisan, puisi, atau informasi tertulis lainnya. Dengan foto ilustrasi, diharapkan tulisan yang mengiringinya lebih mudah dicerna. Oleh karena itu, fotografer harus bekerja sama dengan reporter, fotografer harus tahu apa yang reporter tulis, reporter dan fotografer melakukan liputan secara bersamaan, dan foto-foto yang diambil juga harus sesuai dengan tulisan reporter. Dari beberapa aspek yang telah dijabarkan, makna konotasi dari foto tersebut merupakan foto ilustrasi dari sebuah berita kenaikan harga. Warga yang sedang melakukan proses jual beli meupakan salah satu objek yang dipilih oleh fotografer untuk mengilustrasikan berita tentang naiknya harga kebutuhan pokok. Selanjutnya, elemen lain berupa ekspresi pembeli yang sumringah dan bersemangat secara tersirat dapat ditafsirkan sebagai sikap konsumtif masyarakat yang gemar memborong berbagai bahan makanan meskipun harga cenderung naik, terutama saat Ramadan . 3. Makna Mitos Adapun makna mitos yang terbangun dari foto ini adalah kultur konsumerisme masyarakat menjelang dan saat bulan Ramadan. Sudah menjadi tradisi tahunan bila memasuki bulan Ramadan harga sejumlah kebutuhan pokok akan mengalami kenaikan dan terus melambung sampai mendekati Hari Raya. Hal ini dipicu dari tingginya permintaan pasar sehingga harga otomatis akan naik karena stok yang menipis. Bahkan tak sedikit para penjual mengemas paket khusus guna menarik konsumen yang royal saat momentum ini sehingga angka penjualan retail biasanya akan mengalami peningkatan yang cukup besar. Secara umum, pada bulan Ramadan masyarakat berbelanja dengan porsi berbeda daripada hari biasa, hal ini dilihat dari salah satu sisi yang menganggap ketersediaan makanan hanya untuk menumbuhkan semangat saat berbuka dan sahur. Bila menyimak fenomena ini, bahkan terkesan tak bisa dihindari, seolah tradisi belanja adalah bagian dari tradisi Ramadan itu sendiri. Sebuah trend yang berevolusi menjadi budaya. Bila awalnya kita tidak ada niat untuk membeli, namun melihat tetangga yang berbelanja kebutuhan Ramadan hingga Lebaran dari membeli makanan yang lebih banyak dari biasanya, merombak penampilan rumah, kendaraan, dan sebagainya, mau tak mau akan mengelitik keinginan kita untuk melakukan hal yang sama, padahal kocek setiap orang berlainan dan tentu saja harus diperhitungkan berdasarkan kebutuhan. Apalagi mayoritas masyarakat Indonesia masih tergolong kurang mampu. Kesenjangan sosial yang semakin membentang akan membuka peluang-peluang kejahatan untuk menyamakannya. Dalam Islam, memang diperbolehkan menyambut dan merayakan Ramadan dengan suka cita sebagai wujud rasa syukur datangnya bulan yang ditunggu-tunggu, bulan yang penuh berkah. Namun akulturasi budaya hedeonis semakin menyatu dengan tradisi Ramadan bukan hal yang baik. Sungguh menyedihkan, tamu agung yang begitu dinantikan itu, dicederai oleh sikap konsumtif. Padahal dalam al-Quran diindikasikan bahwa puasa adalah untuk memantapkan ketakwaan yang menganjurkan bersikap sederhana dan tidak berlebihan dalam mengkonsumsi barang-barang kapanpun, apalagi di bulan penuh berkah ini. Allah SWT melarang bersikap berlebih-lebihan dalam harta: “... dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” QS. Al Isra [17]:26-27. Ibadah puasa jika dipahami dan dilaksanakan dengan benar tentu akan menghasilkan pribadi yang bertakwa. Artinya, di bulan Ramadan ini seharusnya perilaku konsumtif dapat dihindari. Sebab, manifestasi dari takwa adalah tidak mengumbar hawa nafsu, mampu mengendalikan semua keinginan, termasuk keinginan berbelanja yang tidak perlu berlebihan. 4. Nilai Budaya Dari mitos yang didapat, sudah jelas bahwa nilai budaya yang terkandung pada data foto 2 adalah nilai ekonomi. Ada pemahaman yang kemudian timbul dalam pemikiran penulis tentang esensi dari nilai ekonomi itu sendiri, yaitu suatu hal yang diasumsikan memiliki nilai ekonomi adalah hal-hal yang berpotensi memberikan keuntungan secara ekonomi komersil. Jika merujuk pada penjelasan nilai ekonomi sebagai sebuah nilai budaya dalam foto ini, adalah terdapatnya pola konsumtif yang merupakan efek dari berkembangnya nilai ekonomi di masyarakat. Dari penjelasan di atas, data foto 2 kemudian penulis asumsikan tidak memiliki nilai budaya lainnya seperti nilai teori, nilai agama, nilai seni, nilai kuasa, dan nilai solidaritas, melainkan nilai ekonomi. 5. Interpretasi Jika dibandingkan dengan pernyataan Priyombodo, selaku fotografer dari foto 2, ia justru melihat fenomena Ramadan yang terjadi di Indonesia malah justru menguak kesenjangan. Tak sedikit kaum muslim meramaikannya dengan “pengamalan shalih bergengsi”. Seperti puasa sambil umroh di tanah suci, atau menggelar paket buka bersama di hotel-hotel berbintang. Sungguh bertolak belakang dengan “keprihatinan” pelaku ibadah puasa sejati yang berbuka bersama di surau-surau kecil di pojok kampung. Sakralitas Ramadan pupus oleh sifat matrealistik-konsumtif. Tradisi masih membudaya di mana-mana, dengan makanan yang lezat, baju baru, mengecat rumah, dan pengalokasian anggaran belanja yang berlipat dari hari biasa. Terlebih menjelang idul fitri, pembicaraan seputar THR Tunjangan Hari Raya, baju baru, mobil baru, sofa baru, dan segala yang dianggap perlu baru atas nama momentum silaturahmi, telah menjadikan Ramadan, bulan yang seharusnya berhias khusyu„ dalam beribadah, menjadi masa riuh rendahnya berbelanja. Priyombodo juga menambahkan selayaknya kita mengevaluasi diri sejauh mana keberhasilan pelaksanaan ibadah puasa. Mampukah ia menjadi sarana pembentukan pribadi yang mampu mengekang hawa nafsu, mampu menghindari dari sikap konsumtif, dan bertahan dari segala gempuran kapitalisme. Kemenangan di akhir bulan Ramadan sama sekali tidak dinilai dari berapa baju baru yang Anda miliki.

E. Data Foto 3

Harian Kompas Edisi 5 Agustus 2013 Puluhan Triliyun Mengalir Sumber: http:epaper1.kompas.comkompas Caption : Pemudik menunggu giliran naik kapal feri di Pelabuhan Merak Banten, Minggu 48. Melonjaknya jumlah pemudik membuat setiap kendaraan mobil atau bus harus menempuh waktu sedikitnya lima jam perjalanan dari Gerbang Tol Merak hingga antre naik kapal. Fotografer : Ferganata Indra Hatmoko

F. Analisis Data Foto 3

1. Makna Denotasi Dalam gambar data foto 3 kita dapat amati beberapa analogon yang berbentuk objek dari makna denotatif foto tersebut, antara lain: a. Bus pariwisata yang sedang berhenti. b. Seorang laki-laki berada di bagasi bus sedang berbaring sambil mengenakan earphone. c. Di dalam bus, beberapa orang sedang duduk, ada juga yang berdiri. d. Foto diambil pada malam hari. Makna denotasi yang didapat dari beberapa analogon yang terdapat dalam data foto 3 adalah, beberapa orang sedang melakukan aktivitasnya masing-masing sembari menunggu bus yang sedang dalam keadaan diam. Tulisan “bus pariwisata” yang terdapat di foto mengindikasikan bahwa penumpang tersebut adalah para pemudik. 2. Makna konotasi 2.1 Trick Effect Trick effect dipahami sebagai upaya memanipulasi gambar sampai tingkat yang berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita. Dalam foto 3, penulis tidak menemukan manipulasi foto. Adapun pemotongan sebagian gambar atau cropping yang dilakukan, bukan merupakan bagian dari trick effect yang dimaksud. Proses mengatur kontras warna dan brightness menjadi lebih baik pun bukan hasil dari olah digital tambahan, melainkan sudah diatur sejak dalam kamera, hal ini ditegaskan oleh Lasti Kurnia saat diwawancarai penulis pada 6 Juni 2014. Dalam buku serial Photojournalism yang diterbitkan oleh Time Life 12 diungkapkan bahwa: Sementara foto-foto yang dihasilkan oleh para wartawan foto seperti yang kita lihat di media massa adalah pers foto foto berita yang penekanannya pada perekaman fakta otentik. Misalnya foto yang menggambarkan kebakaran, kecelakaan, pengusuran dll. Foto berita, foto advertensi dan sebagainya itu semua sebenarnya juga ingin menceritakan sesuatu yang pada gilirannya akan membuat orang tersebut bertindak feedback dan melakukan sesuatu atas peristiwa yang terjadi. Dari uraian di atas jelaslah bahwa foto jurnalistik atau khususnya pers foto adalah foto yang memiliki pesan yang jelas dari sebuah peristiwa. Untuk mencapai ini tentunya kita harus menguasai dua dasar yang berbeda, yaitu pendekatan teknis serta pendekatan konseptual. 2.2 Pose Pose dapat dikatakan sebagai gaya, sikap, ekspresi ataupun posisi objek dalam foto. Pada foto 3 terlihat beberapa orang sedang melakukan aktivitasnya masing-masing. Ada yang sedang berbaring, duduk, dan beridiri, yang tentu saja itu bisa disebut pose. Posisi fotografer dalam memotret moment ini berada tepat di depan subjek foto dengan meletakkan kamera pada posisi sejajar dengan subjek foto atau biasa disebut eye level. 2.3 Object POI pada foto 3 berada pada seorang lelaki yang berada di dalam bagasi bus sedang berbaring sambil memakai earphone di telinganya dan 12 William Cahn, Photojournalism New York: Time-Life Book, 1972, h. 34. menatap ke suatu barang yang ia pegang. Hal ini terlihat karena porsi pencahayaan yang didapat pada objek lelaki tersebut lebih terang dan memiliki perbedaan warna dengan objek lain di sekelilingnya. Objek pendukung lainnya adalah beberapa orang dari berbagai gender dan usia berada di dalam bus sedang melakukan aktivitas. Ada yang berdiri, duduk, menunduk, dan lain-lain. Bus yang memenuhi frame terlihat tidak moving atau paning, dapat memberi tafsiran bahwa bus sedang dalam posisi berhenti. Tulisan bertuliskan “bus pariwisata” yang ada pada badan bus menunjukkan bahwa mereka sedang atau akan melakukan perjalanan yang cukup jauh. 2.4 Photogenia Dalam Photogenia, maka kita akan melihat foto dari segi tehnik pengambilannya. Meliputi lighting pencahayaan, exposure ketajaman foto, bluring keburaman, panning efek kecepatan, moving efek gerak, freeze efek beku, angle sudut pandang pengambilan objek. Secara photogenia, foto 3 memiliki kekuatan pada pengambilan sudut pandang angle yang dilakukan oleh fotografer. Posisi bus yang tidak terlihat secara keseluruhan menunjukkan bahwa sang fotografer hanya ingin fokus pada kegiatan yang sedang terjadi di dalam bus. Cara pengambilannya berada pada posisi yang sejajar dengan objek eye level dan menggunakan lensa standar atau lensa normal. Di dunia fotografi, lensa normal atau lensa standar adalah lensa yang memiliki cakupan pandang mirip dengan mata manusia dalam kondisi normal, oleh karena itu disebut lensa normal. Ferganata Indra Hatmoko, selaku fotografer juga