Kajian lain terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 menyimpulkan, bahwa konstruksi desentralisasi politik dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 ini
dikatakan “overdosis” alias kebablasan atau terlalu maju, tidak sesuai dengna realitas pertumbuhan pemerintahan kita, ini disebabkan oleh pemikiran liberal yang merasuki
perancang undang-undang waktu itu demi menampakkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia adalah negara yang demokratis sebagai dukungan bagi perjuangan
mempertahankan kemerdekaan. Pokok-pokok utama dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 adalah untuk
menghapuskan perbedaan antara cara pemerintahan di pulau Jawa-Madura dengan daerah di luar Jawa-Madura. Peraturan ini menuju persamaan cara dalam
pemerintahan daerah bagi seluruh Indonesia dan membatasi tingkatan badan-badan pemerintahan daerah sedikit mungkin. Termasuk untuk penghapusan dualisme dalam
pemerintahan daerah, dan pemberian hak otonomi dan medebewind seluas-luasnya pada badan-badan pemerintahan daerah yang tersusun secara demokratis atas dasar
permusyawaratan.
41
4. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah Di daerah sendiri, keberadaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 baru terasa
seelah pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disingkat DPRD diselenggarakan. Di beberapa daerah di Jawa, Sumatera Selatan, dan
Kalimantan. DPRD hasil pemilu segera memilih kepala daerah dan membentuk
41
Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Bandung: Alumni, 1986, Hal. 46.
Universitas Sumatera Utara
Dewan Perwakilan Daerah DPD. Tetapi dalam menjalankan kekuasaannya DPD beserta kepala daerahnya sering jatuh bangun, persis seperti model kabinaet di Pusat,
gara-gara dilancarkannya mosi tidak percaya oleh DPRD. Kemelut bertambah pelik, karena di daerah selepas diberlakukannya Undang-Undang ini, terdapat dua nahkoda
atau dua pimpinan pemerintahan. Urusan desentralisasi dan medebewind dipimpin oleh DPDkepala daerah, sedangkan urusan dekonsentrasipemerintahan umum
ditangani oleh pejabat pamong praja. Dampaknya adalah, efisiensi, efektivitas dan koordinasi tidak berjalan.
42
Sebagai Undang-Undang yang berinduk pada UUD Sementara 1950 Pasal 131, maka Undng-Undang No. 1 Tahun 1957 menganut asas yang ditetapkan UUD
induknya yakni “otonomi yang seluas-luasnya” yang diwujudkan dalam asas otonomi yang nyata. Ini merupakan implikasi dari asas yang terlampau demokratis sehingga
menjadi ultra democratis, yang mengandung bahaya membawa perpecahan- perpecahan dalam golongan-golongan masyarakat dan memperlemah hubungan
hirarki antara pusat dan daerah.
43
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 ini menganut sistem otonomi yang riil dan seluas-luasnya, dalam pelaksanaannya apabila dibutuhkan setiap saat urusan
pangkal yang menjadi urusan rumah tangga daerah itu dapat ditambah dan dikurangi, sesuai kebutuhan yang didasarkan pada faktor-faktor riil.
42
Soetandyo Wignyosubroto, Pasang Surut Otonomi Daerah,........Op. Cit, Hal. 84-85.
43
Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah Bandung: Alumni, 1978, Hal. 93- 94.
Universitas Sumatera Utara
Adapun yang dimaksud dengan sistem otonomi riil menurut Jimmi Mohammad Ibrahim adalah wewenang daerah otonom ini dibatasi secara positif yaitu disebutkan
secara tegas apa saja yang berhak diatur dan diurusnya.
44
Menurut analisis Moh. Mahfud MD, ada dua alasan yang sangat rasional mengapa Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 harus segera diganti menyusul
perpindahan kekuasaan dari partai di parlemen ke tangan Soekarno, yaitu tuntutan konstitusi dan realitas politik. Pertama, dalam logika Soekarno Undang-Undang No. 1
Tahun 1957 tidak sesuai dengan UUD 1945 karena bersendikan demokrasi liberal yang mengandung instabilitas. Karenanya harus diganti dengan Undang-Undang yang
bersendikan demokrasi kekeluargaan gotong royong. UUD 1945 melalui Pasal 18 memberikan garis-garis besar atau prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Kedua, dilihat dari sudut politik, Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 ternyata menyebabkan munculnya fenomena disintegrasi atau penyempalan daerah-daerah
terhadap pusat yang mengancam prinsip negara kesatuan. Jadi Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 yang merupakan produk sistem politik yang sangat liberal-demokratis
telah membawa efek desintegrasi sehingga sebuah kekuatan politik yang otoriter di bawah demokrasi terpimpin segera mencabut dan menggantinya.
45
Ketika Presiden Soekarno mempraktekkan Demokrasi Terpimpin, masyarakat tidak mempunyai peluang untuk mewujudkan apa yang menjadi aspirasi mereka.
Demokrasi Terpimpin sebenarnya merupakan nama lain dari otoritarianisme. Dalam
44
Jimmi Mohammad Ibrahim, Prospek Otonomi Daerah Dalam Rangka Memberi Peranan Yang Lebih Besar Kepada Pemerintah Daerah Tingkat II
. Semarang: Dahara Prize, 1991, Hal. 54.
45
Ni”Matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah,……Op. Cit, Hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
kaitannya dengan mekanisme hubungan kekuasaan antara Pusat dengan Daerah, pemerintah pada waktu itu menguburkan ide otonomi daerah yang luas, bahkan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 diganti dengan hanya sebuah “Penetapan Presiden”, yaitu Penetapan Presiden Penpres No. 6 Tahun 1959”.
46
Penetapan Presiden merupakan suatu produk hukum baru yang disetarakan dengan Undang-
Undang.
5. Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 Tentang Pemerintah Daerah