2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 Tentang Peraturan Mengenai
Kedudukan Komite Nasional Daerah
Pengaturan yang berbeda itu menimbulkan keberatan bukan hanya pada masalah hubungan antara pusat dan daerah, tetapi juga dalam hal timbulnya
ketidakseragaman dalam pemerintahan antara satu daerah dengan lainnya. Undang- Undang No.1 Tahun 1945 juga tidak berhasil melaksanakan fungsinya dengan baik
maupun terlalu dominannya kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan atas prakarsanya sendiri.
Diakui bahwa pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 dipandang kurang memuaskan karena isi Undang-Undang tersebut sangat
sederhana, banyak hal mengenai pemerintahan daerah tidak diatur dalam Undang- Undang tersebut, sehingga pada umumnya peraturan-peraturan dari masa yang
lampau masih dijadikan pegangan. Terlepas dari berbagai kendala tersebut, kontribusi utama dari kehadiran
Undang-Undang No.1 Tahun 1945 ini ialah, Undang-Undang ini tidak saja telah meletakkan tiang pancang konstruksi badan legislatif lokal dan hubungan-hubungan
legislatif lokal dengan eksekutif lokal di Negara Republik Indonesia, ia juga telah menanamkan tradisi berpemerintahan sendiri alias berotonomi kepada elit lokal kita
di daerah-daerah dengan mengutamakan kepentingan rakyat banyak daripada kepentingan diri sendiri maupun golongan.
38
38
Soetandyo Wignyosubroto dkk, Pasang Surut Otonomi Daerah Sketsa Perjalanan 100 Tahun,
Jakarta: Institute for Local Development dan Yayasan Tifa, 2005, Hal. 71.
Universitas Sumatera Utara
3. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah
Untuk menjamin agar kewenangan yang diberikan kepada daerah-daerah tidak disalahgunakan, pemerintah pusat melakukan pengawasan terhadap daerah. Bagi
propinsi pengawasan dilakukan oleh presiden, sedang bagi tingkat-tingkat daerah lainnya oleh daerah setingkat di atasnya, yaitu propinsi mengawasi kabupatenkota
besar dalam lingkungan wilayahnya, sebaliknya kabupatenkota besar mengawasi desakota kecil yang berada di bawahnya. Bentuknya dapat berupa pengawasan
preventif yaitu sebelum putusan dikeluarkan oleh DPRD atau DPD, kepala daerah selaku wakil pemerintahan berhak menahan putusan tersebut bila putusan-putusan
tersebut dinilainya bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Disamping itu, bisa pula dilakukan
pengawasan represif, yaitu putusan-putusan yang telah dikeluarkan DPRD atau DPD jika dinilai oleh presiden bagi propinsi dan oleh DPD setingkat lebih atas bagi lain-
lain daerah bertegangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, dapat ditunda atau dibatalkan.
39
Meskipun semula dimaksudkan untuk mengatasi berbagai dualisme dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1945, setelah berlakunya Undang-Undang No. 22
Tahun 1948, sifat dualisme dalam pemerintahan di daerah masih ada. Ada dua hal lain yang dicatat oleh Bagir Manan yang mengantarkan kepada kesimpulan bahwa
Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya,
39
Ni”Matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah,
Yogyakarta: FH UII Press, 2007, Hal. 58.
Universitas Sumatera Utara
yaitu, pengisian sistem rumah tangga daerah asas otonomi dan keuangan daerah. Karena dua faktor tersebut, maka kecenderungan desentralistik yang dikehendaki
oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tidak dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Bahkan sebaliknya, daerah menjadi tergantung pada pusat sehingga terjadi
kecenderungan sentralistik. Sebagaimana disebutkan di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1948 yaitu: Pemerintah Daerah terdiri dari 2 dua macam yaitu:
a. Pemerintahan Daerah yang bersandar pada hak otonomi, dan
b. Pemerintahan Daerah yang disandarkan pada hak medebewind
Tentang perbedaan hak otonomi dan hak medebewind adalah sebagai berikut: Pada pembentukan pemerintah daerah yang berhak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri menurut Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah in maka pemerintah pusat ditentukan kewajiban pekerjaan mana-mana saja yang dapat
diserahkan kepada daerah. Penyerahan ini ada dua macam yaitu:
a. Penyerahan penuh, artinya baik tentang asasnya prinsip-prinsipnya maupun
tentang caranya menjalankan kewajiban pekerjaan yang diserahkan itu, diserahkan semuanya kepada daerah hak otonomi, dan
b.Penyerahan tidak penuh, artinya penyerahan hanya mengenai caranya menjalankan saja, sedangkan prinsip-prinsipnya ditetapkan oleh pemerintah
pusat sendiri hak medebewind. Hak medebewind ini jangan diartikan sempit, yaitu hanya menjalankan perintah
dari atas saja, sekali-kali tidak. Oleh karena pemerintah daerah berhak mengatur caranya menjalankan menurut pendapatnya sendiri. Jadi masih mempunyai hak
otonom sekalipun hanya mengenai cara menjalankan, ini benar artinya bagi tiap-tiap daerah.
40
40
R. Joeniarto, Perkembangan Pemerintah Lokal, Bandung: Alumni, 1979, Hal. 100.
Universitas Sumatera Utara
Kajian lain terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 menyimpulkan, bahwa konstruksi desentralisasi politik dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 ini
dikatakan “overdosis” alias kebablasan atau terlalu maju, tidak sesuai dengna realitas pertumbuhan pemerintahan kita, ini disebabkan oleh pemikiran liberal yang merasuki
perancang undang-undang waktu itu demi menampakkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia adalah negara yang demokratis sebagai dukungan bagi perjuangan
mempertahankan kemerdekaan. Pokok-pokok utama dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 adalah untuk
menghapuskan perbedaan antara cara pemerintahan di pulau Jawa-Madura dengan daerah di luar Jawa-Madura. Peraturan ini menuju persamaan cara dalam
pemerintahan daerah bagi seluruh Indonesia dan membatasi tingkatan badan-badan pemerintahan daerah sedikit mungkin. Termasuk untuk penghapusan dualisme dalam
pemerintahan daerah, dan pemberian hak otonomi dan medebewind seluas-luasnya pada badan-badan pemerintahan daerah yang tersusun secara demokratis atas dasar
permusyawaratan.
41
4. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan